Thursday, February 15, 2007

Hannah Arendt

Hannah Arendt (14 Oktober 1906 – 4 Desember 1975) adalah seorang teoretikus politik Jerman. Ia seringkali digambarkan seagai seorang filsuf, meskipun ia selalu menolak label itu dengan alasan bahwa filsafat berurusan dengan "manusia dalam pengertian singular." Ia menggambarkan dirinya sebagai seorang teoretikus politik karena karyanya berpusat pada kenyataan bahwa "manusia pada umumnya, bukan Manusia saja, hidup di muka bumi dan menghuni dunia ini."

Arendt dilahirkan dalam keluarga Yahudi sekular di kota Linden yang waktu itu merupakan kota independen (kini bagian dari Hanover) dan dibesarkan di Königsberg (kota tempat tinggal pendahulunya yang dikaguminya, Immanuel Kant) dan Berlin. Ia belajar filsafat di bawah Martin Heidegger di Universitas Marburg, dan lama menjalin hubungan romantik yang sporadis dengannya. Hal ini telah banyak dikritik karena simpati Heidegger terhadap Nazi. Suatu kali ketika hubungan mereka terputus, Arendt pindah ke Heidelberg untuk menulis disertasi tentang konsep cinta-kasih dalam pemikiran Santo Augustinus, di bawah bimbingan filsuf-psikolog eksistensialis Karl Jaspers.

Disertasi itu diterbitkan pada 1929, namun Arendt dihalangi ketika ia ingin menyusun tulisan habilitasi - karya tulis sesudah penulisan disertasi yang merupakan prasyarat untuk mengajar di universitas Jerman - pada 1933 karena ia seorang Yahudi. Setelah itu ia meninggalkan Jerman dan pergi ke Paris. Di sana ia berjumpa dan bersahabat dengan kritikus sastra dan mistikus Marxis Walter Benjamin. Sementara di Prancis, Arendt bekerja untuk mendukung dan membantu para pengungsi Yahudi. Namun, karena sebagian wilayah Prancis diduduki militer Jerman setelah Prancis menyatakan perang pada Perang Dunia II, dan dideportasinya orang-orang Yahudi ke kamp-kamp konsentrasi, Hannah Arendt harus melarikan diri dari Prancis. Pada 1940, ia menikah dengan penyair dan filsuf Jerman Heinrich Blücher. Pada 1941, Hannah Arendt melarikan diri bersama suami dan ibunya ke Amerika Serikat atas bantuan diplomat Amerika Hiram Bingham IV, yang secara ilegal mengeluarkan visa untuknya dan sekitar 2.500 orang pengungsi Yahudi lainnya. Kemudian ia menjadi aktif dalam komunitas Yahudi-Jerman di New York dan menulis untuk mingguan Aufbau.

Setelah World War II ia melanjutkan hubungannya dengan, dan memberikan kesaksian untuknya dalam pemeriksaan denazifikasi Jerman. Pada 1950, ia menjadi warga negara AS berdasarkan naturalisasi, dan pada 1959 menjadi perempuan pertama yang diangkat ke dalam jabatan profesor penuh di Universitas Princeton.

Karya-karya Arendt membahas hakikat kuasa, dan topik-topik politik, wewenang, dan totalitarianisme. Banyak dari tulisannya terpusat pada pengukuhan konsepsi tentang kebebasan yang sinonim dengan aksi politik kolektif. Dalam argumentasinya melawan asumsi libertarian bahwa "kemerdekaan dimulai ketika politik berakhir," Arendt menyusun teorinya tentang kemerdekaan yang bersifat publik dan asosiatif, dengan mengambil contoh-contoh antara lain dari polis Yunani, kota-kota Amerika, komun Paris, dan gerakan hak-hak sipil pada tahun 1960-an untuk menggambarkan konsepsi tentang kemerdekaan. Dalam laporannya mengenai pengadilan Eichmann untuk The New Yorker, yang kemudian berkembang menjadi buku Eichmann in Jerusalem, ia mengangkat pertanyaan apakah kejahatan itu bersifat radikal ataukan sekadar suatu fungsi dari keluguan -- kecenderungan orang biasa untuk menaati perintah dan mengikuti pandangan masyarakat tanpa berpikir secara kritis tentang akibat dari tindakan atau kelalaian mereka untuk bertindak.

Ia juga menulis The Origins of Totalitarianism, yang menelusuri akar-akar komunisme dan nazisme dan kaitan mereka dengan anti-semitisme. Buku ini kontroversial karena membandingkan dua pokok yang sebagian orang percaya tidak dapat dipertemukan.

Ketika meninggal dunia pada 1975, Hannah Arendt dikebumikan di Bard College di Annandale-on-Hudson, New York, tempat suaminya mengajar selama bertahun-tahun.

Karya-karya
* Der Liebesbegriff bei Augustin. Versuch einer philosophischen Interpretation [Pertobatan Augustinus: Suatu upaya interpretasi filsafati] (1929)
* The Origins of Totalitarianism [Asal-usul Totalitarianisme] (1951)
* Rahel Varnhagen: The Life of a Jewish Woman [Kehidupan seorang Perempuan Yahudi] (1958)
* The Human Condition [Kondisi Manusia] (1958)
* Between Past and Future [Antara Masa Lalu dan Masa Depan] (1961)
* On Revolution [ Tentang Revolusi] (1963)
* Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil [Laporan tentang Keluguan Kejahatan] (1963)
* Men in Dark Times [Manusia pada Saat-saat Gelap] (1968)
* Crises of the Republic: Lying in Politics; Civil Disobedience; On Violence; Thoughts on Politics and Revolution (1969) [Krisis Republik: Dusta dalam Politik]; [Ketidaktaatan Sipil]; [Tentang Kekerasan]; [Pemikiran tentang Politik dan Revolusi]
"Civil Disobedience" aslinya muncul, dalam bentuk yang agak berbeda, dalam The New Yorker. Versi-versi dari esai-esainya yang lain aslinya muncul dalam The New York Review of Books.
* The Jew as Pariah: Jewish Identity and Politics in the Modern Age [Orang Yahudi sebagai Bangsa Pariah: Identitas dan Politik Yahudi di Masa Modern]; Disunting oleh Ron H. Feldman (1978)
* Life of the Mind [Kehidupan Pikiran] (1978)

Merapatkan Barisan

Semua selalu berkaca pada sejarah! Entah itu gerakan sosial, cinta, persahabatan dan sebagai-nya. Sejarah merupakan elemen utama ketika membicarakan masa kini dan masa depan. Ketika terputus saat membicarakan masa kini tanpa menengok ke belakang tentang sejarah, maka yang terjadi adalah pembelokan makna dan arti. Tidak ada yang bisa menyangkal tentang arti penting sebuah sejarah. Dapat dikatakan juga bahwa, uraian diatas akan mengundang sinisme dari pihak lain, dengan asumsi, bahwa apa yang diuraikan adalah penjelasan dungu.

Namun kontradiksi dari ungkapan dungu-lah yang selanjutnya memunculkan kata cerdas. Cerdas dalam berpikir yang selalu merujuk pada sejarah untuk memulai sebuah gerakan, baik gerakan otak maupun jasmani.

Dengan medium fenomena sosial, akan lahir sebuah ide untuk memberi arah pada fenomena-fenomena sosial yang lahir dari sistem dominan. Disinilah kecerdasan untuk melakukan penilaian dan berbuat, karena yang namanya fenomena penuh dengan ilusi dan manipulatif. Jika salah dalam menilai, maka akan gagal dalam bertindak. Itu yang kini menyerang berbagai kelompok-kelompok gerakan sosial, dengan berbagai faktor yang melingkarinya, gerakan sosial selalu gagal dalam pencapaian akhir dari cita-citanya dengan berbagai strategi taktik yang dikembangkan-nya. Namun, disinilah dituntut kekuatan mental, kekuatan keyakinan berlandaskan pada keniscayaan.
Jika tidak, dunia gerakan sosial akan lesu darah dan mati! Mati ditengah-tengah penderitaan rakyat yang membutuhkan pertolongan. Jangan sampai hal itu terjadi.

Krisis demi krisis yang menghampiri negara kita, merupakan sebuah momentum untuk merengkuh simpati dan dukungan massa rakyat. Tapi itu tidak terjadi. Mengapa? Sebuah pertanyaan yang harus dikembalikan pada sejarah yang membentuk karakter masyarakat Indonesia. Tradisi perlawanan rakyat yang menggelora pada fase-fase sebelumnya, tidak satu pun yang berakhir pada kemenangan. Semuanya berakhir pada kegagalan, malah kegagalan itu selalu berakhir di tiang gantungan, di ujung bedil dan lokasi-lokasi pembuangan. Banyak fakta yang membeberkan hal itu. Inilah model perlawanan yang menonjolkan sosok pemimpin kharismatik yang khas dalam sistem masyarakat agraris dan feodal. Ketika perlawanan harus padam ketika pemimpin-nya diciduk dan mati diujung-ujung bedil musuh. Namun ada beberapa perlawanan yang dapat dikatakan sebagai bentuk antitesa dari model perlawanan diatas, yakni pemberontakan petani tahun 1926, yang menggunakan strategi taktik perlawanan kolektif. Walaupun kemudian perlawanan ini padam karena timbulnya perpecahan internal, yang dipicu oleh perbedaan pandangan mengenai waktu untuk melakukan insureksi.

Perpindahan fase dari masyarakat feodal ke masyarakat kapitalis di Indonesia berlangsung damai, karena sebenarnya terjadi kolaborasi antara para penguasa feodal dengan kaum kolonial. Sehingga dapat dikatakan, terciptanya masyarakat kapitalis Indonesia merupakan hasil stek/cangkokan dari sistem kolonial yang anti demokrasi. Tidak ada perlawanan rakyat untuk menggulingkan serta menghancurkan feodalisme, tidak ada darah dan keringat yang bercucuran. Jika ingin diperbandingkan, lihat sejarah penggulingan feodalisme di Perancis, rakyat dan kaum berjuasi kecil bersatu dan menyeret para bangsawan dan tuan-tuan feodal ke tiang gantungan. Rezim aristokrat dibumihanguskan tak tersisa. Hancur lebur! Sejarah perlawanan penuh darah ini yang membentuk karakter masyarakata perancis dan eropa keseluruhan, menjadi masyarakat yang kritis dan penuh gejolak perlawanan terhadap sistem yang menindas.

Dari arena sejarah tentang tradisi perlawanan rakyat itu, dapat dilihat bagaimana potensi perlawanan rakyat Indonesia saat ini. Namun sejarah itu bukan sesuatu yang rigid dan tidak bisa diubah. Semuanya bisa dirubah, diinovasi dan digerakkan sesuai dengan cita-cita perubahan sosial. Semua punya potensi, lihat gerakan mei 98, begitu juga dengan gelora perlawanan diberbagai daerah. Tugas pelaku gerakan sosial adalah menyimpulkan semua berbagai gelora perlawanan rakyat dalam satu rangkaian tali perlawanan. Tidak bisa terpisah-pisah dan berseraka. Semua harus disatukan dalam sebuah wadah persatuan. Wadah itu mengalami eskalasi turun naik dalam upaya realisasinya. Namun yang terpenting dan utama adalah, keinginan bersatu sudah ada, tinggal menegosiasikan masing-masing kepentingan atas upaya persatuan gerakan itu. Ini yang penting! Kepentingan masing-masing harus diakomodasikan untuk mengikis semua fragmentasi. Maka, yang namanya persatuan gerakan adalah KENISCAYAAN!!

Sekian dulu tulisan yang bisa dikategorikan dungu ini.

Assembly of First Nations (AFN)

Perjuangan Panjang Masyarakat Adat Kanada

Tanggal 25 Pebruary – 1 Maret 2005 yang lalu, AMAN menjadi tuan rumah bagi delegasi Assembly of First Nations (AFN), sebuah organisasi masyarakat adat yang mewakili lebih dari 630 suku di Kanada. Kali ini AFN diwakili oleh 4 orang yakni Shawn Dion Atleo, Lea Regina MacKenzie, Roger Joseph Augustine dan Cecile Lois Heron. Mereka datang dalam sebuah misi kunjungan persaudaraan bagi masyarakat adat anggota AMAN di Aceh yang tertimpa musibah gempa dan tsunami akhir tahun lalu. Selama berada di Aceh, mereka mengunjungi Mukim Blangmee, Mukim Pulo Nasi dan Mukim Lampineung.

Dari kunjungan tersebut, AMAN dan AFN kemudian menyepakati sebuah agenda kerjasama untuk membantu Anggota AMAN/JKMA yang terkena dampak bencana. Bantuan tersebut meliputi penggalangan dana dan Kampanye di tingkat Internasional. Dan ini sudah dilakukan.

Pada tanggal 9 Maret 2005, utusan AFN mempresentasikan hasil kunjungannya ke Aceh di PBB. Presentasi tersebut mendapat sambutan luar biasa dari berbagai pihak termasuk Federasi Palang Merah Internasional yang kemudian menyatakan keinginannya untuk membantu Anggota AMAN/JKMA.

Hal ini memperlihatkan betapa masyarakat adat dari belahan bumi lain berkeinginan untuk mengulurkan tangan bagi saudaranya-saudaranya yang terkena bencana. Di tempat lain, yakni di Amerika, AFN juga telah menggalang kerjasama dengan National Congress of American Indians atau Kongres Nasional Indian Amerika dalam promosi budaya dan peningkatan di bidang ekonomi dan pendidikan.

Keberadaan AFN sebagai sebuah organisasi masyarakat adat di Kanada telah melalui sebuah perjuangan panjang yang berliku-liku. Sejarah perjuangan yang meskipun tidak diketahui oleh semua orang Kanada, apalagi dunia, namun dia hidup dalam ingatan masyarakat adat sebagai sebuah sejarah perjuangan untuk mengembalikan martabat dan menentukan nasib sendiri.

Masyarakat adat di Kanada juga awalnya mengalami penindasan berupa peminggiran, diskriminasi dan pelanggaran hak asasi yang mengakibatkan mereka hidup dalam situasi yang sangat memprihatinkan. Penindasan yang nyata-nyata diabaikan dan ditutup-tutupi, bahkan tidak diungkapkan dalam buku-buku resmi tentang sejarah Kanada.

Dalam Konstitusi Kanada, masyarakat adat teridentifikasi sebagai bagian dari masyarakat umum bersama dengan orang-orang Inggris dan orang-orang Prancis. Hingga tahun 1982-1987, ketika dilakukan serangkaian Konferensi Mentri-mentri tentang Hak-hak masyarakat adat, masyarakat adat tidak pernah dilibatkan dalam pembuatan dan pengembangan konstitusi Kanada. Namun demikian, masyarakat adat tetap berusaha keras untuk mengukuhkan dan menperjuangkan posisi politiknya di antara masyarakat Kanada pada umumnya.

Perjuangan untuk memperoleh tempat di ruang politik tidaklah mudah bagi masyarakat adat di Kanada. Tahun 1927 melalui Indian Act, Pemerintah secara resmi melarang masyarakat adat untuk membentuk organisasi politik, mempraktekkan sistem pemerintahan adat dan menggunakan bahasa daerah.

Upacara Potlatch, sebuah ritual yang dikenal di hampir semua agama yang dianut oleh masyarakat adat di Kanada dinyatakan terlarang. Semenjak itu, banyak pemimpin masyarakat adat yang dijebloskan ke penjara dan dibentuk sistem dewan untuk melegitimasi keterwakilan masyarakat adat. Di sekolah umum anak-anak dapat dihukum hanya karena menyebutkan sepatah kata dalam bahasa daerahnya. Toh semua itu tidak menghentikan nafas perjuangan mereka. Sebagaimana hidup terus mengalir, perjuangan mereka pun terus berlanjut.

Akhir Perang Dunia Pertama terbentuklah Organisasi masyarakat adat tingkat nasional di Kanada (kala itu terbentuk Liga Bangsa-bangsa) melalui pembentukan Liga Indian. Kuatnya tekanan dari pihak pemerintah menyebabkan Liga Indian akhirnya menghilang karena dianggap gagal menggalang dukungan secara luas.

Setelah Perang dunia kedua, dibentuklan sebuah kelompok lobby tingkat nasional yakni The North American Indian Brotherhood (NAIB) atau Persaudaran Indian Amerika Utara. NAIB mengalami situasi yang sama dengan Liga Indian, upaya-upaya NAIB gagal kerena kurangnya dukungan secara nasional dan adanya aksi-aksi kekerasan dari pihak pemerintah. NAIB bubar pada awal tahun 1950-an.

Sepuluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1961, dibentuk Dewan Nasional Indian yang mewakili golongan-golongan masyarakat adat di seluruh Kanada, yaitu Golongan berstatus warga negara, Non Status warga negara dan orang-orang Metis. Dewan Nasional Indian bertujuan untuk mempromosikan “ Persatuan antar seluruh bangsa-bangsa Indian”. Namun demikian, menyatukan kepentingan dan tuntutan berbagai kelompok masyarakat adat dalam sebuah organisasi bukanlah sebuah perkara yang mudah. Perbedaan tuntutan dan kepentingan memicu perpecahan di tubuh Dewan Nasional Indian. Tahun 1968, tiga kelompok yang mula-mula mendirikan Dewan Nasional Indian sepakat untuk memisahkan diri. Kelompok berstatus warga negara membentuk National Indian Brotherhood (NIB) atau Persaudaraan Indian Nasional, sementara kelompok Non Status dan Metis membentuk Native Council of Canada (NCC) atau Dewan Adat Kanada.

Segera setelah NIB lahir, Pemerintah Federal mengeluarkan White Paper Policy 1969 yang mengharuskan masyarakat ber-asimilasi dengan masyarakat umum Kanada dan menghapuskan pengakuan terhadap masyarakat adat dalam Konstitusi Kanada. NIB kemudian segera mengorganisir diri dan menentang kebijakan tersebut. Atas dukungan yang solid dari anggotanya baik di tingkat propinsi maupun di tingkat wilayah-wilayah adat, NIB berhasil melobby parlemen dan menggalang dukungan publik untuk menentang kebijakan White Paper. Dalam 13 tahun berikutnya, struktur organisasi NIB di tingkat propinsi dan wilayah adat nyaris tidak berubah. Hal tersebut merupakan salah satu pilar utama kekuatan organisasi ini. Hingga saat ini, NIB telah menjadi sebuah kekuatan yang sangat disegani di Kanada. Mereka melakukan banyak sekali penelitian dan menggunakan data-data tersebut sebagai basis argumentasi menghadapi pemerintah dan pihak-pihak lain. Hasilnya pun mulai dipanen.

Hingga saat ini telah banyak terjadi perubahan kebijakan baik di tingkat propinsi maupun federal. Kerja keras mereka juga digalang melalui upaya serius menghasilkan tokoh-tokoh dengan kompetensi dan integrita tinggi sehingga secara publik sangat diperhitungkan. Beberapa dari pemimpin NIB yang terkenal diantaranya adalah George Manuel, Walter Dieter, Noel Starblanket, Delbert Riley, Dr. David Ahenakew, Georges Erasmus, Ovide Mercredi, Matthew Coon Come dan Phil Fontaine yang saat ini sedang memimpin.

Salah satu terobosan yang tercatat dalam sejarah perjalanan NIB adalah tahun 1972, ketika kertas kebijakan NIB tentang “Kontrol atas Sistim Pendidikan Masyarakat Adat” mendapat dukungan penuh dari Mentri Urusan Indian yang saat itu dijabat oleh Jean Chretien. Keberhasilan tersebut merupakan babak awal munculnya wacana di kalangan pemerintah tentang pemerintahan sendiri oleh masyarakat adat. NIB tidak berhenti disitu, mereka kemudian merambah ke masalah-masalah pemukiman, kesehatan, pengembangan ekonomi dan lain-lain.

Terlepas berbagai keberhasilan NIB, kritik atas keterwakilan seluruh masyarakat adat mulai bermunculan. Akhirnya tahun 1982, NIB mengalami perubahan sistem dan struktur organisasi menjadi Assembly of First Nation (AFN) atau Majelis Masyarakat Adat. AFN menjadi sebuah organisasi yang memperjuangkan hak-hak masyarakat adat dan menjadi badan perumusan kebijakan umum anggota-anggotanya . Sekretariat AFN dibentuk sebagai badan eksekutif yang bertanggung langsung kepada semua Kepala-kepala suku sedangkan kepala-kepala suku yang kemudian bertanggung jawab langsung kepada komunitasnya masing-masing.

Pasca terbentuknya AFN, pemerintah melakukan 4 kali Sidang tahunan Tingkat Mentri (1983-1987) yang membahas persoalan hak-hak masyarakat adat. Pertemuan ini diikuti oleh Perdana Menteri, menteri-menteri dan kepala-kepala suku dari seluruh Kanada, bertujuan untuk mengidentifikasi dan merumuskan hak-hak masyarakat adat. Negosiasi berjalan sangat alot karena pada umumnya pihak pemerintah menentang hak-hak masyarakat adat. Pertemuan terakhir tahun 1987, berakhir tanpa hasil yang menggembirakan buat masyarakat adat. Pihak pemerintah secara bulat mengingkari hak-hak masyarakat adat terutama atas sistem pemerintahan adat.

Meskipun demikian, AFN melihat hasil tersebut bukanlah sebuah kegagalan. Sikap pemerintah tersebut justru semakin meningkatkan semangat persatuan dan perjuangan masyarakat adat. AFN kemudian berhasil meraih dukungan lebih luas dan berhasil menggalang kerja sama dengan berbagai kelompok advokasi lain. Akhirnya, setelah melalui perjuangan panjang, pada tahun 1992 Pemerintah dan masyarakat adat berhasil menyepakati Charlottetown Accord tentang prinsip-prinsip “sistim pemerintahan sendiri oleh masyarakat adat”.

Tidak bisa dipungkiri bahwa diskriminasi rasial dan kekerasan masih tetap dialami oleh berbagai kelompok masyarakat adat di Kanada hingga saat ini. Charlottetown Accord tahun 1992 bukanlah akhir tetapi justru merupakan sebuah langkah awal bagi perjuangan panjang selanjutnya. Beberapa fakta penting yang mengikuti Charlottetown Accord diantaranya : Ketika 1 April 1999, The Nunavut Territory and Government dimulai. Hal ini merupakan keberhasilan Orang Inuit setelah perjuang panjang sejak 1970. Demikian juga dengan perjuangan orang Gwich'in and Inuvialuit sejak tahun 1960-an yang mendapatkan pengakuan pada tahun 1995 dan berujung pada pembentukan The Beaufort-Delta Self-Government tahun 2001. Tidak hanya itu, saat ini di berbagai tempat di Kanada, sedang terjadi negosiasi antara masyarakat adat dan pemerintah untuk membicarakan sistem pemerintahan masyarakat adat.
(Disadur dari berbagai sumber)

Geliat AMAN

Rasanya belum hilang gemerincing simbal, dentuman gendang bele, dan hentakan kaki dari tarian penyambutan tamu di lapangan Tanjung Lombok Barat September 2003. Tak terasa, tak disadari, seperti kata Amir Hamzah, lalu waktu bukan giliranku, mati hari bukan kawanku. Begitulah organisasi AMAN mengalir penuh dinamika yang hidup sampai kita tak merasakan berlalunya waktu, tak menyadari matinya hari-hari yang lewat. Kongres Kedua AMAN telah berlalu setahun lebih.

Kongres itu telah merumuskan agenda besar AMAN sampai Kongres berikutnya. Pertama adalah soal kejelasan basis anggota. Dalam KMAN ditetapkan sejumlah 776 komunitas masyarakat adat dan 23 organisasi masyarakat adat di tingkat daerah yang bernaung di bawah AMAN. Hal ini penting untuk dikemukakan kembali karena kenyataannya telah ada jauh lebih banyak organisasi di daerah yang menyatakan diri sebagai anggota AMAN. Sehingga yang penting dilakukan ke depan adalah mempersiapkan diri untuk mendapatkan pengesahan admistratif organisasi dalam Kongres mendatang.

Setelah Kongres, ada sejumlah organisasi masyarakat adat (OMA) daerah yang telah menjadi anggota AMAN, setelah melakukan musyawarah besar pembentukan orgnasasi. AMAR (Riau), AMA Bengkulu, AMA-PM (Mentawai), AMA Kaltim, PAKAT-Landak Kalbar, Rampi, AMA-BOM (Bolaang Mongondow). AMAN, terlibat secara aktif dalam proses lahirnya berbagai organisasi ini, melalui struktur Dewannya, maupun melalui fasilitasi oleh Seknas AMAN. Sementara itu, sejak jauh sebelum Kongres Kedua berlangsung, telah ada sejumlah organisasi masyarakat adat yang mengembangkan inisiatif untuk menjadi organisasi yang beraliansi ke AMAN. Namun proses-proses keorganisasian masyarakat adat yang harus dijalani secara demokratis belum dapat terwujudkan sampai dengan saat ini. Sebutlah beberapa benih yang telah disemai seperti Pematuli di Tana Ai, Sikka, Flores; Kongres Masyarakat Adat Mollo Utara, Timor; dan sejumlah inisiatif lainnya, termasuk inisiatif sepuluh binua di Kabupaten Pontianak untuk membentuk sebuah organisasi masyarakat adat. Di samping itu AMAN juga sedang melakukan fungsi fasilitasi dalam persiapan menuju musyawarah-musyawarah (Kongres) organisasi-organisasi anggotanya, seperti Perekat Ombara dan BPRPI.

Dinamika-dinamika seperti itu di satu sisi menunjukkan perkembangan yang menarik dari segi kesadaran politik dan organisasi sebaga alat yang paling berdayaguna, di lain pihak juga menimbulkan kecermatan dan kehati-hatian dalam mengembangkan aliansi strategis dengan berbagai pihak. Kejelian dan kehati-hatian diperlukan terutama dalam memperhitungkan langkah agar jangan sampai dimanipulasi atau politik atas nama, hanya karena telah menjadi anggota jaringan. AMAN punya sejumlah pengalaman pahit dengan politik atas nama, dan manipulasi ini.

Perlu ditegaskan di sini bahwa kita berhimpun dalam AMAN untuk berorganisasi, bukan sekedar memobilisasi manusia sebanyak-banyaknya – dengan bahasa yang sedikit kasar, bukan hanya kumpulkan orang untuk teriak-teriak, lalu bubar dan tidak bikin apa-apa lagi. Karena itu, dalam berbagai inisiatif yang muncul, yang dibutuhkan sebagai tindak lanjut bukanlah klaim atau slogan bahwa kita punya organisasi A, B, C dan sebagainya, melainkan upaya membangun proses-proses demokratis untuk memperjelas anggota, menunjuk pengurus organisasi dengan mandat yang jelas yang lahir dari mekanisme organisasi yang jelas pula, yaitu melibatkan seluruh anggota..

Hal ini menyangkut upaya menjawab pertanyaan dasar organisasi: Siapa anggota? Apa tujuan atau cita-cita besar seluruh anggota organisasi? Apa saja prinsip dasar dan panduan utama dalam mengarahkan organisasi? Siapa yang memberi mandat kepada sejumlah orang yang melakukan kerja-kerja program maupun kerja-kerja politik? Bagaimana menghidupkan organisasi?

Jika semua pertanyaan ini dapat dijawab dengan pasti, barulah kita mulai melangkah lebih jauh dengan membagi pekerjaan yang harus dilakukan. Mengenai kejelasan anggota, sampai saat ini Sekretariat berinisiatif untuk membuat data yang lengkap dan terpercaya tentang alamat anggota, organisasi, dan situasi dan kondisi sosial, politik dan lingkungan serta konflik yang dihadapi. Dengan itu diharapkan akan ada tindak lanjut pelayanan oleh organisasi melalui orang da perangkat yang tepat. Dalam hal ini perlu diingat terus bahwa menjadi anggota AMAN artinya mengikuti prinsip berkelanjutan, bersatu dalam keberagaman, demokratis, berkeadilan, dan menjunjung tinggi HAM.

Kedua, tentang tindak lanjut rekomendasi dan tuntutan AMAN kepada Pemerintah. Ada 12 (duabelas) tuntutan Kongres kepada Pemerintah. Di antaranya dapat disebutkan beberapa di sini, pelaksanaan TAP MPR No IX/2001 secara konsisten dengan mencabut seluruh peraturan perundangan yang melecehkan keberadaan dan hak masyarakat adat, seperti UU No. 41/1999 tentang Kehutanan; Mencabut seluruh ijin Kuasa Pertambangan, HPH, HGU, HPHTI, IHPHH, IPK dalam wilayah masyarakat adat; Membuat Undang-Undang Khusus yang mengakui dan melindungi keberadaan dan hak masyarakat adat; Revisi UU 22/1999; Ratifikasi Konvensi ILO 169; dan Menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap masyarakat di seluruh Indonesia; Penyediaan sarana pendidikan yang memadai di daerah-daerah terpencil. Jika kita memeriksa seluruh tuntutan strategis ini, maka dapat dikatakan bahwa sampai satu tahun setelah Kongres Kedua, tidak ada perubahan sama sekali dalam sikap dan tindakan pemerintah.

Daripada mencabut ijin kuasa pertambangan, pemerintah malah menerbitkan UU No. 19/2004 yang memberikan keleluasaan praktek pertambangan di hutan lindung. Bukannya menghentikan kekerasan terhadap masyarakat, pemerintah malah dengan sangat angkuh membunuhi masyarakat adat di Manggarai, yang mengajukan protes atas dibabatnya kebun kopi dan ditahannya rekan-rekan mereka oleh aparat karena melakukan pekerjaan menggarap kebun kopinya sendiri. Dukungan dari sesama anggota AMAN masih kurang dalam setiap kasus yang dihadapi sesama anggota.

Dalam hal pertambangan di hutan lindung yang alas hukumnya telah dipertegas dengan adanya UU No. 19/2004, upaya yang telah dan sedang dilakukan AMAN adalah melakukan gugatan ke Mahkama Konstitusi. Proses ini sedang berlangsung sampai saat ini, dan dukungan dari basis anggota dalam bentuk aksi dan surat ke Mahkama Konstitusi adalah tindakan yang akan sangat efektif untuk mempengaruhi perimbangan tekanan dan pembuatan keputusan.

Dalam kerja kampanye untuk memberantas penebangan liar dan mempromosikan kearifan masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya alam umumnya dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan, AMAN telah melakukan sejumlah workshop dan seminar, baik yang diinisiasi oleh Sekretariat Nasional maupun yang dinisiasi dan dikawal sendiri oleh anggota-anggotanya. AMA Bengkulu, AMAR Riau, AMA Kaltim, AMA Kalbar, Pakat, AMAN Sulsel, AMA Toraja adalah sejumlah organisasi anggota AMAN yang sangat aktif melakukan kerja-kerja kampanye seperti ini. Komunitas-komunitas anggota AMAN juga sebagian telah melakukan upaya pendokumentasian kearifan sistem pengelolaan sumberdaya alam umumnya dan sumberdaya hutan khususnya. Upaya komunitas-komunitas ini sebagian di antaranya difasilitasi oleh AMAN bekerjasama dengan Down to Earth (DtE) untuk dapat didokumentasikan dan dipublikasikan untuk menjadi alat bukti tertulis bahwa masyarakat adat memiliki alternatif yang efektif dalam pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan berkeadilan. Komunitas yang difasilitasi tersebut adalah Kasepuhan Ciptagelar, Toro, Tana Ai, dan sedang dikaji sejumlah komunitas lainnya.

AMAN juga terus mendorong penguatan kerja-kerja di bidang pengelolaan hasil non-kayu melalui kerjasama yang telah berlangsung dua tahun lebih bersama KpSHK dan Telapak Bogor, untuk memperkuat ekonomi komunitas dan sekaligus menunjukkan aspek pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Sejumlah daerah telah dikunjungi untuk memperluas gagasan ini. Flores dan Timor di NTT, Mentawai, Riau dan Jambi di Sumatera, Buru di Maluku, Lombok di NTB dan sejumlah komunitas di Kalsel dan Kalteng (komunitas Bekumpai dan Temboyan).

Berkaitan dengan itu, maka AMAN juga memperkuat gerakan masyarakat adat di Jawa yang memberi perhatian khusus pada gerakan budaya dan spiritualitas masyarakat adat. Upaya ini mendapatkan penguatan formalnya dalam Kongres Pamapuja yang diselenggarakan di komunitas Sedulur Sikep, di Desa Kalioso, Kudus, Jawa Tengah pada 11 – 13 Desember 2004. Acara ini difasilitasi sebagian besarnya oleh AMAN melalui Sekretariat Nasional. Yang penting dicermati adalah bahwa tujuan AMAN adalah transformasi politik dan bukan konservasi sosial budaya. Hal ini diharapkan akan bermuara kepada adanya sebuah peraturan perundangan yang menghormati dan melindungi keberadaan masyarakat adat, sebagaimana diamanatkan Kongres Kedua.

Ketiga, terkait dengan kerja advokasi dan pengkajian, AMAN telah mengembangkan media informasi dan komunikasi yang semakin efektif melalui Gaung AMAN dan sedang mempersiapkan sebuah terbitan berkala yang fokus pada kajian-kajian tentang masyarakat adat di samping terus menjalin kerjasama dengan organisasi pendukung dalam melakkan advokasi di lingkup anggota. AMAn juga sedang mengerjakan website khusus AMAN yang selama ini dikelola oleh Down to Earth (DtE).

Berkaitan dengan bencana gempa tsunami di Aceh, sampai saat ini AMAN telah mengembangkan program khusus untuk pemulihan khusus di Sekretariat Nasional untuk kerja pemulihan Aceh. Dukungan digalang bersama sesama anggota AMAN dengan dengan jaringan AMAN di tingkat internasional, antara lain dengan Assembly of First Nation Canada, Saami Council, AIPP, Permanen Forum, Kementria Luar Negeri Norwegia, dan dengan sejumlah lembaga donor seperti Kemala, ICCO dan UNDP. Komitmen telah diperoleh, tindak lanjutnya masih dalam proses sampai saat ini. Upaya pemulihan Aceh adalah cermin tanggungjawab seluruh organisasi AMAN.

Penulis : Emil Kleden (Sekretaris Pelaksana AMAN)

Bertekuk di kaki BENCANA

Ibu kota Jakarta di kepung air, banjir melanda dan ekonomi luluh lantak. Dunia terhenyak, serentak mengulurkan tangan, bantuan merampak.

Ketika manusia rapuh letih tak berdaya di hadapan alam yang kuasa, harapan dan sandaran nyata berletak dalam sesamanya. Tanya pada alam tak kuasa mendapat jawab yang membuat seimbang kuasa itu. Alam tetaplah maha kuasa di hadapan manusia.

Eksploitasi yang lahir dari kemampuan generalisasi hukum alam dan manipulasi bagi kepentingan manusia harus berujung pada amuk alam yang menuntut…rakusmu bencanamu, barangkali begitulah suara Alam.

Konon, menurut ilmu pengetahuan, alam ini punya banyak dimensi, sementara yang terasa oleh indra hanya empat, yaitu ruang yang punya tiga dimensi dan waktu yang punya satu. Belasan dimensi lainnya tersembunyi di balik misteri yang sementara coba dikuak segelintir pakar. Namun, konon pula, masyarakat adat di seantero dunia punya kemampuan « deteksi » atas dimensi lain tersebut. Inilah yang menyelamatkan masyarakat adat Enggano dari gempa dasyat beberapa tahun lalu. Namun Jakarta telah lebur jauh sebelum banjir. Semua kemampuan kearifan telah dibenam oleh kebijakan yang mengabdi pada konsumerisme.

Kini semua coba menoleh, namun leher ini sudah terlalu kaku untuk dapat membalik nasib. Generasi yang hilang dan trauma panjang ; bagian dari jerit hati pengungsi yang menggema dan tenggelam bersama puing yang dihanyutkan banjir. Tak cukup doa untuk pemulihan, yang diperlukan adalah TRANSFORMASI.

Modal Sosial dalam Menghadapi Bencana

Bencana demi bencana melanda negeri kita, dampak bencana masih dapat dilihat dan terus terasa seolah baru kemarin terjadi. Sementara itu kita menyaksikan bencana banjir dahsyat terus terjadi sampai hari ini. Sumatera Selatan, Kalimantan, Jawa dan khususnya Ibukota Jakarta adalah beberapa wilayah yang mengalami banjir dasyat dalam hari-hari ini. Surut air laut, meluap air sungai; habis digasak air dari laut, dibenamkan dalam luapan air dari gunung-bukit gundul dan sungai-sungai.

Ketika bencana terjadi kita melihat berbagai respon berbagai pihak. Kaum agamawan dan rohaniwan memobilisasi doa-doa bersama, pemerintah mengumumkan hari berkabung nasional, partai politik berteriak soal kelambanan pemerintah dalam bertindak dan organisasi-organisasi masyarakat sipil sibuk menggalang dukungan bagi korban dengan berebut tongkat koordinasi. Dan negara-negara luar pun sigap memobilisasi kekuatan sipil dan militer mereka untuk membantu korban bencana, mengubur jenasah korban dan pembersihan lokasi bencana.

Di tengah riuh rendahnya pemikiran dan tindakan tentang bencana Aceh dan Sumatera Utara dan berbagai bencana lainnya, ada beberapa hal yang perlu dicermati. Pertama, pendapat yang mengemuka bahwa bencana ini adalah gejala alam biasa untuk mendapatkan kembali keseimbangannya yang telah terganggu. Kedua, bahwa ini kutukan Tuhan atas negeri yang penuh dengan dosa. Yang terakhir adalah respon politik pemerintah atas bencana yang dipandang sebagai yang tak pernah belajar dari sejarah. Kita akan melihatnya satu demi satu.

Pertama, soal pernyataan bahwa bencana alam sebagai gejala alam biasa. Apa yang perlu diperhatikan dalam jargon-jargon seperti ini adalah bahwa ada dua soal yang digabungkan seolah menjadi satu persoalan. Persoalan yang satu adalah gejala alam dan persoalan kedua adalah bencana. Ini dua hal yang berbeda jauh dalam pengertian maupun dalam realitas. Alam senantiasa bergerak menurut hukum-hukum yang baku dan abadi sifatnya. Misalnya, air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Atau air akan meluber bila daya tampung sebuah reservoir (tangki) tidak cukup untuk menampung aliran air dari reservoir lainnya. Atau hukum lain yang menyatakan bahwa setiap ada usikan dari sistem luar terhadap suatu benda, maka akan timbul getaran dan gelombang. Hukum ini dapat dilihat bila kita menggoyang ujung tali, maka muncul gelombang yang menjalar sepanjang tali. Atau kalau kita menjatuhkan sebuah batu di tengah permukaan air maka muncul riak-riak di permukaan air. Nah, semua gejala alam adalah kejadian atau peristiwa yang timbul akibat dari hukum-hukum ini. Karena itu gejala alam adalah hal biasa.

Persoalan lain adalah bencana. Bencana, dalam pengertiannya adalah semua peristiwa atau kejadian yang timbul akibat perbuatan manusia atau peristiwa alam yang menimbulkan korban nyawa dan kerusakan fisik baik pada manusia maupun terhadap semua hasil olah budaya manusia. Bencana yang timbul murni akibat ketidak beresan ulah manusia dapat berupa kebakaran, perang, tawuran, dan berbagai bentuk kekerasan lainnya. Bencana yang timbul akibat gangguan pada keseimbangan hukum alam disebut bencana alam. Karena adanya unsur GANGGUAN inilah maka semua bencana alam bukan hal biasa tetapi hal yang LUAR BIASA. Karena di satu sisi ada kesadaran bahwa gejala alam pasti terjadi, namun di sisi lain tidak ada kesadaran bahwa setiap gejala alam mengandung potensi bencana di dalamnya. Akibatnya tidak ada budaya mengantisipasi dampak bencana.

Kemampuan antisipasi ini harus dibangun dan dikembangkan berdasarkan pengalaman menghadapi berbagai bencana sebelumnya. Ini perlu dilakukan terus menerus, karena tidak seorang pun yang tahu kapan persisnya bencana datang. Manusia dengan seluruh ilmu pengetahuan dan teknologinya hanya bisa memperkirakan periode waktu tertentu akan terjadi sebuah bencana alam. Contoh yang paling jelas adalah bencana banjir di Jakarta telah dapat diperkirakan akan datang setiap tahun pada musim hujan. Namun kapan persisnya hari dan jam dan seberapa besar banjir yang datang tak ada yang dapat memperkirakan. Karena itu persiapan antisipasi harus dilakukan berdasarkan perhitungan maksimum potensi dan dampak bencana.

Kedua, pendapat yang sangat sering dikemukakan oleh para tokoh agama dan bahkan aparat pemerintah bahwa semua ini adalah kutukan Tuhan atas dosa-dosa bangsa kita yang telah begitu beratnya. Semacam “warning” atau peringatan dari Tuhan. Pendapat ini, dari segi iman dapat saja diterima oleh kelompok agama dan kepercayaan manapun. Namun, dari segi sosial dan politik pendapat ini berbahaya. Sisi sosialnya adalah mengalihkan semangat pemulihan dan belajar dari pengalaman secara rasional menjadi sikap pasrah yang irasional. Modal sosial menjadi tidak digunakan dan akhirnya mati, lenyap. Toleransi, rasa kemanusiaan dan semangat mengembangkan budaya adalah modal sosial yang luar biasa yang sangat bermanfaat dalam upaya pemulihan dan belajar dari pengalaman. Keutamaan-keutamaan seperti ini akan lenyap bilamana kemudian berubah menjadi kepasrahan yang apatis. Dan itu sedang terjadi.

Dan dari sisi politik adalah pembodohan terhadap masyarakat bahwa pemerintah tidak atau sekurang-kurangnya bukan penanggungjawab atas dampak bencana, karena toh ini semua kehendak Tuhan dan siapa yang mampu melawan kehendakNya? Padahal sebagian besar bencana ditimbulkan akibat gangguan campur tangan atau intervensi manusia yang berlebihan atas proses alamiah. Demikianlah, banjir di Jakarta setiap tahun adalah dampak dari kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, utamanya sumberdaya hutan yang ekstraktif dan eksploitatif sehingga daya tampung gunung dan bukit sebagai reservoir terhadap curahan air hujan yang melimpah tidak cukup lagi dan akhirnya meluber ke sungai-sungai yang meluap.

Persoalan yang tak kunjung habis disoroti berbagai organisasi civil society dan masyarakat umum adalah respon politik pemerintah atas bencana yang dinilai lamban, tidak terkoordinasi, tidak transparan dan tidak pernah belajar dari sejarah bencana yang telah terjadi. Padahal dalam dua dekade terakhir telah terjadi sejumlah bencana dasyat yang memakan korban ratusan ribu nyawa manusia. Belum terhitung ratusan bencana yang dalam skala angka kerusakan fisik pemukiman dan wilayah kelola serta korban nyawa memang jauh lebih kecil daripada apa yang terjadi di Aceh dan Sumatera Utara, 26 Desember 2004 lalu.

Masih belum hilang dari ingatan kita gempa tsunami di Flores, 1992; letusan Galunggung pada 80-an; banjir Bohorok; dan banjir dan longsor di berbagai daerah di Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Gempa tsunami di Flores, sebagai contoh, membutuhkan waktu lebih dari sepuluh tahun untuk pemulihan sosial dan pembangunan kembali seluruh sarana dan prasarana yang rusak. Namun, generasi yang hilang dari bencana tersebut tak pernah akan tergantikan sampai kapan pun. Demikian pula di Aceh yang kehilangan satu generasi dari sebagian masyarakatnya yang tersebar di Banda Aceh, Meulaboh dan pantai baratnya. Cepat lambatnya pemulihan sangat tergantung pada beberapa faktor seperti keputusan politik pemerintah, kerjasama berbagai pihak utamanya antara pemerintah, masyarakat dan masyarakat dunia.

Di sinilah sesungguhnya fungsi utama modal sosial masyarakat yang telah disebutkan di atas. Sementara telah puluhan tahun modal sosial itu terancam punah karena pendekatan keamanan atas persoalan Aceh, saat ini modal sosial itu belum tentu mendapat ruang yang cukup untuk dapat difungsikan secara optimal. Terbukti dengan tiadanya koordinasi yang baik dari pemerintah atas upaya dan inisiatif berbagai organisasi sosial dan organisasi civil society, di samping tiadanya ruang politik yang cukup bagi pihak-pihak ini untuk dapat memberikan bantuan secara maksimal. Termasuk juga ketidak-jelasan arah program pemerintah atas pemulihan.

Sampai saat ini hutang luar negeri pemerintah dengan menjaminkan Aceh sebesar 5,14 milyar dollar Amerika. Hibah yang diperoleh berjumlah lebih dari 600 juta US dollar. Sementara itu dalam pertemuan CGI yang baru berlalu, pemerintah bukannya mendorong issu penghapusan hutang ketika ada momentum tawaran moratorium hutang oleh beberapa negara kreditor, melainkan malah mendorong upaya penerimaan hutang baru sebesar 3,4 milyar US dollar. Di pihak lain inisiatif-inisiatif pemerintah pusat seperti membentuk Badan Otorita Aceh yang di bawah kontrol Bappenas dan PU dan inisiatif membentuk Badan Khusus untuk pemulihan Aceh yang belum jelas kaitannya dengan Badan otorita tersebut telah menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan masyarakat sipil di tengah masih berlakunya darurat sipil di Aceh. Kita melihat begitu kurangnya perhatian khusus yang diberikan kepada daerah-daerah yang juga terkena dampak serius seperti Sumut, Nias, dan pulau-pulau kecil. Ini menimbulkan tanda tanya pula terhadap kepentingan politik makro yang bermain di belakang seluruh rencana terhadap Aceh.

Flores, Nabire, Bohorok, Kalimantan, Alor, dan banyak lainnya, telah menelan korban ratusan ribu nyawa dan tak terbilang harta. Namun tidak ada satu pun keputusan dan tindakan politik pemerintah dari semua rejim yang pernah berkuasa menunjukkan bahwa pemerintah kita telah belajar dari pengalaman atas bencana-bencana tersebut. Sehingga modal sosial, politik, dan budaya dalam menghadapi bencana juga tidak pernah menunjukkan peningkatan kapasitas antisipasi yang prima untuk meminimalisir dampak kerusakan dan kerugian materil serta korban yang ditimbulkan bencana.

Kitik-Kitik

Nobunaga, Jenderal Jepang termasyur yakin sekali bahwa pasukannya akan menang, meski ia tahu jumlah prajuritnya hanya seperlima jumlah pasukan musuh. Dalam perjalanan ia mengajak pasukannya berdoa di kuil Shinto.

Selesai berdoa ia berkata: “Sekarang saatnya nasib kita ditentukan. Saya akan melempar mata uang. Jika gambar kepala yang muncul, kita menang, jika gambar ekor kita musnah.”

Ia melempar mata uang dan gambar kepala muncul. Para prajuritnya begitu bersemangat maju perang dan akhirnya menang dengan gemilang. Seorang perwiranya menghadap dan bertanya, “Apakah ini kekuatan takdir atau doa atau semangat juang?”

Nobunaga menjawab: “Semangat juang”, sambil memperlihatkan mata uang yang kedua sisinya bergambar kepala.

Apakah masyarakat adat memiliki semangat juang seperti itu? Apakah para pemimpinnya, para tokoh adat dan pemimpin organisasi, memiliki kecerdikan mendorong semangat juang masyarakatnya seperti itu? Sementara kita tahu kekuatan yang hendak kita lawan begitu hebatnya. Uang mereka punya, senjata mereka punya, kepintaran mereka punya dan kekuasaan mereka genggam dalam sekepal tangan. Apakah kita mampu menghadapi itu?

Ada seribu satu macam strategi dan taktik telah dituliskan sejarah untuk kita. Menggunakan salah satu saja secara cerdik menjadi pertanyaan buat kita, apalagi menggunakan sekian banyak sekaligus. Namun sejarah India di bawah Gandhi menunjukkan bahwa menggunakan satu atau dua saja secara konsisten dan bersama-sama, dapat memberikan kemerdekaan bagi ratusan juta rakyatnya.

Dalam arena lain kita punya banyak orang menyerupai itu. Tokoh adat dan pejuang HAM di kampung-kampung yang telah sekian puluh tahun memperjuangkan nasib masyarakat adat. Tinggal kini kita bertanya punyakah kita semangat juang? Perilaku baru, semangat baru, kemampuan baru, dan tindakan baru adalah suratan yang harus diperbarui terus menerus agar sebagai organisasi kita bisa BERSUARA.

Investasi Ekonomi dan Ekologi

Pembelajaran dari Sungai Utik

Di Kabupaten Kapuas Hulu, setiap harinya, ribuan kubik kayu diselundupkan ke Malaysia. Cukong-cukong kayu Malaysia, berada dibalik rangkaian penyelundupan kayu tersebut. Harga jual kayu yang tinggi di pasar internasional mendorong para pemilik modal tersebut “bermigrasi secara illegal” memasuki wilayah Indonesia. Dengan segepok ringgit ditangan, para cukong kayu menawarkan ilusi kesejahteraan untuk masyarakat adat disekitar kawasan hutan. Gayung pun bersambut, pemiskinan yang dilakukan rezim Orde Baru selama 32 tahun lamanya, mendorong munculnya kesadaran pragmatis masyarakat tentang sebuah kesejahteraan. Hutan yang selama ini dianggap memiliki nilai-nilai kultural dalam tradisi masyarakat adat Dayak dijajakan bak kacang goreng ke cukong-cukong kayu, dengan mengharap imbalan yang tidak “seberapa” jika dibandingkan dengan nilai ekologis dan peruntukan hutan sebagai investasi ekonomi dan ekologi masa depan.

Benteng Adat Kampung Sungai Utik

Sungai utik, satu dari 7 (tujuh) kampung yang masuk dalam wilayah ketemenggungan Jalai Lintang Kabupaten Kapuas Hulu, menjadi pengecualian menyangkut persoalan diatas. Sebagai kampung yang dilewati jalan lintas perbatasan antara Malaysia dan Indonesia, tiap hari-nya mereka disuguhi pemandangan yang mengundang keprihatinan. Ratusan truk berisi kayu lewat didepan mata dan hidung mereka, namun tidak sedikit pun mereka tergiur apalagi tergoda untuk dengan “latah” memberikan hutannya pada cukong kayu. Seperti yang terjadi pada kampung tetangga mereka. Tidak sama sekali!

Lantas muncul pertanyaan, apa yang membuat mereka begitu kukuh mempertahankan hutan adatnya? Dan dengan apa mereka bisa mempertahankan hutan adat tersebut? Jawabannya adalah KEARIFAN TRADISIONAL. Dengan nilai-nilai kearifan tradisional, masyarakat kampung Sungai utik mempertahankan hutan adatnya. Hal ini tergambar terang dalam pengaturan dan penataan lahan, baik luas serta peruntukannya. Melihat luasan dan potensi hutan kampung sungai Utik berupa kayu, para cukong kayu manapun pasti tak kuasa menahan air liurnya. Namun upaya untuk mengeksploitasi hutan kampung Sungai Utik selalu terpental karena kegigihan masyarakat untuk mempertahankan hutan adatnya.

Konsep pembagian kawasan hutan


Dalam kearifan tradisional masyarakat adat Dayak Iban Kampung Sungai Utik, mengenal konsep pembagian kawasan hutan yang adil dan lestari, konsep tersebut terbagi atas :

a.Kampong Taroh
Merupakan kawasan hutan yang tidak boleh diladangi dan tidak boleh diambil kayunya. Dalam kawasan ini terdapat sumber mata air, tanah berantu dan tempat berkembang biak dan mencari makan binatang.

b.Kampong Galao
Merupakan kawasan hutan cadangan produksi terbatas. Masyarakat mengambil tanaman obat-obatan, kayu api atau batang kayu untuk membuat sampan. Pengambilan hasil hutan dalam kawasan ini dilakukan secara terbatas dan diawasi dengan ketat. Tidak seorang pun boleh berladang, apalagi merusak hutannya. Sanksi hukum adat bagi pelanggar sudah disiapkan.

c.Kampong Endor Kerja,
Merupakan kawasan produksi berkelanjutan yang dikelola secara adil dan lestari. Dalam kawasan ini terdapat tanah mali dan tanah bertuah yang tidak boleh menjadi kawasan produksi. Masyarakat menghindari menebang kayu dalam dua lokasi tersebut. Masyarakat membiarkan anakan kayu dengan diameter di bawah 30 cm dan kayu kecil lainnya yang siap menggantikan pohon yang sudah ditebang.

Kesejahteraan Rakyat Sebagai Jawaban

Melihat kearifan tradisional yang dijalankan dengan sungguh-sungguh tersebut diatas, sangat disayangkan kalau tidak segera direspon dengan bijaksana oleh pemerintah. Jika begitu, respon apa yang harus dilakukan pemerintah?

Kasus-kasus lingkungan terkait dengan kerusakan daya dukung hutan, disebabkan oleh sistem ekonomi dan politik berbasis kapitalisme yang mengabdi pada globalisasi. Sistem ini yang menjadi faktor utama proses pemiskinan yang dialami rakyat melalui instrumen-instrumen kebijakan ekonomi dan politiknya.

Pemberantasan illegal loging tidak cukup hanya dengan menangkap cukong-cukong kayu, karena para cukong kayu punya strategi “berlindung” dibalik punggung rakyat. Tinggal memberi modal ke masyarakat, maka biarkan masyarakat yang membabat hutan-nya. Cukong kayu tinggal menikmati hasil kerja keras masyarakat, sementara pemerintah harus berhadapan dengan masyarakat untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

Untuk itu, dibutuhkan langkah berani untuk memutuskan mata rantai kemiskinan tersebut, sebagai bagian dari program pemberantasan illegal logging. Kebijakan pemotongan subsidi rakyat sudah harus dihentikan saat ini juga (BBM, tarif dasar listrik, kesehatan, pendidikan dll), karena hal ini yang menjadi pemicu melonjaknya harga-harga kebutuhan pokok. Terkait dengan kebijakan tersebut, pemerintah harus meninjau kembali berbagai program-program penyesuaian struktural, pemutihan utang luar negeri, deregulasi ekonomi dan bermuara pada pemutusan hubungan dengan lembaga-lembaga penghisap seperti IMF dan Bank Dunia. Beranikah pemerintahan SBY melakukan kebijakan radikal seperti itu? Wallahuallam.

Masyarakat Adat dan Cita-Cita Perubahan

Dalam teori gerakan sosial, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar dapat menimbulkan sebuah gerakan bersama yang dapat membawa perubahan. Gerak bersama sampai terjadi perubahan ini disebut gerakan sosial. Prasyarat-prasyarat itu antara lain adalah adanya ide atau gagasan yang jelas. Ini termasuk apa yang ingin dicapai, siapa yang akan mencapai itu, dan bagaimana strategi untuk mencapainya. Setelah itu baru dipikirkan tentang alat apa yang akan dipakai, dengan siapa para penggerak ini harus bekerja sama dan siapa saja yang harus dijadikan target utama dalam mendorong gagasan perubahan tersebut.

Persoalan gagasan menjadi paling penting dalam gerakan sosial, karena dalam prosesnya semua pelaku gerakan menghadapi konflik yang sangat sistematik, yang harus direspon dengan upaya konstruksi identitas dari penganut gerakan secara terus menerus. Dalam konteks kampanye, mungkin persoalan ini dapat dirumuskan lebih sederhana.

Jika kita ingin mendorong timbulnya sebuah perubahan melalui gerakan sosial, maka yang pertama harus dilakukan adalah membangun kesadaran. Jika ini sudah tercapai, tahap berikutnya adalah membuat semua orang yang telah menyadari persoalan dan tujuan yang hendak dicapai itu menjadi tertarik untuk terlibat.

Dalam praktek, persoalan rasa tertarik ini masih belum cukup kuat, karena sejujurnya kita harus mengatakan bahwa sebagian besar dari kita masih tertarik kepada posisi-posisi terhormat dalam struktur negara maupun bisnis, meski kita tahu bahwa struktur negara dan sektor bisnis adalah bagian utama dari persoalan yang dihadapi masyarakat adat.

Rasa tertarik adalah prasyarat untuk keterlibatan. Keterlibatan yang sinambung dan mendalam akan menimbulkan keterikatan yang kuat dengan gerakan sehingga muncul hasrat untuk menjadi pelaku yang serius. Hasrat yang serius inilah yang menjadi bara yang menyalakan semangat bertindak. Singkatnya, orang tidak akan bertindak jika tidak merasakan hasrat yang kuat untuk mendapatkan sesuatu yang jelas.

Di sinilah letak pertanyaan paling mendasar dari kita bagi kita. Apa yang dapat kita berikan kepada organisasi, sebagai alat gerakan yang paling berdaya, supaya sebagian urusan yang kita serahkan kepada organisasi dapat tercapai dan dengan demikian gerak organisasi adalah penyaluran hasrat kita atas cita-cita perubahan?

Dengan sedikit gambaran seperti itu, marilah kita periksa gerakan masyarakat adat di Indonesia, khususnya yang telah bertahun-tahun kita upayakan bersama melalui sebuah organisasi, AMAN.

AMAN didirikan dengan tujuan sangat mulia. Memperjuangkan pengakuan bagi masyarakat adat di Indonesia sebagai sebuah kelompok sosial. Pengakuan tersebut lebih dimaksudkan dalam dua tataran, yaitu atas keberadaan (eksistensi) dan atas hak-hak yang menyertai keberadaan mereka. Semboyan AMAN sedikit banyak mencerminkan cita-cita pengakuan tersebut. “Kami tidak akan mengakui Negara kalau Negara tidak mengakui Kami”.

Ini mencerminkan adanya kesadaran bersama bahwa salah satu unsur konstitutif (unsur pembentuk) dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah masyarakat adat. Oleh karena itu mereka berhak untuk hidup dan mendapatkan imbal balik yang sepadan dari Negara yang turut mereka bentuk.

Sejarah kelam masyarakat di kampung-kampung, komunitas-komunitas masyarakat adat penuh dengan konflik tak kunjung henti. Dicaploknya tanah-tanah mereka, dibabatnya hutan-hutan tempat gantungan hidup mereka, dikaplingnya laut dan sungai tempat mereka mencari nafkah, dan dibunuhnya mereka yang mempertanyakan semua ini, telah menimbulkan gelombang kesadaran bersama bahwa sebagai rakyat Indonesia, mereka telah diabaikan sebagai unsur konstitutif NKRI.

Namun penting diperhatikan bahwa kesadaran seperti ini baru merupakan tahap awal dari sebuah gerakan. Pertama, harus diuji apakah kesadaran itu benar-benar sebuah kesadaran gerakan atau sebuah ungkapan keluh kesah belaka, semacam sikap cengeng atau manja. Dua hal ini akan terlihat nyata dalam tindakan berorganisasi. Kesadaran akan cita-cita mulia gerakan akan mewujud dalam sikap yang independen/mandiri, sadar tugas dan kewajiban dalam organisasi gerakan, sadar posisi dalam gerakan, dan secara sinambung selalu setia pada kerja-kerja rutin organisasi basis. Sementara sikap cengeng akan nampak nyata dari perilaku yang selalu menuntut hak, tapi tidak pernah melakukan kewajiban sesuai ketentuan organisasi. Lebih jauh lagi, organisasi akan hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, karir pribadi, kantong pribadi, dan seterusnya yang hanya bersifat pribadi. Kedua, jika kesadaran tersebut benar-benar kesadaran gerakan, maka diperlukan tindak lanjut berupa langkah-langkah memperkuat basis dan mendorong kemandirian mulai dari tingkat kampung sampai tingkat nasional. Dan terpenting adalah kecermatan menghitung resiko dan keberanian menghadapinya.

Kemandirian berbeda dengan ketertutupan. Kemandirian selalu membuka ruang bagi upaya berjaringan tanpa harus mengorbankan prinsip dasar dan tujuan organisasi, sementara ketertutupan selalu memandang dunia luar sebagai ancaman dan karenanya menolak berjaringan. Semua ini membutuhkan banyak dukungan keahlian khusus, seperti kemampuan mengorganisir, memobilisasi sumberdaya manusia dan sumberdaya finansial, kemampuan kampanye dan lobbi yang kuat, serta kemampuan menciptakan alternatif-alternatif dukungan bagi organisasi dalam penyelesaian masalah anggotanya. Apakah semua ini telah dapat diupayakan AMAN sejauh ini?

Sekedar memberi gambaran. Jika anggota AMAN dipukul rata berjumlah 5 juta (ada sekitar 776 komunitas dan 31 organisasi propinsi dan kabupaten serta organisasi tingkat persekutuan masyarakat adat) orang, maka Sekretariat AMAN tidak perlu minta-minta uang ke donor di luar negeri, jika setiap anggota AMAN dapat menyumbang Rp. 1.000., (seribu rupiah) setiap bulan. Karena ada Rp. 5.000.000.000 (lima miliyar rupiah). Dalam satu tahun akan terkumpul Rp. 60.000.000.000., Jumlah yang luar biasa besar. Apa syaratnya supaya ini dapat berjalan?

Setiap organisasi tingkat kampung, harus memiliki data anggota perorangan (individu) yang jelas. Tugas dan kewajiban anggota dijabarkan dengan jelas. Himpunan organisasi kampung ini dapat membentuk organisasi tingkat kecamatan/wilayah persekutan adat. Pada tingkat kabupaten juga dilakukan hal yang sama, sampai propinsi dan akhirnya tingkat nasional. Dengan data anggota dan tugas kewajiban yang jelas tersebut dapat dilakukan tindakan-tindakan administratif organisasi yang tegas dan pasti. Contohnya, iuran anggota Rp. 1.000., perbulan.

Masih ada banyak persoalan lain. Kesadaran identitas misalnya, merupakan persoalan yang sampai saat ini belum dapat dijernihkan dalam AMAN. Siapa saja yang dapat menyebut diri masyarakat adat ? Jika rujukannya semata-mata adat istiadat, maka semua orang Indonesia adalah masyarakat adat. Di sisi lain, menggunakan ukuran kesatuan sosial politik di tingkat kampung, lagi-lagi siapapun dapat mengklaim diri sebagai masyarakat adat, karena betapa pun lama dan jauhnya seorang anak negeri pergi dari kampungnya toh ia akan menengok kembali ke sana bila bicara asal-usul. Bila bicara soal hukum, rasanya tidak ada dari kita di Indonesia ini yang tidak berasal dari suatu komunitas yang punya hukum setempat. Semuanya berasal dari komunitas-komunitas yang punya hukum, sekurang-kurangnya hukum dalam dalam arti seperangkat nilai dan tata aturan yang punya sanksi dalam pemahaman dan perilaku di komunitas.

Maka siapakah masyarakat adat itu?


Ada sebuah pilihan lain untuk mendefinisikan diri dengan lebih jelas menyatakan siapa masyarakat adat. Misalnya, jika kita memperhitungkan hubungan dengan sumberdaya agraria atau sumberdaya alam. Dari sudut pandang ini, jelas bahwa masing-masing komunitas sebetulnya punya sejarah sendiri yang khas dalam hal hubungan mereka dengan pemilikan dan pengelolaan sumberdaya alam. Ada sejarah perubahan dalam bentuk hubungan tersebut, baik bentuk pemilikan maupun model pengelolaan. Setiap komunitas masyarakat adat adalah mereka yang memiliki sejarah ini namun dalam realitas ekonomi politik dan politik hukum negeri ini telah tidak memiliki lagi tanah, tidak punya lagi hak untuk mengambil hasil hutan atau hasil laut, tidak dapat bertani karena tidak ada lahan, tidak bisa ke kebun karena telah menjadi kawasan terlarang bagi mereka, tidak dapat punya uang karena bank mereka, yaitu kebun, hutan, sungai dan laut telah ditutup bagi mereka.

Mengapa semua ini perlu dan harus dikemukakan untuk dipikirkan dalam organisasi?

Pelaku Perubahan


Dalam sejarah dunia, bisa dikatakan bahwa hanya ada empat pihak yang dapat melakukan perubahan melalui gerakan sosial. Pertama adalah orang yang punya legitimasi. Artinya, pihak atau orang ini punya basis massa yang jelas, yang dapat menyuarakan tuntutan dan melakukan tindakan politik bersama-sama. Yang kedua adalah orang atau pihak yang punya kompetensi. Maksudnya adalah mereka yang punya keahlian dan kecerdasan yang hebat. Ketiga adalah mereka yang punya integritas, yaitu mereka yang di mata masyarakat sangat lurus dalam kata dan tindakan dan penuh bakti pada rakyat dan terakhir dan terutama adalah mereka yang punya modal/kapital. Dalam bahasa sehari-hari secara singkat dan sederhana dapat dikatakan bahwa hanya mereka yang sangat kaya, sangat saleh, sangat pintar dan punya massa banyak sekali yang dapat membuat tuntutan dan menimbulkan perubahan.

Jelas bahwa modal telah mengubah dunia, sampai ke kampung-kampung, terlepas dari perubahan itu membawa kesejahteraan atau tidak bagi rakyat banyak. Jika kita, masyarakat adat ingin mendorong perubahan yang berkeadilan, maka sebagai organisasi, semua organisasi masyarakat adat, termasuk AMAN, harus memiliki, sekurang-kurangnya legitimasi politik. Pertanyaannya, berapa jumlah basis massa AMAN? Juga dapat dipertanyakan sejauh mana kompetensinya? Selama ini persoalan kompetensi coba diselesaikan dengan menjalin kerjasama dengan LSM/NGO, karena dipandang bahwa LSM/NGO memiliki keahlian dan kecerdasan. Tapi yang membuat kompetensi dan legitimasi itu bisa operasional secara kontinyu atau sinambung adalah integritas. Pertanyaannya adalah apakah para penggerak AMAN dan organisasi masyarakat adat di Indonesia cukup memiliki integritas sehingga massa rakyat dapat dengan rela dan penuh harap meletakkan cita-cita perubahan ke tangan organisasi? Jika semua ini dapat dijawab maka kekuasaan politik tercipta dengan sendirinya dan bukannya harus dimanipulasi dengan janji-janji politik sebagaimana yang dilakukan oleh politisi-politisi kita selama ini.

NYELEKIT

Semua kita pernah mendengar kisah tentang akhir dunia. Sebuah keadaan di mana kehidupan akan punah di muka bumi, dan akan digantikan oleh kehidupan baru. Surga bagi yang taat dan neraka bagi yang ingkar.

Konon, awal mula dunia, menurut kisah yang kita dengar itu pula, sangatlah indah dan damai sejahtera. Dengan bertambahnya umur dunia, bertambah pula manusia. Dan yang terakhir inilah sumber segala masalah yang saat ini kita semua hadapi. Alam hampir selalu dapat dikatakan sebagai berkah bagi manusia. Sebaliknya, manusia menjadi sumber kehancuran bagi alam dan dirinya sendiri.

Penghancuran alam, bukan lagi sebuah kisah masa lalu. Ia terjadi saat ini dan di sini. Ia bukan tindakan iblis yang gaib di mana-mana. Ia terjadi karena ulah manusia. Kelangsungan pelayanan alam sebagai syarat hidup bagi manusia sungguh terancam. Hal ini mungkin diketahui oleh semua orang, tapi tidak semua orang memahami dan menghayatinya. Buktinya banyak orang melakukan tindakan yang menghancurkan alam. Menebang habis hutan secara haram, membunuh hewan secara brutal, mengusir sesama manusia dari tempat pemukimannya, mengeduk permukaan bumi sampai hancur lebur, bahkan jual beli makhluk hidup, termasuk menjual manusia adalah tindakan yang terus dilakukan oleh banyak orang sampai saat ini. Bila kita bertanya untuk apa semua itu dilakukan, maka ternyata jawabannya cuma satu: demi uang.

Artinya, kehancuran alam disebabkan oleh sistem besar yang telah meletakkan uang sebagai segala-galanya bagi kehidupan manusia. Sistem itu, entah dia kapitalisme maupun sosialisme, entah dia individualisme atau komunalisme, entah dia rasiolanisme atau skeptisisme, dan entah apa lagi paham yang hidup saat ini, ternyata belum mampu membebaskan diri sepenuhnya dari jeratan sistem ekonomi ini bahkan dari jeratan paham besarnya.

Ketika kita semua berteriak tentang hak bersama atas tanah dan sumberdaya alam, kita toh ternyata masih berperilaku individual ketika kita masuk dalam urusan pasar. Ketika tanah dan hutan belum berhasil direbut kita semua berteriak tentang hak komunitas, namun setelah berhasil mendapatkannya, baik melalui reklaiming, maupun melalui perjuangan melalui advokasi kebijakan, ternyata kita saling berebut sendiri tanah-tanah itu, kita malah menjualnya kembali, atau menggadaikannya. Pertanyaannya, bila kita memang memandang tanah, hutan dan semua sumberdaya itu sebagai sumber ekonomi dan sumberbudaya, bahkan sebagai asal muasal kita, mengapa tindakan kita justru mencerminkan perilaku kita yang hanya memperlakukan tanah, hutan dan sumberdaya alam lainnya sebagai sumber uang semata?

Apa yang dicita-citakan oleh perjuangan masyarakat adat dalam kerumitan kehidupan nyata seperti ini? Dalam bulan puasa ini, seluruh umat muslim mendapatkan berkah berlimpah karena iblis dirantai dan manusia boleh beribadah dengan merdeka dari jeratan iblis. Kita mengarapkan agar dalam periode pemerintahan kita yang baru, bukan hanya iblis yang dirantai, melainkan seluruh manusia yang menghancurkan alam turut dirantai, dan kita yang masih merdeka boleh bertindak sesuai dengan cita-cita yang kita pekikan setiap saat: bersatu untuk mendapatkan hak kita yang dirampas.

Community Logging

Pelajaran Menarik dari Papua New Guinea


Beberapa waktu yang lalu AMAN keadatangan tamu dari Ecoforestry Forum Papua New Guinea (PNG/Papua Timur) Ken Mondiai dan Grant Rosoman dari Greenpeace. Keduanya mempunyai pengalaman panjang dalam usaha mengawali, membangun dan mengawal kegiatan pengelolaan hutan oleh masyarakat yang oleh mereka diberi istilah “Ecoforestry” yang mengandung arti kegiatan pengelolaan hutan yang berorientasi ekologi / fungsi lingkungan sedangkan di Indonesia lebih di kenal dengan istilah “Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat”. Kedua istilah tersebut bisa dibilang sama dalam artian usaha pengelolaan hutan oleh masyarakat, tetapi dalam artian tekanan kegiatannya ternyata berbeda.

Perbedaan mendasar PNG dan Indonesia

Dalam diskusi kami, baik dengan Grant maupun dengan Ken, hal yang mendasari perbedaan tersebut adalah perbedaan kondisi politik kehutanan PNG maupun Indonesia sehingga tekanan kegiatan pengelolaan hutan oleh masyarakat di Indonesia lebih ditekankan pada pelaku (rakyat/Masyarakat Adat dalam konteks AMAN) sedangkan di PNG lebih ditekankan pada fungsi (ekologi/lingkungan). Lebih jauh perbedaan antara Indonesia dan PNG dari sisi kebijakan kehutanannya adalah hampir 97 % tanah dan hutan di PNG merupakan tanah/hutan milik adat, artinya berdasarkan hukum negara (dalam hal ini Undang-undang Dasar dan Undang-Undang Kehutanan) yang berlaku masyarakat adat merupakan pemilik yang sah dari tanah dan hutan adat mereka berhak membuat perencanaan dan pengelolaan atas tanah mereka. Berkaca dari hal tersebut, sangat jelas perbedaannya dengan Indonesia, dimana kepemilikan tanah/hutan oleh masyarakat adat tidak diakui oleh negara (atau diakui dengan syarat-syarat yang memberatkan atau diakui hanya secara lokal oleh pemerintah daerah). Dari kondisi tersebut maka isu yang menonjol di Indonesia adalah masalah kepemilikan tanah/hutan sehingga dengan demikian gerakannya lebih menekankan basis pengelola-nya yaitu Masyarakat, untuk mendapatkan pengakuan tidak hanya hak pengelolaan tetapi juga hak kepemilikan atas tanah/hutan yang dikelolanya. Sedangkan di PNG di mana kepemilikan tanah/hutan di akui sebagai hak milik rakyat/masyarakat adat maka tekanannya lebih diarahkan pada bentuk dan arah pengelolaannya.

Belajar dari pengalaman

Kondisi (politik kehutanan) di PNG tidak juga membuat pengelolaan hutan oleh masyarakat kemudian menjadi sangat mudah. Seperti yang dituturkan oleh Ken maupun Grant, sampai saat ini program “Ecoforestry” di PNG sudah berjalan sepuluh tahun lebih, dan baik cerita gagal maupun sukses merupakan bagian dari perjalanan yang masih berlangsung sampai sekarang. Secara umum kondisi masyarakat adat di PNG kurang lebih sama dengan di Indonesia dalam hal hubungannya dengan hutan, hutan adalah gantungan hidup .
Bisnis dan industri kehutanan di PNG berjalan tidak jauh berbeda dengan kondisi bisnis dan industri kehutanan di Indonesia. Meskipun secara politis kondisinya berbeda, tapi hal yang paling nyata dari kondisi masyarakat kedua negara ini adalah masyarakat sering menjadi penonton pembangunan, dalam hal ini di sektor kehutanan. Di PNG, perusahaan besar biasanya membeli konsesi (hak) pengusahaan kayu atau membeli kayu dari Masyarakat dengan harga yang sangat jauh di bawah pasar, sebagai contoh di tahun 1997; perusahaan kayu di PNG membeli setiap meter kubik kayu dari Masyarakat dengan harga US$ 5 (Rp. 45.000) dan kemudian perusahaan menjual ke pasar seharga US$ 75 (Rp. 675.000) keuntungan yang diperoleh perusahaan adalah 2500%! (Bandingkan dengan Indonesia untuk kayu jati, para exportir mandapatkan keuntungan sekitar 500% dari harga jual kayu di tingkat produsen/petani). Kondisi lain di PNG, Perusahaan membeli konsesi (hak)pengusahaan kayu hutan marga masyarakat adat (bandingkan dengan ijin HPH kecil /100 Ha dari Kabupaten atas nama koperasi/usaha masyarakat kemudian ijin tersebut di beli pengusaha dn seterusnya) dengan menandatangani kontrak dengan suatu marga tertentu maka perusahaan berhak mengusahakan kayu hutan marga tersebut dan setelah membabat habis hutan marga tersebut kemudia perusahaan mencari sasaran hutan marga lain dan mengikatnya dengan kontrak. Seringkali praktek-praktek industri (pengusaha/perusahaan)kehutanan skala besar di PNG menyalahi aturan tetapi karena penegakan hukum yang lemah dan korupsi maka aturan tersebut menjadi tidak berarti terutama dalam melindungi kepentingan rakyat dan kelestarian sumber daya alam.

Penipuan, pembodohan, perampasan dan penindasan terhadap masyarakat yang nota bene adalah pemilik hutan menjadi praktek yang lazim dilakukan oleh perusahaan, sementara pemerintah yang lemah dan korup menutup mata terhadap semua hal yang terjadi. Harapan masyarakat untuk dapat meningkatkan kesejahteraan hidup dengan menjual hak pengusahaan kayu kepada perusahaan justru sebaliknya menyengsarakan mereka, karena perjanjian/kontrak yang dibangun hanya mempertimbangkan keuntungan perusahaan dengan menipu msayarakat pemilik hutan. Kenyataan yang demikian pahit membangkitkan niat untuk mengorganisir Masyarakat pemilik hutan dan menuntut perusahaan angkat kaki dari hutan marga mereka. Meskipun pengorganisasian dan pengusiran perusahaan dari hutan adat mereka memaksa harus berurusan dan berhadapan dengan aparat keamanan (yang berada di pihak pengusaha) tetapi tekad masyarakat adat untuk memperoleh kembali hutannya dan niat mereka untuk mengelolanya secara mandiri membuat mereka terus berjuang. Sampai pada akhirnya hal tersebut mendapat simpati dan dukungan dari para aktivis LSM yang kemudian membangun “Ecoforestry Forum” sebagai usaha membantu masyarakat adat di PNG untuk dapat mengelola hutannya secara mandiri dan berkelanjutan.

Hal terpenting dalam memulai usaha pengelolaan hutan oleh masyarakat adalah memupuk modal sosial. Seperti di ketahui bersama bahwa masyarakat adat identik dengan kearifan dalm pengelolaan sumber daya alam, norma dan aturan adat yang menitikberatkan pada keseimbangan alam termasuk pranata sosial-nya yang kuat. Kenyataannya semua hal tersebut semakin lama bukan semakin kuat tetapi sebaliknya semakin terkikis baik oleh kebijakan maupun oleh gelombang modernisasi, globalisasi, kapitalisme dan konsumerisme. Di PNG, kegiatan pengelolaan hutan oleh Masyarakat Adat yang didampingi Ecoforestry Forum juga digunakan sebagai wahana pendidikan. Pendidikan yang dimaksudkan disini meliputi perencanaan tata ruang kelola sumber daya hutan dengan pertimbangan fungsi dan daya dukung lingkungan, perencanaan kegiatan kelola kehutanan mulai dari produksi, transportasi, pemasaran dan penanaman kembali. Di sisi lain pendidikan dan pelatihan perencanaan kelola ruang berdasarkan fungsi lingkungan, pengelolaan organisasi dan usaha, teknologi tepat guna semakin menguatkan praktek-praktek pengelolaan hutan oleh Masyarakat adat di PNG, tetapi dari semua pelajaran tersebut yang dapat ditarik dari proses belajar tersebut adalah bahwa modal sosial merupakan modal utama, artinya membangun kesepakatan-kesepakatan bersama, mengantisipasi konflik yang mungkin muncul merupakan pondasi yang perlu dibangun secara kuat sejak awal.

Ketika usaha dan organisasi pengelolaan hutan oleh masyarakat adat menjadi semakin kuat otomatis secara politis kedudukan mereka juga menjadi semakin kuat, kepentingandan partisipasi masyarakat adat selalu menjadi pertimbangan penting dalam membuat kebijakan di PNG. Saat ini produlsi kayu di PNG menganut prinsip Kelestarian Kelola Hasil artinya produksi kayu mempertimbangkan daya dukung lingkungan untuk memulihkan diri sehingga diperoleh hasil kayu yang berkelanjutan dari hutan yang dikelola.Diperkirakan luas hutan yang boleh diusahakan untuk kelestarian hasil adalah 3 sampai 15 juta hektar dan produksi kayu untuk ekspor sampai dengan 2 juta meter kubik per tahun. Selain prinsip kelestarian hasil terdapat juga kelestarian kelola, artinya pengelolaan dengan mempertimbangkan kelimpahan dan keragaman jenis dari ekosistem hutan sehingga hutan tetap dapat memberikan jasa lingkungan yang terjaga sesuai dengan fungsi lingkungan (ekologis).

Pertambangan di Halmahera

Habis Hutan Terbitlah Gurun Pasir

Pulau tanpa penghuni, tak lama lagi. Halmahera sedang menanti masa itu, menambah jumlah pulau tanpa penghuni, akibat penggurunan. Kawasan Konservasi Toguraci di Pulau Halmahera, Maluku Utara akan menjadi salah satu kawasan penggurunan. Adalah PT. Nusa Halmahera Mineral (NHM) yang akan membongkar hutan adat Toguraci seluas 7.070 hektar, terdiri dari hutan lindung 4.660 hektar dan hutan produksi terbatas 2.410 hektar. PT NHM adalah perusahaan tambang emas patungan yang mayoritas sahamnya dikuasai Newcrest Singapore Holdings Pty. Ltd. (82,5%) dan PT. Aneka Tambang (17,5%). Areal konsesi perusahaan ini 449.000 hektar, tertera dalam Kontrak Karya. Konsesi ini tersebar di tiga lokasi yakni : Toguraci (Gosowong Barat), Gosowong Utara dan Gosowong Selatan.

Sejak mulai berproduksi 14 Juli 1999 sampai Desember 2000 di Gosowong, total produksi PT. NHM sudah mencapai 11,45 ton emas. Pada tahun 2000, produksi emasnya sebesar 7,6 ton emas. Pada 2001 dihasilkan emas sebanyak 8.946 kilogram dan diperkirakan masih memiliki sisa cadangan sebesar 4.342 kilogram. Total cadangan yang masih dapat ditambang sekitar 381.123 ton bijih emas dan perak. Kadar emas 25,33 gpt dan perak 32,40 gpt. Potensi ini mengandung 310.378 ons emas dan 397.009 ons perak. Umur tambang sebelumnya diperkirakan lima tahun dengan rata-rata produksi emas 154.000 ons/tahun (Sumber : Website Antam, Edisi 1 Januari 2001). Dengan perkiraan umur tambang demikian, PT NHM seharusnya berhenti beroperasi pada 2002. PT. NHM merupakan salah satu dari 4 perusahaan yang akan melakukan pengakhiran tambang pada 2002 berdasarkan pengumuman yang dikeluarkan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) (Sumber : SKH Republika 2 Maret 2002). Mengapa PT NHM masih meneruskan penambangan dengan mengeduk kawasan Hutan Lindung Toguraci, Kecamatan Kao, Halmahera Utara?

Keuntungan total PT. NHM saat beroperasi di Gosowong dari 1998-2002 sebesar Rp 600 miliar. Kawasan Hutan Lindung memiliki cadangan 20 ribu deposit bijih logam. Pada 31 Januari 2004, PT NHM bahkan sudah menggali 8,000 ton bijih emas dari Hutan Lindung Toguraci dan menghasilkan emas murni yang mendatangkan laba sebesar Rp. 40 Milyar. Gambaran keuntungan ekonomi uang inilah yang menjadi sumber malapetaka, karena tidak mempedulikan aspek sosial dan ekologi Halmahera Utara.

Krisis Air di Pulau Halmahera

Seperti halnya Pulau Gag dan Sumbawa, Pulau Halmahera dengan luas sekitar 18.000 Km2 merupakan salah satu pulau kecil yang hutan lindungnya akan dibongkar untuk pertambangan. Padahal kawasan ini memiliki curah hujan tinggi. Di samping itu topografi kawasan termasuk dalam kategori agak curam dan curam. Artinya, tanah di kawasan seperti ini dan memiliki resiko terjadinya erosi besar-besaran bila hutannya gundul dan lahan tidak tertutup vegetasi. Erosi akan mengakibatkan pendangkalan sungai di kawasan tersebut, selain banjir dan longsor yang tak mungkin tertahankan. Di samping itu tentu saja akan muncul KRISIS AIR di Toguraci.

Hutan sangat dibutuhkan karena kemampuannya reservoir dan penyuplai kebutuhan air bagi makhluk hidup di Toguraci. Apalagi bagi masyarakat adat Kao dan Malifut yang tinggal di sekitar kawasan hutan lindung Toguraci. Sementara kenyataannya areal konsesi pertambangan PT. NHM berada dalam kawasan tangkapan air sungai Tobobo (Sumber : Mengeruk Emas Menambang Bencana, 2002, JATAM). Artinya, ketersediaan air tawar akan menipis seiring dengan pembongkaran kawasan hutan sebagai kawasan tangkapan air (reservoir). Apalagi pertambangan adalah jenis industri yang rakus air. Untuk menjalankan roda produksi, industri pertambangan akan menyedot air dalam jumlah besar setiap harinya. Kebutuhan air itu biasanya diambil dari sungai atau dari air tanah dengan pengeboran. Dampaknya, masyarakat setempat akan menderita karena pasokan air berkurang drastis.

Faktor lain adalah limbah pertambangan yang pasti mencemari sungai dan air tanah. Jika benar bahwa setiap tahunnya perusahaan memproduksi emas sebesar 154.000 ons/tahun, maka limbah tailing yang dihasilkan berjumlah sangat besar. Setiap tahunnya perusahaan membuang limbah tailing ke alam sebesar 14,9 juta ton atau sekitar 41 ribu ton/ hari. Dalam praktek pertambangan emas, tailing yang berasal dari penghancuran batu-batu berkandungan emas di pabrik akan dialirkan ke kolam limbah, atau langsung dibuang ke sungai dan laut. Limbah tailing ini mengandung asam kimia dan logam-logam berat yang sangat berbahaya bagi tubuh manusia dan semua makhluk hidup. Jika masuk ke dalam air yang dikonsumsi manusia dan semua makhluk hidup maka kasus Buyat akan kembali terulang. Manusia, tumbuhan dan hewan mengkonsumsi racun-racun berbahaya.

Menyikapi hal tersebut, salah seorang warga masyarakat adat Kao, Jhon Djiniamngele, mengatakan masyarakat Kao dan Malifut sangat cemas dengan tindakan PT. NHM membuka tambang di kawasan hutan adat Toguraci. Gambaran akan dampak serius, seperti yang terjadi di proyek Gosowong menghantui mereka. Masyarakat bukan hanya kehilangan hutan adat maupun kebun-kebunnya, tetapi juga hasil tangkapan udang dan ikan teri. Karena mereka yakin air laut di kawasan itu juga bakal tercemar oleh limbah PT. NHM. “Kami meminta agar PT Nusa Halmahera Mineral menghentikan kegiatan operasi pertambangannya di hutan adat dan hutan lindung Toguraci dan harus mengembalikan fungsi hutan seperti semula,” kata Jhon.

Pekerjaan Rumah Pemerintahan dan Parlemen Baru

Menyadari bahaya yang mengancam eksistensinya, masyarakat adat Kao dan Malifut tidak tinggal diam. Aksi pendudukan di kawasan hutan lindung Toguraci adalah salah saatu bentuk perlawanan. Masyarakat dari Desa Eti dan Dumdum Pantai, dari dua kecamatan yang berbatasan dengan lokasi tambang PT. NHM terlibat dalam aksi itu. Mereka menuntut PT Nusantara Halmahera Mineral (NHM) segera meninggalkan lokasi dan merehabilitasi kawasan hutan lindung yang telah dieksploitasi. Mereka juga menuntut PT NHM mengembalikan sebagian laba yang telah diperoleh kepada masyarakat. Sebab selama 10 minggu beroperasi di Toguraci, PT. NHM telah meraih laba Rp 40 miliar lebih. Sementara saat beroperasi di Gosowong dari 1998-2002 meraih laba Rp 600 miliar.

Namun, aksi damai masyarakat tersebut dihadapi dengan tindakan represif oleh aparat keamanan yang didatangkan PT. NHM ke lokasi. Pasukan ini memerintahkan masyarakat untuk meninggalkan lokasi tersebut, yang kemudian ditolak oleh masyarakat. Penolakan tersebut malah dijawab oleh tembakan. Akibatnya, seorang warga bernama Rusli Tungkapi tertembak dibagian kepala sehingga meninggal di tempat. Kasus kekerasan tersebut saat ini masih dalam tahap penyilidikan KOMNAS HAM, dan belum ada hasil akhir dari penyelidikan tersebut.

Kasus kekerasan yang terjadi di Halmahera seharusnya menjadi catatan khusus buat Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Dewan Perwakilan Rakyat yang baru saja dilantik. Pemerintahan dan Parlemen baru ini harus segera memutuskan rantai kekerasan yang diwariskan rezim sebelumnya. Termasuk juga akar masalah dari munculnya aksi kekerasan tersebut. Kasus PT. NHM memberikan bukti nyata buruknya pengelolaan industri pertambangan. Dengan dampak buruk yang dialami masyarakat di seantero negeri ini selama ini, toh masih ditambah juga dengan ijin bagi pertambangan di hutan lindung. Sudah sepatutnya, DPR dan Pemerintahan yang baru menolak tegas pembukaan hutan lindung untuk pertambangan dengan mencabut Perpu No. 1/2004. Ini penting menjadi catatan bagi eksekutif dan legislatif baru.

Perpu No 1/2004 garapan pemerintah dan DPR periode pemerintahan Megawati menjadi akar persoalan dari ancaman bahaya penggurunan berbagai wilayah kehidupan masyarakat adat dan lokal akibat eksplorasi alam habis-habisan dengan dalih pemasukan bagi negara. Daftar ekologi gersang di dunia akan kian bertambah setelah Gurun Gobi, Kalahari, Sahara, Rub Al Nafud, Rub Al Khali. Belum terhitung kawasan yang kian menggersang di seantero Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi dan Jawa serta pulau-pulau kecil.

Masa Depan Kita dan Kelangsungan Pelayanan Alam

Mimpi indah tidak selalu menjadi kenyataan yang nikmat. Itulah yang dialami Orang Talang Mamak di Indragiri Hulu, Riau. Harapan dan angan-angan akan masa depan yang lebih baik pupus sudah. Apa yang dijanjikan aparat pemerintah bersama PT. Regunas dan PT Mega Nusa Inti tak pernah terwujud. Padahal ratusan ribu hektar hutan, ladang dan kebun tempat tumpuan hidup sebelum kedatangan perusahaan tersebut sudah diserahkan. Tanpa ganti rugi pula. Dan kini semua itu telah menjadi milik perusahaan. Orang Talang Mamak bertahan hidup dalam kehampaan dan keniscayaan.

Ruang hidup mereka terhimpit di antara hamparan kebun sawit. Sumber ekonomi hanyalah getah karet dan buah-buahan. Kebanyakan anak-anak tak sekolah, tingkat kematian ibu dan anak relatif tinggi, kesehatan penduduk tak terjamin karena tidak ada biaya, dan kehilangan ladang dan kebun. Tatanan sosial, politik dan sistem nilai turut hancur. Pertanyaan yang menghantui mereka tak kunjung terjawab: Ketika perusahaan datang untuk menanamkan investasi, Negara (pemerintah) nampak ada di depan mata bak malaikat. Kemana Negara (pemerintah) yang manis itu ketika mereka hendak mengadukan keterpurukan hidupnya?

“Kami bukan dibina melainkan dibinasakan”, kata warga Talang Mamak. Dengan kenyataan sumber kehidupan sosial dan ekonomi semakin terbatas dan dibatasi, masa depan ribuan Orang Talang Mamak sungguh terancam. Keselamatan dan kesejahteraan hidupnya tambah hari kian merosot.

Potret kehidupan masyarakat seperti inilah yang disebut sebagai kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural atau proses pemiskinan rakyat dimengerti sebagai proses perampasan daya kemampuan untuk hidup yang memiliki tiga dimensi. Pertama, perampasan daya sosial, mencakup perampasan akses kepada basis produksi rumah tangga, informasi pengetahuan, keterampilan dan sumber-sumber keuangan. Kedua, perampasan daya politik, mencakup perampasan akses kepada pengambilan keputusan politik, memilih dan menyuarakan aspirasi dan untuk bertindak kolektif. Ketiga, perampasan daya psikologis yaitu hilangnya kepekaan dan potensi individu dalam ranah sosial dan politik, sehingga tidak mampu berpikir kritis, karena terhegemoni (pola pikir sudah dipengaruhi) oleh perkataan palsu. (Billah, 2000).

Kemiskinan struktural terjadi sebagai akibat sistem ekonomi kapitalis. atau ekonomi modal. Dengan paham ini maka seluruh isi negara ini adalah milik Negara dan akan dimanfaatkan untuk kepentingan pasar. Siapa yang bermain di pasar? Para pemilik modal (pengusaha) yang mendapat kesempatan dari Negara untuk memanfaatkan dan mengelola semua modal dalam negara untuk dapat dilempar ke pasar. Pengusaha dapat untung, Negara dapat bagian. Persoalannya dalam paham struktural, yang menjadi Negara dalam hal ini adalah Pemerintah. Dan aparat negara diposisikan sebagai alat Pemerintah. Paham ini kemudian dikawinkan dengan paham Negara Kesatuan. Dalam paham Negara Kesatuan, negara dipandang sebagai sebuah organisasi yang tertinggi dan sempurna dengan kekuasaan yang sangat dominan atas berbagai kelompok sosial yang ada di dalam Negara. Apa yang terjadi?

Negara ditempatkan sebagai pihak yang paling berhak menguasai, menata, dan mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya sebagaimana penafsiran atas pasal 33, UUD 1945. Penafsiran seperti ini menunjukkan bahwa Negara telah menjadi alat penjaga pasar agar pasar tetap berjalan baik. Demikian pula, dalam peraturan perundangan turunan lainnya diproduksi untuk kepentingan ekonomi kapitalis, misalnya: UU Perkebunan, UU Sumberdaya Air, Perpu No. 1 thn 2004, RUU Sumberdaya Agraria, RUU Pertambangan, RUU Migas dan Panas Bumi. Semua peraturan perundangan ini menunjukkan dengan jelas bahwa Negara mendorong pemberlakuan seluruh instrumen yang memungkinkan pasar tetap berjalan. Persekongkolan untuk menjadikan peraturan perundangan negara sebagai instrumen yang menjaga kelanggengan pasar dan kepentingan para pemilik modal itu kita kenal sebagai politik hukum. Sementara seluruh daya politik yang dikembangkan demi kepentingan ekonomi pasar kita kenal sebagai ekonomi politik. Dampak dari kebijakan pembangunan seperti ini adalah kemiskinan dan ketidakadilan.

Tengok saja kebijakan pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia. Pengusahaan sumberdaya hutan terkonsentrasi hanya pada 578 pemegang HPH, 10 di antaranya mengontrol 45 % total konsesi HPH dengan luas 60 juta hektar. Menurut catatan Dephutbun, para “Raja Hutan” itu adalah PT. Kayu Lapis Group memiliki konsesi HPH hampir seluas Propinsi Jawa Barat, yakni 3,5 juta hektar. PT. Djayanti Djaya Group dengan luas 2,9 juta hektar, PT. Barito Pacific Group 2,7 juta hektar. Perusahaan milik Prajogo Pengestu ini awalnya hanya mendapat konsesi 400.000 hektar di Papua Barat, kemudian membeli dari pemilik lain, baik dari pemilik pertama maupun kedua atau ketiga. PT Kalimanis Group 1,6 juta hektar. Korindo Group 1,3 juta hektar. PT Alas Kusumah Group 1,2 juta hektar. Sumalindo Group 850.000 hektar. PT Daya Sakti Group 540.000 hektar. Raja Garuda Mas Group 380.000 hektar. (Kompas, 30/8/99).

Menurut WALHI sekitar 80 persen dari HPH itu diperoleh melalui praktek KKN di era Orde Baru. Sebut saja antara lain: Bob Hasan, Prajogo Pangestu, Burhan Urai, Eka Tjipta Widjaja, Gunawan Sutanto, Windya Rahman, Anthony Salim dan Budiono Widjaya.

Di sektor pertambangan, terdapat sekitar 561 perusahaan yang didominasi modal asing menguasai 5,25 juta hektar konsesi pertambangan dan disektor perkebunan terdapat 2.178 perusahaan yang menguasai lahan seluas 3,52 juta hektar.

***

Cerita lain di balik semua ini adalah meluasnya konflik dan ketegangan sosial yang berdimensi ekonomi dan politik, serta meluasnya kejahatan lingkungan yang mengancam kemampuan alam melayani kehidupan manusia dan menimbulkan bencana banjir, longsor, kekeringan, kelangkaan sumberdaya alam, kelaparan, dan sebagainya.

Keadaan hutan Indonesia saat ini mengalami deforestasi (penghancuran dan hilangnya hutan) lebih dari 3,5 juta hektar pertahun. Menurut Forest Watch Indonesia (FWI) dalam buku Potret Keadaan Hutan Indonesia (2002), dalam kurun waktu 50 tahun terakhir tutupan hutan berkurang dari 162 juta ha menjadi 98 juta ha atau berkurang sebesar 40 %. Berkurangnya luas hutan sebagai akibat pengusahaan hutan, perkebunan, pertambangan, transmigrasi, dan proyek pembangunan lainnya. Belum lagi dampak pencemaran tanah, air, udara dan daya dukung alam semakin merosot.

Catatan WALHI, sejak tahun 1998 hingga 2003, terjadi sekitar 647 bencana, 85% di antaranya banjir dan longsor yang menelan korban 2.022 jiwa. Kerugian material ratusan milyar rupiah. Banjir di Riau (2003), menimbulkan kerugian ekonomi mencapai Rp. 1,12 triliun, setara 57 persen APBD Riau 2003 (Kompas, 27/12/03). Pemerintah selalu menyalahkan alam dan tak pernah mengakui ini akibat kekeliruan manusia (human error). Bencana di Indonesia bukanlah takdir, namun akibat penghancuran lingkungan hidup yang berlangsung secara sistematik.

Di negara-negara maju, praktek pengetahuan dan teknologi pembangunan yang merusak lingkungan dan menimbulkan bencana dan merosotnya pelayanan alam sudah ditinggalkan. Mereka kini mengurusi pemulihan alam di negaranya masing-masing. Ironisnya, dari situ pula datang pemodal asing untuk menguras sumberdaya alam di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Sementara kita masih getol mengimpor dan menggunakan pengetahuan tekonologi merusak.

Melihat angka-angka pengurasan sumberdaya alam, bencana dan biaya yang harus dikeluarkan di atas tidak ada pilihan lain, kita harus berhenti menggunakan pola pengelolaan tersebut sekarang juga.

Apa rekomendasi kita? Kembalikan pengelolaan sumberdaya alam kepada rakyat. Mereka harus menjadi subjek pelaku, bahkan dalam sistem pasar yang dianut negara. Apa yang harus dilakukan? Sejarah membuktikan bahwa kekuatan masyarakat sipil yang terorganisir dan terkonsolidasi dapat meruntuhkan tirani.

Lembaran Hitam Pertambangan

Ketika eksploitasi tambang di suatu kawasan dimulai, saat itu pula pertanyaan: “Ini rakhmat atau kutukan?” mulai menghantui masyarakat setempat, baik itu masyarakat adat maupun masyarakat lokal.

Pada mulanya, ya, pada mulanya semuanya nampak seperti ceritera Cinderela. Sebuah komunitas masyarakat adat atau lokal yang selama ini hanya mendengar ceritera gemerlapnya “pembangunan” di luar sana tiba-tiba dihampiri para eksekutif berdasi, bermobil mengkilap dan bicara dengan bahasa yang selama ini hanya mereka dengar di televisi. Seperti seorang pangeran dari antah-berantah datang tiba-tiba, pada suatu hari, melamar seorang gadis desa yang bergelimang lumpur sehari-harinya.

Ceritera mulai berubah menjadi horor Dracula ketika perusahaan pertambangan mulai mengeruk, menggali dan menggali tanah-tanah di kawasan yang menjadi tanah leluhur dan tempat bertumbuhnya anak-anak yang belum mampu membayangkan masa depan apa yang akan diperoleh di tengah lingkungan yang hancur dan hanya meninggalkan jejak kemiskinan, keburaman bahkan kegelapan hari esok?

Amungme, Sebuku, Toguraci, Kelian dan banyak tempat lagi kini bagaikan kuburan gelap bagi hari esok masyarakat adat setempat. Ketika orang di kota-kota dan gedung-gedung bertingkat berpendingin sejuk membicarakan hari esok mereka, pada saat yang sama mereka dengan sadar .....sangat sadar bahkan ......mengubur hari esok jutaan manusia, yang terperangkap dalam institusi negara yang telah menjadi alat perusahaan multinasional. Menjadi hamba para pemilik modal melalui peraturan-peraturan yang diciptakan lembaga-lembaga seperti WTO, IMF.

Andaikan negara tidak memiliki monopoli atas kekerasan, andaikan ...apakah bisa demikian mudah masyarakat adat diperosokkan ke dalam liang-liang kematian? Andaikan ekonomi tidak didikte oleh uang, adakah rakyat di kawasan hutan dan sekitar hutan yang hidup dari alam terhenti perkembangannya? Jika dunia tanpa pertambangan apakah kehidupan akan berhenti? Barangkali yang perlu dipikirkan sekarang adalah bagaimana segera mengakhiri dunia secara lebih adil daripada sekedar menjaga keberlanjutan yang menggapai kegemerlapan di satu sisi namun menjerumuskan rakyat ke dalam jurang kegelapan? Legenda Yunani tentang munculnya para raksasa yang dikubur oleh dewa-dewa dan kemudian bangkit dan menguasai dunia dengan anarkhisme, bisa jadi kenyataan jika tidak segera dibenahi dari sekarang hubungan antara negara, bisnis, dan masyarakat.

Ini sebuah gambaran skeptik. Namun kita sebagai sebuah organisasi yang solid dapat mendorong perubahan yang lebih berkeadilan manakala kita tidak terjebak oleh kekuasaan berbasis material. Sudah saatnya kita mengemukakan sebuah sistem yang menempatkan manusia dan budayanya lebih tinggi dari ...bahkan tidak boleh dibandingkan sama sekali dengan uang.

Wallahualam.

Bank Dunia dan Industri Pertambangan

Industri Pertambangan: Harta Karun atau sumber petaka?

Kegiatan pertambangan minyak, gas dan mineral cenderung meningkat dalam dasawarsa yang akan datang seiring dengan meningkatnya permintaan pasar. Hal ini akan mendorong eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya tambang semakin tinggi di Negara-negara berkembang dan Negara-negara dalam transisi (peralihan). Sebagian besar dari kegiatan penambangan/pertambangan dilakukan di wilayah-wilayah terpencil di mana ekosistemnya sangat rentan dan merupakan tanah-tanah leluhur dari masyarakat adat. Pemerintah-pemerintah dari negara-negara ini biasanya mempertimbangkan hal ini sebagai peluang untuk menarik lebih banyak industri tambang untuk meningkatkan pembangunan, sedangkan pihak swasta juga tertarik karena kemungkinan perolehan keuntungan yang cukup menggiurkan.

Saat ini Bank Dunia mendukung reformasi kebijakan pemerintah, undang-undang dan kelembagaan untuk meningkatkan investasi dan pembangunan industri pertambangan di banyak Negara berkembang. Melalui investasi modal dari International Finance Corporation / Korporasi Keuangan/Pembiayaan Internasional (IFC), dan resiko pembiayaan melalui Lembaga Penjamin Modal Multilateral/Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA), yang keduanya merupakan bagian dari Keluarga Bank Dunia yang mempunyai peran dan pengaruh penting dalam industri pertambangan di negara-negara berkembang selama lima belas tahun terakhir.

Masalah dalam industri pertambangan (minyak, gas dan mineral) juga mempunyai dimensi teknis, seperti bagaimana harus menyikapi pembuangan limbah pertambangan di laut (seperti yang terjadi pada kasus Buyat), artisanal, pertambangan skala kecil, issu-issu pencemaran udara yang mempengaruhi perubahan iklim dan juga isu-isu mengenai ke(tata)pemerintahan, korupsi, transparansi, tanggung gugat sosial dan lingkungan serta pengelolaan keuntungan.

Pertambangan adalah industri yang menjanjikan sejumlah besar keuntungan bagi perusahaan, dan pemerintah, namun masih terus mendengungkan pertanyaan tentang manfaatnya yang berkelanjutan bagi publik secara umum, terutama tentang dampak ekologis dan sosialnya. Persoalan kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM termasuk perampasan hak-hak masyarakat adat dan penyakit sosial adalah beberapa dari yang krusial dan harus dipikirkan jalan keluarnya sebelum sebuah investasi dalam pertambangan diberi ruang untuk beroperasi. Di sinilah relevansinya bagi kita dalam mengajukan pertanyaan: Pertambangan itu harta karun atau sumber petaka? Jika harta karun apakah dapat dimanfaatkan bagi semua pihak termasuk rakyat banyak?

Proses Pengkajian Industri Pertambangan (EIR/Extractive Industry Review): Penegasan ketidakpekaan Bank Dunia terhadap misinya

Beberapa tahun lalu dalam sebuah pertemuan tahunan Bank Dunia, Presidennya, James Wolfensohn, bersepakat dengan masyarakat sipil untuk mengkaji peranan Grup Bank Dunia dalam industri pertambangan (minyak, gas dan tambang mineral) untuk menghapus kemiskinan melalui pembangunan yang berkelanjutan. Sejak September 2001 Bank Dunia telah merancang sebuah Kelompok Kajian Industri Pertambangan untuk melakukan konsultasi dengan para pihak yang berkepentingan, yang terdiri dari pemerintah, perusahaan dan masyarakat sipil. Konsultasi ini bersifat regional dan meliputi region Amerika Latin dan Karibia, Eropa Timur dan Asia Tengah, Afrika, Asia Pacific. Konsultasi regional mengenai industri pertambangan difokuskan pada pemahaman pandangan dari masing-masing pihak mengenai peran Grup Bank Dunia dalam industri pertambangan dan melakukan identifikasi wilayah-wilayah kesepakatan dan ketidaksepakatan. Berangkat dari pemahaman tersebut, Grup Bank Dunia kemudian akan menyusun rekomendasi untuk proses-proses dalam sektor ini, utamanya atas kebijakan dan programnya. Konsultasi dengan region Asia Pasific (Bali, April 2003) dimana AMAN juga terlibat dalam proses tersebut berakhir dengan keluarnya Masyarakat Sipil dari proses konsultasi tersebut. (Pernyataan sikap Masyarakat Sipil dari Region Asia Pacific dapat dilihat pada box). Sebuah usaha yang digalang oleh Kelompok Masyarakat Sipil (Organisasi Non Pemerintah) dan Kelompok Masyarakat Adat adalah menyelenggarakan pertemuan internasional di Oxford, Inggris (April 2003, sebelum Konsultasi Regional Asia Pacific) yang membahas akibat-akibat dari Industri Pertambangan dan peran Bank Dunia di dalamnya. Pertemuan ini di hadiri perwakilan kelompok masyarakat adat dari seluruh region (seluruh dunia) serta mengahsilkan sebuah deklarasi.

Proses konsultasi yang diselenggarakan oleh Bank Dunia ini sebenarnya merupakan tindak lanjut dari KTT Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development), Johannesburg, Afrika Selatan, September 2002 yang menempatkan penghapusan kemiskinan menjadi topik utama dari pembangunan berkelanjutan. Di mana Pembangunan berkelanjutan seharusnya adalah keberlanjutan secara ekonomi, sosial dan lingkungan, sehingga berlanjutnya pertumbuhan ekonomi juga harus menjaga dan melindungi kelestarian alam pendukung kehidupan dan menjamin penghapusan kemiskinan dan perlindungan serta pemenuhan HAM.

Pertanyaan atau alasan mendasar dari konsultasi regional ini adalah “Apakah sektor industri pertambangan dapat menjawab masalah kemiskinan dan apakah hal tersebut sesuai dengan misi Bank Dunia untuk menghapus kemiskinan melalui pembangunan berkelanjutan?” Di sisi lain fakta dari beberapa kasus campur tangan Bank Dunia dalam sektor pertambangan yang pada akhirnya justru menimbulkan konflik, perluasan kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM, yang jelas tidak mencerminkan keberlanjutan dari sisi ekonomi, sosial dan lingkungan.

Hasil Kajian Industri Pertambangan dan rekomendasinya kepada Bank Dunia: Bahan untuk menyusun strategi baru pengikut Neoliberalisme ?

Bank Dunia menunjuk Dr. Emil Salim, mantan Menteri Lingkungan Hidup jaman Suharto dan mantan direktur perusahaan batubara terbesar di Indonesia untuk memimpin kajian tersebut. Di bulan Januari 2004, Dr. Salim menyampaikan hasil kajiannya kepada presiden Bank Dunia Wolfensohn “Laporan Akhir Kajian Industri Pertambangan: Mencari Keseimbangan yang lebih baik” merupakan hasil dari perjalanan selama 2 tahun evaluasi dampak pembangunan industri pertambangan yang didukung oleh Kelompok Bank Dunia di seluruh dunia. Laporan tersebut menghasilkan rekomendasi kepada Bank Dunia untuk melakukan reformasi yang berarti termasuk menghentikan pendanaan untuk proyek batubara di seluruh dunia dan menghentikan dukungan pembiayaan produksi minyak paling lambat sampai 2008. Rekomendasi Kajian tersebut juga menyebutkan untuk memperhatikan aspek-aspek perlindungan/pemenuhan HAM, hak veto masyarakat adapt atau masyarakat yang terkena dampak dan menghentikan dukungan terhadap teknologi pertambangan yang merusak.

Berdasarkan dari rekomendasi laporan Akhir Kajian terhadap Industri pertambangan, tanggapan dari pihak Manajemen Bank Dunia sungguh mengejutkan karena intinya adalah Menolak Rekomendasi Kajian. Sebuah pengingkaran telah dilakukan! Inisiatif melakukan kajian adalah datang dari Presiden Bank Dunia sendiri jika kemudian hasil dan rekomendasinya ditolak, maka kajian tersebut adalah pengingkaran terhadap misi Bank Dunia untuk menghapuskan kemiskinan. Hal-hal yang ditolak oleh pihak Manajemen Bank Dunia antara lain adalah:

• Memberikan informasi dan mendapatkan persetujuan (penolakan) dari masyarakat local yang terkena dampak dari proyek pertambangan sebagai prasyarat pembiayaan. (Free, prior and inform consent)
• Memastikan hak-hak Masyarakat Adat atas tanah terjamin sebagai syarat pembiayaan proyek;
• Memastikan keuntungan proyek yang dibayai Bank Dunia diterima dan memberikan manfaat bagi masyarakat yang terkena dampak;
• Jaminan untuk kebebasan berserikat di dalam proyek-proyek yang dibiayai Bank Dunia sebagai pemenuhan dan perlindungan terhadap HAM dan Hak tenaga kerja/buruh;
• Memastikan bahwa ada struktur tata pemerintahan yang baik sebelum pendanaan proyek dan pelaksanaannya;
• Perlindungan terhadap keanekaragaman hayati melalui pembentukan daerah larangan untuk habitat-habitat yang kritis yang diakui secara internasional;
• Jaminan bahwa pembuangan limbah tambang di dasar laut tidak diterapkan pada proyek-proyek tambang yang dibiayai Bank Dunia;

Manajemen Bank Dunia secara tegas menyebutkan penolakannya untuk memberikan kepada Masyarakat Lokal atau Masyarakat Adat apa yang disebut “Hak Veto” terhadap investasi pembiayaan Bank Dunia meskipun investasi tersebut mempengaruhi kehidupan masyarakat lokal/adat.

Manajemen Bank Dunia juga menolak rekomendasi laporan akhir kajian industri pertambangan untuk:

• Keluar atau menghentikan pembiayaan melalui pinjaman kepada investasi sector minyak dan batubara dan hanya memfokuskan diri untuk pembiayaan pengembangan sumber daya energi yang dapat diperbaharui.
• Mengatur target pinjaman dan meningkatkannya untuk energi yang dapat diperbaharui sampai 20% per tahun, yang dalam hal ini Manajemen bank Dunia menyebutkan bahwa hal ini akan bertentangan dengan misi Bank Dunia untuk memerangi kemiskinan.

Pihak Manajemen Bank Dunia juga menyebutkan dalam tanggapannya bahwa Bank Dunia seharusnya terus membiayai proyek-proyek industri pertambangan dan untuk beberapa wilayah bahkan perlu meningkatkan dukungan pembiayaannya terhadap sektor pertambangan.

Komitmen Bank Dunia berdasarkan rekomendasi laporan akhir kajian adalah pada dua hal utama yaitu:

• Peningkatan keterbukaan dan transparansi kepada publik mengenai kesepakatan dan perjanjian pembiayaan kepada pihak swasta dan pemerintah Negara-negara berkembang.
• Menyiarkan lebih luas informasi mengenai dampak proyek pertambangan serta menyediakan sumber daya lebih besar untuk menjawab masalah pertambangan skala kecil dan artisanal.

Say No to Pertambangan

Jika Industri-nya dikuasai Asing

"Kami punya banyak alasan untuk membatalkan kontrak-kontrak tambang itu. Seandainya perusahaan-perusahaan pertambangan itu menggugat kami untuk membayar kompensasi, itu lebih murah daripada harus membayar kerugian negara dan kehancuran lingkungan hidup."

Sekelumit pernyataan tegas di atas disampaikan Presiden Kostarika pada bulan Juli 2002, dalam sebuah deklarasi damai terhadap alam dan lingkungan. Presiden Abel Pacheco, berani membuat keputusan untuk melarang praktik pertambangan terbuka walaupun tengah menghadapi gelombang ancaman dari pelaku pertambangan internasional yang akan menggugat pemerintah Kostarika ke pengadilan arbitrase internasional. Namun, keteguhan akan sebuah masa depan bangsa yang lebih baik, tidak menyurutkan langkah Presiden Abel Pacheco untuk kukuh menolak praktik pertambangan terbuka di Kostarika.

Indonesia punya cerita lain lagi. Pada tanggal 11 Maret 2004 Pemerintahan Megawati mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 2004 yang melapangkan jalan para pelaku pertambangan untuk mengeksploitasi sumber daya mineral, bahkan yang berada di dalam kawasan lindung dan konservasi. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2004 yang mengatur tentang perubahan UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan ini akan dijadikan payung hukum bagi perusahaan-perusahaan tambang yang operasinya terganjal oleh UU No. 41/1999 tentang Kehutanan.

Dengan dalih untuk menciptakan kepastian hukum dan iklim investasi, pemerintah rela mengorbankan kawasan hutan lindungnya untuk dieksploitasi perusahaan tambang. Berdasarkan keterangan resmi pemerintah (Departemen Kehutanan) ada 13 perusahaan tambang yang akan memperoleh prioritas melanjutkan kegiatan eksploitasinya di hutan lindung. Ketigabelas perusahaan itu adalah: PT. Sorik Mas Mining, PT. Karimun Granite, PT. Natarang Mining, PT. Indominco Mandiri, PT Interex Sacra Raya, PT. Pelsart Tambang Kencana, PT. Nickel Indonesia (INCO), PT Aneka Tambang (ANTAM), PT. Nusa Halmahera Mineral, PT. Weda Bay Nickel, PT. Gag Nikel, dan PT Freeport Indonesia (FI). Maka tersenyum lebarlah para pemilik masakapai-maskapai pertambangan di atas karena menerima jatah membongkar 925.000 hektar kawasan lindung untuk 13 lokasi pertambangan terbuka.

Namun catatlah ini: Investasi ini akan mengancam sekitar 7 juta penduduk di sekitar hutan lindung pada 25 kabupaten di 10 propinsi, dimana 30% di antaranya sudah hidup di bawah garis kemiskinan dan kelak harus hidup dengan limbah beracun pertambangan.

Indonesia dalam keadaan darurat?

Di tengah hiruk pikuk dunia politik menjelang pemilihan umum, pemerintahan Megawati meloloskan satu produk kebijakan yang cacat hukum jika dilihat dari segi prosesnya dan jauh dari rasa keadilan rakyat jika dilihat dari segi substansinya.

Dari segi prosesnya, Pemerintahan Megawati telah melanggar ketentuan Konstitusi yaitu UUD 1945 pasal 22 dan mengabaikan mandat Ketetapan MPR RI No.III tahun 2000 tentang Tata Cara Urutan Peraturan Perundang-undangan, dimana dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa "hanya dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tersebut harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan". Dalam proses penetapan Perpu No.1/2004 ini pemerintahan Megawati telah mengeluarkan Perpu tanpa memberikan alasan jelas. Pemerintah juga tidak mensosialisasikan lebih dulu alasan tersebut kepada masyarakat. Selain itu, persetujuan dari DPR dikesampingkan dan secara gamblang telah memotong proses pembahasan materi yang sedang dilakukan oleh DPR RI berkaitan dengan obyek materi yang diatur.

Sementara terhadangnya proses aktivitas penambangan di kawasan lindung bukanlah gambaran suatu kondisi negara dalam keadaan darurat. Sehingga Perpu hanya dijadikan alat legitimasi hukum untuk meloloskan kepentingan pihak penguasa dan pemodal.

Menurut Senior Investigator Petromine Watch, Ali Azhar Akbar, penerbitan Perpu ini sama sekali tidak memenuhi persyaratan keadaan darurat. "Selain itu, ada perubahan sikap dari Menteri Kehutanan, Prakosa, yang sebelumnya ngotot melarang tetapi kini justru menyetujui," ujarnya. Sehingga timbul kecurigaan terhadap keluarnya Perpu tersebut, yang disinyalir diliputi nuansa persekongkolan sebagai alat untuk mengisi dompet dana kampanye sejumlah partai politik dan calon presiden Pemilu 2004.

Dari segi substansinya, Perpu itu sama sekali tidak mencerminkan adanya keberpihakan terhadap nasib jutaan rakyat dan keberlanjutan fungsi hutan lindung. Perpu itu justru merefleksikan keberpihakan Pemerintah Megawati terhadap kepentingan para investor tambang yang notabene dikuasai oleh korporasi multinasional. Sementara kepentingan rakyat yang di seputar lokasi yang telah lama hidup di bawah garis kemiskinan malah diabaikan.

Hal ini terlihat jelas dari konsideran yang tercantum dalam Perpu itu dimana disebutkan bahwa Perpu itu dibuat demi terciptanya kepastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan di kawasan hutan, dan mendorong minat serta kepercayaan investor untuk berusaha di Indonesia.

Potret Buram Masa Depan Hutan dan Masyarakat Adat Indonesia

Kondisi hutan Indonesia saat ini berada dalam ambang batas kritis. Seperti gambaran yang disampaikan Walhi, bahwa hutan Indonesia dalam tiap menitnya berkurang sekitar 3,3 hektar. Dan luas tersebut sama dengan tiga kali lapangan sepak bola. Padahal luas keseluruhan hutan Indonesia saat ini tersisa sekitar 98 juta hektar, dan paling sedikit setengahnya dipercaya telah mengalami degradasi akibat kegiatan manusia. Tingkat laju pengurangan hutan (deforestasi) dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang sangat tajam. Indonesia telah kehilangan sekitar 17% hutannya pada periode 1985 dan 1997. Rata-rata negara kehilangan 1 juta hektar hutan setiap tahun pada tahun 1980-an, dan meningkat menjadi 1,7 juta ha per tahun pada tahun 1990-an. Sejak tahun 1996, deforestasi meningkat sampai 2 juta hektar pertahun. Saat ini laju kerusakan hutan meningkat menjadi 2,4 juta hektar/ tahun (Forest Wact Indonesia: 2003).

Warna suram kondisi hutan Indonesia di atas diperparah dengan keluarnya Perpu No. 1 Tahun 2004 yang memberikan izin operasi perusahaan tambang di kawasan hutan lindung. Apalagi, banyak wilayah konsesi perusahaan-perusahaan tambang itu yang berada di kawasan taman Nasional, bahkan beberapa di antaranya berada di lokasi yang ditetapkan sebagai kawasan warisan dunia (world heritage). Misalnya, areal konsesi Perusahaan tambang emas Newmont Horas Nauli dan Sorikmas Mining, di Mandailing Natal (Sumut) berada di kawasan hutan lindung Batang Gadis yang ditetapkan sebagai Taman Nasional.

Lantas, bagaimana nasib masyarakat adat di sekitar 13 lokasi yang menjadi areal konsesi perusahaan pertambangan? Populasi masyarakat adat yang berada di sekitar 13 kawasan tersebut berjumlah sekitar 7 juta orang. Jika ditelisik ke belakang, praktek pertambangan Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir telah banyak menimbulkan masalah terhadap masyarakat adat dalam bentuk pelanggaran HAM, penggusuran lahan dan juga perusakan lingkungan hidup. Misalnya, menurut data yang dikeluarkan oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), ada sekitar 25 ribu anggota komunitas adat Amungme dan Komoro yang menderita karena kehadiran Freeport Indonesia; sekitar 20 ribu warga komunitas adat Dayak Siang, Murung dan Bekumpai yang kehilangan pendapatan karena lokasi tambangnya diberikan pada PT. IMK; sekitar 12 ribu orang Kelian harus kehilangan kampung dan mata pencaharian karena kehadiran PT. Kelian Equatorial Mining, dan ada puluhan ribu orang yang tidak bisa memanfaatkan sungai Tiku karena tercemar limbah PT. Barisan Tropical Mining. Sementara itu, menuruta data yang dikeluarkan KOMPAS, ada 14 kasus pertambangan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan. Kasus-kasus tersebut hampir memiliki kesamaan, yakni pembuangan limbah pertambangan yang di buang secara serampangan ke sungai dan laut. Tak bisa dipungkiri bahwa air adalah sumber kehidupan umat manusia, namun air tersebut tidak bisa dimanfaatkan karena sudah tercemar limbah pertambangan. Belum terhitung lagi penderitaan komunitas adat Dongi di Soroako, Minahasa, Sumbawa dan daerah lain yang juga menderita karena kehadiran perusahaan tambang di kesatuan wilayah adatnya. Kasus terakhir yang mencuat adalah terkontaminasinya masyarakat Buyat oleh air raksa (mercuri) yang melebihi ambang batas normal, hingga menimbulkan korban nyawa. Limbah tailing yang dibuang ke laut oleh perusahaan pertambangan PT. Newmont Minahasa Raya (NMR) yang menjadi penyebabnya.

Pertambangan dan devisa negara

Bagi negara, investasi pertambangan adalah aset yang harus dilindungi (kadang menggunakan kekerasan melalui aparat) dan dihormati (sering berlebihan), serta diakselerasi kehadirannya (melalui insentif dan disinsentif), karena investasi tambang mendukung pertumbuhan ekonomi dan mendatangkan masukan langsung kas negara melalui pembayaran pajak dan royalti. Tapi benarkah itu? Karena selama ini negara telah dikecohkan oleh angka kontribusi sektor pertambangan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tidak heran, karena dari segi angka-angka, sektor ini memegang peran penting bagi pendapatan negara. Menurut Price Waterhouse Coopers (PWC) pendapatan negara tahun 1998 dari 12 industri tambang yang mereka survey sebesar Rp. 5.666.000.000.000 (lima triliun enam ratus enam puluh enam miliyar rupiah). Sepintas terlihat suatu angka yang sangat besar. Angka ini yang selalu dibanggakan oleh pelaku pertambangan di Indonesia termasuk pemerintah.

Namun, sayang tidak ada satu perhitungan (baik pemerintah, pelaku pertambangan maupun PwC) yang membandingkan antara pendapatan negara dari pajak dan royalti dengan laju kerusakan hutan alam, hancurnya ekosistem sungai dan laut, kontaminasi air bersih oleh logam berat, harga mineral yang diberi gratis, ditinggalkannya danau-danau besar beracun pasca penambangan, menurunnya pendapatan penduduk lokal dan hilangnya keragaman hayati akibat kegiatan penambangan. Jika dilakukan perbandingan, maka negara dan pelaku tambang tidak lagi bangga, karena akan terlihat besaran kontribusi pertambangan bagi pemiskinan struktural penduduk lokal dan terancamnya keselamatan generasi mendatang karena lingkungan hidup yang dicemari.

Berkaitan dengan keluarnya Perpu No. 1 Tahun 2004, hasil perhitungan yang dilakukan oleh Greenomics Indonesia, kontribusi sektor pertambangan sebenarnya tidak sebanding dengan nilai kerugian ekologi yang harus dibayar. Dari hasil studi menunjukkan bahwa 25 wilayah kabupaten/kota yang akan dijadikan lokasi kegiatan tambang, akan mengalami kehilangan nilai ekonomi modal ekologi tidak kurang dari Rp 70 triliun per tahun dengan pemberlakuan Perpu No. 1/2004 di atas. Padahal nilai ekonomi modal ekologi ini hanya dihitung dari kawasan hutan lindung yang luasnya tidak lebih dari satu juta hektar, hanya 925.000 hektar. Sementara nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari 25 kabupaten/kota tersebut rata-rata hanya sekitar Rp 42 triliun per tahun. Artinya ada selisih Rp 38 triliun, dan itu harus ditanggung oleh pemerintah daerah.

Pemerintah juga harus berpikir ulang karena eksploitasi tambang terbuka di hutan lindung secara bertahap akan menurunkan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sekitar Rp 23,05 triliun per tahun nilai PDRB di 25 kabupaten/kota akan menyusut, setidaknya ketika modal ekologi terdivestasi pada tingkat yang signifikan selama 14 tahun ke depan. Nilai PAD 25 kabupaten/kota yang hanya sekitar Rp 93 miliar pada tahun 2003 juga akan turut terdivestasi, karena praktik tambang terbuka di hutan lindung akan menciptakan perekonomian lokal serba mahal. Ini adalah konsekuensi logis dari divestasi peranan ekologis hutan lindung yang dimainkan oleh Daerah Aliran Sungai (DAS) terhadap berbagai kegiatan perekonomian masyarakat, seperti pertanian, perikanan, industri, dan lain sebagainya.

Globalisasi Ekonomi dan Pengaruhnya bagi Pertambangan Indonesia

Keluarnya Perpu No. 1 Tahun 2004, harus juga dilihat dalam bingkai globalisasi. Krisis kapitalisme yang terjadi, mendorong korporasi-korporasi internasional mencari lahan-lahan baru yang penuh dengan potensi sumber daya alam. Dan lahan-lahan tersebut ada di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia. Dalam skenario globalisasi, program penyesuaian struktural/Structural Adjustment Programme (SAP) harus diterapkan oleh negara-negara pengutang seperti Indonesia. Salah satu point dalam SAP adalah deregulasi kebijakan. Artinya, pemerintah Indonesia harus men-deregulasi (mengubahnya sesuai kepentingan bisnis multinasional lewat instrumennya seperti WTO) kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip investasi. Nah, karena investasi di pertambangan terinterupsi dengan adanya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Maka harus disusun satu regulasi baru, yakni Perpu No. 1 Tahun 2004 yang pada prinsipnya menambah ketentuan baru pada UU No 41/1999, yang menegaskan, semua perizinan atau perjanjian pada bidang pertambangan di kawasan hutan lindung sebelum berlakunya UU itu dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian tersebut.

Peran lembaga keuangan global juga mewarnai buruknya wajah pertambangan di Indonesia. Beberapa perusahaan besar seperti Newmont Nusa Tenggara (NNT) dan INCO yang membangun operasional tambangnya dengan mekanisme Eksport Credit Agency's (ECA's). Dengan skema ECA's, pemerintah akan menanggung sejumlah hutang jika terjadi masalah atau kegagalan dalam pertambangan NNT. Hutang negara ini secara tidak langsung akan menjadi hutang rakyat Indonesia. Bahkan untuk menutup pertambangannya pada tahun 2003, PT KEM mendapat pinjaman Bank Dunia dengan tanggungan pemerintah Indonesia. Sumber daya mineral terkuras habis, lahan bekas tambang rusak berat, dan harus menanggung hutang untuk memperbaikinya.

Membangun Kekuatan, Menghadang Pertambangan

Kini, persiapan tengah dilakukan maskapai-maskapai pertambangan raksasa yang telah mendapat izin beroperasi, untuk mengekstrasi semua potensi sumber daya mineral yang terkandung di bawah tanah didalam kawasan hutan lindung. Tidak lama lagi, deru mesin-mesin pertambangan yang memekakan telinga akan terdengar di tengah hutan yang sebelumnya hening dan tenang. Haruskah hal ini kita diamkan? Jawabannya TIDAK!

Mulai saat ini, konsolidasi komunitas-komunitas adat harus segera diintensifkan. Tidak ada jalan lain kecuali merancang satu agenda bersama, yang menghasilkan sebuah strategi dan taktik untuk menghadang masuknya perusahaan pertambangan di wilayah persekutuan adat kita. Lebih baik mengantisipasi sejak dini dari pada terlanjur terjadi bencana lingkungan yang menghancurkan masa depan generasi selanjutnya.

Pengalaman menunjukkan bahwa kita selalu kalah ketika melawan suatu kebijakan setelah ia dilaksanakan dalam kampung-kampung kita. Karena itu kita harus sudah menolak sebelum ia masuk dan mengobrak-abrik kampung kita.