Thursday, February 15, 2007

NYELEKIT

Semua kita pernah mendengar kisah tentang akhir dunia. Sebuah keadaan di mana kehidupan akan punah di muka bumi, dan akan digantikan oleh kehidupan baru. Surga bagi yang taat dan neraka bagi yang ingkar.

Konon, awal mula dunia, menurut kisah yang kita dengar itu pula, sangatlah indah dan damai sejahtera. Dengan bertambahnya umur dunia, bertambah pula manusia. Dan yang terakhir inilah sumber segala masalah yang saat ini kita semua hadapi. Alam hampir selalu dapat dikatakan sebagai berkah bagi manusia. Sebaliknya, manusia menjadi sumber kehancuran bagi alam dan dirinya sendiri.

Penghancuran alam, bukan lagi sebuah kisah masa lalu. Ia terjadi saat ini dan di sini. Ia bukan tindakan iblis yang gaib di mana-mana. Ia terjadi karena ulah manusia. Kelangsungan pelayanan alam sebagai syarat hidup bagi manusia sungguh terancam. Hal ini mungkin diketahui oleh semua orang, tapi tidak semua orang memahami dan menghayatinya. Buktinya banyak orang melakukan tindakan yang menghancurkan alam. Menebang habis hutan secara haram, membunuh hewan secara brutal, mengusir sesama manusia dari tempat pemukimannya, mengeduk permukaan bumi sampai hancur lebur, bahkan jual beli makhluk hidup, termasuk menjual manusia adalah tindakan yang terus dilakukan oleh banyak orang sampai saat ini. Bila kita bertanya untuk apa semua itu dilakukan, maka ternyata jawabannya cuma satu: demi uang.

Artinya, kehancuran alam disebabkan oleh sistem besar yang telah meletakkan uang sebagai segala-galanya bagi kehidupan manusia. Sistem itu, entah dia kapitalisme maupun sosialisme, entah dia individualisme atau komunalisme, entah dia rasiolanisme atau skeptisisme, dan entah apa lagi paham yang hidup saat ini, ternyata belum mampu membebaskan diri sepenuhnya dari jeratan sistem ekonomi ini bahkan dari jeratan paham besarnya.

Ketika kita semua berteriak tentang hak bersama atas tanah dan sumberdaya alam, kita toh ternyata masih berperilaku individual ketika kita masuk dalam urusan pasar. Ketika tanah dan hutan belum berhasil direbut kita semua berteriak tentang hak komunitas, namun setelah berhasil mendapatkannya, baik melalui reklaiming, maupun melalui perjuangan melalui advokasi kebijakan, ternyata kita saling berebut sendiri tanah-tanah itu, kita malah menjualnya kembali, atau menggadaikannya. Pertanyaannya, bila kita memang memandang tanah, hutan dan semua sumberdaya itu sebagai sumber ekonomi dan sumberbudaya, bahkan sebagai asal muasal kita, mengapa tindakan kita justru mencerminkan perilaku kita yang hanya memperlakukan tanah, hutan dan sumberdaya alam lainnya sebagai sumber uang semata?

Apa yang dicita-citakan oleh perjuangan masyarakat adat dalam kerumitan kehidupan nyata seperti ini? Dalam bulan puasa ini, seluruh umat muslim mendapatkan berkah berlimpah karena iblis dirantai dan manusia boleh beribadah dengan merdeka dari jeratan iblis. Kita mengarapkan agar dalam periode pemerintahan kita yang baru, bukan hanya iblis yang dirantai, melainkan seluruh manusia yang menghancurkan alam turut dirantai, dan kita yang masih merdeka boleh bertindak sesuai dengan cita-cita yang kita pekikan setiap saat: bersatu untuk mendapatkan hak kita yang dirampas.

No comments: