Friday, August 15, 2008

Lembaga Keuangan Internasional


Lembaga keuangan internasional (International Financial Institutions, IFI) umumnya dikenal dua yang utama, yaitu Bank Dunia dan IMF. Bank Dunia atau lebih tepat Kelompok Bank Dunia, yang terdiri dari Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD), Asosiasi Pembangunan Internasional (IDA), Perusahaan Keuangan Internasional (IFC), Badan Penjamin Penanaman Modal Multilateral (MIGA), dan Badan Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Internasional (ICSID). Namun dalam tulisan ini, yang dimaksudkan dengan “Bank Dunia” terutama adalah tiga badan yang pertama, yaitu IBRD, IDA dan IFC. Secara historis ketiga badan ini pula yang paling besar peranannya sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua dan terbentuknya PBB. IBRD dibentuk 1945 untuk memfasilitasi pemulihan dan pembangunan di Negara-Negara anggota; IFC dibentuk 1956 untuk membiayai perusahaan-perusahaan swasta yang melakukan investasi dalam projek-projek pembangunan; IDA dibentuk 1960 dengan tujuan memberikan pinjaman (baca: hutang) kepada negara-negara miskin.[1]

Yang perlu dipahami tentang Bank Dunia adalah bahwa meskipun ia merupakan salah satu specialized agencies dari PBB, namun ia tetap sebuah bank dalam arti sesungguhnya, yaitu berorientasi mencari keuntungan sebesar-besarnya dan melipatgandakan modalnya dengan biaya sesedikit mungkin. Perilakunya sebagai seubah bank, tercermin dari sistem keanggotaan dan pemilikan sahamnya. Anggota Bank Dunia adalah anggota PBB yang sekaligus menjadi pemegang saham Bank Dunia. Besarnya saham masing-masing anggota ditentukan oleh besarnya dana yang diberikan oleh sebuah negara untuk menjadi modal Bank Dunia. Dan dengan demikian sistem pengambilan keputusan dalam Bank ini bukan berdasarkan sistem satu anggota satu suara, melainkan berdasarkan sistem satu dollar satu suara. Sehingga negara yang paling besar sahamnya di Bank sekaligus merupakan negara yang paling banyak suaranya dalam menentukan arah kebijakan Bank.

Pelipat-gandaan modal dilakukan melalui investasi dan pemberian pinjaman kepada negara-negara anggota dengan menerapkan sistem bunga bagi setiap pinjaman. Panduan dalam pelaksanaan kebijakan Bank Dunia umumnya dicantumkan dalam sebuah dokumen yang dikenal dengan Operational Directive (OD). OD 4.20 yang diadopsi pada September 1991 mendapat banyak kritikan serius berkaitan dengan banyaknya pelanggaran HAM serius yang terjadi selama pelaksanaan projek-projek yang didanai Bank Dunia. Oleh karena itu Bank kemudian melakukan inisiatif untuk mengganti OD 4.20 dengan sebuah panduan yang baru, yang dikenal dengan Operational Procedure/Bank Procedure (OP/BP) 4.10. Sampai saat ini belum ada keputusan final dari Bank tentang pengadopsian OP/BP 4.10 sebagai pengganti OD 4.20. Dengan demikian masih tetap berupa draft. Bagaimana tanggapan berbagai organisasi masyarakat adat di dunia terhadap draft OP/BP 4.10 bisa tercermin dari pernyataan yang dikeluarkan oleh masyarakat adat dalam sebuah roundtable meeting di Washington DC, 18 Oktober 2002:

“We have so far been denied the opportunity to significantly shape the outcome of the policy revision and that the Bank has not addressed our principal concerns and our proposals on how to improve the existing policy “;

“We as indigenous peoples do not feel empowered by Draft DRAFTOP/BP 4.10 because our rights are not recognized and for this reason we reject this draft revised policy because it does not respect our rights guaranteed under international law “.

Dua paragraf pernyataan ini dapat menjelaskan hubungan antara masyarakat adat dengan Bank sejauh ini. Pertama dikatakan bahwa Bank sama sekali tidak menegaskan persoalan mendasar dari masyarakat adat – berkaitan dengan keberadaan dan hak atas tanah adat, dan kedua menolak draft revisi kebijakan Bank karena tidak menghormati hak-hak masyarakat adat yang dijamin dalam hukum internasional. Sebuah kajian resmi yang dilakukan oleh Bank Dunia untuk menilai sejauh mana peranan Bank Dunia dalam industri pertambangan dan dampaknya terhadap masyarakat setempat adalah melalui sebuah upaya yang dikenal dengan World Bank Extractive Industries Review. Bank menunjuk Dr. Emil Salim untuk melakukan pengkajian dan hasilnya kemudian diserahkan kepada Presiden Bank Dunia saat itu, James Wolfenson. Laporan yang diberi judul: “Laporan Akhir Kajian Industri Pertambangan: Mencari Keseimbangan yang Lebih Baik” mengandung beberapa rekomendasi penting bagi Bank dalam menjalankan kebijakannya ke depan.

Tanggapan dari pihak Manajemen Bank Dunia sungguh mengejutkan karena intinya adalah Menolak Rekomendasi Kajian. Yang mengherankan di sini adalah bahwa inisiatif kajian ini merupakan datang dari Bank Dunia, sehingga menjadi aneh bahwa Bank menolak sendiri hasil kajian yang diinisianya sendiri. Hal-hal yang ditolak oleh pihak Manajemen Bank Dunia antara lain adalah:

  • Memberikan informasi dan mendapatkan persetujuan atau penolakan dari masyarakat adat dan lokal (FPIC) yang terkena dampak proyek pertambangan sebagai prasyarat pembiayaan;
  • Memastikan hak-hak Masyarakat Adat atas tanah terjamin sebagai syarat pembiayaan proyek;
  • Memastikan keuntungan proyek yang dibayai Bank Dunia diterima dan memberikan manfaat bagi masyarakat yang terkena dampak;
  • Jaminan untuk kebebasan berserikat di dalam proyek-proyek yang dibiayai Bank Dunia sebagai pemenuhan dan perlindungan terhadap HAM dan Hak tenaga kerja/buruh;
  • Memastikan bahwa ada struktur tata pemerintahan yang baik sebelum pendanaan proyek dan pelaksanaannya;
  • Perlindungan terhadap keanekaragaman hayati melalui pembentukan daerah larangan untuk habitat-habitat yang kritis yang diakui secara internasional;
  • Jaminan bahwa pembuangan limbah tambang di dasar laut tidak diterapkan pada proyek-proyek tambang yang dibiayai Bank Dunia;

Manajemen Bank Dunia secara tegas dan gamblang menyebutkan penolakannya untuk memberikan kepada Masyarakat Lokal atau Masyarakat Adat apa yang disebut “Hak Veto” terhadap investasi yang dibiayai Bank Dunia meskipun investasi tersebut akan menimbulkan banyak dampak buruk bagi masyarakat adat dan lokal.

Indonesia? Jawaban paling mudah adalah bahwa negara kita memiliki hutang yang besar kepada lembaga-lembaga keuangan internasional, sehingga hampir tidak memiliki posisi tawar dalam membuat atau menyepakati sebuah perjanjian dengan lembaga-lembaga tersebut. Dengan demikian, untuk mendapatkan hutang lebih lanjut, pemerintah Indonesia mau tak mau harus menyetujui untuk menjalankan klausul-klausul yang ditetapkan dalam perjanjian. Antara lain adalah melaksanakan SAP dengan antara lain melakukan deregulasi kebijakan. Implikasi paling mutakhir dari deregulasi kebijakan adalah dikeluarkannya Perpu No. 1 thn 2004. Dengan adanya Perpu ini, maka berbagai perusahaan pertambangan dapat meneruskan projek pertambangannya dalam kawasan lindung tanpa haru terbentur pada UU Kehutanan No. 41 thn 1999. Jelas nampak di sini bahwa peraturan perundangan nasional pun dikendalikan oleh kepentingan ekonomi dan bisnis berbagai lembaga-lembaga keuangan internasional dan perusahaan-perusahaan multinasional/transnasional.

Bentuk lain pengabaian terhadap hak masyarakat adat juga dapat dijumpai dalam peraturan internasional tentang hak pemilikan intelektual masyarakat adat (TRIPs). Berbagai proyek yang menggunakan kekayaan intelektual masyarakat adat sama sekali tidak memberikan keuntungan dan manfaat apa pun bagi masyarakat adat yang menjadi sumber pengetahuan tersebut. Kebanyakan projek pengembangan dan komersialisasi kekayaan intelektual masyarakat adat di danai juga oleh Bank Dunia. Nilai ekonomi dari penjualan kekayaan intelektual ini bernilai miliaran dollar per tahun, tanpa dapat dinikmati oleh masyarakat adat. Sebuah laporan yang dikeluarkan oleh IWGIA, Denmark, menunjukkan bahwa pada 1985, di negara-negara maju, nilai penjualan obat yang berasal dari tanaman saja, yang sebagian besar diambil dari kawasan hutan tropis dalam ruang lingkup wilayah adat berbagai komunitas, mencapai 43 miliar dollar.

Dalam sebuah tinjauan komparatif yang dilakukan oleh Forest Peoples Programme (FPP) terhadap berbagai kebijakan lembaga donor dan agen-agen pembangunan internasional ditunjukkan bahwa hanya sejumlah kecil saja lembaga-lembaga ini yang memiliki kebijakan khusus yang mengedepankan persoalan kebutuhan dan hak-hak masyarakat adat. Secara garis besar, temuan tinjauan komparatif tersebut digambarkan sebagai berikut:


Bank Dunia dan Penghancuran Iklim

Maraknya isu perubahan iklim akhir-akhir ini mengharuskan tiap-tiap Negara di dunia memformulasikan kebijakan mengenai pengurangan (mitigasi) emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor energinya. Namun yang perlu dilihat bahwa terjadinya global warming tidak terlepas dari peran lembaga keuangan Internasional seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) yang telah beroperasi berpuluh-puluh tahun untuk membiayai proyek yang menyebabkan terjadinya deforestasi dan penggunaan energi fosil sebagai menyumbang terbesar terjadinya pemanasan global. Menjadi sangat ironis jika sekarang lembaga keuangan internasional tersebut berperan menjadi penyelamat lingkungan dengan mendorong inisiatif untuk mengatasi pemanasan global, karena mereka selama bertahun-tahun telah mendukung proyek penghancuran iklim global dengan utang yang mereka kucurkan kepada korporasi dan pemerintah negara berkembang.

Dalam Laporan rutin International Financial Corporation (IFC) tahun 2007 menyebutkan bahwa Bank Dunia memberikan utang ke sektor swasta (private sector loan) lebih dari $645 Million kepada perusahaan minyak dan gas bumi1. Jumlah ini meningkat 40 % dibandingkan tahun 2006. Disamping itu komitmen Bank Dunia untuk membiayai perusahaan swasta yang bergerak di sektor energi pada tahun 2006 meningkat dari $2.8 billion to $4.4 billion. Sektor minyak dan gas serta pembangkit tenaga memperoleh porsi terbesar dengan 77% dari total komitmen sedangkan sektor energi terbarukan hanya memperoleh 5 % dari total komitmen2.

Jelas bahwa IFC yang termasuk dalam group Bank Dunia telah mendorong terjadinya pemanasan global dengan melalui utang yang mereka berikan kepada sektor swasta untuk membiayai ekstraksi sumber daya alam terutama energi fosil yang meyebabkan meningkatnya emisi karbon.

World Bank Group Extractive Industries Projects FY05 & FY06 (million US$)

FY05 FY06 % change


All Extractives

Fossil Fuels

All Extractives

Fossil Fuels

All Extractives

Fossil Fuels

World Bank

327

101,8

452

414

38%

307%

IFC

334,3

274

533,98

454,5

60%

66%

MIGA

94

75

110

0

17%

-100%

World Bank Group

755,3

450,8

1096

869

45%

93%

Sumber : Laporan IFC tahun 2007 diolah

Telah terjadi peningkatan jumlah uang untuk membiayai proyek di industri ekstraktif sebesar 60% dari tahun 2005 yang diberikan IFC kepada perusahaan multinasional, sedangkan proyek untuk ekstraksi bahan bakar minyak meningkat sebesar 66%. Group Bank Dunia terutama IFC yang lebih memilih membiayai perusahaan multinasional yang bergerak dibidang ekstraksi minyak dan gas, didasari pada keuntungan yang akan kembali atau dengan kata lain Bank Dunia lebih memilih menerapkan bisnis as usual dalam praktek kerjanya. Hal ini menunjukkan bahwa Bank Dunia akan mengabaikan faktor pembangunan yang berkelanjutan asalkan dapat memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.


Menjarah SDA Indonesia

Untuk membayar kompensasi bail-out sebesar US$43 miliar di tahun 1997, Indonesia harus mengupayakan kembali keseimbangan neraca pembayaran dan mengimplementasikan reformasi kebijakan terutama di sektor publik. Hal ini terkait kebijakan pemotongan subsidi, privatisasi BUMN dan perluasan peran swasta. Beberapa paket resep generik IMF dan Bank Dunia dikemas dalam Letter of Intent (LoI), dan wajib diimplementasikan dalam kebijakan pemerintah.

Lewat LOI antara pemerintah Indonesia dan IMF menyebabkan terjadinya peningkatan ekstraksi sumberdaya alam terutama kayu dan peningkatan lahan produksi kelapa sawit. Hal ini disebabkan karena dalam poin-poin perjanjian dalam LOI menghendaki pemerintah Indonesia untuk meningkatkan pendapatan melalui peningkatan eksport terutama hasil hutan. Dalam LOI pasal 37 mensyaratkan pemerintah untuk mengurangi pajak eksport atas kayu utuh, kayu olahan, rotan dan mineral maksimum 30 persen pada 15 april 1998 dan 10 persen pada desember 2000.

Selain itu IMF juga mensyaratkan untuk mengganti hambatan eksport untuk minyak kelapa sawit dengan pajak sebesar 40%. Besarnya pajak ini akan ditinjau ulang secara reguler untuk memungkinkan dilakukannya pengurangan berdasarkan harga pasar dan nilai tukar. Besarnya pajak akan turun hingga 10 persen pada akhir desember 1999. sedangkan dalam pasal 39 mengharuskan pemerintah untuk membuka kembali pintu investasi asing, hal ini dibuktikan oleh pemerintah dengan menghilangkan hambatan investasi asing di perkebunan kelapa sawit pada Februari 1998.

Tidak hanya itu, lewat program penyesuaian struktural Bank Dunia dan ADB juga memberikan utang yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam. Bank Dunia misalnya mendesak untuk meliberalisasi pengelolaan sumber daya air lewat utang sebesar US$ 300 juta untuk program Water resources structural adjustment loan (WATSAL).

Pinjaman

Perihal

Lembaga donor

US$ 1 milyar

Policy reform support loan

Bank Dunia

US$ 500 juta

Policy reform support loan II

Bank Dunia

US$ 300 juta

Water resources structural adjustment loan (WATSAL)

Bank Dunia

US$ 50 juta

Land administration project I

Bank Dunia

US$ 60 juta

Land administration project II

Bank Dunia

US$ 64 juta

Land management policy and development project (LMPDP)

Bank Dunia

US$ 400 juta

Power sector restructuring program

ADB

Sumber : Diolah dari berbagai sumber

Terkait dengan upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), Bank Dunia sangat merekomendasikan untuk penggunaan teknologi penyimpanan energi karbon (carbon capture and storage/CCS) dan teknologi batu bara bersih (clean coal technology/CCT) hal ini terlihat dalam Investment framework Bank Dunia tentang energi bersih dan pembangunan 2006 yang menyatakan bahwa proyek CCS dan CCT akan mendapat prioritas dukungan dana.

Dengan merekomendasikan kedua proyek ini maka jelas Bank Dunia ingin memperbesar keuntungan dengan memaksakan penggunaan teknologi ini dinegara berkembang. Hal ini disebabkan karena utang luar negeri juga merupakan alat untuk transaksi barang dan jasa terutama teknologi dari negara maju ke negara berkembang. Selain itu teknologi tersebut tidak menjamin pengurangan emisi karbon secara drastis terlebih biaya proyek tersebut sangat mahal. Adaptasi kedua proyek tersebut pada negara berkembang termasuk Indonesia akan semakin memperpuruk negara ini dalam jerat utang.


Strategi dan Taktik yang dapat dipergunakan

Organisasi masyarakat adat harus mengetahui strategi-strategi serta taktik yang dapat digunakan oleh masyarakat yang terkena dampak aktifitas Kelompok Bank Dunia.

Saat ini, kelompok Bank Dunia memiliki dua mekanisme independen yang dapat menjadi alternatif bagi masyarakat adat yang terkena dampak dari proyek maupun kebijakan yang didanai Kelompok Bank Dunia: Panel Inspeksi (Inspection Panel) dan Ombudsman Penasehat Ketaatan (Compliance Advisor Ombudsman (CAO)). Panel Inspeksi: tahun 1993, Bank Dunia menjadi Bank multilateral pertama yang mendirikan badan independen yang meninjau ulang operasi Bank Dunia. Mekanisme ini dikenal dengan Panel Inspeksi, yang terdapat di Dewan Direktur Bank Dunia sebagai respon terhadap kritik yang dating ke institusi ini terhadap pembiayaannya untuk proyek jalan di hutan tropis serta bendungan di area berpopulasi tingg. (Lihat Kotak di Bagian 2: “Investasi Infrastruktur: Jalan di Amazon”). Panel Inspeksi adalah badan dengan tiga keanggotaan dan sebuah sektretariat permanen, yang terdapat di markas besar Bank Dunia di Washington, DC. Panel ini menerima dan menginvestigasi komplain yang datang dari masyarakat yang telah ataupun dapat terkena dampak oleh aktifitas yang dibiayai oleh Bank Dunia (IDA atau IBRD) karena pelanggaran kebijakan maupun prosedur yang dimiliki Bank Dunia itu sendiri. Namun Panel ini tidak dapat memiliki jurisdiksi terhadap proyek yang dibiayai oleh tangan-tangan swasta Bank Dunia –International Finance Corporation (IFC) dan Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA). Ombudsman Penasehat: karena meningkatnya kekhawatiran publik terkait dengan dampak negatif yang timbul karena investasi yang didukung oleh tangan swastanya, pada tahun 1999, Bank Dunia mendirikan Pejabat Penasehat Ketaatan (CAO) untuk meninjau ulang IFC dan MIGA. Panel Inspeksi hanya menginvestigasi apakah Bank Dunia telah melanggar kebijakannya sendiri, CAO lebih memiliki mandat yang lebih luas. CAO juga memerankan peran penyelesai permasalahan (ombudsman) dan peran penasehat bagi manajemen IFC dan MIGA. Walaupun keduanya adalah bagian dari CAO, dan secara fisik terletak di markas Bank Dunia, keduanya terhitung independent karena tidak terkait dan terikat oleh manajemen Bank Dunia, IFC, dan MIGA.

Panel Inspeksi melaporkan langsung laporannya ke Presiden Bank Dunia. Inspeksi Bank Dunia dan CAO hanya dapat menginvestigasi dan menawarkan tindakan sebagai kompensasi dari Kelompok Bank Dunia. Mereka tidak memiliki otoritas akan tindakan klien Bank Dunia- pemerintah peminjam maupun perusahaan swasta, maupun membatasi mereka untuk sepenuhhnya melakukan komplain.


Apa yang diharapkan saat memasukkan komplain?

Komplain atau gugatan dapat dimasukkan melalui mekanisme akuntabilitas dengan beberapa alasan. Beberapa penggugat mengajukan gugatan karena mereka memiliki persoalan tertentu yang ingin diselesaikan, seperti tidak adanya kompensasi terhadap kehilangan tanah, maupun rusaknya penghidupan. Yang lain menyatakan bahwa mereka ingin menaikkan isu untuk menarik perhatian nasional maupun internasional agar pemerintah menanggapi serius dan bertindak serius terhadap kekhawatiran mereka. Biasanya, kalau memasukkan komplain di proses persiapan yang paling awal, semakin besar kesempatan Anda agar masalahnya dapat diselesaikan sesuai keinginan. Tapi, proses ini tidak juga membuat CAO maupun Panel Inspeksi memberikan rekomendasi moratorium aktifitas proyek selama kompalin diproses.

Problem umum dalam memasukkan klaim

  • Kelompok Masyarakat Sipil sering mengalami kesulitan dalam memenuhi persyaratan untuk memasukkan komplain, dan untuk mengerti kebijakan Bank Dunia dan mengerti proses mekanismenya
  • Sulit untuk menilai potensial keuntungan maupun kerugian yang didapat dari memasukkan kasus
  • Sulit untuk mengetahui berapa banyak pinjaman yang telah dicairkan (Panel hanya dapat menginvestigasi proyek sebelum 95%pencairan pinjaman)
  • Prosesnya dapat berlangsung lama, dengan konsumsi sumberdaya dan waktu yang tinggi tanpa garansi akan benefit yang dapat dilihat.
  • Akses terhadap mekanisme menjadi sulit terutama untuk kelompok tanpa fasilitas komunikasi yang modern (email maupun internet)


Tantangan Akuntabilitas Eksternal: Apa lagi yang dapat dilakukan?

Selain mekanisme akuntabilitas internal, kelompok masyarakat sipil telah mencoba menganalisa akuntabilitas Bank Dunia. Kasus terhadap institusi maupun staffnya belum dapat dimasukkan ke pengadilan karena kekebalan Kelompok Bank Dunia baik terhadap hukum nasional maupun internasional. Dengan situasi semacam ini, orang yang melakukan klaim sering mengkombinasikan beberapa strategi dan taktik. Alat penting lainnya yang dapat digunakan oleh masyarakat sipil adalah media. Karena sensitifitas Bank Dunia terhadap reputasinya, maka akan sangat membantu masyarakat sipil kalau media dapat menaikkan isu substansi kekhawatiran mereka. Taktik-taktik yang dapat dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil digunakan untuk menekan institusi ini termasuk mengorganisir hearing publik, mengadakan tribunal dengan orang-orang penting, melobi kalangan parlemen, dan mempromosikan sudut pandang kalangan parlemen terhadap Bank Dunia, melakukan tindakan ketidakpatuhan sipil terhadap Bank Dunia, mengadakan referendum, serta memasukkannya ke badan PBB serta entitasnya di tingkat regional, seperti Komisi Inter-American terhadap Hak Asasi Manusia. Tidak diragukan lagi, tindakan seperti ini akan menyorot isu dan menggaungkan persoalan, serta membantu meningkatkan tekanan kepada Bank Dunia.


Tribunal Independen dari Masyarakat

Tribunal Masyarakat Independen terhadap Kelompok Bank Dunia di India adalah merupakan forum bagi masyarakat dan komunitas yang terkena dampak dari proyek dan kebijakan yang didanai Bank Dunia. Peristiwa ini menyediakan kesempatan bagi mereka untuk menyatakan kekhawatirannya, meminta alternative dan membagi pengalamannya yang terkait dengan dampak sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan dari aktifitas Bank Dunia di negara mereka.


Resiko Terhadap Reputasi

Kelompok Bank Dunia sangat sensitif terhadap reputasinya sebagai lembaga internasional dengan misi menghapuskan kemiskinan. Saat kelompok masyarakat sipil mendokumentasikan kasus peningkatan pemiskinan dan kerusakan lingkungan akibat dari proyek institusi ini, justru disitulah kelompok ini menantang raison d’etre (berbagai alasan) Bank Dunia.


Singkatnya…!!!

  • Kelompok Bank Dunia memiliki dua mekanisme internal yang independen yang dapat digunakan oleh warga negara dapat mempengaruhi proyek maupun kebijakan yang disponsori oleh Kelompok Bank Dunia: Panel Inspeksi (Inspection Panel) dan Ombudsman Penasehat Ketaatan (Compliance Advisor Ombudsman (CAO)). Panel Inspeksi dapat menginvestigasi klaim terkait dengan dampak negatif yang dihasilkan oleh proyek Bank Dunia (IBRD/IDA), sementara CAO dapat meninjau ulang operasi IFC dan MIGA. Sangat penting mengetahui keuntungan dan pembatasan kedua mekanisme.
  • Strategi eksternal, seperti menggunakan pengadilan lokal dan internasional, forum masyarakat serta badan PBB, akan dapat mendorong akuntabilitasnya Kelompok Bank Dunia. Media dapat menjadi alat yang sangat kuat terkait dengan reputasi publiknya Bank Dunia.



[1] Lihat misalnya Daniel D. Bradlow Bank Dunia, IMF dan Hak Azasi Manusia, edisi terjemahan Indonesia diterbitkan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Cetakan Pertama, Mei 1999; atau Human Rights and Indigenous Peoples, A Handbook on the UN System; Florencia Roulet, IWGIA Document No. 92, Copenhagen 1999.