Monday, April 28, 2014

Stop Perluasan Kebun Sawit, Selamatkan Hutan Tersisa



Program-Program Prioritas Parlemen dan Pemerintahan Baru di Sektor Perkebunan dan Kehutanan

Pemilu legislatif baru saja usai. Pesta “demokrasi” ini menjadi momentum tepat menciptakan pemerintahan pro rakyat dan lingkungan. Seharusnya, pemilu legislatif ini menjadi titik balik untuk menyelamatkan kawasan hutan tersisa dari jarahan pemilik modal besar. Masa depan rakyat dan hutan sedang dipertaruhkan.

Selama lima tahun terakhir, pemerintah dan DPR dapat dikatakan gagal dalam melestarikan kawasan hutan. Luas kawasan hutan berkurang drastis karena keluarnya izin-izin konversi kawasan hutan untuk perkebunan sawit. Reforma agraria yang dikampanyekan Susilo Bambang Yudhoyono saat kampanye Pilpres tak dijalankan. Reforma Agraria malah diartikan sebagai bagi-bagi tanah kepada para pemodal, bukan buat rakyat. Faktanya bisa dilihat dari trend kepemilikan tanah dimana terjadi kosentrasi kepemilikan tanah secara massif ke segelintir pemilik modal.

Salah satu sektor yang berkontribusi besar atas penghancuran hutan dan lingkungan adalah sektor perkebunan sawit. Perjalanan sektor perkebunan sawit ini penting untuk diperbincangkan seiring terjadinya berbagai letupan kasus lingkungan dan konflik agraria dalam 5 tahun terakhir. Ada beragam topik yang lazim muncul dalam perdebatan mengenai sawit, antara lain problem lingkungan dan konflik lahan.
 
Luas Perkebunan Sawit di Indonesia
Problem lingkungan biasanya terkait karakter sawit yang monokultur dan menuntut lahan massif. Kebun sawit tidak seperti hutan tropis alami yang memberi ruang atas keragaman makhluk untuk hidup di ekosistem yang sama. Demi hasil panen yang maksimum, makhluk hidup lain tak boleh ada di areal kebun sawit. Beberapa perusahaan bahkan melakukan jurus ekstrem untuk memurnikan kebun sawit yakni dengan memburu serta membantai monyet, gajah, ular dan orang utan. Satwa-satwa ini dianggap hama sehingga harus dimusnahkan untuk memaksimalkan hasil panen. Bahkan pihak perusahaan sawit dengan keji melibatkan masyarakat untuk memburu satwa-satwa yang dilindungi tersebut. Pihak perusahaan akan membayar penduduk yang berhasil menangkap satwa. Padahal satwa tersebut adalah penghuni kawasan hutan yang digusur untuk kepentingan perkebunan sawit.

Selain itu, konflik lahan juga sangat marak terjadi dalam 5 tahun terakhir. Inilah persoalan kronis, yang menumpuk dan menumpuk selama puluhan tahun, yang siap meledak di ratusan titik di wilayah Indonesia. Data olahan Sawit Watch menunjukkan bahwa kurang lebih sekitar 396 komunitas berkonflik dengan perusahaan perkebunan di 8 provinsi. Konflik terjadi umumnya karena tumpang tindih kepemilikan lahan antara izin konsesi perusahaan dengan wilayah kelola rakyat. Sementara itu data KPA memperlihatkan dalam dua periode kepemimpinan SBY, konflik agraria cenderung mengalami peningkatan. Sepanjang 2013, KPA mencatat 369 konflik agraria dengan luasan lahan mencapai 1. 281.660.09 hektar melibatkan 139.874 keluarga. Konflik perkebunan di peringkat teratas dengan 180 kasus (48,78%), disusul infrastruktur 105 kasus (28,46%), pertambangan 38 (10,3%), kehutanan 31 (8,4%), pesisir kelautan 9 (2,44%) dan lain-lain enama kasus (1,63%). Jadi, setiap hari terjadi lebih dari satu konflik agraria melibatkan 383 keluarga atau 1.532 jiwa dengan luasan wilayah sekiar 3.512 hektar.

Sektor kehutanan, area konflik agraria terluas sekitar 545.258 hektar disusul perkebunan 527.939,27 hektar dan pertambangan 197.365,90 hektar. Dibandingkan 2012, ada peningkatan areal konflik 318.248,89 atau naik 33,03 persen. Dari sisi jumlah kasus naik 198 atau 86,36 persen.

Selama lima tahun terakhir (2009-2013) terjadi peningkatan konflik sebanyak 314% atau tiga kali lipat jika dibandingkan 2009.  Areal konflik meningkat drastis mencapai 861% dan keluarga terlibat konflik naik tajam sebesar 1.744%.
 
Sebaran Konflik Lahan di Indonesia
Pada masa orde baru, kegelisahan petani dalam sengketa lahan nyaris tak pernah naik ke permukaan. Hal ini disebabkan pendekatan represif rezim Soeharto dalam meredam perlawanan rakyat. Mobilisasi pasukan tentara disertai dengan ancaman terror dan intimidasi cukup efektif dalam membungkam suara-suara kritis di akar rumput. Penjara dengan tuduhan subversif atau makar adalah senjata ampuh rezin orde baru untuk meredam perlawanan rakyat.  

Orde baru runtuh, rakyat Indonesia menyongsong orde reformasi. Cara represif mulai ditinggalkan, rakyat mulai mengorgansir diri menjajal daya tawar ke pemerintah, dan menuntut hak. Dan bagaikan bara api dalam sekam, sengketa kepemilikan lahan ini siap menjadi bahan bakar utama yang memaksa rakyat berhadapan dengan perusahaan dan aparat keamanan.

Konflik lahan kian menjadi karena pemerintah dan DPR tak melirik UUPA 1960 sebagai solusi penyelesaian konflik lahan. UUPA adalah satu-satunya perundangan yang mengatur pertanahan. Setengah abad berlalu sejak UUPA disahkan, pemerintah dan para politisi di gedung DPR tidak juga menempatkan persoalan agraria sebagai agenda legislasi dengan urgensi tinggi. Sebuah paradoks getir di negeri yang katanya negeri agraris.

Rezim SBY hanya menggunakan isu reforma agraria sebagai komoditi politik untuk menggalang dukungan terkait pencapresan dirinya. Tak ada tindakan konkrit dan nyata untuk melakukan reforma agraria. Letupan demi letupan terkait dengan konflik lahan antara masyarakat dengan perkebunan sawit berlangsung. Contohnya adalah kasus Mesuji dan Suku Anak Dalam di Jambi.

Nah, sejauh UUPA belum tergantikan, ada baiknya para legislator yang baru terpilih pada pileg 2014 merujuk kembali spirit utama dalam produk legislasi tersebut. UUPA jelas menyebutkan batasan kepemilikan lahan, ketentuan Hak Guna Usaha, hak pakai, hak ulayat dan hak memungut hasil hutan. Semangat reformasi dan perlindungan pada rakyat jelas terasa dalam UUPA. Adalah tugas parlemen dan pemerintah untuk secara serius membuat revisi perundangan dan turunannya secara jelas mengatur teknis kepemilikan tanah, air dan udara seperti dimaksud UUPA.

Moratorium Hutan dan Gambut Langkah Momen Pembenahan

Dari berbagai kompleksitas pengelolaan hutan, ternyata masih ada warisan pemerintahan SBY yang patut di apresiasi terkait dengan pengelolaan hutan, yakni kebijakan Moratorium Hutan. Setelah dihantam banyak pihak terkait persoalan sosial, lingkungan dan pemanasan global yang muncul akibat penggunaan lahan, perubahan peruntukan lahan, hutan, rezim SBY pun merespons tuntutan tadi dengan melakukan perbaikan terkait pengelolaan hutan. Khusus di sektor sawit, tekanan banyak pihak terhadap pengelolaan kebun yang amburadul bahkan sampai mendapatkan sanksi berupa pemutusan kontrak oleh pembelinya.

Menghadapi semua tekanan itu, Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhono (SBY), pada tahun 2009 di Pittsburg, Amerika Serikat, mengumumkan komitmen Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26%. Bila mendapat dukungan dari negara-negara lain, angka penurunan tadi masih bisa ditingkatkan hingga 41%.

Demi mewujudkan tekad itu, pemerintahan SBY membuat serangkaian kebijakan dan program pengurangan emisi. Setidaknya ada satu hal yang dilakukan yakni penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) No.10 Tahun 2011 tentang Moratorium (Penundaan) Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, pada bulan Mei 2011. Kemudian Inpres ini diperpanjang hingga tahun 2015. Dalam instruksi itu disebutkan soal moratorium izin baru konsesi hutan primer dan lahan gambut selama dua tahun, kecuali di sektor minyak dan gas, geothermal, padi dan tebu. Juga disebutkan, terbitnya satu peta indikatif hutan Indonesia.

Dengan penghentian sementara perizinan selama itu, banyak ahli memperkirakan Indonesia setidaknya menyelamatkan 64 juta ha sisa hutannya. Selain itu banyak pihak juga optimis bahwa dalam kurun waktu 2 tahun, pemerintah akan memiliki waktu yang cukup untuk memperbaiki sistem pengelolaan hutan.

Secara implisit Instruksi Presiden itu jelas mensyaratkan penghentian ekspansi perkebunan kelapa sawit selama dua tahun. Merasa dirugikan, Inpres tersebut langsung diprotes Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Bagi penulis, moratorium ini merupakan awal positif dan harus dijadikan moment bagi perbaikan mekanisme dan manajemen perkebunan sawit. Juga merupakan waktu yang tepat bagi penegakan hukum terkait penyelanggaraan perkebunan sawit. Ini warisan kebijakan yang harus dipertahankan oleh pemimpin Indonesia baru yang terpilih dalam Pilpres 2014.


Program Prioritas Menata Ruang  
Selain melanjutkan inpres tersebut di atas, anggota parlemen dan pemerintahan baru terpilih harus turut menyelesaikan persoalan penataan ruang. Di dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang penataan ruang itu disebutkan beberapa hal pokok soal perencanaan dan pengaturan wilayah demi penentuan arah pembangunan Indonesia yang memperhatikan pertambahan penduduk dan daya dukung alam. Salah satu bagian penting yang tertulis dalam UU tersebut adalah penyediaan ruang konservasi (lindung) di setiap wilayah yang besarannya mencapai 30% dari luas suatu kawasan itu. Artinya harus segera dibuat rencana tata ruang wilayah secara nasional sebagai rencana induk (master plan). UU inilah yang seharusnya menjadi UU payung bagi penyelesaian semua konflik keruangan dan juga dasar dari pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

Persoalan tata ruang ini harus menjadi prioritas penguasa baru Indonesia. Jika tidak, maka benturan pasti akan terjadi yang berujung pada konflik. Penyelesaian penataan ruang ini untuk mengantisipasi benturan sebagai berikut:

Pertumbuhan penduduk vs Ketersediaan Pangan.
Tingkat kelahiran yang masih tergolong tinggi  dan faktor migrasi penduduk dari wilayah lain ke suatu wilayah tertentu dipastikan akan menyebabkanketidakseimbangan ketersediaan pangan dan kebutuhan orang yang mengonsumsinya.

Pengangguran vs lapangan pekerjaan.
Tingkat pengangguran yang semakin meningkat sepanjang tahun 2008 akibat krisis global membuat banyak tenaga kerja  kembali ke kampung asal mengadu nasib dengan bertani/kebun sekedarnya.  Kepulangan para pekerja ini diyakini memunculkan benturan,  baik dengan perusahaan atau dengan pengelola kawasan konservasi, karena kelompok buruh ini juga membutuhkan lahan garapan setelah terkenan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).

Pemenuhan kebutuhan dasar vs krisis  air dan energy.
Penyempitan areal pertanian akibat konversi lahan menjadi perkebunan monokultur skala besar menyebabkan sumber Air untuk kebutuhan hidup rumah tangga  dan energy mengalami penurunan kualitas dan kuantitas.

Kebutuhan lahan antara masyarakat vs dunia usaha.
Kebijakan pemerintah yang terus memacu pertumbuhan ekonomi makro dengan memberikan kemudahan-kemudahan bagi dunia bisnis untuk berinvestasi menyebabkan sebagian besar lahan-lahan produktif  dikuasai dunia bisnis (Perkebunan, HTI, Migas).

Perambahan besar-besaran terhadap kawasan konservasi atau lindung
Dampak langsung penyempitan lahan kelola masyarakat menyebabkan kawasan-kawasan konservasi atau lindung menjadi terancam karena menjadi sasaran ekspansi pertanian/perkebunan masyarakat juga dunia industry. Selain konflik antar manusia, konflik dengan satwa juga semakin tinggi dan rentan terhadap bencana alam.

Menurut hemat penulis, untuk mengantisipasi potensi konflik besar di atas, setidaknya ada beberapa kementerian yang mesti duduk bersama membangun sinegisitas dalam pembuatan tata ruang wilayah nasional tersebut. Tentu saja dibutuhkan niat, kerja keras dan yang kuat antar dan inter kementerian tadi dalam pembuatan tata ruang nasional.

Khusus di sektor perkebunan sawit, penulis sangat berkeyakinan bahwa pembuatan dan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang dimulai dari tingkat wilayah dan pemerintahan terendah sampai tertinggi, terutama bupati, akan membuat aparat pemerintah (khususnya yang berkordinasi dibawah kementerian dalam negeri) akan lebih berhati-hati dalam memberikan ijin lokasi kepada dunia usaha di wilayah kekuasaannya. Apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran terhadap tata ruang tersebut, maka dia bisa dikenakan sanksi pidana dan perdata.

Selama ini ketiadaan peta tata ruang Kabupaten, Provinsi dan Nasional  menyebabkan mutu, cara pemanfaatan dan pengendalian ruang yang tersambung dengan daya dukung keruangan itu sendiri membuat pola pembangunan dan pengelolaan negeri ini karut-marut. Selain itu, benturan kepentingan sektoral di internal pemerintah menyebabkan kaburnya substansi pengendalian pembangunan. Juga tak terselesaikannya berbagai masalah- masalah yang di seputar keruangan.

Setelah menyelesaikan pembuatan perencanaan tata ruang wilayah nasional di atas, tugas lanjutan bagi parlemen dan pemerintahan baru adalah segera membuat peraturan teknis terkait pelaksanaan dan pengawasan jalannya UU tersebut, sebagaimana yang telah diamanatkannya. Hal ini sangat penting dan mendesak demi menghindari multitafsir dan kebingungan di masyarakat soal hak dan kewajibaan berkenaan dengan penataan ruang.

Penerapan Kajian Lingkungan Hidup Strategis
Setelah membuat dan melakukan sinergisitas terkait Penataan Ruang, hal strategis yang harus segera dilakukan parlemen dan pemerintahan baru terpilih adalah menerapkan pelaksanaan UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU baru dinilai banyak pihak sudah cukup lengkap dengan segala prasyarat lingkungan terhadap model pembangunan dan pengembangan atas satu kawasan berikut sanksi hukumnya.

Di pengantar UU No. 32 Tahun 2009 ini disebutkan bahwa hal yang dipertimbangkan sehingga peraturan hukum ini mesti segera diimplementasikan adalah:
1.    Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga Negara Indonesia
2.    Pembangunan ekonomi nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
3.    Semangat otonomi daerah telah membawa perubahan hubungan dan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah, termasuk di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
4.    kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguhsungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan;
5.    Pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
6.    agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem.

Demi pencapaian banyak hal di atas, UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jelas-jelas mensyaratkan dilakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang sangat mendukung dan bertalian erat dengan UU No.27 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Namun UU ini harus diperkuat dengan aturan tegas yang membatasi jumlah perusahaan yang beroperasi. Karena sejak UU ini diberlakukan, tidak ada aturan dalam KLHS yang membatasi berapa banyak perusahaan skala besar yang berbasis lahan boleh ada dalam satu kabupaten. Hal ini, harus diatur dengan jelas agar pembukaan lahan bagi perusahaan besar bisa ditekan.

Jika merujuk pada persoalan di atas, sudah saatnya parlemen dan pemerintah baru mengubah paradigm tentang hutan. Tantangan wakil rakyat yang terpilih adalah mengubah paradigma tidak menjadikan hutan sebagai sumberdaya yang dikeruk habis-habisan. Juga pembenahan managemen hutan yang saat ini tidak efektif. Pemimpin terpilih harus mengubah manajemen pengelolaan hutan agar lebih baik dari yang dijalankan Kemenhut saat ini.

Selama ini, hutan dianggap sebagai penggerak mesin uang kalangan politisi. Mereka membentuk rantai korupsi dan kolusi dengan pengusaha industri ekstraktif yang merusak dan mengeruk kekayaan alam tanpa mempedulikan kelestarian. Kerusakan alam karena salah kelola imbas dari kebijakan politik tak pro lingkungan. Persoalan hutan harus masuk ke dalam ranah politik.  Hal itu penting, karena masalah hutan sangat serius. Pada 1960-an, eksploitasi hutan sebagai sumber penggerak ekonomi. Ketika masuk era reformasi, sudah tidak lagi mengikuti rezim  itu. Namun masih belum juga membuat pengelolaan hutan yang baik menjadi agenda utama pemerintah. Hutan Indonesia, yang tersisa tinggal sedikit. Sebagian besar,  sudah diberikan izin pengelolaannya kepada swasta maupun asing. Hutan berubah menjadi perkebunan sawit, tambang dan lain-lain. Selamat bekerja.