Friday, January 26, 2007

Model-Model Kearifan Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam & Lingkungan Hidup

§ AWIG-AWIG (Lombok Barat dan Bali): Awig-Awig memuat aturan adat yang harus dipenuhi setiap warga masyarakat di Lombok Barat dan Bali, dan sebagai pedoman dalam bersikap dan bertindak terutama dalam berinteraksi dan mengelola sumberdaya alam & lingkungan .

§ REPONG DAMAR (Krui-Lampung Barat): Repong Damar atau hutan damar, merupakan model pengelolaan lahan bekas lading dalam bentuk wanatani yang dikembangkan oleh masyarakat Krui di Lampung Barat, yaitu menanami lahan bekas lading dengan berbagai jenis tanaman, antara lain damar, kopi, karet, durian.

§ HOMPONGAN (Orang Rimba-Jambi): Hompongan merupakan hutan belukar yang melingkupi kawasan inti pemukiman Orang Rimba (di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi) yang sengaja dijaga keberadaannya yang berfungsi sebagai benteng pertahanan dari gangguan pihak luar.

§ TEMBAWAI (Dayak Iban-Kalimantan Barat): Tembawai merupakan hutan rakyat yang dikembangkan oleh masyarakat Dayak Iban di Kalimantan Barat, yang didalamnya terdapat tanaman produktif, seperti durian.

§ SASI (Maluku): Sasi merupakan aturan adat yang menjadi pedoman setiap warga masyarakat Maluku dalam mengelola lingkungan termasuk pedoman pemanfaatan sumber daya alam.

§ PAMALI MAMANCING IKAN (Desa Bobaneigo-Maluku Utara): Pamali Mamancing Ikan merupakan aturan adat yaitu larangan atau boboso. Pamali Mamancing Ikab ini secara yurisdiksi terbatas pada nilai-nilai adat, dan agama, tetapi konsep property right ini terbentuk dari pranata sosial masyarakat yang telah berlangsung sejak lama dalam mengatur pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut.

§ SIMPUK MUNAN/LEMBO (Dayak Benuaq-Kalimantan Timur): Simpuk Munan atau lembo bangkak merupakan hutan tanaman buah-buahan (agroforestry) yang dikembangkan oleh masyarakat Dayak Benuaq di Kalimantan Timur.

§ KOKO DAN TATTAKENG (To Bentong-Sulawesi Selatan): Sebelum mengenal pertanian padi sawah, orang To Bentong mewariskan lahan bagi keturunannya berupa kebun (Koko) dan lading yang ditinggalkan (Tattakeng). Koko adalah lahan perladangan yang diolah secara berpindah, sedangkan Tattakeng adalah lahan bekas perladangan yang sedang diberakan.

§ MAPALUS (Minahasa-Sulawesi Utara): Mapalus pada masyarakat Minahasa, merupakan pranata tolong menolong yang melandasi setiap kegiatan sehari-hari orang Minahasa, baik dalam kegiatan pertanian, yang berhubungan dengan sekitar rumah tangga, maupun untuk kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan umum.

§ MOPOSAD DAN MODUDURAN (Bolaang Mongondow-Sulawesi Selatan): Moposad dan Moduduran merupakan pranata tolong menolong yang penting untuk menjaga keserasian lingkungan sosial.

§ KAPAMALIAN (Banjar – Kalimantan Selatan): Kapamalian merupakan aturan-aturan (pantangan) dalam pengelolaan lingkungan, misalnya larangan membuka hutan keramat.

§ PAHOMBA ( Sumba Timur- Nusa Tengara Timur ): Gugus hutan yang disebut Pahomba, terlarang keras untuk dimasuki apalagi untuk diambil hasil hutanya. Pada hakekatnya pohon-pohon di setiap pahomba itu berfungsi sebagai pohon-pohon induk yang dapat menyebarkan benih ke padang-padang rumput yang relatif luas.Karena itu, jika api tidak menghangus matikan anakan pepohonan itu, proses perluasan hutan secara alamiah dapat berlangsung. Pepohonan di pahomba disekitar batang sungai berfungsi sebagai riparian atau tumbuhan tepain sungai yang berfungsi sebagai filter terhadap materi erosi, dan sekaligus berfungsi sebagai sempadan alamiah sungai dan untuk pelestarian air sungai.

§ SUBAK (Bali): Salah satu teknologi tradisional pemakaian air secara efisien dalam pertanian dilakukan dengan cara Subak. Lewat saluran pengairan yang ada pembagian aliran berdasarkan luas areal sawah dan masa pertumbuhan padi dilakukan dengan menggunakan alat bagi yang terdiri dari batang pohon kelapa atau kayu tahan air lainnya. Kayu ini dibentuk sedemikian rupa dengan cekukan atau pahatan dengan kedalaman berbeda sehingga debit air yang mengalir di satu bagian berbeda dengan debit air yang mengalir di bagian lainnya. Kayu pembagi air ini dapat dipindah-pindah dan dipasang diselokan sesuai dengan keperluan, yang pengaturannya ditentukan oleh Kelihan Yeh atau petugas pengatur pembagian air.

§ TRI HITA KARANA (Bali): Tri Hita Karana, suatu konsep yang ada dalam kebudayaan Hindu-Bali yang berintikan keharmonisan hubungan antara Manusia-Tuhan, manusia-manusia, dan manusia-alam merupakan tiga penyebab kesejahteraan jasmani dan rohani. Ini berarti bahwa nilai keharmonisan hubungan antara manusia dengan lingkungan merupakan suatu kearifan ekologi pada masyarakat dan kebudayaan Bali.

§ BERSIH DESO (Desa Gasang-Jawa Timur): Bersih Deso (bersih desa) adalah suatu acara adat dan sekaligus tradisi pelestarian lingkungan yang masih dilaksanakan masyarakat Desa Gasang sampai sekarang. Dilakukan setiap tahun pada bulan Jawa Selo (Longkang) dipilih dari hari Jumat Pahing. Masyarakat secara berkelompok membersihkan lingkungan masing-masing seperti jalan, selokan umum dan sungai. Setelah selesai melaksanakan bersih deso secara berkelompok mereka menyelenggarakan upacara semacam “sedekah bumi” dengan sajian satu buah buceng besar, satu buceng kecil, sayur tanpa bumbu lombok tanpa daging, berbagai macam hasil bumi yang biasa disebut “pala kependhem” dan “pala gumantung”.

§ WEWALER (Desa Bendosewu-Jawa Timur): Tradisi bersih desa di Desa Bendosewu dikenal dengan wewaler yang merupakan pesan dari leluhur yang babad desa. Isi pesan adalah “jika desa sudah rejo (damai, sejahtera) maka hendaknya setiap tahun diadakan upacara bersih desa.” Tradisi bersih desa disertai kegiatan kebersihan lingkungan secara serentak, yaitu membersihkan jalan-jalan, rumah-rumah, pekarangan, tempat-tempat ibadah, makam dan sebagainya. Kegiatan ini disebut pula dengan “tata gelar” atau hal yang sifatnya lahiriah. Hal yang berkaitan dengan “tata gelar” dalam bersih desa bagi masyarakat Bendosewu sudah menjadi bagian hidupnya, sehingga tidak perlu diperintah lagi.

§ SEREN TAUN (Kasepuhan Sirnaresmi-Jawa Barat): Seren Taun memiliki banyak arti bagi masyarakat kasepuhan diantaranya adalah puncak prosesi ritual pertanian yang bermakna hubungan manusia, alam, dan pencipta-Nya. Seren Taun adalah perayaan adat pertanian kasepuhan sebagai ungkapan rasa syukur setelah mengolah lahan pertanian sengan segala hambatan dan perjuangannya untuk mendapatkan hasil yang optimal. Seren Taun adalah pesta masyarakat adat Kasepuhan sebagai ungkapan rasa gembira ketika panen datang. Seren Taun juga merupakan pertunjukan kesenian-kesenian tradisional yang ada di masyarakat Kasepuhan. Adat istiadat yang berlaku di dalam Kasepuhan ini mengatur pola kehidupan masyarakat dalam berhubungan dengan sang pencipta (Hablum minallah), hubungan antar manusia (Hablum minan naas) dan hubungan manusia dengan alam lingkungannya (Hablum minal alam).

§ TALUN (Kampung Dukuh-Jawa Barat): Bentuk kearifan dalam pengelolaan SDA dan lingkungan hidup yang dikembangkan masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan diwujudkan dalam penataan ruang hutan, pelestarian dan pengelolaan air, pengelolaan lahan dengan pengembangan talun. Selain itu juga diwujudkan dalam pengetahuan tradisional tentang berbagai jenis sumber daya alam, seperti padi varitas lokal. Nilai yang menekankan pentingnya melestarikan lingkungan itu dikuatkan lewat berbagai upacara tradisional, mitos dan tabu. Menurut warga Kasepuhan, hutan digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu:

  1. Leuweung Kolot atau Leuweung Geledegan atau hutan tua, yaitu hutan yang masih lebat ditumbuhi berbagai jenis pohon dengan kerapatan yang tinggi, dan masih banyak ditemukan binatang liar hidup di dalamnya. Hutan ini masih ada di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun.
  2. Leuweung Titipan atau hutan keramat. Hutan ini tidak boleh dimasuki apalagi dieksploitasi oleh siapa pun, kecuali ada izin dari Abah Anom. Hutan ini akan dimasuki apabila Abah Anom menerima wangsit atau ilapat dari nenek moyang yang memerlukan sesuatu dari kawasan gunung tersebut. Kawasan hutan keramat adalah kawasan Gunung Ciwitali dan Gunung Girang Cibareno;
  3. Leuweung Sampalan atau Leuweung bukaan, yaitu hutan yang dapat digunakan dan dieksploitasi serta dibuka oleh warga Kasepuhan. Di sini warga boleh membuka lading, kebun sawah, menggembala ternak, mengambil kayu bakar dan hasil hutan lainnya yang ada. Yang termasuk lahan bukaan adalah lahan di sekitar tempat pemukiman penduduk. Bekas lahan lading ataupun sawah yang sudah dipanen lalu ditanami dengan tanaman musiman dan tanaman keras sehingga membentuk hutan buatan disebut Talun. Tanaman buah-buahan sering digunakan seperti duren, rambutan, atau tanaman lainnya seperti petai, cengkeh, dan sebagainya. Setelan Talun ditanami biasanya akan ditinggal begitu saja. Artinya pemeliharaannya tidak begitu intrnsif disbanding dengan kebun.

§ PIIL PASENGGIRI (Lampung): Piil Pasenggiri merupakan falsafah hidup atau pedoman dalam bertindak bagi setiap warga masyarakat Lampung, yakni: menemui muimah (ramah lingkungan), nengah nyappur (keseimbangan lingkungan), sakai sambayan (pemanfaatan lingkungan), dan juluk adek (pertumbuhan lingkungan).

§ UNDANG-UNDANG SIMBUR CAHAYA (Lahat – Sumatera Selatan): Undang-Undang Simbur Cahaya yang sebagian substansinya mengatur tentang pentingnya pelestarian lingkungan.

§ KE-KEAN (Sumatera Selatan): Pengetahuan Ke-Kean adalah perhitungan waktu yang tepat untuk menanam jenis tanaman tertentu yang dikaitkan dengan ilmu perbintangan.

§ TEBAT (Pasemah-Sumatera Selatan): Salah satu bentuk kearifan lingkungan masyarakat Pagar Alam adalah Tebat milik komunal. Tebat dapat dimiliki secara individual maupun kolektif. Tebat memiliki fungsi sosial, untuk memperkuat rasa solidaritas dan integrasi masyarakat. Setiap kali ikan dipanen, dilakukan bobos tebas, yaitu menguras isi kolam oleh semua warga desa secara bersama-sama.

§ MAROMU (Ngata Toro-Sulawesi Tengah): merupakan sistem kerja sama yang berlaku dalam pengelolaan tanah/hutan bagi masyarakat adat Ngata Toro. Sistem ini mengandung nilai saling membantu meringankan beban pekerjaan satu sama lain. Dari awal pengelolaan hingga panen, sistem Maromu dilakukan secara bergiliran dari satu keluarga/pribadi kepada yang lain. Pengelolaan tanah/hutan melalui beberapa tahapan dan struktur yang diatur menurut ketegorisasi hutan.

§ WANA NGKIKI (Ngata Toro - Sulawesi Tengah): Wana Ngkiki merupakan salah satu kategori dari pandangan tentang hutan menurut orang Toro.Orang Toro membagi hutan menurut pengetahuan asal pemanfaatannya sesuai kategorinya. Wana Ngkiki adalah kawasan hutan di puncak-puncak gunung yang jauh dari pemukiman, yang ditumbuhi oleh pohon-pohon yang tidak terlalu besar, rerumputan, banyak lumut, hawanya dingin, dan merupakan habitat dari beberapa jenis burung. Di dalam hutan ini, tidak ada aktivitas manusia. Hutan ini sangat jarang dikunjungi. Menurut hasil pemetaan luas Wana Ngkiki sekitar 2.300 ha.

§ WANA (Ngata Toro – Sulawesi Tengah): Wana merupakan salah satu kategori dari pandangan tentang hutan menurut orang Toro. Wana adalah kawasan hutan belantara/hutan rimba dimana belum pernah ada kegiatan manusia mengolahnya menjadi kebun. Wana adalah tempat berkembang biaknya binatang Anoa (lupu), babi rusa (dolodo) dan lain-lain. Wana merupakan hutan primer sebagai penyangga kandungan air yang banyak (sumber air). Sehubungan dengan itu, Wana tidak pernah diolah jadi kebun. Bilamana diolah/dibuka akan membawa bencana kekeringan. Begitulah pemahaman yang berkembang pada masyarakat adat Toro secara turun-temurun. Wana dimanfaatkan khusus untuk mengambil damar, rotan, wewangian, obat-obatan dan sewaktu-waktu tempat untuk berburu binatang dan mencari ikan di sungai-sungainya, bilamana ada pesta di Ngata. Di beberapa alur sungai pada waktu itu dilakukan kegiatan mendulang emas secara tradisional. Dari hasil pemetaan partisipatif membuktikan wana merupakan hutan yang terluas di wilayah adat Toro dengan luas sekitar 11.290 Ha.

§ PANGALE (Ngata Toro – Sulawesi Tengah): Pangale merupakan salah satu kategori dari pandangan tentang hutan menurut orang Toro. Pangale adalah hutan yang berada di pegunungan dan dataran. Pangale termasuk kategori hutan sekunder yang bercampur dengan primer karena sebagian sudah pernah diolah tetapi telah kembali menjadi hutan seperti semula. Bagi orang Toro pangale dipersiapkan untuk kebun dan datarannya untuk sawah. Pangale dimanfaatkan juga untuk mengambil kayu, rotan yang dipergunakan untuk berbagai keperluan rumah tangga. Pandan hutan dipergunakan untuk membuat tikar dan bakul, obat dan wewangian. Daun melinjo dipergunakan untuk sayur. Pangale seluas 2.950 Ha biasa digunakan juga untuk tempat berburu secara tradisional.

§ PAHAWA PONGKO (Ngata Toro – Sulawesi Tengah): Pahawa Pongko merupakan salah satu kategori dari pandangan tentang hutan menurut orang Toro. Pahawa Pongko adalah hutan bekas kebun yang telah ditinggalkan 25 tahun ke atas. Sudah hampir menyerupai hutan sekunder semi primer (pangale). Pohon-pohonnya sudah tumbuh besar, karena itu untuk menebangnya sudah harus menggunakan “pongko” (tempat menginjakkan kaki yang terbuat dari kayu) yang agak tinggi dari tanah agar dapat menebang dengan baik dan tonggaknya diharapkan dapat tumbuh tunas kembali, sehingga sesuai dengan namanya yaitu Pahawa Pongko. Pahawa artinya ganti”. Dalam pemetaan hutan pahawa pongko dimasukkan dalam kategori pangale.

§ OMA (Ngata Toro – Sulawesi Tengah): Oma merupakan salah satu kategori dari pandangan tentang hutan menurut orang Toro. Oma adalah hutan bekas kebun yang sering diolah. Oma banyak dimanfaatkan untuk tanaman kopi, kakao dan tanam-an tahunan lainnya. Luas Oma yang tumpang tindih dengan TNLL berdasarkan pemetaan partisipatif sekitar 1.820 Ha. Menurut usia pemanfaatannya Oma terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu :

a. Oma Ntua

Bekas kebun yang ditinggalkan 16 – 25 tahun. Usia pemanfaatannya tergolong tua, dalam arti tingkat kesuburannya sudah kembali normal. Untuk itu sudah dapat diolah kembali menjadi kebun.

b. Oma Ngura

Bekas kebun yang ditinggalkan 3 – 15 tahun. Merupakan jenis hutan yang lebih muda dibanding oma ntua. Pohon-pohon belum tumbuh besar dan masih dapat ditebas dengan menggunakan parang. Rerumputan dan belukar merupakan ciri khasnya.

c. Oma Ngkuku

Bekas kebun yang berusia 1 – 2 tahun. Didominasi tumbuhan rerumputan.

§ BALINGKEA (Ngata Toro – Sulawesi Tengah): Balingkea merupakan salah satu kategori dari pandangan tentang hutan menurut orang Toro. Balingkea adalah bekas kebun yang usianya 6 bulan – 1 tahun. Sering diolah untuk tanaman palawija berupa jagung, ubi kayu, kacang-kacangan, rica dan sayur-sayuran.

§ NAKI KA BUKIT (Kampung Raba – Kalimantan Barat): Naki Ka Bukit merupakan Upacara adat yang lakukan apabila dalam musim panen tahun sebelumnya mengalami gangguan entah berupa hama penyakit atau gangguan hewan. Upacara ini dilakukan setiap lima tahun sekali dan sudah menjadi agenda yang tetap.

§ MIJAR BUNGA BUAH (Kampung Raba – Kalimantan Barat): Upacara adat Mijar Bunga Buah dilakukan berdasarkan ada tidaknya tanaman-tanaman buah berbunga. Tujuan dari upacara ini adalah untuk menjaga agar buah-buahan yang akan dimakan tidak menimbulkan hal-hal yang negatif. Kegiatan ini dipusatkan di tempat khusus yang sekarang ini dilakukan di Malantokng. Sampai saat ini tempat tersebut dikeramatkan menjadi Keramat Buah.

§ MALINAU KAPAL (Sungai Pisang – Sumatera Barat): Malinau kapal memiliki dua versi, yaitu malinau kapal baru yang pertama kali mau turun kelaut, dan jika kapal-kapal nelayan selalu sial dalam setiap operasi (selalu ada halangan atau kesulitan memperoleh hasil tangkapan).

1. Malimau kapal baru.

Malimau kapal baru perisipnya merupakan suatu upacara untuk minta izin kepada Allah swt. untuk mengelola isi lautan.

2. Malimau kapal untuk membuang sial.

Upacara malimau kapal yang berkaitan dengan membuang sial ini relatif lama dan rangkaian upacara tergantung dari pantanagan yang dilanggarnya, tetapi jika nahkoda (=tungganai untuk kapal tonda atau bagan, = pawang untuk perahu payang) bersama ABKnya tidak tahu sebab kesialan yang menimpa, biasanya mereka langsung datang ke dukun kapal untuk kapalnya dilimaui.

§ PERELAK, KEBUN MUDO-UMO RENAH dan UMO TALANG (Melayu-Jambi): Orang Melayu Jambi mengenal dan menggolongkan perladangan dalam beberapa bentuk, yaitu perelak, kebun mudo, umo renah dan umo talang. Perelak ialah sebidang tanah disekitar desa (kampung) yang ditaami berjenis tanaman untuk memenuhi kebutuhan dapur sehari-hari seperti cabai, kunyit, serai, laos, tomat, kacang gulai, ubi rambat, ubi kayu dan pisang. Kebun Mudo ialah sebidang tanah yang ditanami satu jenis tanaman muda tertentu, misalnya pisang, kedelai atau kacang tanah. Umo Renah ialah lading cukup luas yang ditanami padi dengan selinga tanaman muda, seperti cabai, tomat, terong, labu dan mentimun. Di sekitar lading itu mereka juga menanami tanaman keras seperti duku, durian, karet dan sebagainya. Umo Talang adalah lading jauh di tengah hutan yang biasanya ditanami padi. Disini juga mereka menanam tanaman keras seperti karet dan durian. Mereka juga membuat rumah sementara yang dihuni selama musim menunggu panen padi. Setelah panen, lading tersebut akan menjadi kebun karet atau kebun durian.

§ RIMBA KEPUNGAN SIALANG (Melayu-Riau): Masyarakat Melayu mengenal pembagian hutan tanah yang terdiri dari tiga bagian, yakni tanah perladangan, rimba larangan, rimba simpanan (hak ulayat) dan rimba kepungan sialang.

§ BONDANG (Desa Silo-Asahan-Sumatera Utara): Masyarakat Desa Silo menerapkan tradisi berupa upacara buka Bondang dan tutup Bondang dalam aktivitas pertanian. Buka Bondang dilakukan pada saat akan memulai penanaman, sedangkan Tutup Bondang diselenggarakan saat panen. Apa yang menarik dari kegiatan ini adalah bahwa selain bersandarkan pada kearifan tradisional, konsep pertanian bondang ini ternyata cukup sinergiss dengan upaya menciptakan keseimbangan lingkungan. Dalam aktivitas pertanian, petani sama sekali tidak menggunakan zat-zat kimia maupun obat-obatan yang dapat mengakibatkan berbagai dampak pada kesehatan dan kerusakan lingkungan. Kegiatan pengolahan lahan pertanian dari mulai tanam hingga panen sepenuhnya dilakukan secara tradisional, tanpa menggunakan bahan-bahan kimia.

§ LUBUK LARANGAN (Mandailing-Sumatera Utara): Lubuk Larangan adalah bagian sungai yang dilindungi. Di dalamnya terdapat ikan jurung yang merupakan ikan langka dan bernilai simbolik sebagai peralatan upacara pada Masyarakat Tapanuli Selatan (Mandailing). Di Mandailing Natal terdapat 114 lubuk larangan yang dikelola oleh masyarakat. Konsep ini merupakan kearifan tradisional yang terlaksana secara berkesinambungan dari, oleh dan untuk masyarakat.

§ MACCERA TASI (Luwu-Sulawesi Selatan): Maccera Tasi terbukti efektif dalam menggugah emosi keagamaan (spiritual) warga masyarakat. Pada saat pelaksanaan upacara, mereka diingatkan atas tanggungjawabnya untuk menghormati laut, menjaga kebersihannya, tidak merusak dan tidak menguras potensi ikan laut secara berlebihan.

§ BAU NYALE (Sasak, Nusa Tenggara Barat): Kearifan masyarakat setempat tercermin dalam upaya masyarakat memelihara dan melestarikan tradisi Bau Nyale yang dikaitkan dengan kesuburan. Nyale atau cacing laut jelmaan dari putri kemudian memenuhi air laut dengan warna-warni dan mudah ditangkap. Setiap tahun dilakukan upacara Bau Nyale oleh pendudukk Sasak.

§ LEBUNG (Sumatera Selatan): Dalam praktek pengelolaan sumber daya alam, lebung tidak hanya merupakan cekungan tanah tetapi juga salah satu teknik penduduk setempat untuk menampung ikan saat genangan air di lebak surut. Lebih dari itu, untuk mengambil ikan yang terdapat di lebung ada mekanisme yang berada diluar aturan lelang yang mengakomodir hubungan-hubungan antara pengemin dan pemilik lebung supaya kepentingan kedua belah pihak terpenuhi. Untuk memenuhi kepentingan-kepentingan dari pihak tersebut, pengemin memberikan sejumlah uang kepada pemilik lebung sebagai tanda ucapan terima kasih, bukan sebagai ganti rugi atas pengambilan ikan di lebung.

§ TANAH SEBAGAI IBU KANDUNG (Amungme-Papua Barat): Masyarakat Amungme yang hidup disekitar Tambagapura yang kini menjadi kawasan eksploitasi PT. Freeport Indonesia, mempercayai tanah sebagai ibu kandung atau mama. Kearifan budaya Amungme yang berpersepsi tanah sebagai mama, menjadi motivasi budaya bagi resisstensi warga Amungme terhadap penggalian gunung biji Erstberg dan Grassberg. Kedua gunung ini dipercaya sebagai kepala mama. Kasus Freeport merupakan suatu perlawanan budaya para tokoh adat Amungme yang tampil dengan pesan budaya “te aro neweak lako” (alam adalah aku) atau tanah dipandang sebagai bagian dari hidup manusia. Konsekuensi dari strukktur kepercayaan budaya tadi adalah ketika dampak pencemaran dari limbah PTFI, dalam bentuk pembuangan tailing ke dalam sungai Ajkwa dan Agawaghon dan semua anak sungai sekitarnya, menyebabkan rusaknya ekosistem dan budaya Amungme. Sebaliknya adanya pandangan bahwa tanah adalah mama atau bagian dari hidup manusia, menuntun prilaku pemanfaatan sumber daya alam, terutama tanah, secara hati-hati, tidak merusak dan tidak mencemari.

§ PASANG RI KAJANG (Ammatoa, Kajang, Sulawesi Selatan): Masyarakat adat Ammatoa bermukim di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, yang berjarak kurang lebih 540 km ke arah tenggara dari kota Makassar, Sulawesi Selatan. Pasang Ri Kajang merupakan pandangan hidup komunitas Ammatoa, yang mengandung etika dan norma, baik yang berkaitan dengan perilaku sosial, maupun perilaku terhadap lingkungan dan alam sekitarnya, maupun hubungan manusia dengan PenciptaNya. Ammatoa bertugas untuk melestarikan Pasang Ri Kajang dan menjaganya agar komunitas Ammatoa tetap tundukk dan patuh kepada Pasang. Pasang merupakan pandangan yang bersifat mengatur, tidak dapat dirobah, ditambah maupun dikurangi.

§ MOHOTO O WUTA (Tolaki, Sulawesi Tenggara): Upacara Mohoto O Wuta agar kelak nanti hutan yang mereka tebangi dapat menghutan kembali agar dapat dimanfaatkan oleh generasi berikutnya. Hal ini dibuktikan dengan konsep-konsep (kenyataan empirik) seperti ana homa, o sambu, dan laliwata yang merupakan suatu bukti jika kawasan hutan bekas perladangan dapat pulih kembali.

§ O KARUNA-O KANDADI (Muna, Sulawesi Tenggara): Pemberaan sebidang lahan setelah satu atau dua kali tanam disebut O Karuna (dedaunan yang masih muda) dan pepohonannya disebut O Kandadi. Konsepp ini mengandung makna pemulihan kesuburan lahan. Caranya ialah dengan memelihara anak kayu yang tumbuh.

§ PANGALE KAPALI (Tau Taa atau To Wana, Sulawesi Tenggara): To Wana berarti “orang dalam hutan”. Mereka memiliki kawasan hutan suaka adat yang disebut “pangale kapali”. Upaya-upaya komunitas masyarakat adat Tau Ta’a untuk menjaga kelestarian pangale kapali tersebut, ditempuh melalui penegakan hukum adat beserta pemberian sanksi pelanggarannya yang terkait dengan pengelolaan pangale kapali. Hutan konservasi binaan masyarakat adat Tau Ta’a tersebut senantiasa berada dalam pengawasan masyarakat. Berbagai upacara ritual, tabu serta tradisi pelestarian pangale kapali tetap dipertahankan. Demikian juga hutan adat dan berbagai keputusan adat lainnya diterapkan di tengah-tengah warganya guna menjaga kelestarian atau kelangsungan hutan larangan tersebut.

§ TU AAN AAN LALOM BUFUT (Dayak Punan, Kalimantan Timur):


Tangis Anak Lapar di Lumbung Padi Negeri Merdeka?

Di manakah engkau, wahai Pemerintah, para pemimpin bangsa? Di manakah dikau ketika rakyat jelata dicabik-cabik jiwanya oleh kemiskinan dan kau bergelimangan pesta pora di astana, berselingkuh dengan modal akbar internasional untuk terus memeras Bumi Pertiwi dan mencabut nyawa putera puterinya?


Tragedi, nampaknya jadi bagian tak terelakkan oleh bangsa Indonesia. Hanya beralih bentuk dari masa ke masa, kita melihat penumpasan dengan bedil dalam masa Orde Baru, pemberangusan dan pembungkaman adalah tanda utama jaman itu. Kini wajahnya beralih menjadi bencana alam. Layaknya bencana alam dipahami sebagai sesuatu yang tak terhindarkan. Namun tragisnya bangsa ini, bencana yang terjadi terutama lahir akibat kemaruknya pemimpin dan pengelolaan harta negeri secara serampangan.


Dari deretan penderitaan rakyat Indonesia, yang terlalu banyak untuk disebutkan satu per satu dalam tulisan ini, kasus busung lapar menjadi fenomena tersendiri. Tiba-tiba busung lapar menjadi hits dan menyeruak keatas serta menampar wajah penguasa Indonesia dari pusat sampai daerah. Tidak tanggung-tanggung, ratusan generasi penerus bangsa diberbagai daerah terkulai lemah, kurus dan tak berdaya hingga meninggal, karena mengalami malnutrisi alias GIZI BURUK


Ironis!! Kekurangan gizi ditengah kekayaan alam yang melimpah ruah, Gemah Ripah Loh Jinawi. Ibarat mati dilumbung padi. Adalah Propinsi NTT, salah satu Propinsi yang paling menyedihkan terkait dengan soal busung lapar ini. Tak kurang, 35 orang anak di NTT harus meregang nyawa karena kekurangan gizi.

Data statistik berdasarkan informasi dari BPS, jumlah balita di NTT sekitar 477.829. Dan dari jumlah tersebut,
berdasarakan informasi dari Kementrian Kesejahteraan Rakyat, Balita yang mengalami malnutrisi sebanyak 98.977 orang,
dengan komposisi : gizi kurang 85.604 balita, gizi buruk : 12.925 balita, marasmus : 425 balita, kwashiorkor 7 balita
dan marasmus kwashiorkor 16 balita. Total angka balita yang terserang busung lapar tersebut merupakan kumulasi dari
enam kabupaten di Propinsi NTT, yaitu Kabupaten Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Kupang, Alor, Lembata,
dan Manggarai.

Mengurai Penyebab Busung Lapar

Lantas, apa yang menjadi penyebab utama dari rentetan peristiwa busung lapar yang terjadi di NTT? Apakah karena potensi sumber daya alam dan manusia di NTT yang terbatas? TIDAK!!!

Penyebab utama-nya adalah model kebijakan sentralistik dan represif. NTT dan kawasan timur Indonesia lainnya mengalami proses diskriminasi pembangunan. Tak heran jika NTT hingga kini terlihat sebagai wilayah yang sangat miskin, baik dari segi infrastruktur, maupun perkembangan masyarakat termasuk ketahanan ekonominya.

Kebijakan otonomi daerah yang mulai dipraktekkan sempat membangun harapan perbaikan. Penyerahan pengelolaan daerah secara otonom kepada pemerintah daerah, yang semula dianggap solusi untuk menekan angka kemiskinan, malah menjadi pemicu dari proses pemiskinan yang dahsyat terhadap rakyat.

Pemerintah Daerah yang merasa memiki kekuasaan tak terbatas, malah mengeluarkan berbagai produk kebijakan (dalam bentuk perda) yang anti rakyat. Yang berujung pada pemotongan akses masyarakat terhadap sumber daya alam-nya. Misalnya, kasus ketika Bupati Manggarai Anton Bagul (kala itu), dengan sewenang-wenang menebangi tanaman kopi masyarakat, aksi sewenang-wenang tersebut menuai protes masyarakat. Celakanya, aksi protes masyarakat tersebut dibalas dengan tindakan represif yang menelan korban jiwa dari pihak petani kopi. Ini merupakan salah satu kebijakan Pemda yang justeru memiskinkan rakyatnya.

Sebagaimana daerah lain, korupsi juga disinyalir menjadi penyebab kemiskinan yang memproduksi busung lapar di wilayah NTT. Inidikasi tersebut dapat dijelaskan jika mengacu pada APBD. Untuk tahun anggaran 2004, alokasi anggaran yang bersumber dari APBD, APBN dan bantuan luar negeri untuk pembangunan ekonomi, pendidikan dan kesehatan di NTT sebesar Rp. 1,525 Triliun, dengan komposisi dana dari APBD sebesar Rp. 467,142 Miliar, APBN sebesar Rp. 938,344 Miliar, dan bantuan luar negeri sebesar Rp. 119,715 Miliar.

Bayangkan! Kemana dan dibuat apa dana sebesar itu? Logikanya, saat ke-tiga program pembangunan tersebut berjalan, maka busung lapar pasti tidak terjadi. Karena busung lapar terjadi justeru disebabkan oleh rendahnya taraf ekonomi dan pendidikan masyarakat.

Kebijakan Negara yang Memiskinkan Rakyat

“Buat apa kalian di daerah?”, merupakan kalimat yang disampaikan SBY pada rapat koordinasi antar Gubernur se-Indonesia untuk menanggulangi bencana busung lapar. Dengan melontarkan pertanyaan tersebut, tersirat kesan ekspresi kegundahan SBY terhadap kinerja punggawa-punggawa di daerah tersebut. Tapi muncul pertanyaan, apakah ekspresi tersebut lahir dari ketulusan seorang penguasa saat melihat rakyat-nya kelaparan? Apakah SBY tidak mencoba merefleksi berbagai kebijakan pemerintahannya yang ditengarai justru menjadi pemicu merebaknya kemiskinan rakyat Indonesia?

Satu di antaranya adalah Peraturan Presiden (Perpres) No. 36 tahun 2005. Perpres ini memberikan kekuasaan kepada penguasa negeri ini untuk mencabut hak seseorang atas tanah dengan dalil untuk kepentingan umum, seperti untuk pembangunan jalan kereta api, dan lain-lain. Kebijakan ini dapat dipastikan akan memotong rantai akses masyarakat terhadap sumber daya alam-nya. Dengan semakin sempitnya tanah, rakyat yang sebelumnya petani terpaksa bekerja di sektor-sektor lain selain bertani. Kekurangan skill akan menjadi faktor penentu rendahnya bayaran dan kesejahteraan yang mereka dapat, dan akhirnya rakyat yang miskin ini tetap menjadi miskin, sehingga bukanlah suatu bayangan hampa apabila saat ini juga kita katakan sebagian rakyat kembali harus mengalami dan menyaksikan anak-anak mereka tergilas busung lapar untuk masa yang akan datang.

Disamping itu, terkait dengan busung lapar bahwa pemerintah tidak menciptakan kondisi yang memungkinkan terpenuhinya hak anak seperti yang tercantum dalam Pasal 28B Ayat (2) UUD 1945. Dalam konsideran menimbang UU No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan juga disebutkan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia. Dengan diletakannya pangan sebagai hak asasi manusia, dan di satu sisi pemerintah lalai untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi rakyatnya, maka pemerintah pada dasarnya telah melanggar hak asasi manusia itu sendiri. Pemerintah dan negara telah melalaikan tanggung jawabnya dalam pemeliharaan dan perlindungan anak seperti yang dirumuskan dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pemerintah juga dengan sangat angkuh menjauhkan diri dari pergaulan internasional dengan tidak meratifikasi Kovenan Hak Ekonomi Sosial, dan Budaya, dan bahkan Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi pun tidak dipenuhi. Keengganan pemerintah memenuhi berbagai ketentuan nasional, seperti konstitusi dan aturan-aturan internasional ini menunjukkan kepada kita bahwa pemerintah saat ini sedang menggiring pembangunan dengan memanfaatkan para pemegang modal untuk memonopoli sektor perekonomian rakyat.

Pilkadal dalam bingkai kesejahteraan rakyat

Hajatan yang disebut dengan pesta demokrasi ini menjadi refleksi berbagai ironi sepanjang sejarah Republik. Kata ’pesta’ umumnya mencerminkan kemakmuran dan kegembiraan. Namun pengalaman dalam serangkaian pemilihan umum sejak dulu sampai sekarang menunjukkan kisah tragis. Kecurangan, kekerasan, korupsi dan intimidasi adalah inti dari kegiatan politik ini. Dampaknya pada rakyat tak berubah. Karena proses yang buruk menghasilkan pemimpin yang buruk dengan program yang sangat buruk dan berdampak luarbiasa buruknya bagi rakyat.

Meski demikian kita diajarkan oleh sejarah bahwa optimisme dan harap yang terus menyala adalah sumber hidup bangsa. Pilkada secara langsung ini adalah satu peluang bagi masyarakat daerah termasuk di NTT untuk memilih pemimpin daerahnya yang akan membawa mereka keluar dari kesulitan ekonomi yang selama ini mereka alami. Tentu saja pemimpin ini tidak dapat diharapkan untuk mengubah iklim ataupun topografi NTT yang selama ini dituding sebagai penyebab kemiskinan daerah itu. Yang harus dilakukan adalah bagaimana pemimpin itu mempergunakan sumber daya yang ada untuk mencari alternatif di sektor ekonomi, sehingga tidak cuma mengandalkan pertanian dan perkebunan sebagai tulang punggung ekonomi daerah apalagi menghadapi kenyataan bahwa sektor pertanian telah mengalami erosi ke arah pertanian monokultur.

Akhirnya, pengentasan kemiskinan dan pemberantasan busung lapar menjadi misi kemanusiaan para kepala daerah yang menjadi pemenang dalam PILKADAL di NTT. Karena busung lapar bukan hanya berimplikasi pada hilangnya nyawa anak-anak balita, tetapi akibat yang tidak kalah mengerikan adalah munculnya generasi berotak kosong di kemudian hari. Wallahuallam bissawab.

KASEPUHAN CIPTA GELAR : Membangun Komunikasi Melalui Upacara Ritual

Cipta Gelar dan kisah klasik penyingkiran komunitas masyarakat adat dari kawasan ruang hidupnya serupa dengan pengalaman komunitas lain dengan latar budaya berbeda. Komunitas yang berdiam di wilayah Banten Kidul ini adalah saksi pengalaman penderitaan rakyat miskin yang bak lepas dari mulut harimau masuk mulut buaya. Ketika tanah mereka masih dikuasi kolonial Belanda, kemerdekaan menjadi harapan utama untuk menuju apa yang oleh Bung Karno disebut Jembatan Emas menuju kesejahteraan bagi seluruh bangsa Indonesa. Namun fakta riil menunjukkan kemerosotan sosial ekonomi budaya yang tak kunjung henti.

Secara umum, masalah komunitas Kasepuhan Banten Kidul berkisar pada isu perkebunan, kehutanan, pertambangan dan konservasi, dan tiap isu tersebut mempunyai cabang permasalahan yang khusus. Itu baru gambaran sederhana dari masalah yang dihadapi.

Secara empiris, apa yang terjadi pada komunitas adat Kasepuhan dapat diajukan sebagai sebuah fakta dari rangkaian penindasan terhadap hak-hak masyarakat adat. Disektor perkebunan misalnya, daerah Gunung Halimun dan sekitarnya banyak terdapat perkebunan teh, baik milik swasta maupun milik negara. Secara legal formal perusahaan perkebunan tersebut telah mengantongi ijin tetapi di sisi lain perkebunan itu berada di tanah ulayat masyarakat adat Kasepuhan. Contoh lain yang kurang lebih sama juga terjadi di sektor kehutanan (kasus dengan Perum Perhutani), sektor pertambangan (kasus Pongkor dengan PT. ANTAM) dan sektor konservasi dengan Taman Nasional Gunung Halimun (yang sekarang diperluas menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak).

Yang terakhir ini cukup menimbulkan gejolak di antara para pihak yang berkepentingan di wilayah tersebut. Mulai dari masyarakat adat Kasepuhan, Perum Perhutani dan pihak Taman Nasional. Sebagai reaksi dari kasus ini masyarakat adat Kasepuhan membangun sebuah forum yang disebut Forum Komunikasi Masyarakat Halimun Jawa Barat Banten (FKMHJBB). Forum ini diharapkan dapat menyatukan aspirasi masyarakat dalam menjawab perluasan Taman Nasional Gunung Halimun yang mengancam ruang hidup dan kelola mereka.

Masalah utama dari soal di atas adalah, adanya proses perampasan dan pengingkaran kedaulatan komunitas adat Kasepuhan atas hak-hak ulayatnya. Pengingkaran tersebut berujung pada upaya penyingkiran komunitas adat Kasepuhan dari wilayah ulayatnya, di samping ancaman penyempitan wilayah kelola komunitas adat.

Usaha membangun solusi damai melalui potensi adat

Seren Tahun sebagai salah satu upacara/ritual adat masyarakat adat Kasepuhan, beberapa tahun belakangan ini mendapat perhatian publik yang cukup luas. Besarnya perhatian publik tersebut dikarenakan adanya publikasi yang dilakukan oleh media-media nasional, baik elektronik maupun cetak. Apapun sudut pandang media terhadap ritual Seren Tahun tersebut, satu hal pasti adalah daya tariknya, dan daya tarik itu tak akan pernah ada kalau masyarakat adat Kasepuhan tidak mempertahankannya.

Sebenarnya inti dari upacara Seren Tahun (yang juga merupakan ritual puncak masyarakat adat Kasepuhan) adalah ucapan syukur (kepada Tuhan dan alam) atas panen yang dinikmati masyarakat Kasepuhan. Ini juga sebagai cerminan bahwa masyarakat adat Kasepuhan menganggap begitu pentingnya menjaga keseimbangan hubungan antara manusia, alam dan Sang Pencipta, sekaligus menyatakan bahwa nilai-nilai untuk menjaga keseimbangan tersebut masih ada dan diterapkan. Komunikasi antara masyarakat dengan pihak luar (Perhutani, Pemda, Dinas dan Taman Nasional) selama ini menjadi salah satu masalah tersendiri, yang mungkin juga tidak ada forum atau momen yang pas untuk membuka dialog atau komunikasi dua arah yang sehat. Komunikasi dua arah yang sehat merupakan bagian dari nilai-nilai keseimbangan yang dijaga oleh masyarakat adat Kasepuhan.

Berangkat dari nilai-nilai adat yang dianut kemudian masalah yang dihadapi serta peluang liputan media dan daya tarik ritual Seren Tahun yang semakin mendapat perhatian publik, maka akhirnya Seren Tahun tidak hanya melulu upacara adat tetapi juga dimanfaatkan untuk membangun komunikasi dengan para pihak. Seren Tahun kemudian di rencanakan sedemikian rupa dengan mengundang banyak tokoh pejabat pemerintah daerah maupun dinas yang terkait (terutama dengan maslah yang mereka hadapi) untuk hadir dan membangun komunikasi/relasi yang lebih baik dengan masyarakat.

Bentuk komunikasi yang dibangun dalam upacara Seren Tahun kali ini adalah sebuah forum dialog terbuka antara para pejabat (pemerintah daerah dan dinas) dengan masyarakat. Segala masalah yang dihadapi masyarakat adat Kasepuhan mulai dari tanah dan hutan adat, infrastruktur, ekonomi sampai masalah pelayanan sosial dasar (pendidikan dan kesehatan) paling tidak terkomunikasikan secara langsung ke pejabat yang terkait. Di pihak lain, Pemerintah Daerah, Pejabat Dinas, Taman Nasional maupun Perhutani pun diharapkan juga secara terbuka akan menyampaikan tanggapannya atau bahkan menyampaikan masalah yang mereka hadapi. Pada muaranya, ke saling pengertian, kesepahaman, adalah merupakan hal yang ingin dicapai dari dialog ini yang kemudian menuju ke arah pemecahan masalah yang saling menguntungkan.

Seren Tahun dan acara dialognya menjadi ujian bagi tanggung jawab (responsibilitas) dan tanggung gugat (akuntabilitas) para penguasa terhadap masyarakat. Menjadi menarik ketika sebuah ritual adat ditarik menjadi sebuah arena komunikasi sosial (politik) yang mencoba membangun relasi yang lebih baik dan lebih luas antara rakyat dan penguasa juga sebagai upaya mencari jawaban masalah yang dihadapi. Tantangan yang dihadapi saat ini adalah bagaimana membuat acara Seren Tahun tetap mempunyai daya tarik tidak saja terhadap media tetapi juga terhadap para penguasa (pejabat PEMDA, Dinas, Perhutani dan Pihak Manajemen Taman Nasional dan lain-lain). Hal lain adalah ukuran keluaran yang dihasilkan dari pertemuan atau diskusi yang diselenggarakan dalam Seren Tahun tersebut, bagaimana hasil tersebut bisa memperbaiki keadaan dan menyelesaikan masalah yang dihadapi tidak saja jawaban secara lisan dalam diskusi tetapi juga jawaban secara lebih kongkrit/terwujud nyata dan berhasil guna.

Thursday, January 25, 2007

Indigenous peoples in the international arena

The UN General Assembly has declared a new International Decade of Indigenous Peoples (2005-2014). In the first International Decade of the World’s Indigenous Peoples (1995-2004), several important advances were made that have helped to improve the international framework conditions for indigenous peoples. One of the most important of these was the establishment of a Permanent Forum for Indigenous Issues in the UN and the appointment of a Special Rapporteur on the situation of the human rights and fundamental freedoms of indigenous peoples.

The Permanent Forum for Indigenous Issues

In 2001 the UN adopted a resolution to establish a Permanent Forum for Indigenous Issues as an advisory body to the UN Economic and Social Council (ECOSOC). Since then, the Forum has convened annually in May. The Forum is the first time that governmental and non-governmental representatives have participated on an equal footing in a permanent representative body within the UN system. The Forum is an advisory, coordinating body for indigenous issues in the UN and is intended to help ensure that the various UN organisations include indigenous peoples in their work. It also makes recommendations to the UN member states. The fourth session of the Forum, which was held in May 2005, focused on the Millennium Development Goals and indigenous peoples.


The Special Rapporteur on the situation of the human rights and fundamental freedoms of indigenous peoples.

Another development of great positive significance for indigenous peoples is the appointment in 2001 by the UN Commission on Human Rights of the first Special Rapporteur on the situation of the human rights and fundamental freedom of indigenous peoples. Rodolfo Stavenhagen from Mexico was the first to be appointed to this post.


The mandate of the Special Rapporteur is to gather, request, receive and exchange information on violations of the human rights of indigenous peoples. His mandate also includes formulating recommendations and proposals on appropriate measures and activities to protect the human rights and fundamental freedoms of indigenous people. The Special Rapporteur presents annual reports to the UN Commission on Human Rights. He makes visits to different countries and presents reports on the situation of indigenous peoples in these countries. (At present there are reports on the situation of indigenous peoples in Mexico, Chile, Guatemala, the Philippines, Colombia and Canada.) The Special Rapporteur also prepares thematic reports on specific topics related to indigenous peoples; there are reports, for instance, on education and issues related to customary law.


ILO Convention No. 169


ILO Convention No. 169 is the only binding instrument of international law that directly addresses the human rights of indigenous peoples and that is designed to protect indigenous peoples against injustices committed by states. The Convention affirms that indigenous peoples have the right to preserve and further develop their own culture and language. It contains provisions on the rights to natural resources and property and ownership rights to the land areas they use. These rights are crucial since the most important battle being fought by indigenous peoples in most countries is still to gain the right to use and own land and natural resources. Under the Convention, indigenous peoples are entitled to participate in decision-making processes on issues that concern them, thereby imposing an obligation on authorities to consult them on such issues. Norway played a proactive role in work on the Convention and was the first country to ratify it. Only 17 countries have ratified the Convention so far.

In addition to the ILO Convention, indigenous peoples are mentioned in a number of other international conventions, declarations and plans of action, which collectively constitute the international framework for the human rights of indigenous peoples.


Declaration on the Rights of Indigenous Peoples


One of the main goals of the first Decade of Indigenous Peoples, besides establishing a Permanent Forum for Indigenous Issues in the UN, was to secure the adoption of a UN declaration on the rights of indigenous peoples. Efforts to achieve this goal have been unsuccessful.

In 1993 the UN Working Group for Indigenous Peoples presented the Draft Declaration on the Rights on Indigenous Peoples to the UN Sub-Commission on the Promotion and Protection of Human Rights, which endorsed the draft document. Since then, the draft has been considered by a special working group under the UN Commission on Human Rights and these negotiations are still in progress. The issues of the relationship between individual and collective rights, the right of indigenous peoples to self-determination, and land rights have proved particularly problematic to negotiate. The mandate of the working group was recently extended by one year and new negotiations are scheduled for December 2005.


Multilateral donors


The fact that indigenous issues have been placed much higher on the agenda in the UN system has also led to greater focus on indigenous peoples in development cooperation by both multilateral and bilateral donors. The World Bank plays a key role in a great many countries where indigenous peoples live, due to its extensive lending and project activities and its proactive role in promoting national poverty reduction strategies. The World Bank finances a large number of development projects that direct affect the daily lives of indigenous peoples and their traditional lifestyles. The World Bank recently adopted new guidelines, Operational Policies 4.10, to ensure that account is taken of indigenous peoples in development projects financed by the Bank. These guidelines have been the object of several rounds of consultation with indigenous representatives and the Bank has been severely criticised for several aspects of the guidelines.

Keberadaan dan Problematika Masyarakat Adat Dayak Kalimantan Barat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

Timanggong H. Nazarius

“ADIL KA’ TALINO BACURAMIN KA’ SARUGA BASENGAT KA’ JUBATA”

Pengantar

Sungguh suatu kehormaan yang sangat berarti bagi kami, dimana kami telah diminta dan diberi kepercayaan oleh Panitia Penyelenggara Seminar untuk menjadi salah sau pembicaraan pada acara Seminar Nasional Sehari yang bertema :“PENEGAKAN KADAULATAN MASYARAKAT ADAT, DALAM MENGELOLA SUMBER DAYA ALAM MENUJU KEHIDUPAN YANG ADIL, SEJAHTERA DAN DEMOKRATIS”, yang diselengarakan oleh LEMBAGA RISET DAN ADVOKASI (LRA), KBH-YPBHT Bukit Tinggi, TARAKAN, YAYASAN CITRA MANDIRI (YCM), SERIKAT PEANI SUMATERA BARAT (SPSB) dan FEDERASI SERIKAT PETANI INDONESIA (FSPI) di Auditirium Universitas Bung Hatta Padang pada tanggal 16 Desenber 1998./ Ketaping

Untuk memenuhi harapan Panitia sehubungan dengan tema di atas, maka dalam kesempatan ini kami mencoba memberikan sedikit sumbangan berupa tulisan sedrhana yang kami beri judul : “KEBERADAAN DAN PROBLEMATIKA MASYARAKAT ADAT DAYAK KAL-BAR DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM”.

Kami menyadari bahwa kemampuan kami untuk menyampaikan materi yang sesuai dengan tema tersebut di atas sungguh sangat terbatas, sehingga apa yang akan kami sampaikan ini, baik dari segi bahasanya maupun cara penyampaiannya masih sangat jauh dari memadai dan memuaskan, serta mungkin saja tidak dapat memenuhi apa yang diharapkan pihak penyelenggara maupun peserta seminar pada kesempatan yang berbahagia ini.

Untuk maksud diatas, kami akan membatasi tulisan kami yang sederhana ini dengan beberapa cakupan bahasa sebagai berikut :

1. Gambaran Secara Umum Tentang Masyarakat Adat Dayak.

a. Kearifan Asli Masyarakat Adat Dayak.

b. adat Istiadat Dan Hukum Adat Dayak.

c. Kawasan Tanah Adat Serta Pemanfaatannya.

2. Problematika Masyarkat Adat Dayak Kal-Bar Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam.

3. Upaya-Upaya Masyarakat Adat Dayak Dalam Memperjuangkan Eksistensinya di Kal-Bar.


Gambaran Secara umum tentang Masyarakat Adat Dayak

Suku Dayak adalah salah satu suku Bangsa Indonesia yang sudah sejak ribuan tahun silam sampai kini menghuni sebuah pulau terbesar di Indonesia yaitu Pulau Kalimatan. Menurut sejarahnya, nenek moyang Suku Dayak, dahulu kala berasal dari Tingkok Selatan, sebagaimana dikemukakan oleh Mickail Coomans bahwa :

Semua suku bangsa Dayak termasuk pada kelompok yang berimigrasi secara besar-besaran dari daratan Asia. Suku bangsa Dayak merupakan keturunan daripada imigran yang berasal dari wilayah yang kini disebut YUNAN di Cina Selatan. Dari tempat itulah kelompok kecil mengembara melalui Indo Cina ke jasiran Malaysia yang menjadi loncatan untuk memasuk pulau-pulau di Indonesia. Selain itu mungkin ada kelompok lain yakni melalui HAINAN, TAIWANdan PHILIPINA. Perpindahaan ini tidak begitu sulit karena pada zaman glasial (zaman es) permukaan laut sangat turun (surut), sehingga dengan perahu-perahu kecil sekalipun mereka dapat menyeberangi perairan yang memisahkan pulau-pulau itu. Kelompok-kelompok yang pertama masuk wil;ayah kalimatan ialah kelompok NEGRIT dan WEDDIT, yang sekarang tidak ada lagi. Kemudian disusul kelompok yang lebih besar perpindahan ini berlangsung selama 1000 tahun dan berlangsung pada tahun 3000-1500 SM (Coomans, h.3.1987).

Menilik perpindahaan ini tidak hanya sekali terjadi, akan tetapi berlangsung secara bertahap dan dalam kurun waktu yang cukup panjang, maka dapat dimengerti bahwa Suku Dayak yang mendiami dan tersebar di pulau Kalimatan ini merupakan satu suku tunggal, tetapi terdiri dari berpuluh-puluh malahan beratus-ratus Sub-Suku. Suku Dayak yang mendiami Kal-Bar saja terdiri dari berpuluh-puluh Sub Suiku yang beberapa diantaranya sebagai berikut : Dayak Uud Danum, Dayak Taman, Dayak Kayan, Dayak Kantu’, Dayak Kalis, Dayak Jangkang, Dayak Simpang, Dayak Krio, Dayak Ribun, Dayak Suit, Dayak Sungkung, Dayak Lara, Dayak Sango, Dayak Behe, Dayak Mualang, Dayak Kanayatn, dan masih banyak lagi yang belum tersebut satu-persatu.

Menurut data yang bersumber dari Parjoko.S. Gebenur Kal-Bar tahun 1992. Komposisi kelompok suku di Kal-Bar adalah sebagai berikut :

Suku Dayak berjumlah

1. 323. 510. Orang (41 %)

Suku Melayu berjumlah

1. 277 .349 orang (37,37%)

Suku Tionghua berjumlah

365. 740 Orang (11,33 %)

Suku-suku lain berjumlah

261.479 orang (8, 10 %)

Dari data diatas menunjukan bahwa suku Dayak merupakan kelompok suku yang tersebar di antara kelompok suku-suku yang ada di Kal-Bar dari segi jumlah penduduknya.

Dalam memperjuangkan Negara Republik Indonesia Tercinta ini dari cengkraman kekuasaan feodel dan kolonial (Belanda dan Jepang), banyak sekali putera-putera terbaik dari suku Dayak di Kal-Bar ini yang gugur di medan perjuangan, kendati sampai saat ini tidak pernah tercatat sebagai pahlawan pembela bangsa pada buku-buku Sejarah Nasional yang diterbitkan di Negara Republik Indonesia ini.

Pada Pemilu tahun 1995 Suku Dayak Kal-Bar dengan Partai Persatuan Dayaknya sempat memenangkan Pemilu resebut dengan memperoleh suara terbanyak di Kal-Bar, yang kemudian diberikan keperyacaan oleh Pemerintah Pusat kepada putra-putra terbaik dari suku Dayak untuk menjadi Pepimpin di Daerah Tingkat I dan beberapa Daerah Tingkat II, namun ketika Pemerintah Orde Baru, semua dipangkas habis-habisan. Suku Dayak dipinggirkan di segala Lini kehidupan, sampai-sampai untuk menjadi guru di daerah terpencilpun tidak diberi kesempatan.

Pada uraian terdahulu disebutkan bahwa manusia-manusia Dayak telah sejak ribuan silam menjadi penghuni daerah Kal-Bar ini, dan karena itu dapatlah disebut sebagai penduduk asli di Kal-Bar . Tidak dapat disangsikan lagi, bahwa orang Dayak telah mempunyai peradaban dan kebudayaan yang cukup tinggi nilainya, tidak kalah jika dibandingkan dengan perabadan dan kebudayaan manusia-manusia lain di dunia ini. Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa hasil karya buah pemikiran nenek moyang orang Dayak yang sampai sekarang masih diikuti dan dimanfaatkan oleh generasi-generasi penerus mereka (Suku Dayak). Hal-hal tersebut berupa :

Kearifan Asli Masyarakat Adat Dayak

Untuk mengelola sumber daya alam disekitar huniannya, demi mempertahankan keberadaan kehidupan mereka ditengah-tengah hutan rimba belantara yang luas, yang penuh dengan kebuasan dan keganasan-keganasan alam yang setiap saat dapat mengancam keselamatan jiwanya, nenek moyang leluhur mereka (Suku Dayak) telah mempunyai banyak pengetahuan (Kearifan Asli) yang mereka gunakan untuk menguasai dan menundukkan keganasan-keganasan alam lingkungan sekitar mereka. Pengetauan-pengetahuan ini diwariskan turut temurun ke generasi penerus mereka sampai sekarang.

Mungkin ada baiknya dalam kesempatan ini kami berikan beberapa contoh kearifan Asli antara lain :

1. Sistem pertanian yang tidak merusak kelestarian lingkungan yang kini disebut Perladangan Gilir Balik.

2. Membuat senjata tajam dan senjata api.

3. Cara membakar lahan pertanian agar tidak terjangkit kelahan yang lain.

4. Cara menebang pohon-pohon besar agar tumbangnya searah dan serentak.

5. Mengetahui hari-hari yang baik untuk mengerjakan pertanian mereka.

6. Membuat rumah (Rumah Betang) yang mudah terhindar dari kebakaran.

7. Mensiasati agar hewan perusak tanaman menghindar dari lahan pertaniannya.

8. Mengtahui pertanda alam yang akan mendatangkan rezeki dan bahaya.

9. Membuat kain tenun.

10. Membuat anyaman dari daun pandan, bambu, rotan dengan berbagai corak dan motif.

11. Membuat sirat, simpul simpai dengan berbagai corak dan motif.

12. Menari, menyanyi, membuat dan membunyikan alat-alat musik tradisional.

13. Membuat ramuan untuk mengobati berbagai jenis penyakit, diantaranya ramuan untuk menjarangkan kehamilan, ramuan pengobatan patah tulang.

14. Membuat sarang ikan di sungai, alat penangkap ikan, penjerat hewan liar, penjerat burung.

15. Membuat ramuan dari tumbuh-tumbuhan agar tak mempan dari senjata tajam.

16. Menyebuhkan berbagai penyakit dengan jampi-jampi.

17. Berhubungan dan meminta bantuan makhluk halus saat berperang melawan musuh, dan masih banyak lagi kearifan-kearifan asli yang disini belum kami tuliskan satu persatu.


Adat Istiadat dan Hukum Adat Dayak

Untuk mengatur dan menata seluruh aspek kehidupan warga masyarakatnya, hubungan timbal balik sesama warganya, hubungan warga dengan alam lingkungan, hubungan warganya serta alam lingkungannya dengan penciptanya, agar tetap serasi dan harmonis, nenek moyang leluhur mereka ( Suku Dayak) telah mampu menyusun aturan-aturan lengkap dengan segala macam sanksinya secara arif dan bijaksana.

Aturan-aturan yang telah mereka susun itu disebut Adat-istiadat. Sedangkan sangsi-sangsi terhadap pelanggaran aturan-aturan yang telah mereka susun itu disebut Hukum Adat. Disini akan paparan beberapa contoh yang tergolong Adat Istiadat :

1. Adat yang berhubungan dengan pertanian (Adat Patunuan)

2. Adat yang berhubungan dengan kelahiran dan pemberian nama bagi bayi

3. Adat bersunat (bagi Laki-laki) dan melobangi telinga (bagi perempuan)

4. Adat Pertunangan

5. Adat Perceraian

6. Adat sehubungan dengan Perkawinan Madu

7. Adat Perkawinan

8. Adat kematian Biasa

9. Adat yang berhubungan dengan etika pergaulan

10. Adat membuka lahan baru

11. Adat berburu

12. Adat yang berhubungan dengan adat dan pemilikan.

13. Adat kematian karena pembunuhan

14. Adat mengangkat anak

15. Adat untuk minta bantuan makhluk halus (roh nenek moyang) sebelum berangkat berperang

16. Adat perdamaian dan masih banyak lagi Adat Istiadat yang lainnya.

Baik kearifan asli, adat istiadat, maupun Hukum Adat ini diterapkan, dipatuhi, serta diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya, dijadikan pegangan hidup bagi seluruh warganya maupun warga generasi penerusnya sampai kini.

Rumah Panjang (Rumah Betang- aedalah salah satu sarana yang memegang peranan penting dalam penularan dan pearisan hal tersebut di atas. Rumah Betang merupakan pusat informasi, pusat kegiatan kebudayaan Dayak Kalimantan pada umumnya dan Dayak Kalimantan Barat pada khususnya.

Untuk mengontrol/mengatur agar adat istiadat dan hukum adat tetap ditaati oleh segenap warganya, mereka telah memilih orang yang mereka anggap mampu dan berpengetahuan di bidang adat. Nama pangkat atau jabtan pengurus adat berbeda-beda untuk setiap daerah Sub Suku. Pada waktu penjajahan dan di awal kemerdekaan negeri tercinta ini, pengurus adat selain mengurus adat juga merangkap mengurus hal-hal yang berhubungan dengan pemerintah di desa.

Kawasan Tanah Adat dan Pemanfaatannya

Suku-suku Dayak di Kalimantan Barat semenjak dahulu kala telah mempunyai kawasan tanah adat yang dimanfaaatkan secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama pada setiap sub suku. Nama kawasan Tanah Adat itu berbeda-beda pada setiap sub suku, ada yang menyebutnya “Tanah Pasaro Palaya” Binua; ada yang menyebutnya “Tanah Binua”; dan ada yang menyebutnya “Tanah Palasar Palaya” binua.

Wilayah yang masih mereka akui sebgai kawasan tanah adatnya ialah sejauh dimana masih kedengaran bunyi gong (sejenis alat musik tradisional) yang ditabuh dari perkampungan (Rumah Betang) mereka atau kurang lebih dalam radius 10 km dari perkampugan hunian mereka.

Pemanfaatan kawasan tanah adat oleh masyarakat adat Dayak dapat dibedakan menjadi:

1. Penggunaan tanah lahan basah untuk persawahan, ditanami sagu, dibuat kolam ikan, dibuat perigi untuk air minum, dijadikan hutan cadangan untuk lahan pertanian, untuk memenuhi keperluan rumah tangga seperti: ramuan rumah, bahan-bahan anyaman dan tempat hidup berbagai jenis hewan.

2. Penggunaan tanah lahan kering untuk perladangan, untuk kebun karen, kopi, lada, coklat, tempat menanam palawija, hutan beraneka ragam buah-buahan, untuk hunian perkampungan, tanah wakaf, tempat-tempat keramat, jalan, hutan tutupan, dan hutan cadangan.

Dengan berbekal kearifan-kearifan asli, adat istiadat, serta hukum adat yang diwariskan turun temurun, masyarakat adat Dayak Kalbar telah mampu mempertahankan keseimbangan alamnya agar tetap utuh dan asri, setidaknya hingga pertengahan abat ke-19. Kemampuan mempertahankan keseimbangan dan kelestarian lingkungan ini didukung oleh pandangan terhadap alam sebagai kesatuan hidup di mana manusia ada di dalamnya. Merusak alam sama artinya dengan membinasakan diri sendiri. Pandangan ini menuntut mereka agar selalu bertindak arif dan bijaksana, tidak mengganggu keseimbangan alam.

Petuah-petuah nenek moyang mereka mencerminkan juga pandangan bersahabat terhadap alam. Misalnya “ame natak mutusatn, ame makatn ngabisats” (Tak perlu memotong sampai hancur, tak perlu makan sampai ludes), “Ular di pangkong ame mati, pamangkong ame patah, tanah ame lamakng” (ular dipukul jangan sampai mati, pemukul jangan patah, tanah jangan sampai cekung/rusak). Pendapatan para ahli membenarkan pandangan ini :

Masyarakat Dayak pada dasarnya tak pernah berani merusak tanah dan hutan secara internasional. Hutan, Bumi, Sungai, dan seluruh lingkungan adalah hidup itu sendiri. (Dr. Fridolin Ukur, 1992)

Problematika-nya

Diatas dikatakan bahwa Masyarakat Adat Dayak Kal-Bar masih mampu mempertahankan kelestarian sumber daya alamya hingga pertengahan abab ke 19, namun setelah itu terutama menjelang akhir abab ke-19 ini menjadi berubah. Sejak masuknya pihak-pihak luar yang ikut campur dalam pengelolaan sumber daya alam di Ka-Bar ini. Sejak pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan dan budaya menyetuh alam Kal-Bar sampai kepelosok pendalaman, alam yang dulunya asri bernagsur-angsur menjadi kian hari kian prok-poranda, berikut diporak-porandakannya adat istiadat dan budaya setempat. Keberadaan Masyarakat Adat Dayak Kal-Bar dihadapkan pada posisi dan permasalahan yang cukup rumit. Hal ini pernah diungkit oleh beberapa pakar ilmuwan yang antara lain: Masyarakat Dayak mempunyai permasalahan-permasalahan yang tersediri, karenan penguasaan atas hutan secara besar-beasaran dipegang oleh orang luar, dan sering hak-hak mereka atas tanahnya mengalami gangguan. (Dr. Masri Singarimbun, 1992,h.I).


Hal senada disuarakan pula oleh seorang dosen senior Universitas Tangjungpura pada tahun 1992: Masuknya bebagai pihak luar dalam kegiatan pengelolaan sumber daya alam, menyebabkan alam lingkungan Kalimatan yang dahulunya asri berangsur-angsur menjadi porak-poranda. Hutan berkurang secara kwatitas maupun secara kwalitas dan mata pencarian penduduk berkurang. (Dr. Syarif Ibrahim Alqadri, 1992, h,9-10)

Berbagai produk perundang-undangan yang dibuat terutama sejak pemerintah Orde Baru, memasung dan memarginalkan Masyarakat Adat bangsa Indonesia di seluruh tanah air tercinta ini. Peraturan dan perundang-undangan dibuat sedemikian rupa demi kepentingan penguasa dan pengusaha agar dengan mudah dapat menjarah hak-hak Masyarakat Adat atas tanah dan hutan yang sudah mereka jaga dan pelihara sejak turut temerun.

Akibat dai hal tersebut, di Kal-Bar sangat sering sekali terjadi komplik antara masyarakat Adat yang secara gigih mempertahankan hak-haknya dengan para penjarah (pengusaha yang dibekingi penguasa), misalnya kasus-kasus : Sandai (kab. Ketapang), Belimbing (Kab. Ketapang), Empajak, Tapang Kemayau, Kotup (Kab. Sanggau), sahapm, Sangking (Kab Pontianak) dan masih banyak lagi kasus serupa yang tidak bisa disebutkan satu-persatu disini.

Selain hak-hak Masyarakat Adat tidak diakui dan dijarah, yang tidak kalah pentingnya pula bahwa salama ini Hukum Adat dari Masyarakat Adat itu sering dilecehkan. Hukum Adat sering dipertentangkan dengan Hukum Nasional. Sudah sangat sering kita dengan nada-nada sumbang yang mengatakan bahwa Hukum Adat sudah tidak relevan lagi. Bagi yang masih menerapkan Hukum Adat sering dicap “menduakan Hukum Nasional”, Namun apapun cap yang diberikan, Masyarakat Adat tetap tak bergeming.

Mengapa Masyarakat Adat masih tetap patuh dan masih kuat berpegang pada Hukum Adat ketimbang Hukum Nasional, penjelasannya sangat sederhana dan masuk akal sehat sebagai berikut.

  • Hukum Adat ialah hukum yang liar di produk oleh leluhur Bangsa Indonesia sendiri, dimengerti dan sudah mendarah daging di masyarakat ……. Jadi sudah layak dan sepantasnya disebut “Hukum Bangsa Indonesia
  • Hukum Nasional adalah hukum yang diadopsi dari Hukum Barat (bukan dari Indonesia), karena itu hukum ini kurang dipahami oleh mayoritas Bangsa Indonesia.

Upaya-upaya Masyarakat Adat Dayak dalam Memperjuangkan Eksistensi-nya di Kalbar.

Dalam upaya memperdayakan diri guna mewujudkan kembali harkat, martabat dan kedaulatannya, agar mampu menentukan dan mengelola kehidupan sosial, budaya, ekonomi serta politiknya. Masyarakat Dayak Kal-Bar (para intelektualnya) telah mendirikan beberapa lembaga yang secara kontinyu memberikan pendampingan dan pasilitas bagi Masyarakat Adat.

Lembaga-lembaga tersebut antara lain :

  • Yayasan Karya sosial Pancur Kasih (YKSPK) membidangi pendidikan
  • Credit Union dan Pengembangan Ekonomi Kerakyatan (PEK) menbidangi ekonomi kemasyarakatan
  • Institut Dayakologi Research and Development (IDRD) membidangi kebudayaan-kebudayaan Daerah (Dayak).
  • SHK Kalbar dan PPSDAK membidangi pelestarian lingkungan dan pemetaan partisipatif tanah-tanah adat.
  • LBBT membidangi penguatan/advokasi hak-hak masyarakat adat
  • AMA (Aliansi Masyarakat Adat) sebagai lembaga koordinasi antar seluruh masyarakat adat di Kalbar.

Masyarakat Adat Dayak Kalbar sangat terbuka dan dapat bekerja sama dengan lembaga-lembaga apa saja yang mempunyai visi-misi pemberdayaan dan perjuangan pengakuan hak-hak masyarakat adat.

Penutup

Sebelum kami mengakhiri tulisan ini, perkenankan kami menyampakan beberapa saran sebagai berikut:

1. Agar masyarakat adat di Indonesia dapat membentuk suatu jaringan guna mempererat rasa persaudaraan dan solidaritas sesama masyarakat adat demi memperjuangkan tegaknya kedaulatan masyarakat adat di seluruh Indonesia.

2. Secara bersama-sama mendsak pemerintah agar meratifikasi Konvensi ILO 169.

3. Semoga tulisan yang kurang sempurna ini dapat berarti bagi perjuangan masyarakat adat dan simpatisan.