Thursday, May 8, 2014

Kisah Sawit di Negeri Galau



Si Elaies Yang Datang dari Afrika


Indonesia negeri kaya. Sejak kecil kita tumbuh dengan memuja keberlimpahan alam pertiwi seperti dalam syair lagu Rayuan Pulau Kelapa. Lagu yang menutup siaran resmi layar TVRI saban malam. Nyiur melambai, mengiringi gunung, lembah, lautan, dan daratan di segala penjuru. Emas, tembaga, nikel, minyak, sawit, karet, semua ada.

Indonesia negeri sarat paradoks. Negeri kaya ini seolah berjalan tanpa rencana yang jauh menjangkau ke masa depan. Tak ada kesadaran bahwa keberlimpahan itu pasti akan menipis dan berakhir. Alih-alih memiliki sense of urgency dan keberpihakan pada rakyat luas, sumber daya alam cenderung diobral dan dikelola sembrono. Walhasil, sumber daya alam yang melimpah itu, ironisnya, kerap menorehkan luka dan disharmoni sosial. Berkah dan kutukan alam yang kaya, celakanya, sering hanya berjarak tipis.

Paradoks pekat melingkupi sawit. Komoditas yang satu ini memiliki pamor yang begitu cemerlang. Dia membawa janji sebagai sumber energi zaman baru, biofuel. Elaeis guinensis, nama ilmiahnya, juga menjanjikan “tiket” menuju kedaulatan ekonomi. Tiket yang bukannya mustahil dikejar. Syaratnya, sawit dikelola dengan benar: proses perizinan yang transparan dan akuntabel, memajukan petani sebagai ujung tombak, menghormati hak ulayat, ramah lingkungan, dan memperlakukan buruh dengan baik.

Yang juga tak kalah penting, pengelolaan sawit juga mutlak diiringi ikhtiar memupuk dan menumbuhkan industri hilir. Agar negeri ini tak hanya jadi persinggahan untuk menguras bahan baku. Agar negeri ini juga menuai keuntungan dari pengolahan produk turunan yang punya nilai tambah tinggi. Jurus yang seharusnya juga diterapkan untuk semua sumber daya alam yang dimiliki Indonesia seperti minyak, rotan, karet, emas, tembaga, dan lain sebagainya.
Hutan terbongkar karena Kebun Sawit
Gak bisa dipungkiri bahwa minyak sawit telah terbukti sebagai komoditas yang ampuh. Berbagai produk, mulai dari sampo di kepala sampai kuteks di jempol kaki, membutuhkan minyak sawit sebagai campuran bahan baku. Isi tas belanjaan, termasuk di mall supermewah di seluruh penjuru dunia, semuanya membutuhkan minyak sawit. Tak heran bila nilai ekonomis sawit bakal terus melaju seiring bumi yang makin tua dengan cadangan bahan bakar fosil yang kian menipis. Sawit pun makin berkilau bagaikan emas hijau.

Anehnya, sebetulnya tidak aneh karena inilah konsekuensi logis dari pengelolaan yang kurang visioner, sawit yang berpotensi dahsyat itu menyisakan timbunan persoalan. Konflik kepemilikan lahan, terpinggirkannya masyarakat adat, biodiversitas hutan tergerus, kriminalisasi petani, adalah ekses ekstra serius yang timbul meletup di sana-sini. Ekses-ekses yang mutlak harus dibenahi dan diurai satu demi satu, dengan jernih dan obyektif, jika tak ingin sawit terus  membawa disharmoni sosial dalam berbagai level.  

Konflik meletup dimana-mana karena sawit. Akhir tahun 2011, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan adanya korban berjatuhan di perkebunan sawit di Mesuji, wilayah perbatasan Lampung dan  Sumatera Selatan. Penduduk yang berbilang tahun memperjuangkan haknya dipaksa berhadapan dengan perusahaan yang mengerahkan pasukan keamanan, baik yang swasta maupun aparat TNI dan Polri.

Dan, yang patut secara serius kita soroti bersama bukanlah berapa jumlah korban yang jatuh di Mesuji. Sebab satu nyawa hilang pun sudah terlalu banyak. Lebih dari sekadar soal statistik, Mesuji membawa pesan yang tegas, yakni pentingnya membenahi keruwetan praktik pengelolaan sumber daya alam, perkebunan maupun pertambangan. Ini adalah teriakan, lonceng panggilan, yang amat serius kepada pemimpin negeri ini untuk segera berbenah.

Jangan lagi mengabaikan tumpukan persoalan. Berbilang tahun pula para pejabat yang terkait, baik dari Kementerian Kehutanan atau Kementerian Pertanian, cenderung mengelak adanya gunung konflik dalam dunia persawitan di Indonesia. Alasan yang kerap ditampilkan adalah: “Indonesia menjadi korban black campaign persaingan sawit dunia. Sawit dari Indonesia sering diisukan tidak ramah lingkungan, merusak hutan,  dan mengabaikan hak-hak petani. Padahal, semua itu semata-mata karena persaingan global.”

Alasan para pejabat tadi mungkin ada benarnya. Amerika dan beberapa negara di Eropa, misalnya, sedang mengembangkan produk perkebunan (jagung, kanola, bunga matahari) yang diharapkan bisa menyaingi sawit. Namun, sejauh ini keunggulan minyak sawit, baik dari segi efisiensi maupuan kegunaan, masih jauh melampaui komoditas perkebunan yang lain. Walhasil, sawit dan berbagai produk turunannya masih berada di atas angin dalam peta persaingan global. Tapi, lepas dari perkara persaingan, tragedi Mesuji dan perburuan orang utan adalah bukti tak terelakkan. Tragedi ini adalah tamparan bagi pemerintah dan khususnya para pejabat terkait. Apa yang kerap dituding sebagai black campaign itu memang ada benarnya. Mesuji dan perburuan orang utan adalah konfirmasi telak bahwa ada banyak hal yang keliru dalam pengelolaan perkebunan sawit di Indonesia. Suatu hal yang patut menjadi bahan refleksi untuk menata langkah ke depan.

Teramat sayang jika pengembangan sawit sebagai komoditas yang menjanjikan, dengan posisi Indonesia sebagai produsen terbesar di dunia, harus diwarnai dengan kepahitan yang ditanggung petani  dan masyarakat. Kami yakin, dunia juga berkepentingan terhadap  sustainabilitas dan perbaikan perkebunan sawit di Indonesia. Sebab, bersama Malaysia, Indonesia adalah pemasok utama komoditas yang amat strategis dan dibutuhkan dunia ini.

Menulis tentang sawit itu seperti tersesat di antara labirin informasi dunia persawitan. Setiap soal membutuhkan perhatian tersendiri. Karakter kebun sawit yang masih muda berbeda dengan kebun yang sudah melewati usia 20-30 tahun. Di kebun yang masih muda, sawit belum bertandan dan petani belum bisa menuai hasil. Di kebun yang sudah tua, petani butuh dana peremajaan yang tidak sedikit. Labirin yang paling membikin pusing kepala tentunya adalah sengketa kepemilikan lahan, izin hak guna usaha yang berpindahpindah tangan, dan juga relasi antara petani plasma dan perusahaan yang timpang.

Setiap persoalan terkait dengan persoalan lain, kadang dalam jalinan yang susah diurai. Itulah pekerjaan rumah raksasa yang harus dikerjakan penguasa baru negeri galau ini.

Wednesday, May 7, 2014

Memperkuat Moratorium Penebangan Hutan



Catatan Buat Penguasa Baru Indonesia

Dengan produksi 24,5 juta ton minyak kelapa sawit mentah pada tahun lalu, Indonesia sebetulnya sudah sulit disaingi siapa pun. Namun, angka ini tampaknya masih ingin digenjot lebih dahsyat lagi. Untuk 2020, misalnya, target yang dipatok adalah 40 juta ton. Target itu di satu sisi sah-sah saja. Persoalannya, untuk meningkatkan produksi pengusaha Indonesia lebih condong kepada ekspansi ketimbang intensifikasi lahan. Bila pola ini dipertahankan, laju ekspansi lahan kelapa sawit bisa mencapai 450 ribu hektare per tahunnya. Ini bukan kabar yang menggembirakan, utamanya pada keberlangsungan hutan kita.

Laju ekspansi ini sebetulnya sudah coba direm dengan moratorium penebangan hutan selama dua. Langkah ini dilakukan bukan untuk gagah-gagahan, melainkan dengan jualan oksigen melalui skema REDD (reduced emissions from deforestation and forest degradation) Indonesia mendapatkan dana dari Norwegia sampai US$ 1 miliar selama kurun 7-8 tahun sejak perjanjian diteken. Dana ini adalah bentuk dukungan negara Skandinavia ini atas tekad Indonesia mengurangi emisi atau buangan zat asam arang (CO) sampai 26 persen pada 2020.

Terkait dengan Moratorium tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menghimbau kepada presiden baru nanti untuk meneruskan moratorium konsesi hutan. Presiden menyampaikan himbauan itu ketika memberikan pidato kunci sekaligus membuka Forests Asia Summit 2014 atau Pertemuan Puncak Hutan Asia, di Shangri – la Hotel, Jakarta, Senin (5/5).

Presiden SBY mengklaim bahwa kebijakan moratorium penebangan hutan tersebut telah menurunkan tingkat penggundulan hutan dari 1,2 juta hektar menjadi  450 hingga 600 ribu hektar per tahun selama periode moratorium, terhitung sejak inpres Moratorium dirilis pada 2011. Keberhasilan menurunkan angka dorestasi tersebut telah mengurangi pelepsan 211 juta ton CO2.

Guna memperkuat upaya moratorium konsensi hutan itu, Presiden SBY telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2013 yang sifatnya  sebagai penguatan dan koreksi atas moratorium sebelumnya, misalnya penyelesaian tumpang tindih perizinan.

Inpres Nomor 6 Tahun 2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut merupakan perpanjangan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 atau yang lebih dikenal dengan Inpres Moratorium Hutan yang seharusnya berakhir pada 20 Mei 2013.

Namun di lapangan, pemerintah daerah dan berbagai intansi terkait, menerjemahkan  moratorium secara berbeda lain lagi dengan kehendak resmi pemerintah pusat. Sebelum tanggal moratorium jatuh, pengusaha sekuat tenaga, bahkan mungkin kalap, membebaskan lahan. Bila dengan moratorium saja pelanggaran di lapangan masih terjadi, skenario yang kurang menggembirakan untuk lingkungan dan ekonomi rakyat bakal menanti setelah moratorium diangkat.

Sawit memang komoditas yang penting bagi perekonomian Indonesia. Namun, yang menikmati harum dan gurihnya hanya kalangan terbatas. Sebagian besar petani rakyat dan warga sekitar perkebunan besar yang seharusnya bisa sejahtera karena komoditas unggulan ini justru menjadi pihak yang paling sering dirugikan dengan pertumbuhan kebun yang kian menggila. Selama puluhan tahun, maraknya kebun sawit sejalan dengan tumbuhnya konflik di sana-sini. Sumatera dan Kalimantan sudah merasakan imbas pahit dari agresivitas ekspansi sawit.

Kini sawit merambah tapal batas baru: Papua. Pada tahun 2007, sekitar 10 juta hektar hutan di Tanah Papua telah dialokasikan untuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan sekitar 1,6 juta hektar dialokasikan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI). Sementara khusus untuk perluasan (ekspansi) perkebunan kelapa sawit mencapai 7 juta hektar yakni 5 juta hektar di provinsi Papua dan 2 juta hektar di provinsi Papua Barat. Rencana ekspansi perkebunan sawit ini menjadi ancaman besar bagi masyarakat adat Papua juga karena hutan adatnya akan diklaim atas izin pemerintah oleh perusahaan. Hutan alam juga akan habis ditebang untuk industri minyak sawit, sementara sekitar 80% penduduk asli Papua masih hidup bergantung pada hasil hutannya sebagai peramu dan petani subsisten.

Banyak konflik yang terjadi di Papua karena masalah tanah. Bagaimana pun, rencana pemerintah untuk membuka perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran di Tanah Papua berpotensi menjadi sumber konflik baru. Karena itu sudah saatnya, para legislator dan Presiden baru hasil pemilihan legislative dan pemilihan presiden baru mendorong perpanjangan moratorium penebangan dan sekaligus memperkuat moratorium itu sendiri. Seperti dijelaskan diatas, dengan moratorium saja tidak cukup untuk menurunkan trend deforestasi, tapi harus diperkuat dengan instrument-instrumen hukum untuk memperkuat moratorium.