Sunday, July 28, 2013



Nyayian Angin Pegunungan Arfak
Catatan Singkat Perjalanan

Dengan mencarter mobil jenis ranger, kami berempat menuju Distrik Anggi Pegunungan Arfak di Kabupaten Arfak. Kami berangkat tepat pukul 5 pagi. Dalam perjalanan, supir kami banyak bercerita tentang kehidupan di Papua Barat. Supir kami tersebut bernama Roni dan berasal dari Makassar. Dia bercerita bahwa 2 minggu sebelumnya dia baru saja membayar denda karena menabrak mati seekor babi. Uang sebesar 5 juta pun harus dibayarkan ke si pemilik babi. Saat melintas di lokasi kejadian, pak Roni menunjuk rumah si pemilik babi. Rumah mereka sangat sederhana. Praktis di ruas jalan itu, saya hanya menemukan 4 rumah. Situasi yang sama juga saya temukan sepanjang jalan menuju Distrik Anggi. Memang mungkin dugaan saya salah karena hanya melihat bentuk fisik rumah mereka saja. Namun, ketika berbincang dengan seorang paitua (tetua adat), kondisi keterhimpitan mereka secara ekonomi memang sangat melumpuhkan. “Tong (kita) hanya mengandalkan hasil kebun dan menjualnya kembali ke kota, trada (tidak ada) lagi yang bisa diharapkan dari manapun,“ ungkap paitua yang saya temui di pinggir Danau Anggi. Ungkapan paitua ini kesan saya mengandung keputusasaan yang sangat besar.

Sementara masyarakat mengalami keputusasaan, demam pemekaran dan penentuan posisi-posisi penting dalam birokrasi telah dimulai di Kabupaten Pegunungan Arfak yang baru saja dimekarkan. Para pegawai negeri sipil dan kelompok elit yang “merasa” berasal dari kedua kabupaten itu berlomba-lomba untuk kembali ke daerah asalnya. Pemetaan suku-suku “asli” sebagai tuan di daerahnya sendiri pun juga dilakukan di masing-masing kabupaten. Di tingkat elit pemerintahan di kota Manokwari juga ramai membicarakan siapa tokoh-tokoh yang berpeluang untuk menjabat sebagai care taker bupati kedua daerah pemekaran ini. Perdebatan antara para elit ini tentunya berdasar kepada pemahaman bahwa pemekaran adalah untuk “masyarakat pemilik tanah” dan sebagai “suku asli” yang menjadi tuan di tanah kelahirannya sendiri.

Suasana keputusasaan dalam keterhimpitan ekonomi, di tengah gelimang kekayaan alam yang tereksploitasi dan dana triliunan rupiah dalam skema Otonomi Khusus (Otsus), seakan tidak berdampak sama sekali dalam peningkatan kualitas kehidupan masyarakat. Pembangunan fisik dalam bentuk gedung-gedung memang terjadi dengan masif. Pembangunan fisik memang tidak terbantahkan terjadi di permukaan sementara kualitas hidup dasar dalam perekonomian, kesehatan, dan pendidikan masih sangat memprihatinkan.

Titik Sebaran Orang Arfak
Masyarakat Arfak atau biasa disebut Suku Besar Pegunungan Arfak, dan dalam penyebutan sehari-hari “Orang Arfak.” Mereka hidup menyebar di bagian timur wilayah Kepala Burung Papua, yaitu menyebar di kawasan pedalaman Pegunungan Arfak, Kabupaten Manokwari. Topografi gunung tersebut berbukit-bukit dan bergelombang dengan puncak tertingginya 2.900 meter dari permukaan laut. Pegunungan Arfak yang berarti “pegunungan besar,” atau masyarakat Arfak  menyebutnya “Indon.” Namun sejak kedatangan masyarakat pantai (masyarakat Biak-Numfor yang pindah ke kawasan Pegunungan Arfak) dan pendatang lainnya yang duduk di pemerintahan, mereka menyebutkan sebagai Pegunungan Arfak. Suku Besar Arfak terdiri dari empat suku bangsa yaitu Hatam, Meyakh, Sougb (Manikon/Mantion) dan Moile yang hampir sama kebudayaannya namun memiliki bahasa yang berbeda.  Bahasa Hatam dan Moile termasuk fila Kepala Burung Bagian Barat, sedangkan bahasa Meyakh serta Sougb dalam fila Kepala Burung Bagian Timur.

Masyarakat Arfak hidup tersebar di daerah sekitar Manokwari dan di lembah-lembah serta lereng-lereng pegunungan Arfak dan Anggi. Keempat suku besar ini secara turun temurun telah menghuni kawasan dengan pembagian wilayah yang jelas. Suku Hatam adalah yang terbesar menghuni kawasan pegunungan Arfak bagian utara atau di Wilayah Distrik Oransbari dan Ransiki; suku Meyakh menghuni bagian barat atau Wilayah Distrik Warmare dan Prafi, mereka sering disebut orang “Arfak Asli;” suku Sougb umumnya orang luar sebagai suku Manikion (= orang yang tidak suka mandi) bagian selatan atau di wilayah Distrik Anggi, yang mungkin dianggap sebagai pusat penyebaran orang Arfak. Selanjutnya, suku Moile tersebar di bagian timur pegunungan Arfak atau di Distrik Minyambow. Masyarakat Arfak termasuk dalam ras Melanesoid, dengan bentuk tubuh yang ramping dan pendek tetapi tegap, seperti penduduk daerah Pegunungan Tengah Papua pada umumnya. Tinggi badan rata-rata pria Arfak adalah 1,58 meter, dan wanita tingginya rata-rata 1,47 meter. Tentang jumlah populasi orang Arfak belum ada data yang akurat, karena mereka sudah hidup menyatu dengan suku-suku lain di Papua Barat dan pendatang dari luar Papua Barat terutama di ibu kota distrik.

Suku-suku asli yang dulunya mempertahankan tanah mereka dari orang luar, telah bercampur. Perkawinan campuran dan kesediaan menerima orang lain dari suku lain masuk hidup di daerah suku mereka, telah membawa sedikit perubahan dalam komposisi penduduk setiap kampung.  Setiap kampung didiami oleh satu suku, sekarang ini terdapat beberapa keluarga yang berasal dari suku lain, misalnya di Kampung Warbiadi terdapat dua marga Sougb, sekarang tinggal di kampung yang dulunya merupakan tempat tinggal eksklusif orang Hatam. Percampuran suku-suku ini berlangsung karena perkawina.

Konsep perladangan gilir balik adalah mata pencaharian pokok masyarakat Arfak. Kebun mereka biarkan menjadi hutan kembali setelah satu atau dua kali panen. Jangka waktu dari masa bera suatu lahan tidak tentu, dan pohon-pohon yang ada dalam suatu lahan telah mencapai tinggi 10-15 meter maka lahan tersebut sudah bisa digarap. Sebelum mengenal alat-alat berladang, seperti kapak, parang, cangkul, dan garu, yang diperkenalkan oleh penyuluh pertanian – penduduk hanya bertani di daerah kosong mengelilingi batang pohon yang tumbang, dengan menggunakan alat tradisional tongkat tugal. Jenis tanaman yang ditanam adalah ubi jalar dan keladi, disamping pepaya, pisang dan sayur-sayuran. Setelah mengenal peralatan baru, serta jenis-jenis tanaman yang datang dari luar Papua, hasilnya dapat mereka jual di pasar seperti kentang, bawang, wortel, kubis, buncis, sawi, dan saledri.

Untuk bercocok tanam mereka masih menggunakan cara menebas dan membakar hutan di suatu tanah datar yang mereka anggap subur. Selain sebagai sarana ladang gilir balik, pemanfaatan hutan oleh para warga klen adalah untuk areal berburu, tempat penduduk sebagai sumber protein hewani. Binatang yang banyak mereka buru adalah tikus tanah, kuskus, dan kanguru pohon, sementara babi hutan dikonsumsi dan dipelihara. Alat yang digunakan untuk berburu adalah busur dan panah yang terbuat dari bambu dan nibung tua serta gelagah. Kegiatan ini hanya dilakukan oleh kaum pria. Mata pencaharian lain adalah mencari ikan di danau-danau. Setelah pegunungan Arfak sebagian besar dijadikan kawasan cagar alam (68.325 hektar) akses masyarakat dalam memanfaatkan potensi hutan dibatasi.  

Pandangan Masyarakat Arfak terhadap Alam

Pandangan masyarakat Arfak terhadap alam di sini adalah pemaknaan hubungan manusia dengan alam dan sebaliknya dalam rangka untuk mempertahankan hidupnya. Tingginya usaha menjaga keselarasan dengan alam atau hutan yang memberi kehidupan kepada masyarakat Arfak menandakan bahwa mereka memiliki nilai budaya untuk mempertahankan atau menjaga alam sekitarnya jangan sampai rusak. Ketergantungan kepada alam sangat kuat, kalau alam atau hutan tempat mencari makanan mengalami kerusakan maka tidak ada lagi makanan untuk menghidupi warga masyarakat setempat.

Di samping itu, masyarakat Arfak masih meyakini bahwa lingkungan alam memiliki kekuatan yang sangat dahsyat, dapat memberikan bencana kepada mereka, sehingga mereka bersifat apatis tanpa banyak yang diusahakan dengan hutan tersebut. Masih terdapat kepercayaan bahwa di alam sekitar tempat hidup manusia seperti hutan dengan pohonnya, sungai, batu, gua dan tebing memiliki kekuatan gaib yang ditakuti dan dihormati karena selalu mengontrol kehidupan manusia, sehingga timbul nilai budaya yang tidak aktif memanfaatkan hutan. Hutan boleh tempat mereka hidup sekadar untuk memenuhi kehidupan sehari-hari seperti berkebun, meramu dan berburu, tidak boleh mengeksploitasi alam secara berlebihan. Kayu di hutan hanya untuk kebutuhan untuk membuat rumah dan kayu bakar.  Hal ini dipengaruh adat istiadat setempat untuk menjaga alam dan sangat sesuai dengan arah pembangunan kita yaitu pembangunan pertanian berkelanjutan dengan cara hidup harmonis dengan alam.

Hutan tempat mereka berkebun dianggap air susu “ibu” yang memberi kehidupan kepada mereka. Ketika alam dieksploitasi maka akan marah dan tidak mau memberikan “makanan” bagi masyarakat Arfak. Walaupun teknik bertani masyarakat Arfak adalah lading gilir balik dengan membuka lereng-lereng secara bergiliran, tetapi memiliki upaya mengerem dengan teknik pertanian tradisional yang tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan, kearifan tersebut dikenal dengan sebutan igya ser hanjob (igya = kita berdiri, ser = menjaga, hanjob=batas) yang secara harfiah dapat diartikan: “Kita berdiri menjaga batas.”

Kalimat bahasa Hatam tersebut mengandung ajakan: “Mari kita sama-sama menjaga hutan untuk kepentingan bersama”.

Konsep Pengelolaan Hutan Berbasis Kearifan Adat
Masyarakat Arfak mengenal pembagian wilayah tempat mereka mencari kehidupan sehari-hari yakni: (1) Kawasan Bahamti adalah hutan asli (primer) yang tidak bisa diganggu untuk ladang/kebun. Kawasan ini sangat dijaga ketat oleh masyarakat, tidak diperbolehkan menebang kayu, berburu, membuat rumah, hanya diperbolehkan mengambil kulit kayu, daun untuk atap rumah, dan rotan; (2) Kawasan Nimahanti adalah bekas kebun yang ditinggalkan (masa bera) selama 10–20 tahun, pohonnya sudah besar mendekati kawasan Bahamti. Pada kawasan ini boleh mengambil kulit kayu, rotan, daun, berburu serta boleh membuka kebun; tetapi tidak boleh membuat rumah; (3) Kawasan Susti adalah kawasan pengelolaan yang bisa digarap sebagai ladang/kebun; dan (4) Kawasan Situmti, adalah bekas kebun betatas, dekat dengan perkampungan atau halaman rumah. Dicirikan rerumputan, ditanami sayuran terutama komoditi yang laku di pasar seperti daun bawang dan saladeri.

Pihak pemerintah, tokoh agama (pendeta), kepala suku tidak pernah melarang untuk membuka ladang karena mereka sudah tahu lahan yang bisa dijadikan kebun (Susti) dan kawasan yang tidak boleh diganggu (Bahamti). Sedang kawasan Nimahamti adalah kawasan yang bisa digarap ketika terpaksa yaitu lahan Susti tidak ada lagi, itu pun digarap oleh pemilik hak ulayat kawasan hutan tersebut.

Semenjak nenek moyang suku pedalaman Arfak sudah melarang untuk membuka kebun di hutan bahamti karena akan menghabiskan kayu-kayu seperti rotan, kulit kayu (Butska), bahan untuk bahan dinding rumah, tanaman obat; dan hewan-hewan seperti burung, kus-kus pohon. Konsep pembagian wilayah konservasi masyarakat Arfak disebut teknologi Igya ser hanjob (igya = kita berdiri, ser = menjaga, hanjob = batas), artinya adalah: Mari kita sama-sama menjaga hutan untuk kepentingan bersama.

Kearifan lokal tersebut sudah sesuai dengan kebijakan pemerintah dalam hal pelestarian sumber daya alam hutan tanpa mengurangi hak-hak masyarakat setempat memanfaatkan hutan sebagai penopang hidup mereka secara berkelanjutan. Terpeliharanya lingkungan hidup di kawasan Pegunungan Arfak dapat dibuktikan dengan tidak adanya informasi dan laporan kejadian bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan kelaparan.

Danau Anggi dan Pesona Eksotismenya
Salah satu keunikan pegunungan Arfak adalah keberadaan danau kembar yakni Danau Anggi Giji dan Anggi Gita. Suhu sekitar danau sangat dingin. Apalagi di bukit Kobrey yang bisa mencapai 6 derajat celsius. Oleh masyarakat suku Sough di kampung Iray, bercocok tanam hortikultura seperti kentang, wortel, daun bawang, seledri, berbagai jenis bunga antara lain Gladiol Anggi, Rhododenrum, merupakan pilihan tepat. Mereka belum mengenal pestisida. Tanaman tumbuh subur terhindar dari zat-zat kimia dan toxic yang berbahaya. Sayang sekali, hasil panen mereka masih sulit untuk dipasarkan keluar areal perkampungan mereka karena biaya pengangkutan yang tinggi, tidak menutupi ongkos pergi-pulang seperti ke Ransiki atau kota Manokwari. Mereka masih sangat berharap jika pedagang dari luar datang membeli hasil panen mereka. Orang-orang Arfak sangat menderita jika harga BBM dinaikan karena akan menambah biaya transportasi.

Keunikan lain yang dapat dijumpai di pegunungan Arfak adalah kehidupan sosial masyarakat asli pegunungan Arfak yang terdiri dari beberapa suku seperti suku Meyakh, suku Sough, suku Hatam dengan beragam bahasa serta tradisi yang masih dipertahankan hingga saat ini. Di antaranya, seorang lelaki wajib berjalan di belakang perempuan baik anaknya maupun istrinya. Kita juga dapat menjumpai budaya Arfak yang berkenaan dengan prosesi ritual pengucapan syukur yang disimbolkan dengan tarian Magasa, sejenis tari ular. Biasanya, hampir setiap musim panen, perkawinan atau menyambut tamu, tarian ini dipertunjukkan.

Rumah tradisional Arfak disebut Igkojei, yang oleh suku Sough disebut Tumisen, terkenal dengan tahan lama dan kokoh, karena tiang yang banyak terbuat dari jenis kayu bua yang tidak mudah patah meskipun hanya berdiameter 5-10 cm. Rumah Tumisen ini juga sering disebut rumah kaki seribu karena tiangnya yang banyak. Saat ini keaslian rumah Igkojei atau Tumisen sudah mulai langkah apalagi atap yang asli dari rumput ilalang rat-rata sudah diganti menggunakan seng. Eksistensi rumah tradisional orang Arfak ini mulai terancam dengan adanya kebijakan pemerintah daerah dengan menyediakan perumahan “modern”.

Masih tersimpan banyak keunikan dan keindahan lainnya lagi yang bisa kita dapatkan di kawasan pegunungan Arfak. Jika Anda peneliti atau mahasiswa, petualang, professional ataupun hobbies fotografi flora-fauna, ataupun Anda tergolong “wisatawan modern/minat khusus”, segera datang di Papua Barat. Jelajahi pegunungan Arfak, telusuri goa terdalam di dunia, berkeliling di dua danau Anggi dan buktikan kepada dunia bahwa Anda-pun turut serta berperan “menyelamatkan” hutan Papua.


Ternak Babi di Pegunungan Arfak

Ternak babi bagi masyarakat Arfak bukan semata sebagai benda yang memiliki nilai ekonomi atau sebagai bahan konsumsi untuk memenuhi asupan gizi, namun babi memiliki makna social dan budaya yang melekat dalam mengatur tatanan bermasyarakat atau adat istiadat setempat. Misalnya, babi berfungsi sebagai mas kawin dan ”alat” perdamaian dalam sengketa/konflik adat. Di samping itu, sebagai masyarakat tradisional yang belum mengenal alat mekanik pertanian, ternak babi dimanfaatkan untuk mengolah lahan pertanian. Oleh sebab itu, di dalam keluarga Arfak, berusaha untuk beternak babi sebagai tabungan mana kala menghadapi peristiwa perkawinan dan sengketa adat. Kepemilikan ternak babi menunjukkan status sosial yang lebih tinggi. 

Satu keluarga biasa memelihara babi 2-4 ekor. Babi diperoleh dengan membeli calon induk, pembayaran mas kawin, pembayaran denda adat, dan hadiah. Masing-masing babi diberi nama oleh pemiliknya sesuai dengan latar belakang peristiwa ternak babi tersebut diperoleh atau sesuai dengan warna kulit, besar, dan nama anggota keluarga atau nama lingkungan alam yang ada di sekitar pemukiman setempat. Pemberian nama pada babi akan mengakrabkan hubungan pemilik dengan babi. Pemandangan biasa kita lihat di tempat penelitian, anak-anak Arfak bermain dengan anak babi: digendong, dielus-elus rambutnya, dan dimandikan layaknya manusia. Babi yang sedang berada jauh dari pemiliknya, bila dipanggil namanya maka akan segera babi-babi tersebut berdatangan mendekati orang memanggil namanya: Bahai… Oh sitie….. Ne muntui…… (putih-hitam…. Hitam-putih……Hitam…..). 

Babi mencari makan pada jam 06.00 sampai dengan jam 12.00, setelah itu istirahat atau tidur di bawah naungan pohon (sombar), mencari makan lagi pada jam 14.00 sampai dengan pagi hari.

Ternak babi juga menimbulkan masalah pada masyarakat Arfak, karena tidak memiliki kandang, dibiarkan liar mencari makanan sendiri. Babi dianggap hama, merusak tanaman yang ada di halaman rumah, gereja, dan kebun penduduk. Akibatnya, sering terjadi konflik antara pemilik ternak babi dengan pemilik kebun yang dirusak. Bila konflik ini tidak menemukan titik temu (berdamai), menyebabkan perkelahian antar keluarga bahkan perang antar suku bila melibatkan suku lain.

Mengatasi permasalahan tersebut  setiap suku atau kampung dipimpin oleh Kepala Suku membuat peraturan adat tentang peternakan babi, yang melanggar akan dikenai sangsi hukuman misalnya membayar denda sesuai dengan besar kerusakan.

Suatu kasus, babi masuk merusak kebun seorang petani, merusak tanaman yang siap dipanen, diketahui setelah pemiliknya melihat ada bekas-bekas lubang galian tanah dan bekas kaki-kaki babi. Pemilik babi bisa diketaui kalau babi masih berada di kebun tersebut dengan cara melihat ciri-cirinya, kalau belum maka pemilik kebun mencari tahu dengan menanyakan warga masyarakat lain yang juga sebagai informan. Jika pemilik babi sudah diketahui lalu menegur dan diperingati agar babinya dijaga atau dikandangkan. Teguran dilakukan selama tiga kali, kalau tidak diindahkan maka pemilik kebun memanah babi tersebut hingga mati. Babi yang mati tersebut di bawah ke kepala suku untuk disidangkan secara adat. Keputusan  dalam sidang adat, pemilik babi mengganti kerugian yang dialami oleh pemilik kebun, biasanya dinilai dengan uang Rp.50-100 juta atau nilai sejumlah babi yang masuk ke kebun, dan daging babi dibagikan kepada warga kampung.

Kerangka Pagar Kebun
Pagar dibuat untuk menghindari ternak babi (dataran tinggi), kambing dan sapi (dataran rendah) masuk mengganggu tanaman dalam kebun. Bentuk pagar pada masingmasing wilayah atau suku berbeda. Petani Arfak yang berada di dataran rendah atau dekat dengan kota kebanyakan dibuat dari sisa-sisa pohon semak dan ranting-ranting pohon kayu bekas pembersihan lahan. Sedangkan model pagar pada masing-masing suku adalah sbb:
1.       Model vertikal. Kayu tegak atau miring disusun ke samping dijadikan dinding utama setinggi 1-2,5 m, diapit oleh 2 kayu mendatar panjang (5-10 m) mengelilingi kebun yang akan dipagar. Untuk memperkuat ditambahkan kayu besar sebagai penyanggah. Model ini membutuhkan potongan kayu yang lebih banyak. Model vertikal ini terdapat pada suku Meyakh dan Hatam.
2.       Model horizontal. Kayu horisontal disusun dari bawah ke atas sebagai dinding utama, dijepit oleh dua kayu vertikal (bagian luar dan dalam) setinggi pagar horizontal sebagai penguat, diikat dengan kayu horizontal hingga menjadi kuat. Pagar dibuat dari kayu alnov atau bikiom yang banyak tumbuh di kebun baru yang akan dibuka. Model ini membutuhkan waktu pengerjaan dan kayu lebih sedikit dibanding model vertikal. Model horizontal banyak dibuat oleh suku Moile.
3.       Model campuran. Model ini digunakan oleh suku Sougb yaitu model vertikal dan horizontal, bahannya campuran kayu dengan bambu.    

Mas Kawin
  
Maskawin suku pedalaman Arfak merupakan tradisi yang masih kuat dipegang sampai saat ini. Selama hidup mereka dalam satu keluarga atau marga berusaha mengumpulkan sejumlah harta benda untuk maskawin bagi anak-anak laki-laki bila akan masuk ke jenjang perkawinan. Maskawin diperoleh dari akumulasi: maskawin yang diperoleh ketika mengawinkan anak perempuan mereka, denda adat, hadiah, dan  penjualan hasil-hasil pertanian dan barter maskawin. Sejak lahir anak laki-laki sudah menjadi tanggung jawab orang tua untuk menyiapkan maskawin, saat acara perkawinan tiba tidak lagi meberatkan pihak keluarga. Supaya tidak berat menanggung beban maskawin, biasanya dalam satu keluarga/marga saling membantu mencukupi maskawin yang diminta oleh pihak wanita. Itulah sebabnya, anak laki-laki dalam masyarakat Arfak telah dilibatkan dalam bekerja membantu orang tua mereka dalam rangka mengumpulkan maskawin.

Jumlah maskawin yang akan diserahkan tergantung kesepakatan ketika acara pelamaran berlangsung. Pihak laki-laki belum mampu memberikan maskawin sesuai permintaan maka dianggap sebagai ”hutang” yang harus dibayar nanti, dilunasi saat lahir anak pertama atau ketika timbul konflik yang disebabkan oleh pihak suami melakukan perzinahan dengan wanita lain. Di saat tersebut muncul tuntutan dari pihak keluarga istri agar maskawin segera dibayar lunas. Sebaliknya bila pihak wanita melakukan perzinahan  dengan pria lain, maka keluarga suami akan menuntut dikembalikan semua maskawin yang sudah diserahkan sebelumnya, dan menuntut secara hukum adat kepada pria yang telah menzinahi istrinya. Sering terjadi konflik hingga ke aksi fisik (perang suku) dengan pihak yang menzinahi itrinya.

Kelengkapan dan besar nilai maskawin menunjukkan tingkat sosial dalam keluarga pria dan wanita. Besarnya permintaan maskawin biasanya datang dari pihak wanita suku lain, memiliki pekerjaan tetap sebagai pegawai negeri sipil, tingkat pendidikan tinggi, dan dari keluarga terpandang misalnya anak kepala suku. Untuk menghindari maskawin yang lebih besar, terutama dari keluarga menengah ke bawah dengan jalan menghindari perkawinan dengan orang di luar suku mereka. 

Jenis dan nilai barang yang dijadikan maskawin pada masyarakat Arfak adalah sbb:
1.       Kain timor (Mena’o): 5 lembar seharga Rp. 10-15 juta.
2.       Kain toba (Hugani): 1 lembar seharga Rp. 15 juta.
3.       Kain merah (Minkanami): 50 m seharga Rp. 1 juta.
4.       Kain cita (Bometka): 60 pice seharga Rp. 18 juta.
5.       Paseda/Sampar/gelang dari krang laut (Awaka): 30 buah seharga Rp. 15 juta.
6.       Manik-manik (Limoko): 10 buah seharga Rp.250 ribu.
7.       Babi (Huech): 2-5 ekor seharga Rp. 1 juta/ekor.
8.       Senjata peninggalan Belanda (Lomokot).

Total nilai dana yang disiapkan untuk maskawin mencapai Rp.50-150 juta. Mas kawin menjadi milik kedua memplai, namun disimpan oleh pihak keluarga perempuan untuk dijadikan warisan maskawin bagi anak keturunan mereka kelak.

Maskawin menjadi ringan setelah pihak keluarga telah “menabung” sejak lama, selanjutnya menanggung sisa sebesar Rp.10-30 juta. Mas kawin karena berzinahan akan lebih besar karena termasuk denda adat yaitu lebih dari Rp. 50 juta.