Pada 2011, saya diminta oleh The International Fund for Agricultural Development (IFAD) untuk menuliskan informasi (Country Technical Notes) terkait dengan situasi masyarakat adat di Indonesia. Country Technical Notes ini dipersiapkan untuk menyediakan informasi yang spesifik tentang massyarakat adat dan juga untuk berkontribusi pada program strategis pembangunan negara.
Untuk mengetahui secara detail Country Technical Notes ini bisa di akses di http://www.ifad.org/english/indigenous/pub/documents/tnotes/indonesia.pdf
Wednesday, May 15, 2013
Orang Togian Tersingkir Dari Lautnya Yang Kaya (2)
Potensi
Wilayah Adat di Kepulauan Togian
Kepulauan
Togean memiliki keragaman flora yang
luar biasa, sebagian besar ditumbuhi hutan dengan vegetasi kayu-kayuan yang diselingi belukar, selebihnya
ditumbuhi padang rumput yang bersinergi indah dengan pepohonan ditepian sungai.
Pada hutan produksi biasa dan produksi terbatas banyak ditumbuhi jenis kayu dan
hasil hutan lainnya seperti: pohon Malapoga, Palapi, Kerikis, Gopasa, Kume, Pulai dan Binuang.
Selain itu masih banyak
ditemukan berbagai species tumbuh‐tumbuhan berkualitas tinggi seperti kemiri, kenari, rambutan, kulahi, melinjo,
leci, aren dan pakis haji.
Sedangkan untuk fauna Kepulauan Togean
memiliki jenis binatang yang beraneka ragam mulai dari hewan ternak hingga
beberapa jenis hewan satwa langka seperti anoa,
babi rusa, monyet hitam sulawesi, kuskus,
kucing hutan serta burung maleo.
Selain memiliki keragam flora dan fauna yang berada di darat, kehidupan bawah laut perairan Kabupaten
Tojo Una-Una juga memiliki keanekaragaman dan nilai eksotis tinggi yang sangat
terkenal, tidak hanya dalam skala nasional namun sampai juga ke mancanegara. Keindahan dan
keanekaragaman species terumbu karang menarik minat para wisatawan asing untuk melakukan
penyelaman dan penelitian biota laut.
Kekayaan lain yang terdapat di perairan Teluk Tomini yang masuk wilayah Kabupaten Tojo Una-Una
dan yang tidak kalah pentingnya adalah berbagai species ikan yang berkualitas ekspor, serta budidaya berbagai jenis kerang
mutiara dan rumput laut.
Adapun jenis ikan terumbu karang yang tercatat adalah 596
species ikan yang termasuk dalam 62 family, termasuk jenis Paracheilinus
togeanensis dan Ecsenius sp yang diduga kuat merupakan endemik Togean. Selain itu juga
ditemukan 555 species moluska dari 103
famili, 336 jenis Gastropoda, 211
jenis Bivalvia, 2 jenis Cephalopoda, 2 jenis Scaphopoda dan 4 jenis Chiton (Allen and McKenna 2001).
Kepulauan Togean
yang berada di perairan Teluk Tomini, Kabupaten Tojo Una-una memiliki sumber daya kelautan yang sangat
potensial dan penting artinya bagi wilayah Indonesia bagian tengah. Terdapatnya Kepulauan
Togean dan Kepulauan Walea membuat perairan laut wilayah Kepulauan ini semakin kaya
dengan sumber daya hayati dan nir hayati. Bahkan dari sisi kekayaan hayati (bio-diversity) termasuk tiga terkaya di
dunia. Kekayaan akan sumber daya kelautan ini memberi kesempatan kepada masyarakat untuk
memanfaatkannya melalui kegiatan perikanan, pertambangan, pariwisata, dan
lain-lain.
Hutan Mangrove
Perairan laut Kepulauan
Togean, termasuk wilayah pesisirnya yang berupa hutan mangrove, juga telah menjadi perhatian para peneliti dari Indonesia
dan negara lain. Hasil survey Marine Rapid Assessment Program (MRAP)
oleh Conservation International Indonesia
(CII) tahun 1998 menunjukkan bahwa Kepulauan Togean
merupakan salah satu bagian ekosistem terumbu karang penting di dunia, atau The
World’s Coral Triangle, sebuah kawasan yang meliputi wilayah-wilayah
perairan Jepang, Philipina, Malaysia, Indonesia, Papua Nugini, Australia,
hingga negara-negara Kepulauan di Pasifik. Para ahli biologi
menyatakan bahwa Kepulauan Togean memiliki seluruh tipe
terumbu karang yang ada di dunia, yaitu karang tepi (fringing reef),
karang penghalang (barrier reef), karang tumpuk (patch reef), dan
karang cincin (atoll). Survey MRAP juga menemukan 262 species karang yang tergolong ke dalam 19 famili di Kepulauan
Togean, termasuk jenis karang endemik Togean,
yaitu Acropora togeanensis.
Penelitian oleh CII dan Yayasan Pijak telah
mengidentifikasi sekitar 33 species mangrove di Kepulauan Togean, terdiri dari 19 spesies mangrove sejati (true mangrove) dan 14 species mangrove ikutan (associate mangrove). Seluruh jenis mangrove ini terkelompok dalam 26 genus dan 21 familia. Hutan mangrove Kepulauan Togean juga merupakan habitat bagi sedikitnya 50
species hewan. Selain melakukan klasifikasi secara biologis
terhadap jenis-jenis mangrove,
penelitian ini juga menghimpun informasi tentang nama-nama jenis mangrove berdasarkan pengetahuan
penduduk Kepulauan Togean, termasuk kegunaannya
bagi mereka (Adhiasto dan Al Hasni 2001).
Tataruang
Menurut Aturan Adat
Masyarakat
Adat di Kepulauan Togean mempunyai kearifan dalam penataan ruang wilayah
adatnya. Misalnya dalam pengelolaan hutan,
mereka membaginya menjadi pangale dan iyopo. Pangale adalah hutan di
mana pohon-pohon kayu di dalamnya belum pernah ditebang atau dibuka untuk
keperluan apa pun. Adapun iyopo adalah hutan yang
sebagian atau seluruh wilayahnya telah ditumbuhi kembali dengan pohon-pohon
kayu setelah mengalami penebangan, seperti untuk membuat perahu, pembuatan
bangunan atau pembukaan kebun. Dilihat dari usia jenis pohon kayu yang tumbuh,
penduduk membuat kategori iyopo ntua atau iyopo tua untuk hutan
yang batang-batang pohon kayunya dianggap sudah cukup besar dan tinggi, hampir mendekati kondisi pangale.
Sedangkan iyopo yang mulai ditumbuhi tanaman-tanaman perintis, atau
pohon-pohon kayunya mulai tumbuh besar, dinamakan iyopo ngura atau hutan
muda. Dalam terminology ilmu kehutanan, pengertian pangale lebih mendekati konsep hutan
primer sedangkan iyopo menyerupai hutan sekunder. Lokasi-lokasi hutan
bekas area penebangan kayu oleh perusahaan pemegang HPH dan IPK, yang telah
ditumbuhi oleh pohon-pohon baru, oleh penduduk juga dianggap sebagai iyopo,
baik ngura maupun ntua.
Iyopo ngura maupun ntua,
adalah hutan dalam penguasaan petani yang pertama membuka pangale, maupun mereka yang telah medapatkan haknya atas hutan tersebut, misalnya
melalui jual beli atau warisan.
Kebun, masyarakat
di Kepulauan Togean menyebutnya kebong, ngovu atau inaut,
dibuka dengan tehnik tebas bakar, atau maras dalam bahasa mereka. Pembukaan kebun
kebanyakan dilakukan pada iyopo, yang dibersihkan dengan cara menebang
pohon-pohon yang tumbuh. Lahan yang telah terbuka kemudian dibakar dan
dibiarkan satu hingga dua bulan sebelum ditanami tanaman pangan, seperti
palawija, ketela, dan padi. Mengingat kondisi tanah di Kepulauan Togean yang tipis dan
berbatu, penanaman padi atau jenis tanaman lainnya secara terus menerus hanya
dapat dilakukan sekitar 2 hingga 3 tahun masa produksi. Setelah itu, petani
menganggap tanah sudah kurang subur untuk jenis-jenis tanaman tersebut. Oleh
karenanya kebun kemudian ditanami tanaman keras seperti cokelat, kelapa atau
cengkeh. Itu pun sejauh petani memiliki kemampuan untuk membeli
bibit. Namun, jika petani belum mau atau belum mampu menanam tanaman keras, petani
membiarkan kebun-kebun yang kurang subur tersebut hingga
dipenuhi alang-alang dan belukar sampai akhirnya ditumbuhi
pohon-pohon kayu menjadi iyopo ngura.
Pembukaan kebun
secara rotasi dilakukan oleh petani yang pernah beberapa kali
membuka pangale. Ketika kebun sudah mulai ditanami tanaman keras, atau dibiarkan menjadi iyopo, petani mencari lokasi lain
untuk membuka kebun baru. Mereka yang menguasai iyopo
bekas kebun sebelumnya, akan kembali ke lokasi tersebut. Bagi
yang tidak punya iyopo, selama memiliki dana cukup, akan
membuka pangale dengan meminta ijin dari kepala desa. Ada petani yang memiliki beberapa kebun yang telah menjadi iyopo. Sebelum memutuskan apakah satu lokasi iyopo sudah layak menjadi kebun, petani biasanya
menyelidiki dahulu tingkat kesuburan tanahnya,
yaitu dengan menancapkan sebilah peda (parang) ke tanah
sedalam mungkin (biasanya sekitar 30-40 centimeter). Peda tersebut kemudian dicabut dan
diamati. Semakin sedikit tanah yang menempel pada peda,
maka lokasi tersebut dianggap subur dan iyopo layak di-paras untuk dijadikan kebun.
Dalam mengaktualisasikan hak-hak kelola dan
kearifan-kearifan masyarakat Adat Kepulauan Togean dalam pemanfaatan Sumber Daya Alam,
AMAN Kepulauan Togean dengan
difasilitasi oleh Yayasan Toloka, JKPP dan Yayasan Kemala, telah melaksanakan
kegiatan Pemetaan Partisipatif Wilayah Pemanfaatan Masyarakat Adat Kepulauan
Togean. Adapun wilayah-wilayah adat yang telah dipetakan tersebut sejak tahun
2000 adalah Kebun masyarakat adat dengan luas 37.450 Ha, Pangale dan Yopo 15.420 Ha, Pangale Makapali
4.332 Ha, Hutan Adat 810 Ha, Hutan
Bakau 3.498 Ha, wilayah tangkapan nelayan tradisional 510 titik dan
areal kepiting kenari 163 Ha.
Pola
Pemanfaatan Sumber Daya Hutan dan Laut
Selain sebagai
penyedia lahan subur untuk berkebun, hutan juga menjadi sumber berbagai
kebutuhan bagi masyarakat Kepulauan Togean. Pohon-pohon kayu jenis krikis, palapi (Heritiera
javanica), kayu besi (Intsia bijuga), siuri (Koordersiodendron
pinnatum), uru (Elmerrillia ovallis), cempaka (Elmerrillia sp.), adalah jenis pohon yang biasa dijadikan sebagai bahan bangunan dan pembuatan perahu. Pohon-pohon aren (Arenga pinnata) banyak tumbuh di sekitar pangale maupun iyopo. Penduduk memanfaatkan aren dengan cara menyadap
cairannya untuk diolah menjadi gula.
Aktivitas
pembuatan gula aren ini dilakukan langsung di lokasi-lokasi
penyadapan. Selain aren, hasil hutan yang dimanfaatkan untuk dikonsumsi sendiri atau dijual adalah rotan (Calamus unifarius) dan
madu. Beberapa jenis buah-buahan musiman
juga ada yang diambil dari hutan, tapi kebanyakan tumbuh di dalam
kebun-kebun mereka, seperti durian (Durio zibethinus), manggis (Garcinia
celebica), pisang (Musa sp.), mangga (Mangifera sp.), cempedak (Artocarpus integer) dan langsat (Lancium
domesticum).
Pohon sagu (Metroxylon
sago) merupakan salah satu sumber makanan sehari-hari bagi penduduk Kepulauan Togean.
Hutan-hutan sagu masih cukup mudah dijumpai di setiap pulau besar di Kepulauan Togean.
Data terakhir yang tersedia dari Kabupaten Poso memperkirakan luas hutan sagu di Kepulauan Togean hingga
tahun 2000 sekitar 134,62 hektar dengan produksi sagu sekitar 171,44 ton.
Pohon-pohon sagu
di Kepulauan Togean tidak dikuasai secara individual, melainkan secara kelompok, bisa juga berdasarkan pertalian keluarga, desa
atau suku. Dalam masyarakat suku Bobongko, hutan-hutan sagu yang dikelola bersama ini
disebut gonggan pogaluman. Gonggan berarti sekumpulan pohon
(termasuk sagu), sedangkan pogaluman berarti kebersamaan, berasal dari kata mogalom atau
bersama. Gonggan pogaluman berarti pula sekumpulan pohon (hutan) sagu
yang dikuasai, dikelola dan dimanfaatkan secara bersama oleh beberapa orang
Bobongko. Tiap kelompok Bobongko,
baik yang tinggal di Teluk Kilat, Tumbulawa, maupun Desa Baulu masing-masing memiliki satu atau lebih areal gonggan pogaluman
yang dikelola secara terpisah. Di dalam wilayah Teluk Kilat misalnya, terdapat tiga lokasi gonggan pogaluman, yaitu di daerah Titiri
seluas 0,5 Ha yang dimanfaatkan oleh orang-orang Bobongko yang tinggal di Titiri atau
yang memiliki ikatan kekerabatan dengan mereka, di Matobiyai sekitar 0,5 Ha, dan di
Pindangoya yang dimiliki oleh orang Bobongko di Lembanato yang luasnya sekitar
0,25 Ha.
Gonggan pogaluman juga menerapkan
aturan-aturan yang menentukan hak dan kewajiban orang Bobongko dalam dalam
suatu kelompok dalam memanfaatkan pohon sagu. Semua orang Bobongko bisa
mengambil (bapukul) sagu sejauh mereka mendapat ijin pemimpin kelompok
atau orang yang ditunjuk untuk mengaturnya. Dalam satu pohon sagu, bisa
dihasilkan antara 10 hingga 50 tumang, tergantung volume
batang pohon. Tumang atau bancu adalah wadah penyimpan tepung
sagu berbentuk silinder berdiameter sekitar 30 cm dan panjang 75 cm yang terbuat
dari kulit pelepah pohon sagu. Berapa pun jumlah tumang yang dihasilkan
seseorang dari bapukul, harus diberikan sebagian kepada ketua kelompok
atau petugas yang ditunjuk dengan perhitungan 1 berbanding 3, atau satu tumang
untuk kelompok dan tiga tumang untuk orang yang bapukul sagu.
Penduduk mengambil sagu untuk dijual pada orang-orang di kampung mereka atau saat
hari pasar. Satu atau dua bancu mereka simpan untuk dikonsumsi bersama
keluarga yang biasanya habis hingga satu atau dua bulan kemudian. Beberapa penduduk desa
juga ada yang membeli sagu dalam jumlah cukup banyak untuk dijual kembali ke
penampung-penampung di Ampana atau Gorontalo.
Sagu masih menjadi
sumber pangan utama penduduk, meski pun beras jauh lebih disukai. Sebagian dari
mereka menganggap memakan sagu hanya membuat perut kenyang beberapa saat saja,
dibanding jika makan nasi. Kebanyakan rumah tangga mengkonsumsi sagu dan beras
secara bergiliran. Pada tahun 2007, harga jual sagu berkisar antara Rp.
12.000,- per bancu. Sedangkan harga beras termurah di pasar atau warung
sekitar Rp. 4.000 hingga Rp. 5.000,- per kilogram, kecuali beras yang dijual
melalui program RASKIN yang harganya antara Rp. 1.300 hingga Rp. 1.500 per kg.
Beberapa hasil masakan dari sagu antara lain sinole, jeppa (orang
Bajo menyebutnya papi), dan beko yang dikonsumsi sebagai
pengganti nasi dengan lauk ikan bakar dan dabu-dabu atau sambal cabai
dan tomat yang dicampur minyak kelapa. Orang-orang Bajo selalu membawa satu
atau dua bancu sagu sebagai bekal mereka selama melakukan pongka,
atau mencari hasil laut secara berkelompok di luar kampung untuk beberapa hari bahkan berminggu-minggu.
Berbagai jenis
sumberdaya alam yang terdapat di laut dan hutan mangrove juga menjadi sumber-sumber ekonomi
bagi penduduk di kepulauan. Berbagai jenis ikan, kerang, udang dan biota
laut lainnya diambil penduduk sebagai komoditas perdagangan maupun untuk
memenuhi kebutuhan pangan mereka. Penangkapan hasil laut melibatkan
pula penggunaan teknik penangkapan, mulai dari pancing,
jala, rompong, bagang, panah dan sebagainya.
Perdagangan ikan
karang hidup (live reef fish trade) untuk konsumsi terkait dengan permintaan pasar internasional terhadap ikan karang seperti
kerapu dan ikan napoleon wrasse atau
‘maming’ (Cheilinus undulatus).
Indonesia adalah salah satu negara yang paling banyak mengekspor ikan karang hidup ke
beberapa negara, terutama Hongkong. Sepanjang tahun 1997-1998 ekspor ikan
karang dari Indonesia menuju Hongkong mencapai
1.884 ton, lebih banyak dibanding ekspor dari Australia,
Filipina, Solomon Island, dan
Malaysia. Secara ekonomi, ini menunjukkan bahwa Kepulauan Togean menjadi salah satu bagian dalam mata rantai ekonomi internasional yang nilainya cukup tinggi.
Di Kepulauan
Togean, pengusaha ikan hidup pertama kali masuk pada sekitar tahun
1992, yang jumlahnya terus bertambah hingga akhir tahun 90-an. Kini sedikitnya ada empat perusahaan perdagangan ikan hidup yang beroperasi
di Kepulauan Togean. Masing-masing
memiliki camp penampungan di Taningkola, Salaka, Pulau
Angkayo, dan di Pulau Papan, Malenge. Mereka membeli ikan secara langsung dari nelayan atau melalui beberapa penampung lokal milik masyarakat yang ada di beberapa desa.
Bentuk pemanfaatan
sumberdaya alam laut lainnya di Kepulauan Togean adalah penangkapan
teripang, ikan teri, kepiting dan berbagai jenis udang. Khusus teripang, penangkapannya dilakukan dengan balobe yang dilakukan pada
malam hari dengan penerangan lampu pompa (petromaks). Kegiatan ini banyak
dilakukan oleh nelayan Bajo karena mereka
memiliki kemampuan menyelam (bamudung) tanpa alat. Di
saat balobe teripang, tak jarang nelayan juga mengambil jenis lain seperti udang atau kepiting, ikan teri, atau ligo, ditangkap dengan menggunakan
bagang apung. Sejenis kolam dari kayu yang ditopang dua
perahu dan dilengkapi jaring (lirang). Kegiatan ini
dilakukan malam hari saat ‘gelap’ atau tak ada bulan.
Orang Bobongko di Teluk Kilat menyebut
masa penangkapan ikan teri ini dengan istilah turoh. Mereka
menggunakan lampu petromaks untuk memancing teri berkumpul di bawah bagang. Ketika jumlah teri dianggap cukup banyak, maka nelayan segera menggulung lirang hingga seluruh teri terangkat. Aktivitas
menangkap teri (babagang) banyak dilakukan
oleh nelayan di Wakai, Teluk Kilat, dan Bangkagi. Jumlah nelayan
yang menggunakan bagang memang tak banyak karena peralatan ini membutuhkan biaya hingga jutaan rupiah. Ikan teri terutama dijual pada para penampung yang berasal dari Gorontalo.
Konflik
Pengelolaan Sumber Daya Alam
Di Kepulauan Togean, konflik Pengelolaan Sumberdaya Alam (SDA) berlangsung
secara massif dengan eskalasi yang terus
meningkat. Konflik yang
terjadi di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil adalah akibat paradigma
pembangunan pemerintah yang eksploitatif, cenderung memperlakukan
wilayah pulau-pulau kecil (coastland)
sama dengan wilayah daratan besar (mainland).
Sehingga tak heran jika wilayah Kepulauan Togean harus menanggung beban
eksploitasi hutan skala besar oleh perusahaan HPH dan IPK , serta pengkaplingan
laut untuk investasi budidaya mutiara, pariwisata dan konservasi.
Pengkaplingan wilayah
pesisir laut dan pulau-pulau kecil misalnya dapat dilihat dari apa yang
dilakukan oleh PT. Walea Dive Resort. Perusahaan milik pengusaha dari Italia
ini menguasai wilayah Tanjung Keramat
dan melarang masyarakat adat melakukan aktivitas penangkapan ikan 500 meter
dari garis pantai dan 21 titik reef.
Karena mereka merasa dirugikan oleh aksi pengkaplingan perusahaan tersebut, Masyarakat Adat Saluan di
Lipu Kondongan dan Masyarakat Adat Bajo di Lipu Kabalutan telah beberapa kali
melakukan aksi penolakan terhadap keberadaan PT. Walea Dive Resort.
Di Lipu Bomba, salah satu
perusahaan pariwisata milik orang Amerika menguasai sebuah pantai berpasir
putih. Caranya dengan membeli kawasan yang di dalamnya terdapat tanaman kelapa
milik warga lokal. Kini nama pulau tersebut telah diganti menjadi Reat-Ret
Island. Demikian pula yang terjadi di Lipu Tobil dan Katupat, beberapa
perusahaan pariwisata telah menguasai Pulau Kadidiri, Taipi dan
Bolilanga.
Sementara itu
pengkaplingan wilayah laut juga terjadi di Lipu Taningkola, Lembanato, Malenge dan Kalia
oleh CV. Cahaya Cemerlang. Proses pengkaplingan laut oleh perusahaan budi daya
ini berlangsung tanpa kosultasi dengan masyarakat adat. Padahal mereka selama
ini mengakses wilayah laut tersebut untuk menangkap ikan dan menjadi jalur
transportasi. Akibat aktivitas perusahaan yang merugikan tersebut, Masyarakat
Adat Bobongko Lipu Lembanato dan Matobyai telah melakukan aksi dan menggugat
CV. Cahaya Cemerlang, karena menggusur perkuburan leluhur masyarakat adat
Bobongko di Pulau Tambun. Pekuburan leluhur tersebut di gusur untuk
membangun Laboratorium.
Namun aksi-aksi yang
dilakukan masyarakat adat di Kepulauan Togean ini tak mendapat respon sama
sekali oleh pemerintah daerah. Bahkan dengan seenaknya pemerintah mengatakan bahwa
masyarakat adat penghambat pembangunan.
Taman Nasional Laut
Kepulauan Togean
Selain konflik terkait dengan
kebijakan pengelolaan wilayah yang buruk di atas, ancaman lain terhadap
kehidupan masyarakat adat di Kepulauan Togean adalah keberadaan Taman Nasional
Kepulauan Togean (TNKT).
Penunjukan kawasan sebagai kawasan taman nasional melalui
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor
418/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang penunjukan
Taman Nasional Laut Kepulauan Togean. TNKT mempunyai luas 362.605 ha dengan
rincian daratan kurang lebih 25.832 ha dan kawasan laut dengan luas kurang
lebih 336.773 ha.
Penunjukan Kepulauan Togean sebagai Kawasan Taman
Nasional Laut oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen
Kehutanan, adalah sebuah kebijakan pengelolaan sumberdaya
pesisir dan pulau-pulau kecil yang tidak populis, kebijakan
dari atas ke bawah (sangat top down), tanpa didahului mekanisme konsultasi publik yang
melibatkan peran aktif masyarakat Adat Kepulauan Togean.
Mekanisme pengelolaan dengan management kolaborasi, hanya
jadi janji yang tidak pernah direalisasikan oleh para pihak penggagas
lahirnya SK Penunjukan Taman Nasional Kepulauan Togean tersebut.
Selain itu, dengan sistem zonasinya, TNKT telah
memarginalkan masyarakat adat dan merampas hak dan kedaulatan masyarakat adat
Kepulauan Togean, baik secara politik, ekonomi dan budaya. Apalagi
dengan kondisi kawasan Kepulauan Togean
yang terbuka dengan pola penangkapan ikan yang dipraktekan oleh nelayan
dengan mekanisme gilir balik-nya, maka kebijakan TNKT ini mempersempit ruang gerak
masyarakat Adat Kepulauan Togean.
Masyarakat
Adat di Kepulauan Togean yang berprofesi nelayan, akan kesulitan
menempatkan titik-titik ikan berdasarkan pengetahuan lokal yang mereka miliki. Selain
itu, nelayan tradisional Bajo Kepulauan Togean harus
kehilangan 107 titik areal pemanfaatannya yang saat ini menjadi areal budidaya
mutiara. Masyarakat Adat Bajo tak
mungkin lagi dapat mengekspresikan sistem penangkapan ikan dengan cara bapongka, mengambai, ba’etu, batonda-tonda dan lain sebagainya, yang nota bene adalah keahlian adat mereka
yang sangat arif terhadap lingkungan. Akibatnya, cara-cara destruktif seperti bom dan potassium yang bukan bagian
dari tradisi penangkapan ikan mereka, kini jadi alternatif dan
ancaman terbesar terhadap lingkungan di Kepulauan
Togean saat ini.
Walaupun
para nelayan Bajo mengakui, bahwa akibat dari tindakan destruktif tersebut
banyak menimbulkan korban jiwa, tapi desakan ekonomilah yang mendorong
nelayan Bajo melakukannya, meski dengan
resiko yang cukup berat. Realitas
hidup mengharuskan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarga. Banyak nelayan Bajo makin tergantung pada pemilik modal
yang bekerja di sektor perikanan. Para pemilik modal ini berhasil
mengeksploitasi para nelayan Bajo dengan suatu pekerjaan demi meningkatkan
hasil tangkapan. Menjebak nelayan Bajo dengan
cara meminjamkan modal, dan ketika laut tak memberikan hasil yang cukup (akibat
cuaca buruk maupun tangkapan sedikit), maka
giliran nelayan Bajo yang terbebani untuk melunasi hutang.
Karena jeratan hutang dan tekanan ekonomi tersebut, sebagian nelayan Bajo tunduk pada kemauan dan kepentingan pemilik modal. Akibatnya, nelayan Bajo terjebak dalam sebuah lingkaran kemiskinan yang sulit terpecahkan. Perahu yang rusak tidak dapat diperbaiki, sementara itu hal yang mustahil bagi mereka untuk membeli perahu baru atau membuatnya, karena kayu bermutu untuk bahan pembuatan perahu berada pada dalam kawasan TNKT. Pada akhirnya, nelayan kampung Bajo Kepulauan Togean diharuskan menggunakan teknologi destruktif seperti Babom (Blashfish), Babius (Sianida), Bapotas (Pottasium), serta Bakubik (Menambang karang).
Orang Togian Tersingkir Dari Lautnya Yang Kaya (1)
Pada 2012, saya berkesempatan menjadi kontributor sebagai penulis dalam buku mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Buku ini adalah kumpulan tulisan dari beberapa aktivis masyarakat adat nusantara.
Buku ini memotret proses perjalanan dan dampak-dampak terhadap program Penyiapan Masyarakat Adat Menghadapi Mitigasi dan
Adaptasi Perubahan Iklim. Program
ini dilaksanakan di lima wilayah adat, yakni di Negeri
Haruku-Maluku, Karang Bajo-NTB, Togian-Sulawesi Tengah, Kasepuhan Cisitu-Banten
dan Enggano-Bengkulu.
Untuk mendapatkan buku tersebut, silahkan kontak AMAN dan atau bisa mengirimkan email ke rumahaman@cbn.net.id
Berikut adalah tulisan sumbangan saya. Tulisan ini memotret cerita komunitas adat di Kepulauan Togian. Tulisan ini dibuat bersambung.
Orang Togian Tersingkir Dari Lautnya Yang Kaya (1)
Jopi Peranginangin
Identitas dalam Sejarah
Pada tahun 2001, seorang teman pernah bercerita, menurutnya saat membagikan
sebuah poster yang memuat tulisan: Lestari Alamku, Jaya Togeanku. Waktu itu tak ada masalah
bagi penduduk saat poster-poster tersebut dibagikan di wilayah
Batudaka, Pulau Togean, Talatakoh dan Malenge. Namun tak lama berselang, ternyata kalimat yang tertulis dalam poster tersebut mendapat protes keras dari beberapa orang yang tinggal di Kecamatan Walea Kepulauan. Mereka menilai, program dan kalimat tersebut hanya ditujukan bagi orang-orang Togean, bukan bagi
penduduk yang tinggal di Pulau Walea Kodi dan Walea Bahi. Bagi orang Walea,
kata ‘Togean’ yang tertulis dalam poster
tersebut secara spesifik hanya mengacu pada nama Pulau Togean atau
orang suku Togean yang kebanyakan
mendiami pulau tersebut dan Batudaka. Sedangkan
mayoritas penduduk di Walea adalah suku Saluan dan
sebagian lagi adalah keturunan Gorontalo. Setelah dijelaskan maksud kata ‘Togean’ dalam poster tersebut adalah wilayah Kepulauan Togian, masyarakat
bisa menerimanya. Meski penduduk Walea pada akhirnya menerima penjelasan tersebut, hal ini menunjukkan bagaimana orang Walea Kepulauan membangun
identitas mereka saat berinteraksi dengan orang lain. Ada pemaknaan yang berbeda tentang ‘Togean’ antara orang-orang di
Walea Kepulauan dengan orang luar, bahkan
di antara penduduk Kepulauan Togean sendiri.
Persoalan nama
atau penamaan terhadap Kepulauan Togian ini, di satu sisi merupakan sebuah proses identifikasi yang mengambil dua
bentuk, yaitu: sebagai dinamika individual yang bersifat unik berdasarkan
karakteristik seseorang, serta sebagai bentuk manifestasi budaya yang bersifat
kolektif (Hall, 1989: 232). Dalam arti, proses
identifikasi sangat ditentukan oleh relasi sosial seseorang dengan orang lain.
Akan tetapi, relasi itu sendiri juga ditentukan oleh struktur, peran, norma
sosial yang dipahami secara kolektif di dalam komunitas pada saat individu itu berada.
Dalam konteks yang
berbeda, nama ‘Togean’ juga dapat ditarik ke dalam sebuah perdebatan
sejarah. Seorang anggota komunitas adat Togean di Wakai, yang juga anggota AMAN
Kepulauan Togean, menuliskan:
Kata Togean adalah kata yang
diberikan oleh penjajah
Belanda untuk menyebut nama Kerajaan Lebo Kintanah Togo Eang, karena
orang Belanda memang agak kesulitan
membahasakan Togo Eang, yang kemudian
disebut dalam dialek
Belanda jadi
‘Togean’. Namun sebenarnya dalam sejarah tidak mengenal kata Togean
melainkan Togo eang atau Kerajaan Lebo Kintanah Togo Eang ditinjau secara Etymology dalam bahasa daerah, berarti
Kerajaan Lembah (daratan) tiga orang besar. Namun sejalan dengan
perkembangan sejarah, Belanda lebih mempopulerkan nama Togean dari pada
Lebo Kintanah Togo Eang. Hal ini dapat ditelusuri dalam berbagai arsip
administratif
Pemerintah Belanda, seolah-olah sebutan resmi yang diakui oleh Belanda
adalah Togean. Berdasarkan kajian dari istilah tersebut, pemerintah Belanda telah memberi
kontribusi terhadap pengaburan sejarah. Karena kata Togean yang telah popular hingga saat
ini, tidak
lagi mencerminkan makna serta pengertian substansi yang jelas. Bahkan belakangan
ini, terjadi lagi perdebatan perbedaan huruf “i” dan “e” (Togian
atau Togean). Sekalipun kata Togean memiliki landasan bukti yang kuat,
namun harus diakui perdebatan itu adalah perdebatan semu yang
membenarkan pengaburan sejarah oleh Belanda dan tidak sedikitpun
membantu untuk mengembalikan sejarah. Hendaknya yang diperdebatkan
adalah pengembalian nama “Togo Eang” dari Togean.
Seperti protes
penduduk Walea Kepulauan atau pendapat dari anggota komunitas adat Togean di atas, kata ‘Togean’
memang kadang menjadi perdebatan bagi beberapa orang di Kepulauan Togean. Penduduk kadang memaknai kata ‘Togean’ sebagai nama salah satu pulau atau suku yang mendiami Kepulauan tersebut. Dalam keseharian penduduk lebih sering mengidentifikasi diri mereka sebagai ‘orang pulo’ atau sebutan lain
berdasarkan nama desa maupun kecamatan, misalnya orang Walea (Kepulauan), orang Una-Una, orang Wakai, orang Kabalutan dan sebagainya, bukan ‘orang Kepulauan Togean’ apalagi orang
‘Togean’ untuk merujuk pada diri atau tempat tinggal mereka. Tapi
dalam situasi tertentu, penamaan seperti itu digunakan juga
apabila kata ‘Kepulauan Togean’ atau ‘Togean’
dianggap relevan dalam interaksi sosial mereka, atau
tergantung persepsi mereka terhadap lawan bicaranya.
Buku ini
menyebutkan bahwa penyebab terjadinya perbedaan tuturan sejarah (lisan) di
dalam masyarakat Kepulauan Togean disebabkan oleh faktor alam yang berbeda, letak geografis
wilayah yang berjauhan dan perkembangan cerita yang bersifat kontinyu sehingga
terjadi pembiasan (Hasan, Nuraedah dan Lumangino, 2006:97). Bentang alam telah
dianggap sebagai faktor determinan terhadap proses penuturan sejarah dan
pembentukan pengetahuan yang berbeda-beda tentang sejarah masyarakat di Kepulauan Togean.
Pada saat diseminarkan, beberapa orang Kepulauan Togean yang hadir, sempat menyampaikan protes terhadap beberapa bagian buku tersebut. Terutama terkait
dengan sejarah suku-suku yang ada di Kepulauan Togean, seperti Bajo, Saluan,
Bobongko, dan suku Togean itu sendiri.
Perbedaan kisah
sejarah (lisan) antara satu suku dengan suku lainnya memang terjadi di Kepulauan
Togean, setidaknya yang cukup menonjol adalah antara suku Bobongko dengan suku
Togean, mereka masih memperdebatkan
siapa di antara kedua-nya yang lebih dulu ada di Kepulauan Togean itu, sehingga
mereka dapat menarik batas dengan jelas antara siapa yang patut dianggap
sebagai suku ‘asli’ dan siapa ‘pendatang’.
Demikian pula
sebaliknya hal yang diutarakan oleh orang dari suku lain tentang sukunya
sendiri. Tulisan-tulisan tentang identitas etnik di Kepulauan Togean juga
cenderung mengarahkan pada penilaian tentang siapa yang lebih dulu mendiami Kepulauan
ini. Sebuah makalah, berdasarkan ‘cerita rakyat’ yang dikumpulkan, secara
meyakinkan menyebut suku Bobongko dan Bajo sebagai suku tertua dan yang pertama
kali mendiami Kepulauan Togean (Darnaedi, 1996). Sumber lain menyebutkan bahwa
suku Togean yang mendiami Desa Benteng adalah penduduk pertama yang ada di Kepulauan
Togean (Hasan, dkk., 2006; Kani, 2002).
Di sisi lain,
sebuah laporan perjalanan ditulis oleh Van der Wal yang mengunjungi Kepulauan
Togean tahun 1680-an menyebutkan bahwa ia telah bertemu dengan orang-orang
Bobongko yang mendiami Teluk Kilat bagian selatan Pulau Togean. Sementara tahun
1865, hampir dua ratus tahun setelah Van der
Wal, penguasa Gorontalo, C.B.H. von Rosenburg, menuliskan keberadaan
orang-orang Bugis atau Sama (Bajo) di kaki Gunung Benteng. Menurutnya, orang-orang Bugis itulah yang memukul mundur
orang-orang Bobongko, yang disebutnya sebagai ‘penduduk asli’ hingga jauh ke
dalam hutan di Pulau Togean (dalam Lowe, 2006: 88-89).
Catatan lain
tentang keberadaan suku-suku di Kepulauan Togean juga pernah ditulis oleh
seorang peneliti linguistik asal
Belanda, N. Adraini, yang pada tahun 1899 menulis The Language of the Togean
Islands. Adriani sudah menyebutkan keberadaan orang-orang suku Bobongko,
Saluan dan Togean. Dengan meneliti akar bahasa dari tiap suku, Adriani menarik
asumsi-asumsi tentang kemungkinan asal-usul dari suku-suku tersebut. Dikatakan
pula bahwa bahasa Bobongko memiliki akar dari bahasa Limbotto (kini masuk
wilayah Propinsi Gorontalo), sehingga kemungkinan besar mereka adalah keturunan
orang-orang Limbotto yang bermigrasi ke Kepulauan Togean pada tahun 1800-an.
Adriani juga menuliskan bahwa bahasa suku Togean menyerupai bahasa yang
digunakan penduduk di Ampana yang dikenal dengan bahasa Ta’a. Sedangkan bahasa
Saluan lebih menyerupai bahasa yang digunakan di wilayah Luwuk, kini ibukota Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah (Lowe,
1999: 19-20).
Khusus soal
migrasi orang-orang Limbotto seperti yang disebutkan Adriani, sebuah tulisan
sejarah lokal oleh J. Bastiaans tentang perjanjian antara kerajaan Limbotto dan
kerajaan Gorontalo, mungkin memberi pandangan yang berbeda tentang hubungan
antara Bobongko dengan Limbotto. Salah satu isi perjanjian dua kerajaan tersebut mengatur pembagian
kekuasaan atas beberapa wilayah di Teluk Tomini. Disebutkan bahwa Sausu
(sekarang masuk wilayah Kabupaten Parigi Moutong) dan Tamalate masuk dalam
wilayah kerajaan Gorontalo, sedangkan Pulau Togean dan Nyuala (Bastiaans tidak
mengetahui letaknya) masuk ke dalam wilayah kekuasaan Limbotto (Bastiaans, 2005: 219).
Tulisan ini tidak bermaksud
untuk menghasilkan sebuah konstruksi sejarah yang pada akhirnya melahirkan
sebuah ‘kebenaran’ bagi seseorang atau satu kelompok tertentu yang memiliki
kepentingan atas sejarah tersebut. Tulisan ini hanya ingin meletakkan
perbedaan-perbedaan dalam tuturan sejarah tentang orang-orang di Kepulauan Togean
dalam konteks konstruksi identitas sosial mereka. Orang-orang dari suku Togean,
Bajo, Bobongko atau Saluan mungkin belum menemukan versi lain yang lebih
bervariasi tentang sejarah mereka, terutama yang ditulis oleh orang luar. Akan
tetapi, pengetahuan mereka tentang sejarah mereka sendiri pada situasi tertentu
dapat menjadi bagian dalam mengartikulasikan identitas mereka, apalagi ketika
hal itu memiliki relevansi untuk merespon sikap suku atau kelompok lain
terhadap dirinya.
Ratusan tahun lalu
orang-orang Bugis, Gorontalo, Ternate, Cina dan bangsa Melayu telah datang ke Kepulauan
Togean dan melakukan transaksi-transaksi perdagangan hasil pertanian, hutan dan
laut dengan para saudagar dan penduduk setempat. Orang-orang dari kerajaan
Bugis, Ternate dan Gorontalo bahkan ikut berperan dalam membentuk struktur
politik pemerintahan di Kepulauan Togean dan sekitarnya yang kini menjadi
bagian dari Kabupaten Touna (Kani 2002; Hasan, Nuraedah dan Lumangino, 2006).
Kepulauan Togean telah jadi bagian ‘kosmopilitik’
yang terbangun melalui sistem ekonomi kapitalisme global ketika itu. Banyak
orang-orang yang kini memiliki posisi politik dan ekonomi di Touna adalah
keturuan Bugis, Gorontalo atau
Ternate.
Kopra-kopra
dihasilkan dari Pulau Una-Una telah
lebih dari satu abad lalu jadi komoditas penting dalam jaringan perdagangan
antar pulau di Nusantara, terutama sejalan dengan berkembangnya pelabuhan
Makassar ketika itu. Teluk Tomini telah
menjadi jalur lintasan kapal pengangkut kopra milik Koninklijke Paketvaart
Maatschapiij yang menghubungkan Makassar dengan pelabuhan besar lainnya,
seperti: Gorontalo, Banggai, Ternate, dan
Menado (Asba, 2007). Pulau Una-Una, pada jaman Hindia Belanda juga disebut sebagai Pulau Ringgit karena menjadi salah satu pusat transaksi pedagang hasil
perkebunan, hutan dan laut di Kepulauan
Togean dan sekitarnya (Kani, 2002). Hingga kini, kopra masih menjadi sumber penghasilan penduduk
yang utama dan memberi nilai bagi perekonomian regional tingkat Kabupaten,
selain cokelat dan hasil laut. Kopra di Kecamatan Kepulauan Togian juga memasok
kebutuhan bagi daerah lain dan pasar internasional. Salah satu pabrik
pengolahan kopra milik perusahan minyak goreng Bimoli pernah dibangun di kota Ampana.
Sumberdaya alam di
Kepulauan Togean, secara ekonomis, telah menarik kepentingan banyak suku dan
bangsa untuk datang, menetap dan akhirnya membangun identitas sosial mereka di
wilayah ini. Lalu, siapakah sesungguhnya yang disebut ‘orang pulo’ dalam konteks historis seperti ini?
Alam dan Penduduk Kepulauan Togean
Kepulauan Togean terletak di tengah Teluk Tomini,
dalam posisi melintang dari barat ke arah timur. Ke sebelah selatan dan barat,
terpisah dengan lautan dalam, sementara Kecamatan Kepulauan Togian berbatasan
dengan daratan Pulau Sulawesi. Sedangkan ke arah utara, Kepulauan Togean
berbatasan dengan daratan Sulawesi bagian dari wilayah Propinsi Gorontalo. Luas
keseluruhan wilayah daratan Kepulauan Togean kurang lebih 755,4 Km2 atau
sekitar 75.000 Ha. Wujud spasial Kepulauan Togean merupakan rangkaian 7 pulau
utama yang memanjang dari barat ke timur, yaitu Pulau Batudaka, Togean, Talatakoh, Una-Una, Malenge, Walea
Kodi, dan Walea Bahi. Pulau-pulau tersebut dikelilingi oleh beberapa pulau yang
lebih kecil, serta puluhan pulau karang (islets) tak berpenghuni yang
lebih menyerupai batu menyembul dari dalam laut.
Di sebelah
barat laut Pulau Una-Una, terpisah agak jauh dari kumpulan pulau-pulau lainnya, juga terdapat Gunung api Colo yang menjulang setinggi kurang lebih 500
meter. Sejak terakhir kali Gunung Colo meletus pada tahun 1983, pemerintah Kabupaten Poso saat itu menetapkan Pulau Una-Una sebagai daerah rawan bencana yang tertutup bagi pemukiman penduduk. Seluruh desa yang ada di sana dipindahkan ke
desa-desa baru yang dibangun di Pulau Batudaka dan Pulau Togean. Meski status tersebut belum dicabut, penduduk desa-desa yang
dulu menetap di sana
masih mengunjungi pulau itu untuk mengolah kebun kelapa mereka. Bahkan, dalam 15 tahun terakhir, sebagian dari penduduk asal
Una-una juga telah menempati kembali
rumah-rumah mereka yang dulu ditinggalkan itu. Setiap hari kapal-kapal motor berkapasitas hilir mudik mengangkut
penumpang, hasil bumi, dan barang-barang kebutuhan lainnya antara Pulau Una-una dengan pelabuhan-pelabuhan lain,
seperti Ampana, Wakai, Bomba, Kulinkinari dan Lebiti. Bahkan speedboat milik beberapa diving
resort kadang mengantar sekelompok turis asing yang berminat menyelam di
areal terumbu karang di sekeliling Pulau Una-una. Di pulau ini juga masih terlihat bekas
aliran lahar yang membeku, bangunan Mesjid tertua di
Kepulauan Togean, serta rumah-rumah penduduk yang masih
kosong. Namun, aktivitas berkebun, berdagang, dan mencari hasil laut sudah dilakukan kembali oleh penduduk
di sana.
Kepulauan Togean termasuk ke dalam wilayah administratif pemerintahan Kabupaten Tojo Una-Una (Touna), sebagai hasil pemekaran Kabupaten Poso pada tahun 2003. Ampana adalah ibukota kabupaten yang sekaligus pula jadi kota pelabuhan terdekat dengan Kepulauan Togean. Dari Palu, ibukota Propinsi Sulawesi Tengah, Ampana dapat ditempuh melalui jalan darat sejauh lebih dari 400 kilometer melintasi Kota Poso yang antara tahun 200 hingga 2002 dilanda konflik. Jarak antara Kota Ampana dengan pelabuhan Wakai, kota kecamatan dan pelabuhan di Togean yang terdekat dengan Ampana, kurang lebih 25 kilometer. Kedua kota ini hanya dapat dijangkau dengan transportasi laut selama kurang lebih 3 hingga 4 jam lamanya menggunakan kapal motor (KM), atau sekitar 1,5 hingga 2 jam, jika menggunakan speedboat atau perahu tempel berkekuatan 100 PK.
Penduduk Kepulauan Togean yang bermukim di bagian barat dan tengah
kepulauan, seperti di Pulau Togean (termasuk orang-orang
Bobongko di Teluk Kilat), Una-Una, Batudaka, Melenge, dan sebagian
Talatakoh lebih sering berhubungan dengan penduduk di kota Ampana untuk aktivitas-aktivitas di luar
urusan dengan pemerintah kabupaten. Namun banyak penduduk Kepulauan Togean yang berada di wilayah timur, seperti penduduk Pulau Walea Bahi dan Walea Kodi, serta bagian selatan Pulau Talatakoh (termasuk Desa Kabalutan) yang justru berhubungan
dengan penduduk Gorontalo dan kota-kota wilayah Kabupaten Banggai, seperti Bunta dan Pagimana. Ini disebabkan jarak antara
Gorontalo, Bunta atau Pagimana dengan tempat tinggal mereka, dianggap lebih dekat dibandingkan ke Ampana. Dua kali
dalam seminggu kapal feri milik PT. PELNI dan sebuah KM. Puspita milik swasta
melayari jalur Ampana-Gorontalo.
Keduanya singgah di pelabuhan-pelabuhan tertentu di Kepulauan Togean, seperti Wakai, Katupat, Malenge, Dolong, dan Pasokan.
Selain penduduk setempat, para backpacker, wisatawan yang tidak terikat
oleh agen perjalanan wisata, juga menggunakan kapal-kapal tersebut. Para wisatawan ini berdatangan untuk menikmati
pemandangan bawah laut dan pantai-pantai berpasir di Kepulauan Togean.
Kondisi Sosial Ekonomi
Laporan sensus demografi
yang dikeluarkan Kabupaten Touna menyebutkan bahwa pada
tahun 2008 jumlah penduduk di empat Kecamatan di Kepulauan Togean kurang lebih 37.789 jiwa. Mereka tinggal
menyebar di 42 desa yang ada dalam empat wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Una-Una yang meliputi penduduk di Pulau Batudaka dan Pulau Una-Una. Kecamatan Kepulauan Togian meliputi Pulau Togean dan beberapa pulau kecil
di sekitarnya. Kecamatan Walea Kepulauan mencakup Pulau Talatakoh, Malenge dan Pulau Walea Kodi serta Kecamatan Walea Besar.
Sebagaimana umumnya informasi-informasi demografis, laporan statistik pemerintah Indonesia juga membagi identitas penduduk di Kepulauan Togean berdasarkan jenis pekerjaan mereka, yaitu petani, nelayan atau pekerjaan lainnya. Data Badan Pusat Statitik (BPS) Kabupaten tahun 2004, di Kepulauan Togean terdapat sekitar 1.760 kepala keluarga yang berprofesi sebagai nelayan dengan produksi hasil perikanan laut sebesar 523 ton.
Sedangkan
berdasarkan catatan Kecamatan. Dalam Angka yang dikeluarkan Pemda
Poso tahun 2000 menunjukkan jumlah petani (tanaman pangan, perkebunan dan hortikultura) di Kepulauan Togean sekitar 2.231 kepala
keluarga. Meski demikian, di Kecamatan Kepulauan Togian sesungguhnya sulit menunjukkan batasan yang tegas apakah seseorang itu adalah ‘petani’
atau ‘nelayan’ karena dalam kesehariannya penduduk hampir setiap hari mencari hasil laut meski mereka juga
memiliki kebun cengkeh, cokelat atau kelapa. Atau, mereka tampak selalu
mengurus kebunnya, namun juga memiliki bagang, atau mencari hasil laut pada
waktu-waktu tertentu.
Adat-istiadat
(Ritual Adat) yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah/Sumberdaya alam
Masyarakat Adat Kepulauan Togean dalam praktek pengelolaan SDA dan dalam hubungan sosial kemasyarakatan, sebagaimana masyarakat adat lainya di Indonesia, memiliki hukum-hukum adat dan norma-norma adat yang mereka punyai sejak dulu secara turun temurun. Hanya saja akibat kebijakan Negara yang cenderung melakukan pembumihangusan terhadap hukum dan norma adat, sehingga hukum dan norma adat Masyarakat Adat di Kepulauan semakin hari semakin terkikis dan hampir punah. Kondisi ini juga diakibatkan oleh kawasan Kepulauan Togean yang open access, maka pengaruh globalisasi sangat cepat mempengaruhi norma-norma dan hukum adat masyarakat adat Kepulauan Togean.
Walau demikian, masyarakat Adat Kepulauan
Togean saat ini, masih memiliki hukum
dan norma adat, sebagai contoh kebiasaan masyarakat Adat Bajo
dalam proses penangkapan ikan menerapkan sistem Bapongka.
Bapongka adalah sistem gilir balik dalam proses penangkapan ikan dengan cara
memperhatikan cuaca dan tanda-tanda alam lainnya. Sistem Bapongka ini
sangat arif lingkungan yaitu dengan tidak melakukan penangkapan ikan-ikan
kecil yang tak layak untuk dikonsumsi.
Dalam proses Bapongka masyarakat Adat Bajo pantang membuang kopi di
laut, karena menurut kepercayaan masyarakat Adat
Bajo bahwa laut bagi mereka adalah sumber kehidupan dan penghidupan Masyarakat
Adat Bajo. Bahkan masyarakat adat Bajo mengibaratkan laut
adalah tikar, karang adalah bantal dan ombak ibarat selimut bagi mereka.
Kearifan Adat lainnya yang dimiliki oleh masyarakat Adat
Kepulauan Togean khususnya masyarakat Adat Bobongko
dan Togean, mereka masih memiliki kepercayaan terhadap hutan-hutan yang
dianggap keramat dan tidak boleh dirusak untuk kebutuhan apapun, misalnya hutan
yang ada di wilayah Gunung Benteng, Pinaat dan Kayome.(bersambung)
Subscribe to:
Posts (Atom)