Wednesday, May 15, 2013


Orang Togian Tersingkir Dari Lautnya Yang Kaya (2)

Potensi Wilayah Adat di Kepulauan Togian

Kepulauan Togean memiliki keragaman flora yang luar biasa, sebagian besar ditumbuhi hutan dengan vegetasi kayu-kayuan yang diselingi belukar, selebihnya ditumbuhi padang rumput yang bersinergi indah dengan pepohonan ditepian sungai. Pada hutan produksi biasa dan produksi terbatas banyak ditumbuhi jenis kayu dan hasil hutan lainnya seperti: pohon Malapoga, Palapi, Kerikis, Gopasa, Kume, Pulai dan Binuang.

Selain itu masih banyak ditemukan berbagai species tumbuh‐tumbuhan berkualitas tinggi seperti kemiri, kenari, rambutan, kulahi, melinjo, leci, aren dan pakis haji. Sedangkan untuk fauna Kepulauan Togean memiliki jenis binatang yang beraneka ragam mulai dari hewan ternak hingga beberapa jenis hewan satwa langka seperti anoa, babi rusa, monyet hitam sulawesi, kuskus, kucing hutan serta burung maleo.

Selain memiliki keragam flora dan fauna yang berada di darat, kehidupan bawah laut perairan Kabupaten Tojo Una-Una juga memiliki keanekaragaman dan nilai eksotis tinggi yang sangat terkenal, tidak hanya dalam skala nasional namun sampai juga ke mancanegara. Keindahan dan keanekaragaman species terumbu karang menarik minat para wisatawan asing untuk melakukan penyelaman dan penelitian biota laut. Kekayaan lain yang terdapat di perairan Teluk Tomini yang masuk wilayah Kabupaten Tojo Una-Una dan yang tidak kalah pentingnya adalah berbagai species ikan yang berkualitas ekspor, serta budidaya berbagai jenis kerang mutiara dan rumput laut.

Adapun jenis ikan terumbu karang yang tercatat adalah 596 species ikan yang termasuk dalam 62 family, termasuk jenis Paracheilinus togeanensis dan Ecsenius sp yang diduga kuat merupakan endemik Togean. Selain itu juga ditemukan 555 species moluska dari 103 famili, 336 jenis Gastropoda, 211 jenis Bivalvia, 2 jenis Cephalopoda, 2 jenis Scaphopoda dan 4 jenis Chiton (Allen and McKenna 2001).

Kepulauan Togean yang berada di perairan Teluk Tomini, Kabupaten Tojo Una-una memiliki sumber daya kelautan yang sangat potensial dan penting artinya bagi wilayah Indonesia bagian tengah. Terdapatnya Kepulauan Togean dan Kepulauan Walea membuat perairan laut wilayah Kepulauan ini semakin kaya dengan sumber daya hayati dan nir hayati. Bahkan dari sisi kekayaan hayati (bio-diversity) termasuk tiga terkaya di dunia. Kekayaan akan sumber daya kelautan ini memberi  kesempatan kepada masyarakat untuk memanfaatkannya melalui kegiatan perikanan, pertambangan, pariwisata, dan lain-lain.

Hutan Mangrove
Perairan laut Kepulauan Togean, termasuk wilayah pesisirnya yang berupa hutan mangrove, juga telah menjadi perhatian para peneliti dari Indonesia dan negara lain. Hasil survey Marine Rapid Assessment Program (MRAP) oleh Conservation International Indonesia (CII) tahun 1998 menunjukkan bahwa Kepulauan Togean merupakan salah satu bagian ekosistem terumbu karang penting di dunia, atau The World’s Coral Triangle, sebuah kawasan yang meliputi wilayah-wilayah perairan Jepang, Philipina, Malaysia, Indonesia, Papua Nugini, Australia, hingga negara-negara Kepulauan di Pasifik. Para ahli biologi menyatakan bahwa Kepulauan Togean memiliki seluruh tipe terumbu karang yang ada di dunia, yaitu karang tepi (fringing reef), karang penghalang (barrier reef), karang tumpuk (patch reef), dan karang cincin (atoll). Survey MRAP juga menemukan 262 species karang yang tergolong ke dalam 19 famili di Kepulauan Togean, termasuk jenis karang endemik Togean, yaitu Acropora togeanensis.


Penelitian oleh CII dan Yayasan Pijak telah mengidentifikasi sekitar 33 species mangrove di Kepulauan Togean, terdiri dari 19 spesies mangrove sejati (true mangrove) dan 14 species mangrove ikutan (associate mangrove). Seluruh jenis mangrove ini terkelompok dalam 26 genus dan 21 familia. Hutan mangrove Kepulauan Togean juga merupakan habitat bagi sedikitnya 50 species hewan. Selain melakukan klasifikasi secara biologis terhadap jenis-jenis mangrove, penelitian ini juga menghimpun informasi tentang nama-nama jenis mangrove berdasarkan pengetahuan penduduk Kepulauan Togean, termasuk kegunaannya bagi mereka (Adhiasto dan Al Hasni 2001).

Tataruang Menurut Aturan Adat

Masyarakat Adat di Kepulauan Togean mempunyai kearifan dalam penataan ruang wilayah adatnya. Misalnya dalam pengelolaan hutan, mereka membaginya menjadi pangale dan iyopo. Pangale adalah hutan di mana pohon-pohon kayu di dalamnya belum pernah ditebang atau dibuka untuk keperluan apa pun. Adapun iyopo adalah hutan yang sebagian atau seluruh wilayahnya telah ditumbuhi kembali dengan pohon-pohon kayu setelah mengalami penebangan, seperti untuk membuat perahu, pembuatan bangunan atau pembukaan kebun. Dilihat dari usia jenis pohon kayu yang tumbuh, penduduk membuat kategori iyopo ntua atau iyopo tua untuk hutan yang batang-batang pohon kayunya dianggap sudah cukup besar dan tinggi, hampir mendekati kondisi pangale. Sedangkan iyopo yang mulai ditumbuhi tanaman-tanaman perintis, atau pohon-pohon kayunya mulai tumbuh besar, dinamakan iyopo ngura atau hutan muda. Dalam terminology ilmu kehutanan, pengertian pangale lebih mendekati konsep hutan primer sedangkan iyopo menyerupai hutan sekunder. Lokasi-lokasi hutan bekas area penebangan kayu oleh perusahaan pemegang HPH dan IPK, yang telah ditumbuhi oleh pohon-pohon baru, oleh penduduk juga dianggap sebagai iyopo, baik ngura maupun ntua.

Iyopo ngura maupun ntua, adalah hutan dalam penguasaan petani yang pertama membuka pangale, maupun mereka yang telah medapatkan haknya atas hutan tersebut, misalnya melalui jual beli atau warisan.

Kebun, masyarakat di Kepulauan Togean menyebutnya kebong, ngovu atau inaut, dibuka dengan tehnik tebas bakar, atau maras dalam bahasa mereka. Pembukaan kebun kebanyakan dilakukan pada iyopo, yang dibersihkan dengan cara menebang pohon-pohon yang tumbuh. Lahan yang telah terbuka kemudian dibakar dan dibiarkan satu hingga dua bulan sebelum ditanami tanaman pangan, seperti palawija, ketela, dan padi. Mengingat kondisi tanah di Kepulauan Togean yang tipis dan berbatu, penanaman padi atau jenis tanaman lainnya secara terus menerus hanya dapat dilakukan sekitar 2 hingga 3 tahun masa produksi. Setelah itu, petani menganggap tanah sudah kurang subur untuk jenis-jenis tanaman tersebut. Oleh karenanya kebun kemudian ditanami tanaman keras seperti cokelat, kelapa atau cengkeh. Itu  pun sejauh petani memiliki kemampuan untuk membeli bibit. Namun, jika petani belum mau atau belum mampu menanam tanaman keras, petani membiarkan kebun-kebun yang kurang subur tersebut hingga dipenuhi alang-alang dan belukar sampai akhirnya ditumbuhi pohon-pohon kayu menjadi iyopo ngura.

Pembukaan kebun secara rotasi dilakukan oleh petani yang pernah beberapa kali membuka pangale. Ketika kebun sudah mulai ditanami tanaman keras, atau dibiarkan menjadi iyopo, petani mencari lokasi lain untuk membuka kebun baru. Mereka yang menguasai iyopo bekas kebun sebelumnya, akan kembali ke lokasi tersebut. Bagi yang tidak punya iyopo, selama memiliki dana cukup, akan membuka pangale dengan meminta ijin dari kepala desa. Ada petani yang memiliki beberapa kebun yang telah menjadi iyopo. Sebelum memutuskan apakah satu lokasi iyopo sudah layak menjadi kebun, petani biasanya menyelidiki dahulu tingkat kesuburan tanahnya, yaitu dengan menancapkan sebilah peda (parang) ke tanah sedalam mungkin (biasanya sekitar 30-40 centimeter). Peda tersebut kemudian dicabut dan diamati. Semakin sedikit tanah yang menempel pada peda, maka lokasi tersebut dianggap subur dan iyopo layak di-paras untuk dijadikan kebun.

Dalam mengaktualisasikan hak-hak kelola dan kearifan-kearifan masyarakat Adat Kepulauan Togean dalam pemanfaatan Sumber Daya Alam, AMAN Kepulauan Togean dengan difasilitasi oleh Yayasan Toloka, JKPP dan Yayasan Kemala, telah melaksanakan kegiatan Pemetaan Partisipatif Wilayah Pemanfaatan Masyarakat Adat Kepulauan Togean. Adapun wilayah-wilayah adat yang telah dipetakan tersebut sejak tahun 2000 adalah Kebun masyarakat adat dengan luas 37.450 Ha, Pangale dan Yopo 15.420 Ha, Pangale Makapali 4.332 Ha, Hutan Adat 810 Ha, Hutan Bakau 3.498 Ha, wilayah tangkapan nelayan tradisional 510 titik dan areal kepiting kenari 163 Ha.

Pola Pemanfaatan Sumber Daya Hutan dan Laut

Selain sebagai penyedia lahan subur untuk berkebun, hutan juga menjadi sumber berbagai kebutuhan bagi masyarakat Kepulauan Togean. Pohon-pohon kayu jenis krikis, palapi (Heritiera javanica), kayu besi (Intsia bijuga), siuri (Koordersiodendron pinnatum), uru (Elmerrillia ovallis), cempaka (Elmerrillia sp.), adalah jenis pohon yang biasa dijadikan sebagai bahan bangunan dan pembuatan perahu. Pohon-pohon aren (Arenga pinnata) banyak tumbuh di sekitar pangale maupun iyopo. Penduduk memanfaatkan aren dengan cara menyadap cairannya untuk diolah menjadi gula.

Aktivitas pembuatan gula aren ini dilakukan langsung di lokasi-lokasi penyadapan. Selain aren, hasil hutan yang dimanfaatkan untuk dikonsumsi sendiri atau dijual adalah rotan (Calamus unifarius) dan madu. Beberapa jenis buah-buahan musiman juga ada yang diambil dari hutan, tapi kebanyakan tumbuh di dalam kebun-kebun mereka, seperti durian (Durio zibethinus), manggis (Garcinia celebica), pisang (Musa sp.), mangga (Mangifera sp.), cempedak (Artocarpus integer) dan langsat (Lancium domesticum).


Pohon sagu (Metroxylon sago) merupakan salah satu sumber makanan sehari-hari bagi penduduk Kepulauan Togean. Hutan-hutan sagu masih cukup mudah dijumpai di setiap pulau besar di Kepulauan Togean. Data terakhir yang tersedia dari Kabupaten Poso memperkirakan luas hutan sagu di Kepulauan Togean hingga tahun 2000 sekitar 134,62 hektar dengan produksi sagu sekitar 171,44 ton.

Pohon-pohon sagu di Kepulauan Togean tidak dikuasai secara individual, melainkan secara kelompok, bisa juga berdasarkan pertalian keluarga, desa atau suku. Dalam masyarakat suku Bobongko, hutan-hutan sagu yang dikelola bersama ini disebut gonggan pogaluman. Gonggan berarti sekumpulan pohon (termasuk sagu), sedangkan pogaluman berarti kebersamaan, berasal dari kata mogalom atau bersama. Gonggan pogaluman berarti pula sekumpulan pohon (hutan) sagu yang dikuasai, dikelola dan dimanfaatkan secara bersama oleh beberapa orang Bobongko. Tiap kelompok Bobongko, baik yang tinggal di Teluk Kilat, Tumbulawa, maupun Desa Baulu masing-masing memiliki satu atau lebih areal gonggan pogaluman yang dikelola secara terpisah. Di dalam wilayah Teluk Kilat misalnya, terdapat tiga lokasi gonggan pogaluman, yaitu di daerah Titiri seluas 0,5 Ha yang dimanfaatkan oleh orang-orang Bobongko yang tinggal di Titiri atau yang memiliki ikatan kekerabatan dengan mereka, di Matobiyai sekitar 0,5 Ha, dan di Pindangoya yang dimiliki oleh orang Bobongko di Lembanato yang luasnya sekitar 0,25 Ha.

Gonggan pogaluman juga menerapkan aturan-aturan yang menentukan hak dan kewajiban orang Bobongko dalam dalam suatu kelompok dalam memanfaatkan pohon sagu. Semua orang Bobongko bisa mengambil (bapukul) sagu sejauh mereka mendapat ijin pemimpin kelompok atau orang yang ditunjuk untuk mengaturnya. Dalam satu pohon sagu, bisa dihasilkan antara 10 hingga 50 tumang, tergantung volume batang pohon. Tumang atau bancu adalah wadah penyimpan tepung sagu berbentuk silinder berdiameter sekitar 30 cm dan panjang 75 cm yang terbuat dari kulit pelepah pohon sagu. Berapa pun jumlah tumang yang dihasilkan seseorang dari bapukul, harus diberikan sebagian kepada ketua kelompok atau petugas yang ditunjuk dengan perhitungan 1 berbanding 3, atau satu tumang untuk kelompok dan tiga tumang untuk orang yang bapukul sagu. Penduduk mengambil sagu untuk dijual pada orang-orang di kampung mereka atau saat hari pasar. Satu atau dua bancu mereka simpan untuk dikonsumsi bersama keluarga yang biasanya habis hingga satu atau dua bulan kemudian. Beberapa penduduk desa juga ada yang membeli sagu dalam jumlah cukup banyak untuk dijual kembali ke penampung-penampung di Ampana atau Gorontalo.

Sagu masih menjadi sumber pangan utama penduduk, meski pun beras jauh lebih disukai. Sebagian dari mereka menganggap memakan sagu hanya membuat perut kenyang beberapa saat saja, dibanding jika makan nasi. Kebanyakan rumah tangga mengkonsumsi sagu dan beras secara bergiliran. Pada tahun 2007, harga jual sagu berkisar antara Rp. 12.000,- per bancu. Sedangkan harga beras termurah di pasar atau warung sekitar Rp. 4.000 hingga Rp. 5.000,- per kilogram, kecuali beras yang dijual melalui program RASKIN yang harganya antara Rp. 1.300 hingga Rp. 1.500 per kg. Beberapa hasil masakan dari sagu antara lain sinole, jeppa (orang Bajo menyebutnya papi), dan beko yang dikonsumsi sebagai pengganti nasi dengan lauk ikan bakar dan dabu-dabu atau sambal cabai dan tomat yang dicampur minyak kelapa. Orang-orang Bajo selalu membawa satu atau dua bancu sagu sebagai bekal mereka selama melakukan pongka, atau mencari hasil laut secara berkelompok di luar kampung untuk beberapa hari bahkan berminggu-minggu.

Berbagai jenis sumberdaya alam yang terdapat di laut dan hutan mangrove juga menjadi sumber-sumber ekonomi bagi penduduk di kepulauan. Berbagai jenis ikan, kerang, udang dan biota laut lainnya diambil penduduk sebagai komoditas perdagangan maupun untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Penangkapan hasil laut melibatkan pula penggunaan teknik penangkapan, mulai dari pancing, jala, rompong, bagang, panah dan sebagainya.

Perdagangan ikan karang hidup (live reef fish trade) untuk konsumsi terkait dengan permintaan pasar internasional terhadap ikan karang seperti kerapu dan ikan napoleon wrasse atau ‘maming’ (Cheilinus undulatus).

Indonesia adalah salah satu negara yang paling banyak mengekspor ikan karang hidup ke beberapa negara, terutama Hongkong. Sepanjang tahun 1997-1998 ekspor ikan karang dari Indonesia menuju Hongkong mencapai 1.884 ton, lebih banyak dibanding ekspor dari Australia, Filipina, Solomon Island, dan Malaysia. Secara ekonomi, ini menunjukkan bahwa Kepulauan Togean menjadi salah satu bagian dalam mata rantai ekonomi internasional yang nilainya cukup tinggi.

Di Kepulauan Togean, pengusaha ikan hidup pertama kali masuk pada sekitar tahun 1992, yang jumlahnya terus bertambah hingga akhir tahun 90-an. Kini sedikitnya ada empat perusahaan perdagangan ikan hidup yang beroperasi di Kepulauan Togean. Masing-masing memiliki camp penampungan di Taningkola, Salaka, Pulau Angkayo, dan di Pulau Papan, Malenge. Mereka membeli ikan secara langsung dari nelayan atau melalui beberapa penampung lokal milik masyarakat yang ada di beberapa desa.

Bentuk pemanfaatan sumberdaya alam laut lainnya di Kepulauan Togean adalah penangkapan teripang, ikan teri, kepiting dan berbagai jenis udang. Khusus teripang, penangkapannya dilakukan dengan balobe yang dilakukan pada malam hari dengan penerangan lampu pompa (petromaks). Kegiatan ini banyak dilakukan oleh nelayan Bajo karena mereka memiliki kemampuan menyelam (bamudung) tanpa alat. Di saat balobe teripang, tak jarang nelayan juga mengambil jenis lain seperti udang atau kepiting, ikan teri, atau ligo, ditangkap dengan menggunakan bagang apung. Sejenis kolam dari kayu yang ditopang dua perahu dan dilengkapi jaring (lirang). Kegiatan ini dilakukan malam hari saat ‘gelap’ atau tak ada bulan.

Orang Bobongko di Teluk Kilat menyebut masa penangkapan ikan teri ini dengan istilah turoh. Mereka menggunakan lampu petromaks untuk memancing teri berkumpul di bawah bagang. Ketika jumlah teri dianggap cukup banyak, maka nelayan segera menggulung lirang hingga seluruh teri terangkat. Aktivitas menangkap teri (babagang) banyak dilakukan oleh nelayan di Wakai, Teluk Kilat, dan Bangkagi. Jumlah nelayan yang menggunakan bagang memang tak banyak karena peralatan ini membutuhkan biaya hingga jutaan rupiah. Ikan teri terutama dijual pada para penampung yang berasal dari Gorontalo.

Konflik Pengelolaan Sumber Daya Alam
Di Kepulauan Togean, konflik Pengelolaan Sumberdaya Alam (SDA) berlangsung secara massif dengan eskalasi yang terus meningkat.  Konflik yang terjadi di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil adalah akibat paradigma pembangunan pemerintah yang eksploitatif, cenderung memperlakukan wilayah pulau-pulau kecil (coastland) sama dengan wilayah daratan besar (mainland). Sehingga tak heran jika wilayah Kepulauan Togean harus menanggung beban eksploitasi hutan skala besar oleh perusahaan HPH dan IPK , serta pengkaplingan laut untuk investasi budidaya mutiara, pariwisata dan konservasi.

Pengkaplingan wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil misalnya dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh PT. Walea Dive Resort. Perusahaan milik pengusaha dari Italia ini menguasai wilayah Tanjung Keramat dan melarang masyarakat adat melakukan aktivitas penangkapan ikan 500 meter dari garis pantai dan 21 titik reef. Karena mereka merasa dirugikan oleh aksi pengkaplingan  perusahaan tersebut, Masyarakat Adat Saluan di Lipu Kondongan dan Masyarakat Adat Bajo di Lipu Kabalutan telah beberapa kali melakukan aksi penolakan terhadap keberadaan PT. Walea Dive Resort.

Di Lipu Bomba, salah satu perusahaan pariwisata milik orang Amerika menguasai sebuah pantai berpasir putih. Caranya dengan membeli kawasan yang di dalamnya terdapat tanaman kelapa milik warga lokal. Kini nama pulau tersebut telah diganti menjadi Reat-Ret Island. Demikian pula yang terjadi di Lipu Tobil dan Katupat, beberapa perusahaan pariwisata telah menguasai Pulau Kadidiri, Taipi dan Bolilanga.

Sementara itu pengkaplingan wilayah laut juga terjadi di Lipu Taningkola, Lembanato, Malenge dan Kalia oleh CV. Cahaya Cemerlang. Proses pengkaplingan laut oleh perusahaan budi daya ini berlangsung tanpa kosultasi dengan masyarakat adat. Padahal mereka selama ini mengakses wilayah laut tersebut untuk menangkap ikan dan menjadi jalur transportasi. Akibat aktivitas perusahaan yang merugikan tersebut, Masyarakat Adat Bobongko Lipu Lembanato dan Matobyai telah melakukan aksi dan menggugat CV. Cahaya Cemerlang, karena menggusur perkuburan leluhur masyarakat adat Bobongko di Pulau Tambun. Pekuburan leluhur tersebut di gusur untuk membangun Laboratorium.

Namun aksi-aksi yang dilakukan masyarakat adat di Kepulauan Togean ini tak mendapat respon sama sekali oleh pemerintah daerah. Bahkan dengan seenaknya pemerintah mengatakan bahwa masyarakat adat penghambat pembangunan.

Taman Nasional Laut Kepulauan Togean
Selain konflik terkait dengan kebijakan pengelolaan wilayah yang buruk di atas, ancaman lain terhadap kehidupan masyarakat adat di Kepulauan Togean adalah keberadaan Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT).

Penunjukan kawasan sebagai kawasan taman nasional melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 418/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang penunjukan Taman Nasional Laut Kepulauan Togean. TNKT mempunyai luas 362.605 ha dengan rincian daratan kurang lebih 25.832 ha dan kawasan laut dengan luas kurang lebih 336.773 ha.

Penunjukan Kepulauan Togean sebagai Kawasan Taman Nasional Laut oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan, adalah sebuah kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil yang tidak populis, kebijakan dari atas ke bawah (sangat top down),  tanpa didahului  mekanisme konsultasi publik yang melibatkan peran aktif masyarakat Adat Kepulauan Togean.  Mekanisme pengelolaan dengan management kolaborasi, hanya jadi janji yang tidak pernah direalisasikan oleh para pihak penggagas lahirnya SK Penunjukan Taman Nasional Kepulauan Togean tersebut.

Selain itu, dengan sistem zonasinya, TNKT telah memarginalkan masyarakat adat dan merampas hak dan kedaulatan masyarakat adat Kepulauan Togean, baik secara politik, ekonomi dan budaya. Apalagi dengan  kondisi kawasan Kepulauan Togean yang terbuka dengan pola penangkapan ikan yang dipraktekan oleh nelayan dengan mekanisme gilir balik-nya, maka kebijakan TNKT ini mempersempit ruang gerak masyarakat Adat Kepulauan Togean.  

Masyarakat Adat di Kepulauan Togean yang berprofesi nelayan, akan kesulitan menempatkan titik-titik ikan berdasarkan pengetahuan lokal yang mereka miliki. Selain itu, nelayan tradisional Bajo Kepulauan Togean harus kehilangan 107 titik areal pemanfaatannya yang saat ini menjadi areal budidaya mutiara. Masyarakat Adat Bajo tak mungkin lagi dapat mengekspresikan sistem penangkapan ikan dengan cara bapongka, mengambai, ba’etu, batonda-tonda dan lain sebagainya, yang nota bene adalah keahlian adat mereka yang sangat arif terhadap lingkungan. Akibatnya, cara-cara destruktif seperti bom dan potassium yang bukan bagian dari tradisi penangkapan ikan mereka, kini jadi alternatif dan ancaman terbesar terhadap lingkungan di Kepulauan Togean saat ini.

Walaupun para nelayan Bajo mengakui, bahwa akibat dari tindakan destruktif tersebut banyak menimbulkan korban jiwa, tapi desakan ekonomilah yang mendorong nelayan Bajo melakukannya,  meski dengan resiko yang cukup berat. Realitas hidup mengharuskan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Banyak nelayan Bajo makin tergantung pada pemilik modal yang bekerja di sektor perikanan. Para pemilik modal ini berhasil mengeksploitasi para nelayan Bajo dengan suatu pekerjaan demi meningkatkan hasil tangkapan. Menjebak nelayan Bajo dengan cara meminjamkan modal, dan ketika laut tak memberikan hasil yang cukup (akibat cuaca buruk maupun tangkapan sedikit), maka giliran nelayan Bajo yang terbebani untuk melunasi hutang.

Karena jeratan hutang dan tekanan ekonomi tersebut, sebagian nelayan Bajo tunduk pada kemauan dan kepentingan pemilik modal. Akibatnya, nelayan Bajo terjebak dalam sebuah lingkaran kemiskinan yang sulit terpecahkan. Perahu yang rusak tidak dapat diperbaiki, sementara itu hal yang mustahil bagi mereka untuk membeli perahu baru atau membuatnya, karena kayu bermutu untuk bahan pembuatan perahu berada pada dalam kawasan TNKT. Pada akhirnya, nelayan kampung Bajo Kepulauan Togean diharuskan menggunakan teknologi destruktif seperti Babom (Blashfish), Babius (Sianida), Bapotas (Pottasium), serta Bakubik (Menambang karang).

No comments: