Wednesday, January 25, 2012

Konflik Masyarakat Adat versus Perkebunan Sawit di Malinau

Konflik antara perusahaan perkebunan sawit versus masyarakat kembali terjadi. Di Kabupaten Malinau-Kalimantan Timur, masyarakat Desa Setarap dan Desa Batu Kajang Kecamatan Malinau Selatan saat ini sedang berhadapan dengan PT Bina Sawit Alam Makmur (BSAM) dan CV Luhur Perkasa (LP)—anak perusahaan BSAM, pemegang IPK atas lahan perkebunan yang diberikan pemerintah pada BSAM. Perseteruan masyarakat versus perusahaan ini telah berlangsung sejak September lalu ketika LP mulai melakukan pembukaan lahan (land clearing) sekaligus penebangan pohon di hutan adat masyarakat Setarap.

Merasa telah diserobot, masyarakat Setarap melawan. Pada 2 Oktober mereka menyita 1 unit alat berat (dozer) milik LP yang sedang beroperasi. Kemudian, pada 7 Oktober giliran masyarakat Batu Kajang menyita 7 alat berat milik LP. Prinsip dasar yang dilakukam kedua masyarakat sama: perlawanan terhadap kekuasaan yang dianggap telah melabrak hak dan martabat mereka. Tapi, karena “sesuatu” hal perlawanan itu berbuntut pada konsekuensi yang tidak diharapkan. Mereka ditodong pasal 368 KUHP dengan delik perampasan dan (upaya) pemerasan. Delik (upaya) pemerasan disorongkan penyidik kepolisian Polres Malinau karena masyarakat menuntut denda materi terhadap perusahaan. Akibatnya, 11 warga Desa Batu Kajang saat ini sudah mendekap sebagai tahanan Polres Malinau.

Nasib serupa hampir menimpa 5 warga Setarap. Tapi lantaran sejak awal belum ada pemufakatan antara perusahaan dengan masyarakat, penahanan tidak dilakukan. Sedangkan 11 warga Desa Batu Kajang ditahan karena berdasarkan referensi hukum yang ada, mereka dianggap telah menentang perusahaan yang sah dan legal. Legalitas perusahaan tersebut dibuktikan dengan Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Malinau No. 522.21/73/Kpts-II/II/2010 tentang izin pemanfaatan kayu pada KBNK CV LP pada area pembangunan perkebunan sawit BSAM.

Sedangkan BSAM mendapat hak perkebunan dari pemerintah berdasarkan SK Bupati Malinau No. 503/K.262/2008 tanggal 29 Mei 2008, SK Bupati Malinau No. 525.26/K.55/2008 tanggal 12 Februari 2009 tentang pemberian izin usaha perkebunan kelapa sawit, SK Bupati Malinau No. 503/K.353/2008 tanggal 21 Juli 2008 tentang izin lokasi perkebunan BSAM dan SK Bupati Malinau No. 503/K.25/2010 tanggal 25 Januari 2010 tentang perpanjangan izin lokasi perkebunan BSAM. IPK LP ditopang juga oleh Keputusan Gubernur Kaltim No. 522.21/8678/EK tanggal 19 Agustus 2009 tentang persetujuan prinsip IPK LP pada areal perkebunan sawit BSAM.

Bahwa, merujuk pada Keputusan Gubernur Kaltim No. 050/K.443/1999 tanggal 01 November 1999 tentang penetapan hasil paduserasi antara RTRW dengan TGHK Provinsi Kaltim dan Keputusan Menhut No. 79/Kpts-III/2001 tanggal 15 Maret 2001 tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan di Kaltim seluas 14.651.553 hektar, bakal area perkebunan dan kawasan hutan adat Desa Setarap serta hutan Desa Batu Kajang merupakan areal Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK)/Areal Penggunaan Lainnya (APL). Akan tetapi dengan izin yang telah dimiliki perusahaan tidak bisa sewenang-wenang menjalankan ambisinya. Sebab di kawasan itu ada hak-hak adat masyarakat yang patut diperhatikan. LP wajib mengakui dan menghormati kepemilikan atau hak adat masyarakat di sana sepertihalnya CV Gading Indah (GI) yang pernah mendapatkan IPK di kawasan tersebut pada tahun 2000.

GI pernah masuk dan mendapatkan IPK dari Bupati Malinau yang waktu itu dijabat Asmuni Alie. Dan Bupati Marthin Billa saat itu menjabat sebagai sekretaris daerah. Dalam SK Bupati Malinau No. 83 Tahun 2000 tanggal 10 Agustus 2000 tersebut ditegaskan bahwa GI mendapatkan izin pemungutan dan pemanfaatan kayu pada hutan milik (IPK-HM) di lokasi areal tanah adat Desa Setarap (dan Punan Setarap). Artinya, lokasi itu sah sebagai hutan adat milik masyarakat Setarap. Karena itulah, sesuai dengan UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 pasal 9 ayat 2 masyarakat Setarap diberi kewajiban untuk melakukan perlindungan atas hutan mereka.

Dalam prakteknya, LP telah bertindak anarkis dengan melakukan penyerobotan langsung pada hutan adat masyarakat Setarap dan juga masyarakat Desa Batu Kajang. Bedanya, Desa Batu Kajang telah memberikan pemufakatan. Tapi, hasil penelusuran di lapangan, pemufakatan yang dikeluarkan Desa Batu Kajang dilakukan tanpa asas keterbukaan. Sehingga pemufakatan itu pun patut ditinjau ulang. Masyarakat Batu Kajang yang melakukan perlawanan adalah mereka yang merasa didzalimi oleh surat kesepakatan dari desa tersebut.

Tindakan anarkis perusahaan telah menimbulkan kerusakan alam yang parah dan kerugian hutan yang cukup besar. Informasi masyarakat dan sejumlah pekerja perusahaan yang hingga pertengahan November kemarin masih ngotot beroperasi, sedikitnya 3000 batang kayu log, diameter 20 cm hingga 150 cm telah berhasil ditumbangkan oleh perusahaan. Jika satu batang kayu log rata-rata menghasilkan 5 kubik kayu, maka sedikitnya 15.000 kubik kayu telah berhasil ditumbangkan perusahaan. Dan jika diuangkan, dengan rata-rata perkubik Rp.1 juta saja maka total bakal pendapatan dari kayu tersebut mencapai Rp. 15.000.0000.000 (Rp15 Milyar). Tanpa ada perlawanan dari masyarakat, perusahaan akan terus menggilas hutan tersebut dan mengeruk keuntungan yang berlipat dari jumlah tersebut. Sedangkan masyarakat Setarap yang sejak nenek moyang mereka menjaga dan melindungi hutan itu, hanya bisa membatu.

Masyarakat Desa Setarap Kecamatan Malinau Selatan melalui 3 LSM yang menjadi kuasa pendampingnya, Lembaga Pemerhati dan Pemberdaya Masyarakat Dayak Punan (LP3M), Otonomi Center, dan Sekoci segera bertindak untuk melakukan pelaporan atas kebrutalan BSAM dan LP. Materi pokok pelaporan tersebut: perusahaan telah melakukan penyerobotan terhadap hutan negara yang penguasaannya diserahkan pada masyarakat Setarap sebagai hutan adat.

Mencermati konstruksi persoalan di atas, ada sejumlah indikasi kuat pelanggaran yang dilakukan perusahaan. Misalnya, tidak menggubris ketentuan yang diwajibkan sebagaimana tercantum dalam SK . 503/K.25/2010 untuk menyelesaikan pembebasan tanah beserta tanam tumbuh terhadap lahan dan ladang milik masyarakat adat Setarap dan Batu Kajang. Perusahaan juga terindikasi kuat telah melanggar sejumlah ketentuan undang-undang. Antara lain UU Perkebunan No 18 Tahun 2004 Pasal 9. Dua ayat pada Pasal 9 tersebut dengan tegas menetapkan bahwa perusahaan dalam rangka penyelenggaraan usaha perkebunan wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat untuk memperoleh kesepakatan.

Perusahaan juga dinilai Komisi I telah menyalahgunakan IPK untuk kegiatan perkebunan sebab tidak ditemukan lokasi pembibitan dan jumlah bibit di lokasi sebagaimana disyaratkan dalam Permenhut No. P-58/Menhut-II/2009. Belum lagi, kalau mau diselusuri lewat Kepmenhutbun No.376 Tahun 1998 terkait dengan kriteria penyediaan hutan untuk areal perkebunan.

Tindakan perusahaan yang tidak memandang dengan mata pada hutan adat masyarakat Setarap juga jelas-jelas merupakan pelanggaran hukum atas UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999. Perusahaan dapat dinyatakan telah melanggar Pasal 50. Dalam kaitannya dengan HAM perusahaan juga bisa diindikasi melanggar UU HAM, yaitu, UU HAM No. 39 Tahun 1999 Pasal 6 ayat 1 dan 2 serta Pasal 36 ayat 1 sampai ayat 3.

DPRD Malinau dan 3 LSM Pendamping, selain mensinyalir pelanggaran-pelanggaran di atas, juga mensinyalir adanya pelanggaran di sudut lain. Misalnya, proses Amdal yang disinyalir tidak sesuai prosedur karena masyarakat yang seharusnya menjadi responden tidak pernah mengetahui informasi mengenai dokumen tersebut. Dari keterangan sejumlah pegawai yang berwenang atas hal tersebut di Bapedalda, ada indikasi bahwa dinas tersebut pun menilai ada ketidakberesan dalam hal pemenuhan dokumen ini.

Papua : Tanah Surga Dalam Cengkraman Modal

“Hai Tanahku Papua, Kau Tanah Lahirku, Ku Kasih Akan Dikau, Sehingga Ajalku...dst”. Ini sepenggal kuplet syair lagu kebangsaan rakyat Papua Barat. Ungkapan cinta pada tanah airnya. Selaras dengan perkembangan konflik sosial ekonomi dan politik melanda negeri ini, maknanya menguat dan membangkitkan heroisme rakyat Papua. Lagu Hai Tanahku Papua menghiasi corong aksi-aksi politik hingga senandung malam rakyat Papua Barat. Dan dunia mendengar, menyambut. Tersirat tekad dan cita-cita kedaulatan dan membebaskan tanah Papua dari penindasan.

Sejarah kolonialisme di tanah Papua bermula semenjak abad ke-16, ketika ekspedisi bangsa Eropa memperluas klaim wilayah kekuasaannya di wilayah asing (barbar, istilah yang digunakan bangsa Eropa masa itu). Bahkan menurut data yang dilansir ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia), sejak abad ke-8 para pelaut dan pedagang Sriwijaya sudah menjejakkan kaki-nya di bumi Papua, kemudian menamakan-nya dengan Janggi. Sementara itu, pada abad ke-13 para pelaut dan pedagang Cina memberi nama Pulau Irian tersebut dengan Tungki. Masa Kerajaan Majapahit berkuasa pada abad ke-14 dan 15, dinyatakan bahwa Pulau Irian sebagai bagian “wilayah yang kedelapan” dari kerajaan tersebut.

Pada awal abad ke-16, pelaut Portugis Antonio d’Abrau dan Francesco Serano menyebut Pulau Irian itu dengan nama Os Papuas. Sedangkan pelaut Portugis lain menyebut pulau itu Ilha de Papo Ia dan De Jorge de Menetes menamakannya Papua yang dalam Bahasa Melayu berarti rambut keriting. Pada saat itulah nama Papua dikenal diseluruh dunia, bahkan penduduk pribumi telah menerima dengan baik nama tersebut, sebab Papua itu mencerminkan identitas mereka sebagai manusia hitam dan rambut keriting. Sejak saat itu nama Papua terus dipertahankan.

*****

Tanah Papua yang dalam folklore orang Biak disebut Irian, artinya daratan luas, mempunyai luas daratan 42,2 juta hektar dan dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa dan beranekaragam. Kekayaan alam inilah yang menjadi motivasi utama pemerintah Amerika Serikat berkepentingan dengan Indonesia dalam proses PEPERA. Tiga tahun sebelum diberlakukan kekuasaan Indonesia atas Irian Jaya, Freeport McMoRan Copper and Gold Inc perusahaan tambang asal AS menandatangani kontrak produksi dengan Indonesia (1966) dan mendapat sambutan Soeharto dan elite rejim ini. Hasil pertambangan dapat memberi gambaran mengapa Amerika Serikat getol berlagak memihak Pemerintah Indonesia.

Pendapatan aktual bruto dari perusahaan ini diperkirakan sebesar 1,7 milyar Dollar AS atau Dollar AS 0,5 milyar netto setahun. Sebaliknya, Orang Papua tetap masih jadi penonton. Lebih dari 30 tahun kekayaan alamnya dikeruk dan ruang hidupnya dihancurkan porak poranda oleh mesin-mesin Amerika, rakyat Papua masih terus didera kelaparan dan kekerasan.

Sejak dimulainya penambangan Ertsberg tahun 1970 an dan kawasan Grasberg lainnya, masyarakat adat Amungme dan Komoro sebagai pemilik hak ulayat tidak pernah dimintai persetujuannya dengan penuh kesadaran. Orang Amungme dan suku-suku sekitar memprotes tanahnya dirampas dan tanpa ada penghargaan terhadap hak-hak budaya dan spritual mereka. Pada tahun 1974, Freeport menjawabnya dengan membangun sekolah, klinik, perumahan dan sarana bangunan lainnya. Polanya selalu demikian, protes rakyat yang dirugikan dan menderita akan dirayu dan dibujuk dengan program bantuan pembangunan.

Namun kalau ada protes keras, Freeport yang selalu mendapat fasilitas pengamanan militer Indonesia dan tidak segan-segan melakukan kekerasan. Peristiwa tragis terjadi tahun 1977 di Tembagapura, rakyat setempat memotong jalur pipa tambang dan membakar tangki minyak. Dibalas pemboman kampung-kampung Suku Amungme sekitar Tembagapura serta kampung-kampung Suku Lani di timur Lembah Balim oleh Skuadron "Kuda Sembrani" TNI/AU.

Secara resmi pemerintah Indonesia mengumumkan jumlah orang yang meninggal sebanyak 900 jiwa, tetapi angka dilapangan menunjukan data dua kali lipat lebih banyak. Setelahnya, pemerintah Indonesia lalu memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) di Papua, sejak tahun 1978 – 5 Oktober 1998. Untuk pengamanan Freeport, TNI menugaskan satu batalyon (sekitar 700-800 personel) prajuritnya, ditambah satuan non organik TNI dan secara keseluruhan jumlah yang berada di Tembagapura sebanyak 3000 personil. Karena itu, dalam konteks HAM, Freeport berkontribusi terjadinya pelanggaran HAM dengan membiayai dan menyediakan dukungan untuk operasi-operasi kekerasan yang secara kejam dilakukan aparat TNI/Polri.

Selain pertambangan emas, terdapat juga investasi besar Proyek Tangguh di Teluk Bintuni British Petrolium (BP) dan Pertamina Indonesia. BP menginvestasikan kira-kira 4,6 milyar Dollar AS dan telah memperoleh kontrak penjualan selama 25 tahun untuk mengekspor sekitar 7 juta kaki kubik gas alam cair setiap tahunnya dari 14,4 trilyun kaki kubik cadangan gas yang dikonfirmasikan.

Selain pertambangan, wilayah Papua sudah habis di kapling-kapling untuk kepentingan investasi. Izin-izin penebangan kayu seperti HPH/IPK banyak bertebaran diseluruh Papua. Dan yang terbaru adalah proyek rencana pembangunan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).

MIFEE adalah sebuah mega proyek di sektor agroindustri yang padat modal, padat teknologi, padat karya, dan sekaligus juga lapar lahan. Teknologi yang akan diterapkan, konon, terhitung teknologi mutakhir yang canggih. Dari segi kebutuhan lahan, lahan yang dibutuhkan juga terhitung sangat luas, yakni sekitar 1,2 juta ha (Pemerintah Daerah Kabupaten Merauke 2010). Bahkan ada pula yang mengatakannya hingga 1,6 ha. Jumlah ini setara sekitar 50% dari luasan kawasan budidaya potensial yang ada di Merauke; atau sekitar 2/3 dari luasan lahan basah yang tersedia di wilayah yang bersangkutan. Sebagian besar juga merupakan lahan gambut yang perlu dikelola secara hati-hati dan bahkan harus dikonservasi karena jika rusak – terbakar misalnya -- akan sulit memulihkannya kembali.

Hegemoni dan dominasi kekuatan modal semakin kuat mencengkeram di bumi Cendrawasih. Ironis, mengingat hampir seluruh tanah di Papua adalah tanah adat seperti yang di atur dalam Perdasus tentang tanah adat. Sumber-sumber penghidupan dan sumber daya alam yang semestinya dimiliki masyrakat adat Papua beralih dan dibawah kendali kekuatan modal. Kekuatan politik, perjanjian-perjanjian dan hukum dipakai untuk melindungi kepentingan pemodal, sedangkan rejim penguasa dan aparatus keamanan negara asyik dengan kepentingan ekonominya, atas nama “devisa negara” membentengi kepentingan kaum borjuasi, sekalipun terpaksa melanggar martabat kemanusiaan.

Idealnya, sengketa antara rakyat dengan negara dan korporasi dapat diselesaikan dengan damai dan adil. Kalau saja mandat yang terkait dengan hak masyarakat adat Papua untuk menentukan nasib sendiri untuk bebas menentukan status politiknya, dan bebas menentukan mengelola kekayaan dan sumber daya alam, dapat diwujudkan, dihormati, sebagaimana diatur dalam Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat, maupun instrumen internasional lainnya. Adakah keinginan Pemerintah Indonesia memberikan hak penentuan nasib sendiri untuk Orang Papua? Mari kita tunggu dan saksikan.

Hentikan Kekerasan Di Papua, Segera Gelar Dialog Nasional

“Mereka adalah batu sudut rumah (negara) yang diabaikan oleh para pembangun negara” (Nurcholis Madjid tentang Papua)

Laksana cerita berseri, kekerasan demi kekerasan terus berlangsung di Papua. Jalan cerita-nya tetap sama, tema kekerasan tetap menjadi “roh” dalam alur cerita. Lakon utama dalam cerita kekerasan di Papua adalah aparat keamanan. Bagi aparat keamanan, Papua adalah medan perang.

Dalam beberapa bulan di penghujung tahun ini, aparat keamanan yang bertugas di Papua, tidak pernah bosan mempertontonkan tindakan keji, berupa penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi. Pada 2 November 20011 WIT, 12 masyarakat sipil dari Kampung Umpagalo, Distrik Kurulu, Kabupaten Jayawijaya menjadi korban kekerasan aparat keamanan. Berdasarkan keterangan korban dan para saksi, mereka mengalami penyiksaan dan pelakunya berasal dari anggota TNI dari Pos Kurulu Batalyon 756 (http://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=1404). Mereka di gelandang dari Kampung Abusa hingga Pos TNI. Selama 2 jam mereka mengalami penyiksaan fisik hingga teror mental. Mereka dituduh sebagai anggota TPN/OPM. Tanpa memiliki bukti dan atau melakukan penyelidikan terlebih dahulu, pasukan perang ini menciduk mereka.

Peristiwa di atas semakin menambah daftar kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua. Sebelumnya terjadi penembakan buruh PT Freeport Indonesia dan pembubaran paksa serta rangkaian tindak kekerasan terhadap peserta Kongres Rakyat Papua III. Bahkan kurun 6 bulan sebelum kasus ini terjadi, TNI juga melakukan penyiksaan terhadap warga sipil di Puncak Jaya. Jika dicermati dengan seksama, akar dan latar belakang persoalan penyebab tindak kekerasan tetap sama, yakni stigma TPN/OPM dan separatisme yang sudah sangat masif diseluruh Papua.

Fenomena kekerasan tersebut diatas merupakan potret buram warisan rezim militer Orde Baru yang masih dipraktekkan hingga kini, dalam menyelesaikan berbagai persoalan-persoalan rakyat di tanah surga tersebut. Kekerasan tak akan menyelesaikan masalah di Papua. Karena yang terjadi di Papua merupakan artikulasi dari macetnya saluran demokrasi dan akumulasi dari berbagai proses penindasan terhadap rakyat Papua.

Memeriksa Sejarah Bisu Bangsa Papua

Menguatnya tuntutan merdeka dan meluasnya gerakan pembebasan Papua dari NKRI akhir-akhir ini dapat dikatakan sebagai bentuk akumulasi dari rangkaian penindasan yang dialami rakyat Papua. Bila diperiksa sejarah bisu bangsa Papua, tanpa prasangka mengunjungi pelosok-pelosok tanah Papua maka dengan mudah kita akan mendengar kisah-kisah sejarah penderitaan yang keluar dari mulut masyarakat biasa. Ingatan rakyat dengan tajam dan jernih mencatat rekaman peristiwa-peristiwa kekerasan, baik fisik maupun non fisik. Kisah pilu itu tidak pernah dibukukan, tapi diwariskan turun-temurun ke generasi selanjutnya.

Jika dikaitkan dengan hak-hak asasi manusia beserta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya maka sejarah bisu itu akan terkait dengan warna buram kehidupan sehari-hari rakyat Papua, yakni :

Pertama, Tingginya eskalasi kekerasan akibat operasi militer dengan alasan menghancurkan gerakan separatis di Papua. Praktek-praktek kekerasan berlangsung dengan mengangkangi hak-hak asasi rakyat Papua dan dicatat memori kolektif bangsa Papua sebagai suatu bentuk pelanggaran haknya. Beberapa lembaga nasional maupun internasional telah menerbitkan laporan menyangkut pelanggaran HAM di Papua. Akibat situasi tersebut, selama puluhan tahun, struktur mental bangsa Papua dididik dalam ketakutan.

Kedua, Tergerusnya nilai-nilai budaya orang Papua, dimana sistem budaya orang Papua dipersempit oleh pihak luar menjadi hasil kesenian serta kerajinan tradisional semata-mata. Sistem budaya tidak dilihat sebagai sebuah filsafat hidup yang lengkap dengan persepsi terhadap dunia dan sejarahnya. Misalnya, pandangan terhadap alam yang membuat kelestarian lingkungan hidup terjaga secara tradisional, egalitarisme yang mendasari relasi antar pihak dan antar pribadi, sistem pertanian yang adaptif terhadap keadaan alam pegunungan dll.

Ketiga, Arus migrasi ke Papua, baik yang terprogram maupun spontan, telah mengakibatkan pergeseran komposisi penduduk. Namun soal yang lebih mendasar adalah semakin terbangunnya kesenjangan ekonomi antara masyarakat adat dengan pendatang. Kemudian diperparah dengan tidak adanya proses akulturasi budaya pendatang dengan budaya asli dll. Kesenjangan tersebut berpotensi menjadi konflik yang rawan; apalagi ditambah pada perasaan serta kekecewaan masyarakat adat terhadap pemerintah yang begitu saja mengambil alih tanah-tanah adat tanpa mempedulikan rasa keadilan masyarakat. Dengan alasan hukum dan pembangunan: bahwa tanah dikuasai negara, bahwa pembangunan nasional harus didahulukan, maka pemerintah merampas tanah-tanah adat yang dalam sistem budaya Papua bukanlah sebuah komoditi melainkan sumber budaya. Inilah yang menjadi salah satu trauma.

Keempat, Sumber daya alam bangsa Papua dieksploitasi habis-habisan oleh kekuatan modal tanpa menyisakan sedikitpun keuntungan yang diraih kepada pemiliknya yang sah yakni Rakyat Papua. Ironisnya, perusahaan yang bercokol di tanah Papua hampir semua bersifat ekstraktif: kayu gelondongan, kayu lapis, kayu gaharu, perkebunan kelapa sawit, perikanan skala besar, tambang-tambang emas dan tembaga, sehingga tidak menumbuhkan struktur ekonomi rakyat yang berdaya saing. Sikap kewirausahaan (entrepreneurship) rakyat setempat kurang dikembangkan, padahal mereka kehilangan tanah karena telah ‘dikonsesikan’ kepada perusahaan-perusahaan ekstraktif itu.

Kelima, “Penumpulan” sumber daya manusia. Hak untuk mendapatkan pendidikan gratis dengan mutu yang baik tidak diberikan oleh Pemerintah. Di pedalaman Papua, banyak Sekolah Dasar (sebagai pondasi pendidikan) nyaris roboh, satu dua guru harus mengajar di 6 kelas, atau mendengar keluhan guru yang gajinya terus terlambat beberapa bulan, buku-buku pelajaran yang tidak sesuai dengan kurikulum yang ditentukan dsb. Selain pendidikan, layanan kesehatan masyarakat juga sulit dijangkau oleh rakyat biasa.

Kenyataan diatas tersusun selama puluhan tahun dan menggelora sebagai sejarah bangsa Papua. Sejarah ini tidak pernah menjadi sejarah resmi bangsa yang diajarkan di sekolah-sekolah. Rangkaian peristiwa itu ‘hanya’ menjadi bagian dari ingatan kolektif bangsa Papua. Ingatan itulah yang diwariskan turun-temurun, yang berarti juga pewarisan trauma-trauma korban. Memori kolektif itu mengandung energi, tenaga, kekuatan yang terakumulasi hari demi hari. Terbukti dengan bantuan hembusan angin reformasi, magma itu mulai keluar dari kepundan.

Mencari solusi ditengah kusutnya situasi

Salah satu resolusi Kongres Masyarakat Adat Nusantara II di Lombok pada 2003, AMAN dengan tegas mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera melakukan dialog nasional yang melibatkan masyarakat adat di Papua. Resolusi kongres tersebut merupakan rumusan dari situasi sosial politik di Papua yang tak kunjung kondusif. Olehnya, pemerintah SBY- Budiono harus segera mengakomodasi berbagai tuntutan, keinginan dan harapan orang Papua. Upaya-upaya menciptakan perdamaian dengan jalan dialog perlu segera dilakukan bagi penyelesaian masalah kekerasan di tanah Papua. Karena itu, wajar bila penambahan pasukan Polri/TNI ke bumi Papua dikhawatirkan oleh banyak kalangan nantinya hanya akan menambah rumit persoalan. Karena itu, semua pihak yang terkait dengan masalah ini perlu duduk bersama untuk turut serta memberikan kontribusi dan merumuskan upaya terbaik guna mengakhiri masalah ini secara arif dan bijaksana.

Akhirnya, perlu disadari bahwa fenomena sosial politik yang berlangsung di tanah Papua merupakan akumulasi dari aksi demoralisasi, yang telah mempertontonkan konflik berkepanjangan di tanah air, khususnya di Papua. Tindakan brutalisasi aparat keamanan terhadap rakyat Papua, adalah akibat dari dipilihnya metode kekerasan untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Hal ini turut pula menciptakan kekusutan hidup masyarakat (social dis-organization) yang menjurus kepada kelumpuhan sosial (social entropy) dan perpecahan di kalangan rakyat (social dis-integration). Fenomena baru tersebut terus dan sedang terjadi di depan mata. Haruskah kita diam menyaksikan korban-korban brutalisasi yang terus berjatuhan di depan mata kita? atau mampukah kita membawa konflik ini kepada suatu suasana yang damai, benar, adil dan demokratis melalui DIALOG? Jawabannya HARUS!

Melayani Pemodal Dengan RUU Pengadaan Tanah

Rasanya semua orang mengamini pernyataan bahwa tanah adalah faktor produksi penting, karena menyangkut hajat hidup orang banyak (baca: Petani dan masyarakat adat). Fakta juga menunjukan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih sangat tergantung kepada ketersediaan tanah sebagai penopang ekonomi. Namun konsep Hak Menguasai Negara (HMN) menempatkan negara seolah-olah menjadi penguasa dalam pengaturan tanah dengan tujuan kesejahteraan rakyat. Dalam konteks ini Negara diberi tanggung jawab untuk mensejahterakan rakyat-nya dengan menciptakan keteraturan dalam urusan pertanahan bukan menciptakan kekacauan.

Namun sejarah mencatat bahwa Negara dalam konsep HMN hampir tidak pernah merumuskan langkah yang tepat dalam urusan tanah ini. Justeru sebaliknya, peruturan dan kebijakan dibuat menimbulkan kekacauan hukum, yang pada gilirannya menimbulkan konflik dan pelanggaran HAM di sektor pertanahan. Menurut KPA tak kurang dari 1.753 kasus agraria, dan tersebar dari desa hingga kot dengan intensitas konflik paling tinggi ada di Pulau Jawa, terutama di Jawa bagian Barat. Konflik pertanahan tersebut adalah buah dari kebijakan pertanahan negara yang melihat tanah dari kacamata ekonomi semata.

Melihat situasi seperti itu, tidak salah jika ada sebagian orang yang berpendapat bahwa pemimpin negeri ini sudah kehilangan imaginasi dalam merumuskan kebijakan yang menjamin tercapainya keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat terutama mengenai masalah pertanahan.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan bahwa 35 persen daratan Indonesia diizinkan untuk dibongkar oleh industri pertambangan. Sawit Watch menyatakan, hingga Juni 2010 pemerintah telah memberikan 9,4 juta hektar tanah dan akan mencapai 26,7 juta hektar pada 2020 kepada 30 grup usaha yang mengontrol 600 perusahaan. Luas itu setara dengan tanah yang dikuasai oleh 26,7 juta petani miskin jika setiap petani memiliki tanah 1 hektar. Padahal, masih banyak petani kita yang tak memiliki tanah atau menguasai tanah di bawah 0,5 hektar.

Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Modal?

Dapat dikatakan bahwa RUU ini sarat dengan kepentingam modal. Karena RUU ini menganggap pengelolaan tanah harus diserahkan ke pemilik modal yang cuma segelintir, dan seakan menutup mata dengan kenyataan bahwa 60% masyarakat Indonesia hidup bergantung pada ketersediaan tanah. RUU ini tidak mengantisipasi konflik hak atas tanah yang bakal terjadi di masa datang. Sekali lagi, RUU ini mengabaikan penyebab dari banyaknya sengketa hak atas tanah selama ini. RUU juga nyata-nyata tidak mampu merumuskan makna dari kepentingan umum. Dalam Pasal 1 Ayat (6) RUU hanya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah seluruh lapisan masyarakat. Rumusan kepentingan umum ini tentu saja sangat tidak memadai jika disandingkan dengan bunyi Pasal 6 Ayat (2) RUU. Dan yang selama ini terjadi, modal dan investasi selalu menjadikan dirinya adalah pembangunan dan kepentingan umum.

Absennya Pengakuan Hak Masyarakat Adat terhadap Tanah Adat

RUU Pengadaan Tanah dinilai tidak menghormati tanah adat. Sebab, dalam rancangan tersebut tidak mempunyai prasyarat hukum yang efektif dengan tidak membahas bagaimana nasib tanah adat. Masyarakat adat, termasuk tanahnya, perlu diakui dan mendapatkan penghormatan dari negara. Sayangnya, di RUU tersebut tidak pernah ada pasal mengenai hak adat.

Dalam RUU ini, bentuk penyelesaian sengketa adalah ganti rugi. Tak ada alternatif lain selain ganti rugi, misalnya penyertaan modal, pemukiman kembali dan tanah pengganti. Dan ganti rugi akan diberikan ke tanah-tanah bersertifikat atau tanah-tanah yang mempunyai legalitas hukum.

Celakanya, banyak tanah di Indonesia ini yang belum dilegalkan. Tercatat, pada 2004, dari 85 juta bidang tanah baru 26 juta bidang yang bersertifikat. Artinya, hanya 30 persen yang sudah legal. Tanah tersebut belum termasuk tanah-tanah yang berada di kawasan hutan dan kawasan yang dikuasai masyarakat adat. Maka, ada kemungkinan tanah yang belum disertifikasi jumlahnya lebih besar daripada yang terdata.

Jika kepemilikan dengan bukti sertifikat yang menjadi dasar ganti rugi tanah yang diambil, lalu bagaimana dengan nasib tanah-tanah tanpa sertifikat yang jumlahnya jauh lebih banyak itu?" tanya Idham.

Maka dapat dipastikan jika tanah adat itu ‘diserobot’ negara tanpa mempertimbangkan keberadaan masyarakat adat justru akan menimbulkan dan mempertajam konflik sosial. Termasuk konflik yang terjadi di wilayah masyarakat adat.


Absennya Prinsip-Prinsip FPIC

Salah satu yang diatur oleh RUU untuk dijadikan objek dari pembebasan tanah adalah tanah ulayat. Dimasukkannya tanah ulayat sebagai salah satu objek dari pembebasan tanah mengabaikan beberapa hal: pertama, RUU tidak mempertimbangkan sistem kepemilikan tanah pada masyarakat adat yang bersifat komunal. RUU memang menyebutkan masyarakat hukum adat sebagai pihak yang berhak mendapatkan ganti rugi. Namun RUU tidak mengatur mengenai prosedur konsultasi untuk mencapai persetujuan dari masyarakat adat yang kemudian ganti rugi dapat diberlakukan.

RUU ini juga tidak mempertimbangkan bagaimana seharusnya konsultasi dengan masyarakat adat dibangun dalam rangka pelepasan hak atas tanah. Konsultasi harus dimaknai sebagai dialog yang harus diarahkan untuk mencapai consent dari masyarakat adat. Bahkan musyawarah yang diatur dalam RUU terkesan hanya formalitas karena musyawarah tidak ditujukkan untuk menanyakan apakah masyarakat setuju atau tidak setuju. RUU, terutama pasal yang mengatur mengenai musyawarah ini terang melanggar prinsip-prinsip Free, Prior and Inform Consent (FPIC) sebagaimana diatur dalam berbagai UU. Pasal ini juga melanggar UUD 1945 terutama Pasal 18 B Ayat 2 yang mengakui hak-hak masyarakat adat.

Consent bermakna “setuju” atau “tidak setuju”. Consent ini adalah hak masyarakat. Consent harus didapatkan melalui musyawarah di masyarakat yang melibatkan seluruh stakeholders di masyarakat. Musyawarah ini harus bebas atau free dari intimidasi, suap, tekanan psikologis dan sebagainya. Masyarakat hanya akan mencapai consent, jika mereka memahami keuntungan dan kerugian dari sebuah proyek yang akan dilakukan di atas tanah mereka. Untuk memahami ini, masyarakat harus mendapatkan informasi. Pemerintah dan atau pihak swasta yang akan membebaskan lahan masyarakat berkewajiban memberikan semua informasi yang terkait dengan rencana mereka. Informasi ini haruslah bersifat prior, artinya harus dilakukan di awal perencanaan. Namun informasi bukanlah menyelesaikan masalah, sehingga sangat penting bahwa informasi tersebut harus dikomunikasikan. Komunikasi harus dilakukan secara jujur dan terbuka mengenai dampak dari sebuah rencana di atas tanah masyarakat. Dialog tidak boleh diarahkan kepada salah satu pilihan, misalnya ganti rugi dan sebagainya karena keputusan mengenai itu hanya ada di tangan pemegang hak atas tanah (masyarakat).

Keputusan apapun dari masyarakat harus dihormati. Karena keputusan mengenai “iya” atau “tidak” dari masyarakat adalah sebuah “HAK” yang diakui dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat dan beberapa peraturan perundang-undangan nasional.

Pasal 32 dalam RUU ini menutup akses masyarakat dalam mencapai keadilan. RUU ini tidak memberikan peluang pada upaya hukum lain setelah putusan PT yang ditetapkan oleh RUU ini sebagai putusan pertama dan terakhir. Lebih daripada itu, RUU memandang sengketa harus diselesaikan di pengadilan dan menutup kemungkinan mekanisme-mekanisme penyelesaian sengketa yang lain. Bahkan dalam kondisi di mana kesepakatan mengenai ganti rugi tidak tercapai maka uang ganti rugi itu hanya dititipkan di pengadilan.

Oleh karena itu, AMAN dengan tegas menolak pengesahan RUU Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum ini. Negara seharusnya membuat sebuah regulasi yang memperjelas status hak masyarakat (adat) atas tanah, bukan malah sebaliknya membuat regulasi yang mempertajam konflik atas tanah. Dalam hal ini, regulasi tersebut harus mengakui dan menghormati sistem-sistem kepemilikan atas tanah yang beragam dalam masyarakat.

Sebelum ada regulasi yang memperjelas status hak masyarakat atas tanah, maka pengambil kebijakan (Pemerintah dan DPR) harus menunda pengesahan RUU ini menjadi UU dan lebih jauh dari itu menghentikan aktivitas-aktivitas pembangunan yang saat ini berkonflik.

RUU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan : Babak Baru Perampasan Tanah-Tanah Adat

16 Desember 2011, Parlemen akan melaksanakan sidang paripurna guna mengesahkan RUU Tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. Bagi masyarakat adat, RUU ini jelas ancaman dan menjadi babak baru perampasan tanah ulayat.

Tanah bagi masyarakat adat adalah bagian yang sangat erat dengan kehidupan mereka, baik secara sosial, budaya dan ekonomi. Tanah tidak hanya dipandang sebagai barang produksi/ekonomi semata, melainkan juga memiliki nilai sosial, spritual budaya yang diwariskan secara turun temurun. Bagi masyarakat adat kehilangan tanah adat akan berdampak pada kehilangan jati diri, kehilangan budaya yang luhur, kehilangan nilai-nilai spritualitas yang menghubungkan gernerasi masyarakat adat dengan leluhurnya, dan tentu saja kehilangan sumber daya utama untuk pemenuhan ekonomi dan pangan.

Masyarakat adat di Indonesia telah banyak mengalami penderitaan akibat dari praktek-praktek perampasan tanah adatnya. Melalui berbagai intrumen hukumnya, Rejim Orde Baru merampas tanah-tanah adat. Praktek yang hingga kini masih digunakan di era reformasi. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang memiliki anggota komunitas adat sebanyak 1636 komunitas adat mencatat sedikitnya 530 konflik tanah adat yang hingga detik ini belum terselesaikan.

Umumnya tanah-tanah adat ini dikuasai oleh pihak lain melalui sistem perijinan yang diberikan oleh Negara dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB). Masyarakat Adat dipaksa dan ditaklukkan oleh sistem perijinan ini, yang kemudian menghilangkan hak-hak dasarnya, dan memiskinan mereka. Penguasaan negara atas sebagian besar tanah dan kekayaan alam yang ada di wilayah-wilayah adat terus berlangsung. Cara-cara pengambilan tanah ini juga diikuti oleh tindakan pelanggaran HAM lewat tindakan-tindakan kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi.

Kembali ke soal rencana pengesahan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. Pemerintah seperti kehilangan akal sehatnya saat ingin mempercepat pembahasan RUU tersebut. Lihat saja pasal-pasal yang tercantum dalam RUU ini yang berpotensi merampas tanah-tanah masyarakat adat.

Misalnya Pasal 6 yang menyatakan bahwa “Pihak yang berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum”. Kemudian pada Pasal 9 RUU juga menyatakan bahwa “Pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum tunduk dan terikat pada ketentuan dalam undang-undang ini”.

Kandungan dalam pasal tersebut diatas menegasikan prinsip-prinsip free, prior and inform consent (FPIC) atau hak masyarakat untuk menyatakan setuju atau tidak setuju pada agenda-agenda pembangunan pemerintah. Dengan demikian RUU ini tidak mempertimbangkan sistem kepemilikan tanah pada masyarakat adat yang bersifat komunal. RUU memang menyebutkan masyarakat hukum adat sebagai pihak yang berhak mendapatkan ganti rugi. Namun RUU tidak mengatur mengenai prosedur konsultasi untuk mencapai persetujuan dari masyarakat adat yang kemudian ganti rugi dapat diberlakukan. Karena sebagian tanah masyarakat adat masih dimiliki secara komunal, harus ada mekanisme pengambilan keputusan ditingkat masyarakat adat sebelum terjadi pelepasan hak atas tanah. Pengambilan keputusan ditingkat masyarakat ini tidak diatur dalam RUU tersebut.

Pasal 6 dan pasal 9 dalam RUU ini jelas jauh ketinggalan dari isi Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat atau UNDRIP. Indonesia sendiri adalah salah penandatangan UNDRIP pada September 2007. Isi deklarasi yang dianggap lebih maju dari padal-padal dalam RUU tersebut adalah pasal 10, yakni: “Masyarakat adat tidak boleh dipindahkan secara paksa dari tanah atau wilayah mereka. Tidak boleh ada relokasi yang terjadi tanpa persetujuan bebas dan sadar, tanpa paksaan dari masyarakat adat yang bersangkutan, dan hanya boleh setelah ada kesepakatan perihal ganti kerugian yang adil dan memuaskan, dan jika memungkinkan, dengan pilihan untuk kembali lagi”.

Selain soal tersebut di atas, RUU ini juga menekankan “alat bukti penguasaan/kepemilikan obyek” (baca: sertifikat) sebagai satu-satunya alat bukti yang sah menurut hukum dan tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari (pasal 45). Padahal UUPA sendiri menetapkan bahwa sertifikat bukan merupakan bukti mutlak, tapi merupakan bukti yang kuat dan memberikan kepastian hukum atas penguasaan tanah. Berbagai yurisprudensi Mahkamah Agung menunjukkan bahwa girik, letter c dan bukti penguasaan tanah adat dapat menjadi alat bukti yang lebih kuat dari sertifikat jika didukung oleh data yuridis, data fisik, dan atau penguasaan fisik secara terus menerus.

Potensi terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM di dalam RUU ini sangat besar, mengingat sebagian besar tanah-tanah masyarakat adat yang dikelola secara komunal tidak memiliki dokumen hukum lengkap. Sedangkan, dasar ganti kerugian adalah bukti sertifikat. Keadaan ini jelas akan mempertajam potensi konflik agraria yang sudah banyak terjadi. Apalagi di dalam RUU tersebut tidak ada pengakuan yang hakiki atas hak masyarakat adat maupun tanah komunal atau tanah adat.

RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan ini jelas-jelas mengancam sistem kepemilikan tanah dan kehidupan masyarakat adat. Dan anehnya, pemerintah Indonesia seperti kehilangan akal sehatnya. Pemerintah seharusnya menyusun regulasi yang memperjelas status hak masyarakat (adat) atas tanah, bukan malah sebaliknya membuat regulasi yang mempertajam konflik atas tanah. Dalam hal ini, regulasi tersebut harus mengakui dan menghormati ssstem-sistem kepemilikan atas tanah yang beragam dalam masyarakat adat. Sebelum ada regulasi yang memperjelas status hak masyarakat atas tanah, maka pengambil kebijakan (Pemerintah dan DPR) harus menunda pengesahan RUU ini menjadi UU dan lebih jauh dari itu menghentikan aktivitas-aktivitas pembangunan yang saat ini dalam sengketa. Karena Pengesahan RUU ini akan semakin melanggengkan praktik-praktik pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat, termasuk perempuan, yang merupakan kelompok rentan di dalam konstruksi jender patriarki yang masih berlaku di Indonesia.

Zapatista : Menguasai Informasi, Meraup Simpati

Bagi aktifis gerakan sosial, nama Subcomandante Marcos dan Zapatista sudah begitu populer, bahkan melegenda. Zapatista National Liberation Army (EZLN-Ejército Zapatista de Liberación Nacional) merupakan salah satu gerakan masyarakat adat progresif yang lahir dari pergolakan panjang di Meksiko. Negara kaya sumberdaya alam ini tak mampu mensejahterakan rakyatnya. Negara ini terlilit hutang luar negeri dan praktek korup pemerintahan, mengakibatkan sebagian besar rakyatnya hidup dalam kemiskinan.

Puncaknya saat Presiden Meksiko, Carlos Salinas, melaksanakan kebijakan liberalisasi ekonomi dalam rangka persiapan menuju NAFTA (North American Free Trade Area). Sejak itu tidak ada lagi pembatasan impor jagung, dan penghapusan perlindungan atas harga kopi. Komunitas adat yang basis ekonominya mengandalkan pada komoditas tersebut semakin tertekan dan mulai melancarkan berbagai protes. Seperti yang dilakukan pada tahun 1992 dan 1993, mereka melakukan pengerahan massa secara damai menuju kota-kota untuk memprotes kebijakan tersebut, namun mereka tidak pernah mendapat jawaban apapun. Sampai pada pertengahan tahun 1993, mereka mengubah perlawanannya menjadi lebih radikal. Mereka berhenti menanam jagung, kopi-kopi mereka dibiarkan terbengkalai di semak-semak, dan anak-anak mereka keluar dari sekolah, kemudian mereka jual ternak untuk beli senjata.

Pada 1994, Zapatista memperkaya strategi perlawanan dengan melancarkan perang informasi. Strategi komunikasi ini menjadi kunci utama keberhasilan mereka dalam mencuri perhatian dunia. Mereka melakukan taktik gerilya di hutan-hutan dan gerilya informasi secara sekaligus.

Semuanya berawal pada perayaan tahun baru 1994. Sekitar 3000 orang mengenakan topeng ski hitam yang menamakan dirinya Zapatista, terdiri dari enam suku masyarakat adat Tzotzil, Tzetzal, Tojolabal, Zoque, Chol, dan Ma’am bergerilya mengepung beberapa Kotapraja di selatan barat Chiapas, Meksiko. Mereka menolak perjanjian NAFTA antara Amerika, Kanada dan Meksiko yang akan diimplementasikan esok harinya, pada 1 Januari 1994. Mereka juga berbicara tentang eksploitasi yang dialami oleh populasi masyarakat adat selama ratusan tahun, yang mereka sebut sebagai kejahatan global dari rezim neoliberal. Malam itu mereka bersumpah akan berjuang untuk tanah mereka, untuk keadilan, kebebasan dan demokrasi bagi semua rakyat Meksiko. Zapatista mendeklarasikan perang kepada pemerintah Meksiko, justru ketika presidennya, Carlos Salinas, sedang merayakan tahun baru dengan masuknya Meksiko ke dalam sistem perdagangan internasional.

Sejak itu Zapatista memproklamirkan agenda revolusionernya, dan mulai melakukan kampanye melalui media internasional, dan mengundang para pengamat, aktivis dan jurnalis asing untuk datang ke Chiapas dan melihat lebih dekat. Pemerintahan Meksiko melawan kampanye internasional Zapatista dengan mencoba menyakinkan dunia bahwa Meksiko dalam keadaan yang stabil, bahwa para pemberontak tersebut telah berhasil diisolasi dan apa yang terjadi hanyalah kerusuhan lokal saja.

Pemerintahan Meksiko kemudian mengirim pasukan militer dan melancarkan serangan untuk menekan perlawanan Zapatista. Gempuran pasukan ini berhasil mendesak Zapatista hingga jauh ke dalam hutan Lacandon. Namun dari situlah Zapatista justru menemukan jalan lain dengan menjalankan strategi perang informasi.

Pemerintah lewat kementerian informasi terus menerus mereproduksi pernyataan bahwa tidak ada gerakan gerilyawan masyarakat adat di Chiapas. Pernyataan pemerintah tersebut kemudian direspon Zapatista. Juru bicara Zapatista, Subcomandante Marcos, melakukan konferensi pers dan dikirimkan melalui internet ke beberapa kantor berita internasional, menyatakan bahwa Zapatista merupakan gerakan akar rumput masyarakat adat di Chiapas yang sedang membuat tuntutan dalam skala nasional. Artinya tuntutan perjuangan mereka meliputi hak-hak masyarakat Meksiko secara keseluruhan. Zapatista makin populer dan berhasil menggalang dukungan yang lebih luas dari masyarakat Meksiko, bahkan dukungan juga datang dari aktifis-aktifis gerakan sosial internasional.

Mereka juga menggunakan teknologi telekomunikasi, video dan internet, untuk menyampaikan pesan mereka dari Chiapas ke seluruh dunia. Zapatista yang awalnya menggunakan strategi kekerasan dalam perjuangannya, dalam beberapa minggu, perjuangannya berubah dan meluas menjadi gerakan non kekerasan tapi justru lebih memiliki daya rusak. Mereka membuktikan bahwa penggunaan informasi yang tepat lebih memiliki kekuatan dari pada peluru, dan mampu mengajak keterlibatan para aktivis dari jarak jauh dan menciptakan penolakan nasional dan internasional atas kebijakan pemerintahan Meksiko. Dan pada dua tahun selanjutnya, proses negosiasi antara Zapatista dan pemerintahan Meksiko selalu mendominasi headline media massa di Meksiko dan selanjutnya menggerakkan perdebatan dan diskusi-diskusi mengenai masa depan Meksiko.

Zapatista merupakan pelopor bagi gerakan sosial dalam hal politisasi teknologi, terutama teknologi media baru. Zapatista berhasil memanfaatkan tekhnologi informasi saat infrastruktur dan inovasi fasilitasnya yang beragam belum berkembang pesat dan secanggih sekarang. Saat ini dengan modem kecil seukuran korek api, atau fasilitas wireless bisa membuat kita bisa terkoneksi ke internet kapan dan dimanapun. Tapi apa yang masih sangat minim dari teknologi internet seperi email dan fasilitas pengiriman dan penyimpanan data berhasil dimanfaatkan oleh Zapatista untuk mengirimkan pernyataan, sanggahan, dan ajakan dalam bentuk tulisan, gambar dan video agar kondisi sosial, ekonomi dan politik yang mengeksploitasi masyarakat adat selama ini menjadi isu yang terangkat ke permukaan.

Lewat politisasi teknologi Zaptista menjalankan perang jaringan, sebuah perang yang berbeda dengan perang tradisional. Pada perang ini para prajuritnya membentuk sebuah kesatuan yang saling terkait antara jaringan organisasi, doktrin, strategi dan teknologi informasi. Para prajurit tersebut adalah kelompok-kelompok kecil yang saling berkomunikasi, berkoordinasi, dan melakukan kampanye dengan menggunakan internet. Sehingga apa yang tadinya merupakan peristiwa lokal di pedalaman Chiapas bisa menjadi isu internasional.

Kasus Zapatista adalah salah satu gambaran, dan dinilai sebagai salah satu contoh terbaik soal bagaimana para aktivis gerakan sosial mampu mengatasi kendala jarak. Dan bagi gerakan masyarakat adat di Indonesia, strategi penguasaan informasi dan komunikasi yang dikembangkan Zapatista bisa dijadikan inspirasi. Aktifis masyarakat adat di Indonesia harus responsif terhadap revolusi informasi, dan mampu mengembangkan strateginya dengan melakukan penguasaan teknologi jaringan informasi sebagai bagian dari kerja-kerjanya. Pada situasi ketika perkembangan Internet begitu agresif, gerakan masyarakat adat di Indonesia hendaknya mampu meresponnya dengan membuat sebuah kesatuan yang lengkap antara aspek organisasional, doktrinal, strategi, taktik dan penguasaan teknologi informasi terutama media baru.

Melawan RUU Pesanan Asing

Masyarakat sipil Indonesia sedang melakukan penolakan terhadap pengesahan Rancangan Undang-Undang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan yang diajukan oleh Pemerintah RI dan disahkan melalui rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat RI pada 16 Desember 2011. Secara substansi, RUU ini tidak jauh berbeda dengan Perpres No. 36 tahun 2005 dan Perpres No. 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum, yang ditolak sebagian besar masyarakat sipil karena dinilai menjadi alat penggusuran tanah-tanah rakyat, serta tidak memberikan perlindungan terhadap masyarakat korban. Pengesahan RUU ini akan semakin melanggengkan praktik-praktik pelanggaran HAM terhadap masyarakat , masyarakat adat, termasuk perempuan, yang merupakan kelompok rentan di dalam konstruksi jender patriarki yang masih berlaku di Indonesia.

Potensi terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM di dalam RUU ini sangat besar, mengingat sebagian besar tanah-tanah masyarakat di Indonesia hanya sedikit yang ‘memiliki’ dokumen hukum lengkap. Tahun 2004 tercatat, dari 85 juta bidang tanah (belum termasuk tanah-tanah yang berada di kawasan hutan dan kawasan yang dikuasai oleh masyarakat adat), baru 26 juta bidang yang bersertifikat atau 30 persennya. Pada tahun 2005–2008 bertambah 13 juta sertifikat, sehingga sampai dengan tahun 2008, masih 60 persen yang belum bersertifikat. Sedangkan, dasar ganti kerugian adalah bukti sertifikat. Keadaan ini jelas akan mempertajam potensi konflik agraria yang sudah banyak terjadi. Apalagi di dalam RUU tersebut tidak ada pengakuan yang hakiki atas hak masyarakat adat maupun tanah komunal atau tanah adat.

Selain itu, sebagai negara agraris, RUU ini tidak mencantumkan ketentuan terkait perlindungan tanah-tanah produktif alih fungsi lahan. Dengan tidak adanya ketentuan ini maka sangat potensial sekali RUU ini nantinya mengkonversi atau mengusur tanah-tanah pertanian produktif milik rakyat atau petani kecil dengan dalih pembangunan kepentingan umum. Artinya RUU ini sama sekali tidak memiliki pertimbangkan analisis historis-sosiologis bahwa Indonesia adalah negara agraris yang rakyatnya hidup dari tanah-tanah pertanian.

Praktik pengadaan tanah di Indonesia masih banyak menyisakan persoalan hingga kini. Data KPA, menunjukan sepanjang tahun 2010 terjadi 106 konflik agraria di berbagai wilayah Indonesia. Luas lahan yang disengketakan mencapai 535,197 hektar dengan melibatkan 517,159 KK yang berkonflik. Posisi sebagian besar rakyat yang tidak dilindungi hak atas tanahnya, mekanisme pembebasan tanah yang bersifat otoriter/memaksa, serta manipulasi makna ’kepentingan umum’ merupakan catatan buruk pemerintah dalam pengaturan dan pengadaan tanah, karena selalu ‘memakan’ korban. Berdasarkan data kasus LBH Jakarta, terkait penggusuran di wilayah perkotaan, terjadi kenaikan korban penggusuran dari 1883 KK pada 2006 menjadi 6000 KK pada tahun 2007. Sedangkan, data Komnas Perempuan tahun 2010 mencatat 395 perempuan yang menjadi korban penggusuran.

Permasalahan di dalam praktik pengadaan tanah selama ini, antara lain adalah penggusuran paksa, praktik kolusi pertanahan terkait bukti hak atas tanah, inventarisasi dan identifikasi obyek pengadaan tanah secara sepihak, penetapan kompensasi secara sepihak, hingga tidak terlibatnya masyarakat terkena dampak dalam penetapan obyek pengadaan tanah. Bahkan disebutkan dalam Naskah akademik bahwa ‘keberatan masyarakat atas pengadaan tanah untuk sebuah pembangunan dikategorikan sebagai ‘kendala atau hambatan’. Hal ini sangat jelas bahwa RUU ini memang lebih mengakomodir kepentinan sektor swasta. Sedangkan, pelanggaran HAM yang kerap terjadi dalam praktik pengadaan tanah di antaranya intimidasi, penganiayaan, penembakan, hingga penangkapan warga yang berujung pada kriminalisasi, dengan melibatkan aparat keamanan. Hal ini berdampak nyata terhadap hilangnya sumber-sumber kehidupan, dan ancaman terhadap keberlangsungan hidup masyarakat, khususnya perempuan, di mana perempuan lah yang kemudian harus memikirkan keberlanjutan rumah tangga, keluarga dan anak-anaknya, terkait tempat tinggal, penyediaan makanan, air bersih dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Keberlanjutan praktik-praktik tersebut akan semakin memiskinkan masyarakat Indonesia.

RUU ini merupakan bagian dari paket reformasi regulasi pembangunan infrastruktur di Indonesia bagi proses keterbukaan pasar dan pelibatan peran swasta, dengan memperluaskan konsep pengadaan tanah dari hanya pembangunan untuk kepentingan umum menjadi termasuk untuk kepentingan swasta. Sementara pengertian dan kriteria kepentingan umum tidak dijelaskan di dalam RUU tersebut. RUU ini seperti berdalih seolah-olah proyek yang didorong adalah untuk kepentingan umum, padahal proyek tersebut tidak lebih hanya untuk kepentingan swasta, seperti proyek infrastruktur yang sepenuhnya dibiayai, dimiliki, dikelola dan diperuntukan bagi kepentingan swasta, bahkan asing. Seperti proyek jalan tol, bendungan, pelabuhan, bandara, sarana dan prasarana telekomunikasi, transportasi, air minum, sampai pada pertanian skala besar seperti Food Estate. yang selama ini terbuka untuk swasta dan asing. Kebijakan ini sekaligus dimaksudkan untuk memudahkan investor asing menguasai sektor-sektor strategis melalui pembangunan infrastruktur di Indonesia. Kebijakan ini dinilai tidak memihak masyarakat yang rentan akan penggusuran dan menjadi target kriminalisasi.

Selain itu, RUU ini sarat dengan ‘pesanan’ asing. Beberapa-dokumen menyebutkan bahwa RUU ini didorong oleh ADB dan Bank Dunia. Sejak tahun 2005, Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB) dan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) telah berperan dalam mengarahkan kebijakan pembangunan di Indonesia, melalui penyediaan pendanaan bagi pembangunan infrastruktur serta bantuan teknis untuk perubahan regulasi. Hal ini dilakukan melalui skema utang untuk ”Program Pembangunan Reformasi Sektor Infrastruktur, yang mendorong pemerintah melakukan berbagai reformasi kebijakan untuk menguatkan peran swasta melalui skema Public Private Partnership (PPP) dan kebijakan liberalisasi.

RUU ini akan segera disahkan pada Desember tahun 2011 ini, karerena merupakan salah satu prasyarat penting untuk mempelancar penyediaan tanah bagi proyek pembangunan, sesuai dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 yang telah diluncurkan pada awal tahun ini oleh Presiden RI. Bahkan Presiden SBY bersedia mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk masalah pengadaan tanah, jika RUU tersebut tidak selesai tahun ini. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia siap melakukan segala daya upaya untuk mendukung investasi MP3EI, dengan mengesampingkan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia saat ini, yang telah digambarkan di atas.

RUU ini tidak akan belaku efektif untuk menyelenggarakan pembangunan yang adil dan demokratis, karena sejumlah prasayarat belum tersedia, yakni : 1) Pengakuan formal terhadap hak-hak masyarakat belum diberikan dan dilaksanakan penuh; 2) rencana penataan ruang belum dibuat partisipatif, integratif dan belum dilaksanakan secara konsisten; 3) akses masyarakat terhadap informasi pada badan-badan publik belum terpenuhi; 4) tidak adanya mekanisme keberatan yang dapat diakses publik dengan mudah terhadap hasil tim penilai; dan 5) belum terciptanya peradilan yang bersih dan independen.