Wednesday, January 25, 2012

Konflik Masyarakat Adat versus Perkebunan Sawit di Malinau

Konflik antara perusahaan perkebunan sawit versus masyarakat kembali terjadi. Di Kabupaten Malinau-Kalimantan Timur, masyarakat Desa Setarap dan Desa Batu Kajang Kecamatan Malinau Selatan saat ini sedang berhadapan dengan PT Bina Sawit Alam Makmur (BSAM) dan CV Luhur Perkasa (LP)—anak perusahaan BSAM, pemegang IPK atas lahan perkebunan yang diberikan pemerintah pada BSAM. Perseteruan masyarakat versus perusahaan ini telah berlangsung sejak September lalu ketika LP mulai melakukan pembukaan lahan (land clearing) sekaligus penebangan pohon di hutan adat masyarakat Setarap.

Merasa telah diserobot, masyarakat Setarap melawan. Pada 2 Oktober mereka menyita 1 unit alat berat (dozer) milik LP yang sedang beroperasi. Kemudian, pada 7 Oktober giliran masyarakat Batu Kajang menyita 7 alat berat milik LP. Prinsip dasar yang dilakukam kedua masyarakat sama: perlawanan terhadap kekuasaan yang dianggap telah melabrak hak dan martabat mereka. Tapi, karena “sesuatu” hal perlawanan itu berbuntut pada konsekuensi yang tidak diharapkan. Mereka ditodong pasal 368 KUHP dengan delik perampasan dan (upaya) pemerasan. Delik (upaya) pemerasan disorongkan penyidik kepolisian Polres Malinau karena masyarakat menuntut denda materi terhadap perusahaan. Akibatnya, 11 warga Desa Batu Kajang saat ini sudah mendekap sebagai tahanan Polres Malinau.

Nasib serupa hampir menimpa 5 warga Setarap. Tapi lantaran sejak awal belum ada pemufakatan antara perusahaan dengan masyarakat, penahanan tidak dilakukan. Sedangkan 11 warga Desa Batu Kajang ditahan karena berdasarkan referensi hukum yang ada, mereka dianggap telah menentang perusahaan yang sah dan legal. Legalitas perusahaan tersebut dibuktikan dengan Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Malinau No. 522.21/73/Kpts-II/II/2010 tentang izin pemanfaatan kayu pada KBNK CV LP pada area pembangunan perkebunan sawit BSAM.

Sedangkan BSAM mendapat hak perkebunan dari pemerintah berdasarkan SK Bupati Malinau No. 503/K.262/2008 tanggal 29 Mei 2008, SK Bupati Malinau No. 525.26/K.55/2008 tanggal 12 Februari 2009 tentang pemberian izin usaha perkebunan kelapa sawit, SK Bupati Malinau No. 503/K.353/2008 tanggal 21 Juli 2008 tentang izin lokasi perkebunan BSAM dan SK Bupati Malinau No. 503/K.25/2010 tanggal 25 Januari 2010 tentang perpanjangan izin lokasi perkebunan BSAM. IPK LP ditopang juga oleh Keputusan Gubernur Kaltim No. 522.21/8678/EK tanggal 19 Agustus 2009 tentang persetujuan prinsip IPK LP pada areal perkebunan sawit BSAM.

Bahwa, merujuk pada Keputusan Gubernur Kaltim No. 050/K.443/1999 tanggal 01 November 1999 tentang penetapan hasil paduserasi antara RTRW dengan TGHK Provinsi Kaltim dan Keputusan Menhut No. 79/Kpts-III/2001 tanggal 15 Maret 2001 tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan di Kaltim seluas 14.651.553 hektar, bakal area perkebunan dan kawasan hutan adat Desa Setarap serta hutan Desa Batu Kajang merupakan areal Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK)/Areal Penggunaan Lainnya (APL). Akan tetapi dengan izin yang telah dimiliki perusahaan tidak bisa sewenang-wenang menjalankan ambisinya. Sebab di kawasan itu ada hak-hak adat masyarakat yang patut diperhatikan. LP wajib mengakui dan menghormati kepemilikan atau hak adat masyarakat di sana sepertihalnya CV Gading Indah (GI) yang pernah mendapatkan IPK di kawasan tersebut pada tahun 2000.

GI pernah masuk dan mendapatkan IPK dari Bupati Malinau yang waktu itu dijabat Asmuni Alie. Dan Bupati Marthin Billa saat itu menjabat sebagai sekretaris daerah. Dalam SK Bupati Malinau No. 83 Tahun 2000 tanggal 10 Agustus 2000 tersebut ditegaskan bahwa GI mendapatkan izin pemungutan dan pemanfaatan kayu pada hutan milik (IPK-HM) di lokasi areal tanah adat Desa Setarap (dan Punan Setarap). Artinya, lokasi itu sah sebagai hutan adat milik masyarakat Setarap. Karena itulah, sesuai dengan UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 pasal 9 ayat 2 masyarakat Setarap diberi kewajiban untuk melakukan perlindungan atas hutan mereka.

Dalam prakteknya, LP telah bertindak anarkis dengan melakukan penyerobotan langsung pada hutan adat masyarakat Setarap dan juga masyarakat Desa Batu Kajang. Bedanya, Desa Batu Kajang telah memberikan pemufakatan. Tapi, hasil penelusuran di lapangan, pemufakatan yang dikeluarkan Desa Batu Kajang dilakukan tanpa asas keterbukaan. Sehingga pemufakatan itu pun patut ditinjau ulang. Masyarakat Batu Kajang yang melakukan perlawanan adalah mereka yang merasa didzalimi oleh surat kesepakatan dari desa tersebut.

Tindakan anarkis perusahaan telah menimbulkan kerusakan alam yang parah dan kerugian hutan yang cukup besar. Informasi masyarakat dan sejumlah pekerja perusahaan yang hingga pertengahan November kemarin masih ngotot beroperasi, sedikitnya 3000 batang kayu log, diameter 20 cm hingga 150 cm telah berhasil ditumbangkan oleh perusahaan. Jika satu batang kayu log rata-rata menghasilkan 5 kubik kayu, maka sedikitnya 15.000 kubik kayu telah berhasil ditumbangkan perusahaan. Dan jika diuangkan, dengan rata-rata perkubik Rp.1 juta saja maka total bakal pendapatan dari kayu tersebut mencapai Rp. 15.000.0000.000 (Rp15 Milyar). Tanpa ada perlawanan dari masyarakat, perusahaan akan terus menggilas hutan tersebut dan mengeruk keuntungan yang berlipat dari jumlah tersebut. Sedangkan masyarakat Setarap yang sejak nenek moyang mereka menjaga dan melindungi hutan itu, hanya bisa membatu.

Masyarakat Desa Setarap Kecamatan Malinau Selatan melalui 3 LSM yang menjadi kuasa pendampingnya, Lembaga Pemerhati dan Pemberdaya Masyarakat Dayak Punan (LP3M), Otonomi Center, dan Sekoci segera bertindak untuk melakukan pelaporan atas kebrutalan BSAM dan LP. Materi pokok pelaporan tersebut: perusahaan telah melakukan penyerobotan terhadap hutan negara yang penguasaannya diserahkan pada masyarakat Setarap sebagai hutan adat.

Mencermati konstruksi persoalan di atas, ada sejumlah indikasi kuat pelanggaran yang dilakukan perusahaan. Misalnya, tidak menggubris ketentuan yang diwajibkan sebagaimana tercantum dalam SK . 503/K.25/2010 untuk menyelesaikan pembebasan tanah beserta tanam tumbuh terhadap lahan dan ladang milik masyarakat adat Setarap dan Batu Kajang. Perusahaan juga terindikasi kuat telah melanggar sejumlah ketentuan undang-undang. Antara lain UU Perkebunan No 18 Tahun 2004 Pasal 9. Dua ayat pada Pasal 9 tersebut dengan tegas menetapkan bahwa perusahaan dalam rangka penyelenggaraan usaha perkebunan wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat untuk memperoleh kesepakatan.

Perusahaan juga dinilai Komisi I telah menyalahgunakan IPK untuk kegiatan perkebunan sebab tidak ditemukan lokasi pembibitan dan jumlah bibit di lokasi sebagaimana disyaratkan dalam Permenhut No. P-58/Menhut-II/2009. Belum lagi, kalau mau diselusuri lewat Kepmenhutbun No.376 Tahun 1998 terkait dengan kriteria penyediaan hutan untuk areal perkebunan.

Tindakan perusahaan yang tidak memandang dengan mata pada hutan adat masyarakat Setarap juga jelas-jelas merupakan pelanggaran hukum atas UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999. Perusahaan dapat dinyatakan telah melanggar Pasal 50. Dalam kaitannya dengan HAM perusahaan juga bisa diindikasi melanggar UU HAM, yaitu, UU HAM No. 39 Tahun 1999 Pasal 6 ayat 1 dan 2 serta Pasal 36 ayat 1 sampai ayat 3.

DPRD Malinau dan 3 LSM Pendamping, selain mensinyalir pelanggaran-pelanggaran di atas, juga mensinyalir adanya pelanggaran di sudut lain. Misalnya, proses Amdal yang disinyalir tidak sesuai prosedur karena masyarakat yang seharusnya menjadi responden tidak pernah mengetahui informasi mengenai dokumen tersebut. Dari keterangan sejumlah pegawai yang berwenang atas hal tersebut di Bapedalda, ada indikasi bahwa dinas tersebut pun menilai ada ketidakberesan dalam hal pemenuhan dokumen ini.

No comments: