Tuesday, May 22, 2007

Mengadaptasi Perubahan

Cita-cita adalah penggerak hidup. Bagi sebuah gerakan untuk pembaruan kehidupan sosial politik, cita-cita adalah syarat hidup organisasi pengusung gerakan. Dia bagaikan kaki langit yang terus dikejar, juga bagai dian yang tak kunjung padam. Dia jalan yang tak berujung namun selalu nampak sosoknya di kejauhan sebagai pandu. Cita-cita selalu mengalami transformasi, karena tuntutan dinamika internal manusia yang termanifestasi dalam terminologi “perkembangan jaman”.

Oleh karena itu, sebuah organisasi harus selalu mengupayakan transformasi dalam dirinya. Yang tak boleh dikorbankan adalah prinsip dasar, tapi cita-cita harus selalu mengalami pembaruan dan dengan itu setiap tingkatan peradaban selalu dapat diantisipasi oleh sebuah gerakan pembaruan yang diusung oleh organisasi-organisasi rakyat.

Dalam konteks itu, sebuah organisasi rakyat yang bercita-cita pembaruan tak pernah boleh surut ke belakang, ke masa-masa ketika tantangan, paradigma, dan perangkat sosial politiknya jauh berbeda dengan masa kini. Masa ketika struktur menjadi segala-galanya, pusat konsentrasi kekuasaan, konsentrasi sumberdaya, dan sesembahan seluruh rakyat, telah berlalu. Organisasi harus melihat tantangan baru, paradigma baru dan merancang perangkat sosial ekonomi baru agar secara politik ia mampu mengantisipasi perubahan jaman.

Di situlah Organisasi gerakan kiri harus menjawab tantangan jamannya sendiri.

Siapa yang lekang oleh jaman akan tergusur dari pertarungan.

NEFIN dan Gerakan Masyarakat Adat di Nepal

Nepal adalah negara yang mempunyai kondisi geografis dan keragaman budaya luar biasa. Keragaman budaya dari negara yang berbentuk Monarki Konstitusional tersebut tercermin pada Pasal 4 Konstitusi 1991, yang mengatakan bahwa Nepal adalah negara yang multi-etnik, multikultural dan multi-linguistik. Namun pengakuan oleh konstitusi tersebut sama sekali tidak menjadi sebuah realitas politik dalam kehidupan sehari-hari. Keberagaman budaya masyarakat kemudian menjadi sebuah issu yang ”dilawan” oleh kebijakan yang ada. Misalnya, pemerintah kerajaan Nepal memberlakukan stratifikasi sosial melalui sistem kasta, menjadikan bahasa Nepal (khas Nepali) sebagai satu-satunya bahasa resmi, dan Hindu dijadikan satu-satunya agama resmi.

Dampak dari praktek tersebut adalah meluasnya diskriminasi etnik, kasta dan gender, yang selanjutnya menghancurkan identitas budaya komunitas-komunitas asli. Hal ini tentu dapat dilihat sebagai bentuk hilangnya atau tidak dioptimalkannya potensi modal sosial masyarakat adat akibat hancurnya bahasa dan agama-agama asli mereka.
Ada 59 komunitas asli (dalam bahasa Nepal: Janajati) yang sudah diakui dan populasi mereka sekitar 37.2% dari 23.4 juta penduduk Nepal. Komunitas-komunitas asli ini berasal dari beberapa kelompok suku pengembara, masyarakat adat sekitar hutan dan petani. Dari komposisi populasi tersebut, berdasarkan sensus terakhir dan merujuk pada hasil survei standar hidup, menunjukkan kenyataan bahwa komunitas asli tersebut sebagian besar merupakan kelompok masyarakat miskin, rentan terhadap marginalisasi dan terlantar.

Namun di tengah situasi politik yang tidak menguntungkan bagi eksistensi komunitas asli Nepal tersebut, masih terdapat organisasi yang mengambil peran strategis untuk mendorong perubahan sosial bagi kehidupan komunitas asli Nepal. Organisasi itu bernama NEFIN (The Nepal Federation of Indigenous Nationalities), sebuah organisasi yang beranggotakan komunitas-komunitas asli Nepal. Organisasi ini adalah organisasi payung berbentuk federasi dan berdiri pada tahun 1991. NEFIN menjadi satu-satunya organisasi yang diakui keabsahannya oleh pemerintah. Secara umum cita-cita organisasi ini adalah mendorong upaya pengakuan atas berbagai bentuk keragaman bahasa, agama dan budaya komunitas asli Nepal, dan membantu komunitas asli untuk memperjuangkan kebutuhan mereka secara berkelanjutan.

Dalam struktur organisasinya, NEFIN mempunyai sebuah dewan yang terdiri dari perwakilan semua komunitas anggotanya. Setiap komunitas mempunyai perwakilan 1 orang yang duduk sebagai anggota dewan. Dewan mempunyai 9 posisi kantor yang berotasi di antara anggota organisasi disusun menurut abjad. Pelaksana harian organisasi dikendalikan oleh Sekretaris Jendral yang dibantu 7 sekretaris yang bertanggung jawab atas beberapa departemen. Rapat majelis umum (kongres) dilaksanakan tiap 3 tahun sekali untuk memilih Sekretaris Jendral, merumuskan dan menetapkan Statuta serta menetapkan Garis-Garis Perjuangan Organisasi.

Nepal dalam periode gejolak politik
Lebih dari satu dekade terakhir, situasi politik Nepal mengalami gejolak. Ketidakstabilan politik dipicu perilaku pemerintahan yang otoriter sehingga mengeskalasi perlawanan kelompok gerilyawan Maois yang menyatakan perang dan angkat senjata pada 13 February 1996 terhadap pemerintah Kerajaan Nepal. Bahkan jika di telisik ke belakang, sebelum kelompok gerilyawan menyatakan perang, gejolak politik sering melanda negara yang berada diantara 2 raksana Asia (Cina dan India) ini. Sejak 1991, hampir tidak ada rezim pemerintahan yang bertahan lebih dari 2 tahun. Gejolak seperti ini tentunya berdampak juga pada kehidupan masyarakat adat Nepal.

Secercah harapan sempat menyeruak pada tahun 1990, ketika terjadi perubahan pada bentuk negara, dari bentuk negara Monarchy Absolut (kerajaan mutlak) ke bentuk Monarchy Constitutional (kerajaan berlandaskan konstitusi). Kekuasaan dan kebijakan yang sebelumnya mutlak berada di tangan Raja dalam sistem negara Monarchi Absolut kini di ambil alih Konstitusi. Semua kebijakan dan peraturan harus berlandaskan Konstitusi. Situasi ini pada awalnya dianggap sebagai sebuah kemajuan bagi demokrasi, dimana ada ruang terbuka bagi masyarakat sipil di Nepal termasuk masyarakat adat untuk mengembangkan seluruh sumber daya dan potensi-nya.

Kenyataannya, ruang demokrasi itu tidak benar-benar terbuka, karena Raja masih mempunyai kekuasaan besar untuk memberangus demokrasi, misalnya membubarkan parlemen dan pemerintahan yang terpilih melalui pemilihan umum. Hal ini berlangsung sepanjang 1990-an dan memuncak pada masa kekuasaan Raja Gyanendra yang membubarkan parlemen dan pemerintahan pada 4 Oktober 2002. Bahkan setelahnya, Raja Gyanendra melakukan “kudeta” terhadap pemerintahan yang sah. Pada 1 Februari 2005, Raja Gyanendra mengambil alih seluruh kekuasaan politik dan administrasi negara, demokrasi pun sekarat. Hak-hak sipil dan politik rakyat kembali diberangus oleh Raja.

Namun perkembangan yang buruk tersebut tidak mengendurkan perlawanan masyarakat sipil. Malah sebaliknya perlawanan bersenjata yang dilancarkan kelompok gerilyawan Comunist Party of Nepal (CPN)-Maoist semakin meluas dan membesar kekuatannya. Kelompok perlawanan bersenjata Maois menjadikan areal pedesaan sebagai basis perjuangannya dengan metode gerilya. Banyak anggota komunitas asli Nepal yang bergabung ke dalam CPN-Maoist. Bahkan CPN-Maoist menjadikan persoalan masyarakat adat sebagai bagian perjuangan politik utama mereka. Menurut Stella Tamang, ada 5 persoalan besar yang diusung masyarakat adat dan didukung oleh CPN-Maoist, yakni :

1. Pembentukan negara sekuler, kesetaraan hak untuk bahasa, budaya, pendidikan, informasi dan pembangunan;
2. Restrukturisasi kekuasaan politik;
3. Hak untuk menentukan nasib sendiri dan otonomi seluas-luasnya;
4. Affimative action dibidang pendidikan, birokrasi dan kesehatan;
5. Partisipasi dalam proses pengambilan keputusan, dari perencanaan hingga pelaksaan-nya; (Indigenous Affairs 1-2/04)

Lebih jauh menurut Luisang Waiba Tamang, CPN-Maoist sudah membangun “Otonomi Pemerintahan Rakyat” yang menyesuaikan otonomi tersebut dengan peta etnis dan tanah leluhur di tingkat regional. Mereka mendeklarasikan pembentukan 6 region otonom berbasis etnis di Tamang, Tharu, Limbu, Gurung dan Newar (Indigenous Affairs 3-4/05).
Sementara itu, ditengah berkecamuknya konflik bersenjata NEFIN mengambil posisi strategis dengan melakukan pendidikan politik secara terbuka terhadap masyarakat adat. NEFIN membangun kesadaran masyarakat adat dengan sistematis. Hasilnya dapat dilihat dari gencarnya aksi-aksi protes melalui kekuatan massa terhadap kebijakan pemerintah di Kathmandu sebagai pusat kekuasaan politik. NEFIN tak putus-putusnya menyerukan kepada pemerintah, partai politik dan komunitas internasional untuk tidak mengabaikan partisipasi masyarakat adat dalam upaya membangun perdamaian di Nepal. Karena, masyarakat adat adalah kelompok yang terkena dampak langsung dari konflik bersenjata.

NEFIN kemudian mendesak pemerintah untuk segera 1. mengakui identitas dan hak masyarakat adat; 2. memasukkan partisipasi aktif dan penuh mereka dalam proses pembangunan perdamaian. NEFIN juga meyakini bahwa struktur negara saat ini tidak efektif, diskriminatif dan eksklusif. Sehingga kekerasan yang ada merupakan akibat dari persoalan struktur negara. Sehingga NEFIN dengan jelas dan tegas mendesak dilakukannya restrukturisasi negara. NEFIN juga meluaskan perjuangannya pada level internasional dengan membangun jaringan untuk kampanye internasional. Hal itu terlihat ketika isu masyarakat adat Nepal dijadikan sebagai laporan khusus pada Forum Permanen PBB untuk isu masyarakat adat, pada Mei 2005.

Gerakan lain yang dibangun NEFIN adalah advokasi kebijakan yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat. Salah satu-nya ketika Menteri Pertanahan dan Kehutanan akan mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat adat, dimana kebijakan tersebut berdampak buruk terhadap kontrol, akses dan pembagian manfaat dari sumber daya alam di wilayah adat mereka. Untuk mengadvokasi persoalan ini, pada 5 Juni 2005, NEFIN memimpin sebuah delegasi masyarakat adat untuk berdialog dengan sang menteri. Pada dialog tersebut NEFIN mengajukan sebuah memorandum bahwa pemerintah sebaiknya tidak mengeluarkan kebijakan yang berdampak terhadap kepentingan masyarakat adat tanpa konsultasi dan melibatkan partispasi aktif mereka.

Periode pengorganisasian yang dilakukan NEFIN, kelompok masyarakat sipil lainnya (NGO, organisasi mahasiswa dll) dan perlawanan bersenjata CPN-Maoist yang diarahkan pada pemerintah kerajaan dapat dilihat sebagai bentuk perlawanan yang saling memperkuat. Perlawanan tersebut menemukan momentum-nya pada April 2006, ketika jutaan rakyat tumpah ruah dijalanan Kathmandu untuk mendesak Raja mengembalikan mandat rakyat ke Parlemen yang telah dibubarkan dengan sewenang-wenang. Selanjutnya parlemen didesak untuk segera membentuk pemerintahan transisi. Dalam proses demokratik ini NEFIN berperan besar dalam melakukan mobilisasi masyarakat adat untuk terlibat dalam aksi-aksi protes tersebut.

Akhirnya, dapat dikatakan bahwa NEFIN telah mengambil peran sangat strategis dengan mengambil ruang kampanye legal yang kosong. Karena perlawanan utama yang dilancarkan CPN-Maoist mengambil metode gerilya di wilayah pedesaan. Sepintas, seperti ada benang merah yang menghubungkan perlawanan CPN-Maoist dengan NEFIN. Namun hingga saat ini, belum ada study yang menunjukkan korelasi atau hubungan strategis antara gerakan yang dilakukan NEFIN dengan kelompok gerilyawan Maois. Namun setidaknya, pernyataan yang dikeluarkan Pemimpin CPN-Maoist, Prachanda dapat menjadi rujukan untuk menyimpulkan. Pracandha mengumumkan bahwa 80% anggota parlemen dari partai-nya dalam pemerintahan sementara akan datang dari masyarakat adat. CPN-Maoist juga tetap komitment untuk mentransformasikan kekuasaan Nepal ke negara-negara bagian dimana masyarakat adat akan menguasai region otonom dengan mengontrol hampir semua persoalan kecuali pertahanan dan kerjasama luar negeri.

Mekar dalam Ketertindasan : Belajar dari Gerakan Masyarakat Adat di Amerika Latin

Beberapa tahun terakhir, masyarakat dunia terkesima dengan dinamika dan kebangkitan gerakan sosial di Amerika Latin melawan rezim diktator militer dan rejim “budak” neoliberalisme yang pro ekonomi pasar-bebas. Neoliberalisme telah mengakibatkan semakin meluasnya jumlah rakyat miskin, pengangguran, hilangnya kemandirian rakyat, tergerusnya modal sosial dalam komersialisme, kerusakan lingkungan dan sebagainya.
Tulisan ini, akan menyajikan secara ringkas pelajaran gerakan rakyat dari tiga tempat di Amerika Latin, yakni: MST (Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra) di Brazil, Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional (Tentara Pembebasan Nasional Zapatista—EZLN) dikenal Zapatista di Mexico dan FOIN (Föderation der indigenen Organisationen des Napo) di Equador, yang diolah dari beberapa sumber pustaka.

Di Brazil, petani tidak bertanah, petani miskin dan aktivis sosial, mendirikan organisasi Gerakan Kaum Tidak Bertanah Pedesaan atau MST (Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra) pada tahun 1985 dalam Kongres Nasionalnya. MST adalah salah satu gerakan sosial terbesar dalam sejarah Amerika Latin dan gerakan ini berhasil mentransformasikan politik di Brazil dan kawasan pedesaan dengan skala yang meluas.

Krisis ekonomi pada akhir tahun 1970-an, perubahan orientasi dalam gereja Katolik dengan meluasnya teologi pembebasan, meningkatnya iklim perlawanan menentang kediktatoran militer yang gagal menjalankan mandat konstitusi, meningkatnya diferensiasi penguasaan tanah yang tidak adil, berbagai aksi pendudukan tanah yang semakin meluas dan terorganisir, menjadi latar dari pembentukan dan gerakan MST.

Gerakan ini mendesak proses landreform dari bawah yang terkonsentrasi pada petani tanah luas dan ditelantarkan, demokratisasi pemilikan tanah, memberikan akses untuk kesejahteraan rakyat miskin dan mengembangkan program ekonomi pedesaan.

Sebagai gambaran penguasaan tanah di Brazil. Tanah luas lebih dari 1000 hektar yang jumlahnya sekitar 53,2 % dari seluruh tanah pertanian dikuasai sekitar 1,6 % pemilik tanah dan sekitar 88,7 % dari luas tanah tersebut tidak dikelola. Gabungan 75 pertanian terluas, dengan luas tanah diatas 100 ribu hektar, menguasai tanah lebih banyak dari petani gurem. Setelah enam tahun berdiri, MST telah mengorganisir sebanyak 151.427 keluarga, menduduki dan mengambil alih tanah seluas 21 juta hektar.

Keberhasilan MST ada pada kemampuannya untuk mengorganisir dan militansinya yang tanpa batas. Para anggotanya tidak hanya mengolah tanah dan menjamin makanan bagi keluarganya. Lebih jauh, mereka menciptakan suatu model pembangunan social – ekonomi alternative yang mengutamakan kepentingan rakyat di luar system pasar bebas yang lebih mengutamakan laba. MST memilih dan menerapkan metode untuk aktif menjalankan landreform, menduduki langsung tanah-tanah latifundia (tanah luas mencapai puluhan ribu hektar) yang ditelantarkan. Di pihak lain, MST secara terus menerus menuntut pelaksanaan amanat undang-undang dasar yang menyatakan bahwa tanah berfungsi sosial dan harus diusahakan menjadi produktif. Para aktivis mendatangi pedesaan miskin dan wilayah perkotaan, memberitahu rakyat tentang hak-hak mereka atas tanah dan mengorganisasikan penduduk.

Di Mexico, gerakan rakyat dimotori oleh Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional (Tentara Pembebasan Nasional Zapatista—EZLN) atau lebih dikenal dengan sebutan Zapatista, sebuah gerakan bersenjata yang berperang melawan tentara dan pemerintah federal. Mereka membenarkan aksi gerilya sebagai hak konstitusional setiap warga negara untuk mengubah sistem pemerintahan. Zapatista merupakan revitalisasi semangat Emilio Zapata (pahlawan petani Meksiko yang memperjuangkan reforma agraria di Meksiko dengan kekuatan pasukan bersenjata dan massa di sepanjang masa revolusi 1910-1917).

Zapatista bergerak di hutan Lacondon di negara bagian Chiapas, mereka memberikan tauladan dan membuka momentum bagi masyarakat adat Indian Maya yang tertindas untuk memperjuangkan hak-haknya dari system ekonomi neoliberal dan eksploitasi para carciques (elit penguasa). Selain tema landreform, otonomi pueblos indigena dari pengurusan negara telah menjadi tema pokok perjuangan rakyat. Strategi utama Zapatista adalah mewujudkan otonomi politik, ekonomi dan sosial melalui penetapan wilayah-wilayah otonom yang dari waktu ke waktu semakin meluas. Di wilayah-wilayah otonom tersebut, mereka menyelenggarakan kehidupan sosial dan politik yang cocok, usaha pertanian sendiri melawan strategi liberalisasi pertanian dan tanpa intervensi badan pemerintah. Dalam lingkup sosial kebudayaan, gerakan Zapatista menentang praktek rasis di Meksiko dengan membangun sebuah kesadaran baru tentang hak-hak masyarakat adat.

Zapatista secara terbuka menentang dan menghenti¬kan proyek neoliberal yang berlangsung oleh adanya perjanjian kerjasama perdagangan bebas antara pernerintahan Meksiko 'Amerika Seri¬kat, dan Kanada melalui perjanjian NAFTA (North American Free Trade Area), yang menyingkiran petani dan degra¬dasi pedesaan, membangkitkan inspirasi masyarakat sipil menentang otoritarianisme partai berkuasa, yaitu Institutiona¬lized Revolutionary Party (PRI) dan mengembangkan system demokrasi langsung. Misalnya pada daerah yang otonom, mereka menerapkan pengambilan keputusan diambil secara konsensus dan setelah semua pendapat didengarkan. Hak-hak berbicara dan memutuskan dipunyai oleh semua orang umur 12 tahun ke atas, meski biasanya jarang putusan yang dilalui dengan pengambilan suara.

Di Ekuador, masyarakat Adat (pueblos indigena atau indigenous peoples) di daerah Napo, bergabung dalam federasi organisasi masyarakat adat Napo atau Föderation der indigenen Organisationen des Napo (FOIN), yang berdiri semenjak tahun 1975. FOIN menjadi actor utama untuk memperjuangkan eksistensi, hak untuk mengatur diri sendiri, hak-hak atas tanah dan kekayaan alam, serta memperjuangkan hak identitas rakyat – terutama rakyat Indian Quichua di pegunungan – di hadapan gerusan negara dan pasar yang terus berubah.

Tahun 1997, massa pueblos indigena memainkan peran yang utama dalam menggulingkan Presiden Abdalá Bucaram. Di bawah bendera pelangi, the Confederation of Indigenous Nationalities of Ecuador (CONAIE), puluhan ribu masyarakat adat, lelaki maupun perempuan berdemonstrasi berkeliling kota Quito, ibukota Ekuador. Bendera pelangi itu, suatu simbol suci dari persatuan keragaman dan kedaulatan adat, telah dipakai untuk menandingi pandangan umum bahwa mereka adalah warga negara kelas dua. Mereka berjuang mendepak pandangan bahwa orang-orang Indian adalah pasif, tidak mampu merangkul modernitas dan a-politis.

Perkembangan dan watak gerakan FOIN dipengaruhi oleh organisasi gerakan terpenting di tahun 1970-an, yakni Federación Nacional de Organizaciones Campesinas (FENOC), organisasi rakyat berbasiskan pendekatan kelas dan menjalankan kampanye landreform di hampir semua propinsi di Ekuador, yang secara khusus menuntut petani diberikan tanah yang layak mereka terima. Kampanye ini umumnya menggunakan cara-cara berpolitik yang tradisional, seperti mobilisasi massa ataupun petisi menuntut pemerintah melikuidasi penguasa tanah luas dan/atau menyediakan tanah untuk petani. Bingkai identitas etnik tidak pernah menjadi tema FENOC. Dalam situasi dimana pemerintah yang berkuasa mengabaikan kesadaran etnik dan budaya, petani-petani Indian berjuang dengan identitas kepetanian dan secara efektif menyembunyikan identitas indigenism mereka dalam kehidupan politik. Bagaimanapun FENOC telah memberikan pengetahuan dan kemampuan politik bagi para aktivis FOIN.

Pelajaran penting lainnya, bahwa kemenangan ini bukan berarti tanpa pengorbanan. Perlawanan dan penindasan, perlawanan dan penindasan… begitulah situasi yang dihadapi dan dialami berulang-ulang. Represi dan kekerasan Negara maupun para-militer yang melibatkan korporasi dan tuan tanah, selalu melanda para aktivis dan anggota organisasi. Di Brazil, puluhan aktivis hilang dan terbunuh oleh polisi dan militer. Namun semakin ditindas, justeru kegigihan dan daya juang rakyat semakin menguat, akar solidaritas dan empati terus meluas, hingga bunga kemenangan mekar di mana-mana dan semakin meluas desakan perubahan sosial dari bawah.