Tuesday, January 15, 2008

Evo Morales : Angin Perubahan dari Pegunungan Andez

Tak dapat disangkal bahwa situasi di Amerika Latin kini menjadi epicentrum gerakan sosial. Secara bergiliran di negeri-negeri amerika latin tersebut tampil sosok-sosok populis berhakuan kiri yang mengendalikan roda pemerintahan. Lula da Silva di Brazil, Hugo Chavez di Venezuela, Michelle Bachelet di Chile, Nestor Kichner di Argentina, Evo Morales di Bolivia dan dibeberapa kawasan lainnya di Amerika Latin. Mereka mencanangkan agenda SOSIALISME ABAD 21 di Amerika Latin, sekaligus meruntuhkan teori Francis Fukuyama yang meramal bahwa dunia akan segara memasuki fase “akhir sejarah” [the end of history]: kemenangan kapitalisme [neoliberal] dan demokrasi [liberal]. Apa yang dimaksud dengan “akhir sejarah” oleh Fukuyama bukan berarti dunia kehilangan peristiwa-peristiwa besar dan penting, melainkan bahwa sejarah berjalan secara tunggal, koheren, dan evolusioner. Bagi Fukuyama, masyarakat liberal demokratis yang didasarkan atas kapitalisme pasar-bebas, pada akhirnya akan mampu memenuhi kebutuhan manusia dalam hal stabilitas ekonomi, penghargaan terhadap diri sendiri, dan kehormatan.

Tampilnya sosok-sosok pemimpin populis di Amerika Latin inilah yang menggugurkan ramalan Francis Fukuyama tersebut, ramalan tentang dunia masa depan. Dan diantara deretan nama-nama tersebut, terselip satu nama yang kini masuk dalam barisan musuh nomor satu Amerika Serikat selain Hugo Chavez tentunya. Dialah Evo Morales. Presiden Bolivia pertama yang berasal dari bangsa pribumi Indian.

Nama ini sangat bersinar terang di langit Bolivia, sebuah negeri yang berada di kawasan pegunungan Andez. Lelaki kelahiran 26 Oktober 1959 di Aymara ini mempunyai nama lengkap Juan Evo Morales Aima, yang oleh pendukungnya cukup disapa Evo. Dengan berkendara Partai Gerakan Menuju Sosialisme (Movement Toward Socialism/MAS), pada 22 Desember 2005, Evo ditahbiskan sebagai pemenang pemilu Bolivia. Jumlah suara yang diperolehnya mencapai 53,899 persen. Jumlah ini melampaui angka perolehan suara yang diraih oleh Jorge Tuto Quiroga, mantan wakil presiden di bawah diktator Hugo Bánzer, dan Samuel Doria Medina, salah satu orang terkaya di negeri itu. Dengan peorlehan suara mayoritas, Evo dipastikan tak membutuhkan lagi pemungutan suara di Kongres untuk mengesahkannya sebagai presiden Bolivia berikutnya.

Apa sebenarnya yang menarik dari kemenangan Evo Morales ini? Bukankah pemilu adalah sebuah peristiwa biasa, sebuah proses yang wajar dari sebuah negara yang menganut sistem politik demokrasi? Menariknya, justru muncul dalam sosok Evo sendiri dan sejarah perjuangan rakyat Bolivia keseluruhan. Sejarah panjang dalam menentang kolonialisme, neoliberalisme dan campur tangan pemerintah AS yang sangat besar di negeri itu. Sejarah rakyat yang terpinggirkan akibat dogma kemaslahatan pasar bebas. Evo adalah salah satu figur yang berada di garis depan perlawanan itu. Ia tidak saja menyuarakan kepentingan masyarakat adat Indian yang merupakan populasi terbesar penduduk Bolivia tapi, juga terlibat aktif dalam mengorganisir, menggerakkan, dan memimpin perlawanan rakyat tersebut.

Sebelum terjun dalam arena perjuangan elektoral, Evo Morales adalah anggota dari gerilya bersenjata Tupac Katari, pada tahun 1990an. Keterlibatannya itu, mengantarkan dirinya ke penjara selama lima tahun. Selepas masa kurungan, sosok Evo tampil sebagai figur pembela kepentingan masyarakat adat Indian yang paling konsisten, khususnya dari suku terbesar Quecha dan Aymara. Pada saat yang sama, Bolivia menjadi target utama bagi penerapan kebijakan neoliberal, seperti privatisasi sektor air dan pertambangan, dan pemotongan anggaran untuk publik. Akibat dari kebijakan neoliberal ini, kesenjangan sosial semakin melebar, tingkat kesejahteraan hidup penduduk asli Indian semakin rendah, dimana menurut laporan Bank Dunia pada 2004, 74 persen masyarakat adat Bolivia hidup di bawah garis kemiskinan.

"Hampir dua per tiga masyarakat Indian adalah miskin di antara 50 persen penduduk termiskin. Jika distribusi berjalan sempurna, masyarakat adat Bolivia harus menerima pendapatan dua kali lipat lebih banyak di banding penduduk yang bukan masyarakat adat. Hanya dengan cara itu, mereka bisa tercerabut dari kemiskinannya," demikian tulis laporan itu.

Kebijakan neoliberal ini, berjalan beriringan dengan kepentingan pemerintah AS untuk menancapkan kukunya di kawasan Andean, dimana Bolivia menjadi batu loncatannya. Di negeri itu, Amerika mengampanyekan perang melawan narkotika. Itu artinya perang melawan masyarakat adat Indian, yang sebagian besar secara tradisional merupakan petani koka. Perang melawan kokain itu diwujudkan dengan dibentuknya satuan polisi khusus yang menangani perang melawan kokain ini. Tetapi, di balik kampanye bersenjata ini, tersembunyi kepentingan bisnis yang luar biasa besar yakni, menguasai sumberdaya alam terutama pertambangan, gas dan air. Itu sebabnya, walaupun ada operasi militer besar-besaran, produksi kokain di Bolivia kian meningkat dari tahun ke tahun. Ironi ini terus berjalan dari tahun ke tahun.

Sejarah panjang perjuangan, kemiskinan dan diskriminasi masyarakat adat, serta kepungan neoliberalism dan hegemoni AS, tidak menyurutkan langkah Evo Morales untuk terlibat dalam perjuangan rakyat. Ia bahkan tampil sebagai pemersatu gerakan sosial yang terkotak-kotak. MAS sendiri bukanlah sebuah partai politik yang solid dan terstruktur kuat. Ia lebih merupakan koalisi dari berbagai gerakan sosial, mulai dari gerakan tani, gerakan buruh hingga yang terkuat, gerakan masyarakat adat. Koalisi gerakan sosial dipandang sebagai metode terbaik untuk menghadapi gempuran neoliberalisme yang menghancurkan seluruh sektor kehidupan masyarakat. Dari sisi ini, tidak dikenal adanya kekuatan pelopor yang khusus, karena semuanya adalah pelopor. Mereka dipersatukan oleh kepentingan yang sama yang tercermin dalam platform MAS: nasionalisasi industri-industri strategis; pengurangan harga dan pembekuan harga barang-barang rumah tangga; penyediaan pelayanan dasar bagi semua; pembelaan terhadap pendidikan dan kesehatan gratis bagi publik; peningkatan pajak bagi kaum kaya; penghapusan korupsi; redistribusi lahan kerja; aparatus politik yang baru; penghapusan kebijakan ekonomi neoliberal; dan penentangan terhadap tenaga kerja "fleksibel."

Demikianlah, peranannya sebagai organiser, penggerak, dan pemimpin gerakan rakyat menjadikan Evo sebagai musuh nomor satu pemerintah AS. Ia dituduh sebagai seorang "narco-teroris," dan merupakan "ancaman bagi stabilitas" di kawasan itu. Mantan duta besar AS di Bolivia, Manuel Rocha, dalam pemilu presiden 2002, pernah mengancam rakyat Bolivia agar tidak memilih Evo, yang disebutnya sebagai “narco-cocaine producer” and “instrument” dari Hugo Chavez dan Fidel Castro. Jika rakyat tetap memilih Evo, maka pemerintah AS akan mempertimbangkan untuk menghentikan bantuannya kepada Bolivia ("I want to remind the Bolivian electorate that if you elect those who want Bolivia to become a major cocaine exporter again, this will endanger the future of U.S. assistance to Bolivia"). Hasilnya, dalam pemilu tahun itu, Evo hanya menempati posisi kedua.

Simbol Perlawanan Masyarakat Adat Indian
Di sisi sebaliknya, Evo adalah perlambang dari sebuah masyarakat adat yang terpinggirkan, terisolasi dan terdiskriminasi. Ia adalah tokoh yang diharapkan bisa mengatasi kemiskinan dan marginalisasi masyarakat adat yang merupakan mayoritas. Untuk menjelaskan hal ini, lihat saja pidato politiknya yang dikutip dari majalah Political Affair Magazine, yakni :

“Apa yang terjadi sekarang di Bolivia adalah sebuah revolusi besar dari mereka yang tertindas selama 500 tahun lebih. Kehendak rakyat telah terwujud pada bulan September dan Oktober dengan sebuah episode besar kemenangan rakyat. Kita sendiri hidup bertahun-tahun dalam dua budaya penuh konfrontasi: budaya kehidupan yang diwakili penduduk asli, dan budaya kematian yang direprestansikan oleh Barat. Ketika kita sebagai suku asli bersama kelas pekerja dan pengusaha di negeri kita berjuang untuk mendapat hidup dan keadilan, Negara meresponnya dengan "demokrasi berdasar aturan hukum."

Apa maksud "aturan hukum" bagi penduduk asli? Bagi mereka yang miskin, termarginalisasi... "aturan hukum" berarti menjadi sasaran pembunuhan dan pembantaian
kolektif yang selama ini kita derita. Bukan hanya pada bulan September dan Oktober, tapi untuk bertahun-tahun, ketika mereka mencoba memajukan kebijakan memberantas kemiskinan dan kelaparan di masyarakat Bolivia. Pada akhirnya, "aturan hukum" berarti pengambil alihan milik kita; suku Quechuas, Aymaras dan Guaranties di Bolivia kerap mendengar dari pemerintah kita: bahwa kita pengedar narkoba, bahwa kita kaum anarkis. Kebangkitan rakyat Bolivia kali ini tak hanya terkait dengan minyak dan batu bara, tetapi merupakan persingungan banyak isu: diskriminasi, marginalisasi, dan yang terpenting adalah kegagalan neo-liberalisme.”

Ini merupakan pidato Evo Morales dalam konferensi "Mempertahankan Kemanusiaan" tanggal 24 Desember 2005. Pidato ini disampaikan Evo Morales setelah hasil pemilu menunjukkan ia mendapat 54 persen suara dalam pemilu Presiden di Bolivia.

Simbol perlawanan masyarakat adat Indian yang disematkan pada sosok Evo Morales bukanlah kalimat pemanis tanpa fakta. Lihat saja apa yang dikatakan oleh Luis Macas, presiden dari Confederation of Indigenous Nationalities of Ecuador (CONAIE), sebuah organisasi gerakan sosial yang paling kuat, kemenangan Morales merupakan peristiwa sejarah yang belum pernah terjadi sejak negeri itu merdeka dari penjajahan Spanyol se-abad lalu. Kemenangan Evo bukan hanya kemenangan rakyat Bolivia tapi, juga kemenangan seluruh wilayah Amerika Latin. Ungkapan senada dilontarkan oleh Rigoberto Menchú, seorang aktivis suku Indian Mayan, penerima hadiah nobel perdamaian pada 1992. Baginya, kemenangan Morales merupakan angin segar bagi Masyarakat adat, bahwa kemenangan Morales "merupakan sebuah preseden penting bagi perjuangan sosial di seluruh wilayah Amerika Latin.”

******

Selain menggugurkan tesis Fukuyama, berbagai fenomena yang terjadi di Amerika Latin, khususnya di Bolivia, setidaknya menunjukkan beberapa pelajaran penting, diantaranya: bahwa para pemimpin ini lahir dari rahim pergerakan rakyat. Mereka tidak lahir dari proses demokrasi liberal yang alami, melainkan merintisnya dari jalur gerakan sosial. Mereka bukan presiden dan pemimpin yang memperoleh popularitasnya karena bantuan sms, polling atau pun karena pandai menyanyi atau sedikit ganteng. Mereka juga bukan presiden yang lahir dari partai penguasa, juga bukan lahir dari pengusaha penetek kekuasaan, bukan pula intelektual yang rajin mengobral teori atau agamawan yang selalu berbicara ihwal moral. Berbekal ideologi populis dan kerakyatan, dan pengetahuan yang baik tentang cengkeraman kapitalisme di negerinya, para Presiden Radikal ini terlebih dahulu adalah orang-orang yang menggeluti penderitaan rakyat di masa mudanya. Lula adalah mantan aktivis buruh pabrik, Morales mantan gerilyawan pejuang masyarakat adat, sedangkan Chavez adalah militer berpangkat rendah yang nasionalistik dan dekat dengan aktivis gerakan sosial. Jadi, proses menjadi pemimpin betul-betul ditempa karena pergerakan dan ‘pergaulannya’ dengan rakyat tertindas.

Selain itu, kemenangan para Presiden radikal ini, merupakan sokongan dari aliansi dan konvergensi dari beberapa gerakan sosial yang cukup beragam. Mereka mencerminkan apa yang disebut sebagai Alan Touraine sebagai gerakan sosial baru, yaitu konvegensi dari gerakan masyarakat sipil seperti organisasi buruh, petani tak bertanah, gerakan masyarakat adat, gerakan lingkungan, gerakan mahasiswa, intelektual kota, gerakan keagamaan hingga partai politik dari beragam garis ideologi.***

Penguatan Aspek Sosial Komunitas Masyarakat Adat Untuk Perlindungan dan Pelestarian Hutan Tropis

Prolog

Oleh: Jopi Peranginangin

A. Realitas Kondisi Hutan Tropis di Indonesia
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kawasan hutan tropis terluas di dunia. Setelah Brasil dengan hutan hujan tropis Amazone-nya, Indonesia memiliki sebaran hutan tropis yang sangat luas di hampir seluruh wilayah kepulauannya. Data Departemen Kehutanan menyebutkan luas kawasan hutan Indonesia mencapai lebih dari 120 juta hektar. Namun luas kawasan yang ditetapkan atau pun diklaim tidak merupakan jaminan bahwa kondisi hutan di Indonesia masih baik dan aman.

Hutan yang baik kondisinya di Indonesia saat ini tidak lebih dari 27 % seluruh kawasan hutan yang ada. Dengan laju kerusakan yang mencapai jutaan hektar pertahun – data tahun 2003 menunjukkan laju deforestasi mencapai 2,4 juta hektar per tahun, sementara dalam dua tiga tahun terakhir meningkat mencapai lebih dari tiga juta hektar per tahun. Seperti yang disampaikan Menteri Kehutanan, MS Kaban bahwa Luas kawasan hutan Indonesia 120,3 juta hektar, dan saat ini telah mengalami degradasi total dengan luasan sekitar 59 juta hektar. Bahkan jika hendak dikalkulasikan, bahwa Indonesia telah menghancurkan hutannya kira-kira 51 kilometer persegi setiap harinya, setara dengan luas 300 lapangan bola setiap jam. Angka tersebut diperoleh dari kalkulasi berdasarkan data laporan ‘State of the World’s Forests 2007’ yang dikeluarkan the UN Food & Agriculture Organization’s (FAO). Menurut laporan tersebut sepuluh negara membentuk 80 persen hutan primer dunia, dimana Indonesia, Meksiko, Papua Nugini dan Brasil mengalami kerusakan hutan terparah sepanjang kurun waktu 2000 hingga 2005.

Kondisi ini jelas membahayakan keberlangsungan hidup masyarakat yang berdiam di dalam dan di sekitar hutan. Juga mengancam kelangsungan ekosistem secara keseluruhan, tidak hanya di Indonesia melainkan bumi sebagai planet, dan lebih dari itu menggerus perekonomian negara dan bangsa.

Ancaman dalam ketiga aspek, sosial, ekologi dan ekonomi tersebut jelas telah dirasakan dampaknya. Dalam konteks sosial ada banyak contoh yang menunjukkan merapuhnya keberadaan kelompok-kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar dan di dalam hutan. Kalimantan dan Sumatera saja dapat menjadi bukti bagaimana sekitar 1 juta kelompok masyarakat adat telah menghadapi kesulitan-kesulitan mengekspresikan dan bahkan membuktikan keberadaan mereka dari aspek nilai budaya dan penegakkan otoritas sosial politik di tingkat komunitas. Ini terutama karena sumber budaya dan referensi-referensi sosial politik hukum mereka yang berkaitan dengan hutan telah hilang.

Aspek ekonomi negara juga mengalami kesulitan yang besar dengan adanya ancaman kerusakan hutan yang parah. Hal itu dapat dilihat dari kebijakan pemerintah untuk melarang ekspor kayu gelondongan di samping mendorong peningkatan ekspor hasil hutan non-kayu. Ini menunjukkan bahwa kayu dari hutan sebagai sumber devisa tidak lagi menjadi primadona yang masih melimpah sebagaimana saat pertama kali Presiden (ketika itu) mengucapkan pidato tanpa teks pada 1971 di Solo, yang menyatakan bahwa Indonesia memiliki hutan seluas 120 juta hektar. Saat itu hutan yang disebutkan dapat ditafsirkan sebagai kawasan tutupan hutan, sementara saat ini kawasan hutan tidak dapat ditafsirkan secara sama, karena realitas menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kawasan hutan tidak selamanya berupa kawasan tutupan hutan dengan potensi kayu yang besar.

Sementara itu berbagai bencana banjir, longsor dan kebakaran hutan menjadi bukti yang tak terbantahkan dari kerusakan ekologis akibat kerusakan dan kekeliruan kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan hutan. Tidak perlu menengok ke luar Jawa untuk melihat kenyataan ini. Banjir di Jakarta setiap tahun selalu merupakan banjir kiriman dari daerah Puncak, Bogor dan sekitarnya. Menyikapi ancaman dan dampak yang semakin berat akibat kerusakan hutan, pemerintah telah mengembangkan sejumlah kebijakan pengelolaan hutan dengan tujuan untuk mengerem dan mencegah kerusakan hutan yang lebih parah lagi. Saat ini, Departemen Kehutanan mempunyai kebijakan agar pembangunan diarahkan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan kelestariannya. Cara yang digunakan adalah merehabilitasi hutan yang rusak dan melaksanakan konservasi hutan. Program yang dikembangkan adalah pemberantasan penebangan liar, penanggulangan kebakaran hutan, restrukturisasi hutan dengan cara menutup HPH dan industri yang menggunakan kayu ilegal, rehabilitasi dan konservasi hutan (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan), dan penguatan desentralisasi sektor kehutanan karena pengolahan hutan tidak diketahui oleh masyarakat sekitar hutan . Program tersebut dikemas dalam Social Forestry yang lingkupnya mencakup percepatan rencana rehabilitasi dan konservasi hutan, meningkatkan partisipasi masyarakat, meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang ada di sekitar hutan. Dephut bahkan membahas kebijakan yang mengatur pemberdayaan masyarakat dan pengaturan masyarakat adat untuk pengelolaan hutan.

Namun kita juga mengetahui dari pemberitaan berbagai media massa bahwa praktek pencurian kayu, penebangan liar, pembakaran lahan dan kebakaran hutan terus terjadi. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa dengan berbagai kebijakan yang telah ada tindakan-tindakan perusakan tersebut terus berlangsung? Di satu sisi kita melihat ada peraturan perundangan dan kebijakan tentang pengelolaan hutan, namun di sisi lain terlihat bahwa pelaksanaan dan kontrol dalam pengelolaan hutan tidak pernah mengalami desentralisasi secara sungguh-sungguh. Persoalan lain adalah inisiatif pemulihan kerusakan hutan pada tingkat nasional tidak mengalami realisasi optimal. Demikian kita melihat Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan menjadi sebuah inisiatif yang sangat mahal dengan hasil yang jauh dari harapan. Hal ini antara lain disebabkan karena pelaksanaan dan kontrol atas realisasi inisiatif semacam ini masih bersifat sentralistis dan juga bahwa otoritas pelaksana dan kontrol tidak melibatkan masyarakat sebagai sebuah satuan sosial politik hukum melainkan hanya melibatkan perorangan.

Di tengah kompleksitas persoalan kerusakan hutan dan upaya pemulihannya, ada kelompok-kelompok masyarakat adat yang justru tidak terjebak dalam labirin persoalan kebijakan pelaksanaan program-program pemerintah. Sejumlah komunitas masyarakat adat menunjukkan dengan gamblang bahwa inisiatif pengelolaan hutan yang lestari dapat mereka lakukan secara mandiri dan terkontrol dengan baik. Hal ini berkaitan erat dengan fungsi ekonomi, ekologis dan fungsi sosial budaya hutan bagi komunitas-komunitas tersebut. Dengan demikian menjadi cukup penting dan perlu kiranya menengok model-model pengelolaan hutan oleh masyarakat adat, utamanya konsep hutan adat mereka.

B. Hutan Adat Dalam Tinjauan Historis Hukum dan Problematikanya

B.1 Hutan Adat dalam kancah sejarah hukum Indonesia

Ketika Kolonial Belanda mulai menancapkan dominasinya di Kepulauan Indonesia, kekayaan hutan Indonesia menyimpan potensi luar biasa. Setelah berhasil menancapkan dominasinya atas system ekonomi, politik, hukum di Indonesia, Pemerintah Kolonial Belanda segera mengadopsi system hukum yang menjadi landasan bagi proses pembentukan awal system administrasi hutan Negara, yang hingga kini konsep dan model administrasi hutan ala Kolonial Belanda tersebut masih dipraktekkan. Sistem hukum tersebut memberikan ruang seluas-luasnya bagi Pemerintah untuk mengontrol sumber daya hutan.

Namun dibalik itu, kontrol eksklusif atas pengelolaan hutan oleh Pemerintah Kolonial Belanda tersebut masih menyisakan ruang toleransi terhadap hak-hak adat di wilayah yang berada di luar kontrol efektif pemerintah. Di banyak tempat, khususnya di wilayah-wilayah luar Jawa, bentuk-bentuk pengelolaan serta penguasaan adat atas hutan terus berlanjut dan hanya sedikit mengalami perubahan. (lihat Kotak 1 untuk diskusi tentang konsep adat).

Tiba masa ketika Kemerdekaan Indonesia berhasil direbut anak bangsa. UUD 1945 sebagai konstitusi Negara dirumuskan dan dijadikan sebagai payung hukum bagi semua peraturan dan kebijakan hukum yang dikeluarkan pemerintah. Dalam konstitusi ini semakin memperjelas kedudukan bahwa semua kekayaan alam dikuasai oleh negara. Juga sangat jelas bahwa pemerintah, mewakili negara, bertanggungjawab untuk memastikan bahwa pemanfaatan kekayaan alam adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.

Setelah konstitusi, peraturan terpenting yang mengatur pengelolaan dan distribusi manfaat sumberdaya alam adalah TAP MPR IX/2001. Peraturan ini disahkan sebagai dasar hukum oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001. Secara umum peraturan ini dipandang sebagai peraturan yang menjangkau jauh dan merupakan pernyataan hukum yang eksplisit yang mengharuskan pemerintah untuk berkomitmen secara penuh terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan pembaruan agraria. Dasar hukum tersebut mensyaratkan pemerintah untuk meninjau-ulang, menyesuaikan dan melakukan harmonisasi semua peraturan perundang-undangan yang menyangkut tanah dan sumberdaya alam lainnya. Dasar hukum ini menjadi instrumen kebijakan yang ampuh bagi proses reformasi UUPA (Sukanti 2003).

TAP MPR IX/2001 menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan sektor yang terkait dengan penguasaan sumberdaya alam harus dicabut karena memiliki pengaruh negatif terhadap pemberantasan kemiskinan serta pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam. Peraturan perundang-undangan tersebut harus direvisi, dengan menggunakan pendekatan yang holistik. Pada saat yang sama, TAP MPR IX/2001 memandatkan penyelesaian konflik melalui proses yang hukum yang berkeadilan.

UUPA Tahun 1960 dan UU Kehutanan Tahun 1999 merupakan dua peraturan perundang-undangan yang sangat penting yang berada dalam tatanan hukum di bawah payung TAP MPR IX/2001 dalam mengatur tanah dan sumberdaya alam. Undang-undang tersebut mengatur pengelolaan dan distribusi manfaat dari sumberdaya alam.

Peraturan lain yang mencatumkan hak-hak masyarakat adat dalam ketentuan peraturannya adalah UU Kehutanan No. 5 Tahun 1967, tetapi memperlakukannya sebagai hak-hak pemanfaatan dan pemungutan yang lemah dan mensubordinasinya dengan kepentingan nasional. Lebih jauh, UU Pemerintahan Desa No. 5 Tahun 1979 melucuti lembaga adat dan peran pemimpin adat.

Sementara itu pada UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagai produk hukum di era reformasi tidak mengubah konsep tentang hak-hak penguasaan masyarakat adat bahkan menambah bingung dengan menyatakan bahwa sebagian dari Kawasan Hutan dapat diakui sebagai ’Hutan Adat’ tetapi kawasan tersebut harus diklasifikasi sebagai ’Hutan Negara’. Hal tersebut merupakan kontradiksi hukum yang sangat jelas karena kawasan ’Hutan Negara’ adalah hutan dimana tidak terdapat hak-hak yang berlaku atas lahan di dalamnya, dan ’Hutan Adat’ hanya diakui sepanjang dapat dibuktikan keberadaannya (Colchester et al 2003).

Pengaturan dan ketentuan dalam pembagian kawasan di dalam UU No. 41 Tahun 1999, terbagi atas 2, yakni :
  • Kawasan Hutan Negara, dimana pemerintah (Departemen Kehutanan) telah menetapkan bahwa tidak ada hak kepemilikan privat atas tanahnya; dan,
  • Hutan Hak, dimana tanah dan tutupan tanah dapat dikualifikasikan sebagai hutan tetapi terdapat hak-hak privat di atasnya.

Berdasarkan ketentuan pembagian kawasan diatas, UU No. 41 Tahun 1999 menjadi momok yang ”menghantui” masyarakat adat untuk mengelola hutan adatnya. Karena hutan-hutan adat yang telah dikelola masyarakat adat diklaim sebagai hutan negara. Situasi tersebut yang menjadikan AMAN dengan tegas menolak pemberlakuan UU kehutanan ini.

Merujuk pada alur sejarah hukum di Indonesia terkait pada hak-hak Masyarakat Adat dalam pengelolaan sumber daya alam, Undang-undang dan peraturan lain yang mengkonsolidasikan kekuasaan negara atas lahan hutan yang diberlakukan sepanjang masa pasca-kemerdekaan, memperdalam konflik dan mengintensifkan penghancuran kelembagaan adat. Dewasa ini hanya sebagian kecil saja dari tanah di wilayah Indonesia yang telah memiliki sertifikat kepemilikan privat; tetapi sebagian besar lahan hutan masih dimiliki oleh adat, namun tidak diakui oleh negara, yang mengalokasikan konsesi hutan di atas tanah-tanah adat yang secara turun temurun dimiliki dan dikelola oleh masyarakat.

Pengkuan Komunitas Internasional terhadap hak-hak Masyarakat Adat

Pada level internasional, telah muncul kesadaran baru yang positif atas berbagai kearifan Masyarakat Adat dalam mengelola sumber daya alam. Penghormatan atas kearifan Masyarakat Adat dalam pengelolaan sumber daya alam diwujudkan dalam bentuk pengakuan atas hak-hak Masyarakat Adat yang terumuskan dalam beberapa instrumen hukum internasional. Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, PBB, Tahun 1948) menetapkan bahwa tak seorang pun dapat kehilangan kepemilikannya bahkan jika hal itu tidak terdokumentasi pada surat-surat resmi. Konvensi International Labour Organisation (ILO) 169 mengandung pengaturan-pengaturan tentang hak-hak masyarakat asli dan masyarakat adat yang mensyaratkan penghormatan terhadap kedudukan adatnya serta menyediakan instrumen untuk mengakui dan melindungi hak-hak tersebut. Dinyatakan bahwa kepemilikan masyarakat adat atas tanah harus diakui (ILO 1989). Komisi PBB untuk Pemberantasan Diskriminasi Rasial juga merekomendasikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat untuk memiliki, mengembangkan, menguasai dan memanfaatkan tanah-tanah, wilayah dan sumberdaya komunalnya (CERD 1997).

Pada tahun-tahun belakangan banyak negara yang telah bergerak maju dengan semakin meluasnya pengakuan terhadap klaim masyarakat atas kepemilikan tanah pada Kawasan Hutan. Sepanjang tahun 80-an, pemerintah beberapa negara mulai melakukan reformasi sektor kehutanannya untuk membuka peluang bagi pengakuan hak-hak adat masyarakat atas Kawasan Hutan. Kajian di 24 negara yang memiliki hutan alam yang diperkirakan mencakup 93% luas total hutan dunia yang tersisa menunjukkan bahwa hutan dalam pengelolaan dan penguasaan masyarakat mencapai 22% dari luas total hutan di negara-negara berkembang atau tiga kali luas wilayah yang dikuasai perseorangan dan perusahaan. Banyak dari pengakuan tersebut terjadi sepanjang satu-setengah dekade terakhir ketika kepemilikan atau penguasaan masyarakat atas tanah hutan meningkat dua kali lipat (White dan Martin
2002).

Alasan-alasan di belakang pengakuan terhadap hak-hak adat atas Kawasan Hutan sangat beragam. Salah satu yang penting adalah meningkatnya kesadaran bahwa tata pemerintahan yang baik dalam sektor kehutanan terkait erat dengan keadilan sosial, perlindungan budaya dan agama-agama asli, koherensi masyarakat dan lingkungan politik yang demokratis. Reformasi kebijakan yang dilakukan bertujuan untuk menjamin kejelasan penguasaan melalui aturan hukum berdasarkan konsep filosofis dan tata pemerintahan yang mencerminkan nilai-nilai keadilan sosial, pemberdayaan dan perlindungan budaya.

Sementara hak-hak masyarakat atas tanah merupakan inti dari keadilan sosial, alasan bagi jaminan yang lebih luas melalui kepemilikan tanah secara hukum memiliki makna melampaui landasan etika dari keadilan sosial, pelestarian nilai-nilai budaya serta tindakan-tindakan korektif dari kesalahan di masa lalu. Pengelolaan hutan oleh masyarakat terbukti efektif dalam mengelola dan melestarikan sumberdaya alam secara lebih baik di berbagai wilayah di dunia. Lebih jauh hal tersebut merupakan mekanisme yang ampuh untuk pemberantasan kemiskinan serta memperbaiki efisiensi ekonomi.


B. Hutan Adat dan Problematikanya di Indonesia
Hutan adat adalah kawasan hutan yang berada di dalam wilayah adat yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas adat penghuninya. Umumnya hutan adat dapat dibedakan secara konseptual dan juga dalam praktek kehidupan sehari-hari masyarakat adat dengan hutan biasa dalam pemahaman publik. Hutan adat tidak hanya memiliki fungsi ekologis, ekonomi dan sosial, melainkan juga memiliki fungsi budaya dalam konteks nilai dan ekspresi budaya setempat. Hal ini bersumber dari pandangan hidup atau paradigma kesatuan manusia dengan alam. Pada umumnya komunitas-komunitas masyarakat adat penghuni hutan di Indonesia memandang bahwa manusia adalah bagian dari alam yang harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan serta harmoni.

Dengan demikian persoalan utama dalam menjaga hutan adat adalah persoalan benturan dua paradigma, antara alam sebagai bagian yang satu dengan manusia dan alam sebagai obyek yang harus dieksploitasi dan dikonsumsi. Dalam era globalisasi dan liberalisasi perdagangan, di mana semua sumberdaya mengalami proses komodifikasi, maka terjadi penekanan fungsi ekonomis hutan secara berlebihan akibat tekanan global sementara fungsi sosial dan budaya mengalami pelemahan, juga akibat tekanan pandangan dominan yang menyerbu lewat globalisasi informasi dan komunikasi. Karena itu pertanyaannya bukanlah bagaimana mempertahankan sistem nilai dan pranata-pranata sosial masyarakat adat dalam menjaga hutan di tengah serbuan konsumerisme yang nyata-nyata telah masuk ke dalam kehidupan komunitas mereka, melainkan bagaimana mentransformasikan semua itu untuk dapat mengontrol gelombang tekanan pandangan eksploitatif dan konsumerisme yang hanya mempersoalkan nilai ekonomis hutan.

Penghancuran pranata-pranata adat dalam pengelolaan hutan adat secara sistematis lewat berbagai kebijakan dan peraturan perundangan yang dikeluarkan Rejim Pemerintahan Orde Baru selama lebih dari 3 dasawarsa tidak sepenuhnya berhasil. Banyak studi yang telah membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat adat di Indonesia masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain yang berkembang dan berubah secara evolusioner sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat.

Sampai awal dekade 1970-an, kearifan adat yang sangat beragam ini masih mendominasi sistem pengelolaan hutan di seluruh pelosok nusantara, khususnya di luar Jawa. Masyarakat adat, yang belum banyak diintervensi oleh kebijakan pemerintah yang sifatnya eksploitatif, masih mengelola hutan adatnya dengan otonom untuk menjamin keberlangsungan kehidupan mereka sehari-hari. Hutan terjaga dengan baik, kecuali di Sumatera Utara bagian timur yang sebagian kawasan hutannya telah dikonversi untuk perkebunan skala besar sejak jaman Kolonial Belanda. Perubahan yang sangat drastis baru mulai terjadi di awal 1970-an ketika Rejim Orde Baru yang baru berkuasa mengeluarkan kebijakan penebangan hutan komersial dengan sistem konsesi HPH. Sampai bulan Juli 2000 DEPHUTBUN mencatat ada 652 HPH dengan luas keseluruhan areal konsesi 69,4 juta hektar. Sebagian besar dari kawasan hutan yang dikonsesikan oleh pemerintah kepada perusahaan swasta dan BUMN ini berada di dalam wilayah-wilayah adat. Berdasarkan penafsiran citra landsat HPH periode April 1997 s.d Januari 2000, dari 320 HPH aktif yang luas areal konsesi keseluruhannya 41,2 juta ha diidentifikasi bahwa 28% (11,7 juta ha) hutannya sudah rusak atau menjadi tanah kosong atau lahan pertanian.

Sudah banyak sekali dana dan bantuan teknis dicurahkan oleh masyarakat internasional dan pemerintah dari negara-negara industri untuk menghentikan pengrusakan massif dan ancaman kepunahan hutan tropis ini, tetapi boleh dikatakan hampir semuanya gagal. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) meyakini bahwa solusi terhadap semua persoalan kehutanan di Indonesia hanyalah kearifan adat. Bagaimana pun, kearifan adat yang berbasis komunitas ini merupakan potensi sosial-budaya yang sangat besar untuk direvitalisasi, diperkaya, diperkuat dan dikembangkan sebagai landasan baru menuju perubahan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang selama ini terpusat di tangan pemerintah dan telah terbukti menimbulkan pengrusakan hutan dan memarjinalisasi ekonomi masyarakat adat di seluruh pelosok nusantara beserta habitatnya.

Dengan upaya transformasi yang kreatif terhadap pranata dan kearifan adat untuk pencapaian tujuan-tujuan ekonomis, komunitas masyarakat adat mampu mengelola usaha ekonomi komersial berbasis sumberdaya hutan yang ada di wilayah adatnya (community logging/portable sawmill, community forestry, credit union, dsb.) untuk mengatur dan mengendalikan “illegal logging” yang dimodali oleh cukong-cukong kayu, mengurangi “clear cutting” legal dengan IPK untuk tujuan konversi hutan, dan mencegah penebangan hutan secara legal namun merusak dan tidak berkeadilan seperti IHPHH.

Ada beberapa alasan mengapa peran masyarakat adat sangat sentral dalam pengelolaan hutan di masa depan, yaitu bahwa:

  1. Masyarakat adat memiliki motivasi yang kuat dan mendapatkan insentif yang paling bernilai untuk melindungi hutan dibandingkan pihak-pihak lain karena menyangkut KEBERLANJUTAN KEHIDUPAN MEREKA.
  2. Masyarakat adat memiliki pengetahuan asli bagaimana MEMELIHARA dan MEMANFAATKAN sumberdaya hutan yang ada di dalam habitat mereka.
  3. Masyarakat adat memiliki hukum adat untuk DITEGAKKAN.
  4. Masyarakat adat memiliki kelembagaan adat yang mengatur interaksi harmonis antara sesama anggota komunitas dan antara mereka dengan ekosistem hutannya.
  5. Sebagian dari masyarakat adat sudah memiliki organisasi dan jaringan kerja untuk membangun solidaritas di antara komunitas-komunitas masyarakat adat, dan juga mengorganisasikan dukungan politis dan teknis dari pihak-pihak luar.
Dengan adanya modal sosial dan kapasitas kearifan seperti ini, maka diperlukan beberapa prasyarat bagi pengelolaan hutan yang adil dan berkelanjutan. Beberapa di antaranya adalah:
  1. Kejelasan dan kepastian wilayah kelola masyarakat, menyangkut persoalan-persoalan batas wilayah adat, hutan adat, tata ruang, lokasi-lokasi penting (menurut sejarah, fungsi ekologis, budaya)
  2. Kelembagaan (organisasi) masyarakat yang kuat, berkaitan dengan pengambilan keputusan adat, pelaksana keputusan/ penegakan hukum adat, penyelesaian sengketa.
  3. Praktek-praktek kelola hutan adat yang berkelanjutan
  4. Kapasitas pelaksana/pengelola (sikap, wawasan & keterampilan) dan sosial (solidaritas, nilai-nilai pengikat)
  5. Kebijakan yang berpihak dan kelembagaan pemerintah yang berorientasi pada pelayanan rakyat yang efektif
Namun disadari bahwa prasyarat-prasyarat tersebut di atas merupakan sebuah cita-cita yang pemenuhannya membutuhkan perjuangan jangka panjang dan strategi yang jitu untuk mensinergikan beberapa kepentingan utama, yaitu kepentingan komunitas, kepentingan bangsa dan kepentingan global dalam menjaga keberlanjutan sumberdaya alam, khususnya hutan. Pertimbangan ini membawa AMAN pada sebuah keyakinan akan prioritas pengelolaan hutan yang lestari tanpa mengorbankan cita-cita strategisnya. Prioritas tersebut menempatkan aspek sosial budaya sebagai sebuah bidang yang dapat diupayakan titik temunya dengan kepentingan yang lebih besar, baik bangsa maupun kepentingan global. Aspek sosial budaya diharapkan dapat menjembatani kesenjangan kepentingan dalam aspek ekonomi dan sekaligus memperkuat keselarasan dalam aspek ekologis.

Titik temunya dapat diupayakan melalui sebuah metodologi pendekatan oleh komunitas masyarakat adat terhadap kecenderungan global. Melihat kecenderungan global yang memberikan pengakuan pada upaya-upaya nyata dalam merealisasikan inisiatif-inisiatif orisinil berbagai kelompok kepentingan saat ini, maka sejumlah komunitas telah menunjukkan dengan sangat baik bagaimana mereka menerapkan strategi pendekatan ini. Secara singkat dapat dirumuskan sebagai berikut :
  1. Mendorong berkembangnya inisiatif-inisiatif di tingkat komunitas untuk menjaga dan melestarikan hutan dalam wilayah yang dikenal sebagai wilayah adat ; pengenalan ini berdasarkan rekaman sosio-historis dan sosio-kultural komunitas ;
  2. Inisiatif tersebut kemudian coba direalisasikan melalui tindakan-tindakan sederhana dan efektif dalam menjaga dan memulihkan kondisi hutan baik oleh tokoh adat maupun oleh anggota komunitas ;
  3. Bersamaan dengan itu dilakukan upaya penguatan kelembagaan adat sekaligus penguatan struktur sosial untuk mengontrol pelaksanaan tindakan-tindakan tersebut ;
  4. Penguatan tersebut dilakukan melalui mekanisme sosial yang telah berlangsung turun temurun, yaitu pertemuan komunitas, hanya mengalami modifikasi dan transformasi dalam proses dan mekanisme ;
  5. Mengembangkan hubungan kerjasama dengan berbagai pihak di luar komunitas untuk meningkatkan kapasitas teknis pengelolaan hutan dan menguatkan mekanisme kontrol atas pelaksanaan tindakan-tindakan pemulihan dan pelestarian sumberdaya hutan ;
  6. Sejalan dengan itu, kerjasama dengan pihak lain diarahkan kepada perubahan secara politik pada tataran kebijakan dengan memanfaatkan kesempatan-kesempatan politik dan jalur-jalur negosiasi dan membangun kesepakatan yang lebih luas ;
  7. Menempatkan upaya mendorong adanya pengakuan atas wilayah adat (otonomi komunitas) sebagai tujuan paling akhir dalam jangka waktu yang sangat tergantung pada perkembangan berbagai tahapan di atas pada tingkat lokal, nasional dan global ; sekaligus sebagai tujuan paling strategis dan membutuhkan kontruksi sosial budaya yang terus menerus melalui proses transformasi yang disadari beresiko gagal maupun berhasil ;
Dengan realitas seperti itu maka AMAN memandang perlu untuk mendorong inisiatif yang telah berkembang di beberapa daerah untuk dapat menjadi bahan belajar bersama bagi komunitas-komunitas lain. Beberapa komunitas cukup baik perkembangannya mulai dari proses lahirnya inisiatif sampai menjadi upaya-upaya nyata.

Namun penting untuk dicermati dan didorong lebih lanjut adalah bahwa inisiatif tersebut lahir dari suatu proses sosial melalui diskusi-diskusi yang dibangun oleh anggota komunitas dan tokoh-tokoh adat. Diskusi sebagai bagian proses sosial yang demokratik diarahkan pada upaya solutif pencarian jalan keluar dari kelangsungan pelayanan alam yang semakin tergerus daya dukungnya, akibat dari merosotnya kuantitas dan kualitas sumberdaya hutan di wilayah adat mereka Hal lain adalah bahwa upaya tersebut kemudian dapat diwujudkan menjadi sebuah gerakan sosial di tingkat komunitas, dimana akan terumuskannya secara demokratis berbagai kesepakatan dari rangkaian pertemuan.

Aspek lain yang menjadi perhatian serius AMAN sehubungan dengan upaya transformatif tersebut adalah penguatan komunitas secara berkelanjutan. Upaya mendorong penguatan komunitas secara terus menerus untuk menjadikan inisiatif yang muncul menjadi sebuah upaya kolektif yang terintegrasi dengan kepentingan yang lebih luas, baik pihak maupun isu yang terkait. Ide dan gagasan kreatif yang bersumber pada kearifan lokal merupakan pengalaman bagus yang harus diperluasa sebagai bagian dari proses yang transformatif. Hal ini akan berdampak pada makin meluasnya kesadaran pengelolaan yang lestari ke komunitas lain sehingga menunjang kelangsungan hidup ekonomi komunitas melalui kegiatan yang produktif dan berwawasan lingkungan serta berkelanjutan (sustainable).

Catatan Penutup : Mentransformasikan Ide dan Cerita Kreatif Komunitas

Komunitas-komunitas yang menjadi lokasi proyek, yakni: Komunitas Kasepuhan di Desa Sirna Resmi, Kec. Cisolok, Kab. Sukabumi, Jawa Barat dan Komunitas di Desa Batu Kerbau, Kec. Pelepat, Kab. Bungo, Jambi, merupakan bagian dari anggota AMAN yang telah terbukti memiliki inisiatif dalam menjaga hutan dalam ruang lingkup wilayah, yang menurut pandangan dan pemahaman adat mereka, merupakan wilayah adat. Inisiatif tersebut tidak terlepas dari pemahaman anggota komunitas masyarakat adat setempat akan tata ruang wilayah adat.

Pemilihan dua komunitas tersebut relevan dengan ide dasar dan gagasan awal program, yakni untuk mengembangkan upaya-upaya menuju transformasi nilai-nilai anutan di komunitas-komunitas masyarakat adat dalam rangka meningkatkan dan menguatkan aspek-aspek sosial dan ekologi dalam kehidupan komunitas masyarakat adat serta penguatan upaya-upaya kreatif penyelamatan hutan tropis dan pengembangan alternatif-alternatif ekonomi bagi masyarakat adat.

Pelajaran dari kreatifitas dan kepedulian atas lingkungan hutan yang ditunjukkan 2 komunitas tersebut penting dan perlu untuk menjadi bahan belajar bersama, khususnya di lingkup komunitas-komunitas sekitar dan di dalam hutan maupun komunitas-komunitas daerah lain dalam lingkup anggota AMAN peduli dan bergantung pada keberadaan dan kelestarian sumberdaya hutan. Kebutuhan akan keamanan lingkungan serta kebutuhan ekonomi bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan dan saling mengabaikan. Masyarakat adat di dua komunitas ini telah menunjukkan bahwa kebutuhan ekonomi dapat dipenuhi dengan mensiasati pemanfaatan hasil hutan secara terbatas, baik kayu maupun bukan kayu. Dan seiring dengan itu mereka menunjukkan praktek penjagaan dan perlindungan hutan agar lestari melalui pola produksi maupun penanaman kembali pohon untuk memenuhi kebutuhan keamanan lingkungan, termasuk kebutuhan akan amannya sumber air.

Kadangkala harapan dan keinginan harus berhadapan dengan kendala-kendala yang membuyarkan semua idealisme dan impian. Namun sebagai bagian dari pembagunan gerakan masyarakat adat yang konstruktif, kegagalan dapat dikatakan sebagai kemenangan yang tertunda. Pada aras proyek, keinginan ideal-nya tidak tercapai. Namun, kegalan tersebut adalah ”berkah” bagi AMAN sebagai organisasi gerakan yang membutuhkan kritikan konstruktif untuk membenahi organisasi secara keseluruhan.

Basis argumentasi diatas terkait dengan lokasi pengimplementasi proyek, dimana cukup banyak persoalan yang menyembul dalam proses pelaksanaan. Satu yang dapat dikemukakan disini adalah perubahan pengeloala proyek dilapangan, tidak konsistennya waktu pelaksanaan dilapangan, kurangnya komunikasi dan koordinasi, ketergantungan pelaku pendokumentasian pada peran fasilitator yang tidak lepas dari kurangnya kapasitas dalam pendokumentasian, jarak dan akses transportasi yang sukar dipastikan. Masih ada beberapa catatan penting lainnya terkait dengan penilaian atas pelaksanaan proyek ini.

Namun diluar soal-soal kendala dan hambatan yang muncul, ide dan gagasan kreatif yang bersumber pada 2 komunitas tersebut merupakan ide dan gagasan yang harus diteruskan sebagai upaya transformasi. Ide dan gagasan, atau kearifan adat merupakan warisan dan benteng pertahanan ditengah menjamurnya budaya konsumerisme ditengah-tengah masyarakata adat.

Footnotes

1. Untuk melihat data luasan hutan, silahkan lihat pada situs resmi Departemen Kehutanan: http://www.dephut.go.id/INFORMASI/INTAG/Peta%20Tematik/PL&Veg/VEG_97/LUASTGHK.HTM
2. Pernyataan ini disampaikan Menteri Kehutanan setelah rapat paripurna Kabinet Indonesia Bersatu, di Kantor kepresidenan. Rapat cabinet, yang salah satunya membahas pemaparan menteri yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Lihat: http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2007/04/02/1693.html
3. Menurut FAO, angka deforestasi Indonesia tahun 2000-2005 mencapai 1.8 juta hektar/tahun. Angka ini lebih rendah bila dibandingkan dengan angka resmi yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan yaitu 2.8 juta hektar/tahun. Indonesia masih dibawah Brasil yang menempati tempat pertama dengan kerusakan 3.1 juta hektar per tahun, dengan gelar kawasan deforestasi terbesar di dunia. Namun karena luas kawasan hutan total Indonesia jauh lebih kecil daripada Brasil, maka laju deforestasi Indonesia menjadi jauh lebih besar. Laju deforestasi Indonesia adalah 2% per tahun, dibandingkan dengan Brasil yang hanya 0.6%.
4. Menurut Ginting 2000 dikutip dari Laporan Khusus Down to Earth, Juni 2002; Diperkirakan sebanyak 100 juta dari 216 juta penduduk Indonesia secara langsung menggantungkan hidup mereka pada hutan dan hasil dan jasa hutan. Menurut sumber lain yang lebih konservatif Lynch &Talbott 1995 dikutip dari Aliadi 1999:40-65 juta orang hidup sekitar hutan. lihat Poffenberger, 1990,h.101: pada akhir 1980s, estimasi 30 hingga 40 juta orang hidup sekitar kawasan hutan negara
5. Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.04/Menhut-II/2005 tanggal 14 Pebruari 2005: RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA (RENSTRA-KL) DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2005-2009 [HTTP://WWW.DEPHUT.GO.ID/CONTENT.PHP?ID=67&LEV=0]
6. Ketika Belanda mengambil kendali atas beberapa wilayah tertentu, secara umum mereka tetap mengakui keberadaan adat hingga timbul konflik dengan pemerintahan kolonial pada kasus dimana hukum pihak penguasa diberlakukan.
7. Ketika Indonesia merdeka, negara yang baru itu tetap mengakui keberadaan adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Pasal 18 UUD 45 secara implisit mengakui hak-hak adat dan kelembagaannya, tetapi tetap memperlakukan hak-hak tersebut berada di bawah tujuan-tujuan nasional lain seperti yang ditetapkan negara.
8. UUPA Tahun 1960 menyatakan, ’Hukum adat diakui, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara’. Sekali lagi, bagian terakhir klausul tersebut terus-menerus dikutip untuk melemahkan hukum adat.
9. Komisi tersebut secara khusus menuntut agar negara-negara penandatangan mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat untuk memiliki, mengembangkan, menguasai dan memanfaatkan tanah, wilayah dan sumberdaya komunal. Hal sama juga berlaku dimana masyarakat kehilangan tanah dan wilayah yang dimiliki secara adat, atau dihuni atau digunakan pihak lain tanpa melalui proses informasi dini dan persetujuan tanpa paksaan (FPIC), harus diambil tindakan untuk pengembalian tanah dan wilayah tersebut. Hanya ketika hal tersebut secara faktual dan rasional tidak memungkinkan, pemulihan hak harus diberikan melalui proses yang adil, kompensasi yang benar serta jelas. Kompensasi tersebut sejauh ini umumnya berupa tanah dan wilayah pengganti.