Tuesday, May 31, 2011

Peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional dan Potensi Implikasinya

Tanggal 9 Agustus diperingati sebagai The International Day of World’s Indigenous Peoples atau Hari Masyarakat Adat Se-Dunia. Dan 4 tahun silam, tepatnya pada 9 Agustus 2006 perayaan peringatan Hari tersebut secara besar dan ramai telah diselenggarakan oleh Sub Komisi Ekosob Komnas HAM dengan dukungan Mahkamah Konstitusi, Departemen Sosial, dan Departemen Dalam Negeri dan UNDP Regional Center, Bangkok. Inti dari acara tersebut adalah (i) Penjelasan tentang Kebijakan PBB tentang masyarakat adat; (ii) Pembacaan Deklarasi Pembentukan Sekretariat Bersama Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat; dan (iii) Amanat Presiden Republik Indonesia.

Dalam sambutannya, hal yang penting untuk ditindak-lanjuti adalah seruan Presiden untuk memperkuat upaya perlindungan hak-hak masyarakat (hukum) adat. Hal yang tidak jauh berbeda diserukan dalam sambutan Ketua Komnas HAM, Abdul Hakim Garuda Nusantara SH. LLM. Pertemuan tersebut menurut Hakim, memiliki makna khusus karena dua bulan sebelumnya, Dewan Hak Asasi Manusia PBB yang baru dibentuk, telah menyetujui Deklarasi Hak Masyarakat (Hukum) Adat yang telah dirancang dan dibahas selama Dekade Masyarakat Adat yang pertama (1994 – 2004) dan pada September 2007 draft tersebut telah disetujui oleh Majelis Umum PBB dalam Sidangnya. Hal lain yang sangat penting untuk dicermati adalah (i) pentingnya dilakukan inventarisasi masyarakat (hukum) adat sesuai dengan yang disarankan oleh Mahkamah Konstitusi agar mereka dapat mempunyai legal standing sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi; (ii) Perlindungan hak masyarakat (hukum) adat sudah saatnya dilakukan secara lebih sistematis dan lebih struktural oleh karena pelanggaran yang terjadi juga bersifat sistematik dan struktural; (iii) Penting untuk merealisasikan konsep dan semangat yang tercantum dalam penjelasan UUD 1945 tentang daerah yang bersifat istimewa dengan hak asal-usulnya yang meskipun secara konseptual diakui namun secara konstitusional belum mendapatkan perwujudan yang memadai dalam hal pengakuan dan perlindungannya; (iv) Berdasarkan inventarisasi yang dilakukan oleh Komnas HAM, maka beberapa Provinsi menyatakan bahwa di daerahnya tidak ada lagi masyarakat (hukum) adat sementara di sejumlah Provinsi menyatakan masih ada masyarakat (hukum) adat; (v) Inventarisasi ini dilakukan guna melengkapi daftar komunitas adat terpencil yang sudah dikelola oleh Departemen Sosial berdasarkan SK Presiden Nomor 11 Tahun 1999; dan (vi) Pentingnya harmonisasi hukum dilakukan dalam rangka penguatan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat (hukum) adat.

Jika kita mencermati isi dari sambutan Ketua Komnas HAM ini, maka nampak bahwa secara eksplisit atau tersurat memang dinyatakan mengenai pentingnya pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat (hukum) adat. Namun yang penting diwaspadai adalah pernyataan bahwa hal itu perlu dilakukan secara lebih sistematik dan struktural sebagaimana bagian yang diberi cetak tebal di atas.

Mengapa ini perlu diwaspadai? Marilah kita berandai-andai.

Pengandaian pertama adalah menduga secara positif bahwa semua upaya ini akan berjalan sebagaimana yang kita bayangkan selama ini dalam upaya gerakan masyarakat adat. Ada dua hal dalam gerakan masyarakat adat yang penting untuk menjadi pegangan dalam menilai inisiatif-inisiatif lain yang berkembang di luar jaringan gerakan yang terwadahi dalam AMAN. Pertama adalah soal otonomi komunitas masyarakat adat dan kedua adalah adanya ruang untuk prinsip egaliter dan self-determination. Jika memang arah dari inisiatif yang didorong di Komnas HAM memang mengarah kepada otonomi komunitas dan dengan itu juga memberi atau mengakui otoritas di komunitas untuk mengurus diri sendiri (self-determination dalam wujud self-governance system), maka berterima kasihlah kepada Komnas dan semua institusi negara yang telah mendorong ke arah tersebut. Cara untuk mengujinya adalah menawarkan agenda-agenda yang telah ada di AMAN yang bertujuan untuk mencapai apa yang dicita-citakan tersebut dan melihat apakah tawaran tersebut menemukan sambutan yang diharapkan atau tidak. Apakah arah yang dimaksud dalam gerakan masyarakat adat yang diusung oleh AMAN memang dipandang tepat oleh para pengusung inisiatif inventarisasi masyarakat (hukum) adat yang ada di Komnas dan lembaga-lembaga negara disebutkan di atas?

Pengandaian kedua adalah memandang bahwa seluruh inisiatif tersebut memang diarahkan untuk membunuh konsep masyarakat adat dan wacana gerakan untuk kedaulatan komunitas atas sumber-sumber agraria/sumberdaya alam. Jika memang arahnya ke sana maka kita harus menolak dengan segala upaya inisiatif yang telah dicetuskan melalui pertemuan di Taman Mini Indonesia Indah pada peringatan Hari Masyarakat Adat Se-Dunia tersebut. Beberapa hal yang perlu untuk dipelajari lebih lanjut dapat dirumuskan berupa pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

§ Perlu diperiksa apakah inisiatif tersebut merupakan ”negaraisasi” masyarakat adat dalam arti menempatkan masyarakat adat sebagai sebuah struktur yang secara keseluruhannya merupakan sebuah struktur terendah dalam bangunan Negara Republik Indonesia? Hal ini penting, karena jika demikian yang terjadi, maka tidak ada ruang kewenangan masyarakat, karena yang ada hanyalah kewenangan negara;

§ Pembentukan Sekretariat Nasional Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, dari judulnya dalah sebuah konsep yang menarik. Namun dari situ dapat terjadi sebuah upaya kontra wacana terhadap seluruh konsep gerakan masyarakat adat yang diusung AMAN. Mengapa? Karena Sekretariat Nasional Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat ini dari konsepnya adalah mengenai masyarakat hukum adat, yang per definisi akan mengarah kepada komunitas-komunitas yang oleh Departemen Sosial diidentifikasikan sebagai Komunitas Adat Terpencil, yang seluruh konsep dasarnya tidak merujuk kepada pendekatan hak-hak dasar masyarakat adat untuk mengurus diri sendiri dan terutama hak atas sumberdaya agraria di dalam wilayah yang dikenal sebagai ruang hidup mereka. Konsolidasi Sekretariat ini telah menunjukkan gejala akan dilakukan melalui Pemda dan sangat efektif dalam memobilisasi masyarakat karena menggunakan fasilitas dan kelengkapan struktur negara.

§ Pelemahan gerakan itu bisa terjadi melalui pendekatan kultural, dan targetnya adalah para elit-elit adat yang feodal, dan ini akan didorong menjadi konsep ”dengan nama lain” dan kemudian ”membunuh” isu masyarakat adat dengan menuduh gerakan masyarakat adat sebagai sebuah konsep kembali ke feodalisme.

§ Hal ini akan kembali menguatkan konsep memasukan masyarakat adat ke dalam struktur negara agar dapat diatur sesuai dengan ”perkembangan jaman” dan tidak bertentangan dengan prinsip negara Indonesia.

§ Terkait dengan konsep otonomi komunitas masyarakat adat yang didorong oleh AMAN, inisiatif ini akan membunuh itu. Karena setelah memobilisasi wacana bahwa masyarakat adat adalah para elit feodal – dan setelah itu membunuh konsep masyarakat adat sebagai komunitas otonom – maka otonomi yang kemudian didorong adalah yang berhenti di Kabupaten.

Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara XI di Medan

Sebuah Reportase

Pagi itu, 17 Maret 2010, ribuan orang dari komunitas adat Rakyat Penunggu telah memenuhi lapangan Merdeka, Kota Medan. Dengan antusias, mereka memenuhi tiap sudut lapangan yang menjadi salah satu landmark Kota Medan tersebut. Mereka hadir untuk merayakan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara (HKMAN) XI. Cuaca yang cerah seolah memberi restu bagi Masyarakat Adat yang tergabung dalam AMAN untuk merayakan hari kebangkitannya.

Baliho dan spanduk bertebaran di tiap sudut lapangan. Kalimat-kalimat tuntutan mendominasi isi spanduk. Baliho raksasa berdiri kokoh mengapit panggung utama. Baliho raksasa tersebut memuat kalimat yang menjadi tema utama, yakni “Dengan Perayaan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara 17 Maret 2010: Kita Ciptakan Indonesia Sebagai Rumah Aman Bagi Masyarakat Adat Nusantara dan Sub Tema: Sukseskan Undang-Undang Tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat.” Tema utama ini dimaksudkan untuk menggalang aksi-aksi kolektif masyarakat adat untuk mempercepat disahkannya UU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat yang sudah terdaftar dalam Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) 2010-2014. Selain itu, tema tersebut untuk menggalang dukungan dari berbagai pihak untuk menyelesaikan sengketa dan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) terhadap Masyarakat Adat.

Dalam konteks lokal, penyelenggaraan HKMAN XI ini dimaksudkan sebagai ajang menggalang dukungan untuk komunitas-komunitas adat di Sumatera Utara dalam mengampanyekan isu, tuntutan dan eksistensi mereka. Selain itu, konsolidasi dukungan untuk RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat harus dilakukan pada berbagai tingkatan, untuk mendesak Pemerintah, DPR RI dan DPD RI agar segera mengagendakan dan membahas RUU tersebut, dengan mengadopsi UNDRIP sebagai acuan dan meminta masukan-masukan dari Masyarakat Adat Anggota AMAN.

Saat matahari merambat naik ke atas kepala, terik pun mulai membakar kulit namun tak seujung kukupun massa mencair. Dengan tetap meneriakan yel-yel pembakar semangat, massa tetap solid dalam barisan mengikuti semua prosesi acara.

HKMAN adalah bukti eksistensi Masyarakat Adat

Dalam pidatonya, Sekjend AMAN Abdon Nababan memberikan apresiasi tinggi terhadap pemerintah yang sudah mulai mengakomodir hak-hak Masyarakat Adat. Dengan tegas, Sekjend AMAN meminta agar ada penyelesaian yang baik terhadap kasus-kasus yang sedang menimpa berbagai komunitas masyarakat adat di seluruh Nusantara. Tak lupa juga, Sekjen AMAN mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung RUU pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Pada akhir pidatonya, Abdon Nababan mengajak peserta perayaan untuk mengheningkan cipta, dan memanjatkan doa buat para pejuang Masyarakat Adat yang telah bahu-membahu memperjuangkan hak-haknya untuk mandiri secara ekonomi, berdaulat secara politik dan bermartabat secara budaya.

Kesempatan selanjutnya diberikan ke Pemangku adat BPRPI untuk memberikan sambutannya. Dalam sambutannya, Pemangku Adat BPRPI menyampaikan bahwa HKMAN merupakan momentum penyatuan langkah bersama Masyarakat Adat se-Nusantara untuk terus berjuang bersama-sama mencapai cita-cita. Cita-cita meraih pengakuan dan perlindungan bagi hak-hak masyarakat adat. Masyarakat Adat harus terus memperjuangkan hak-hak-nya meski darah harus tertumpah. Demikian akhir dari sambutan pemangku adat BPRPI.

Ketua Umum PB BPRPI, Alfi Noeh dalam sambutannya meminta pemerintah daerah untuk memperlakukan masyarakat adat dengan baik. Terkait dengan konflik antara Masyarakat Adat BPRPI dengan PTPN II, Alfi Noeh memnta agar PTPN II mulai memikirkan cara-cara bijaksana dalam menyelesaikan sengketa dengan Rakyat Penunggu yang tergabung dalam BPRPI. Bagi Rakyat Penunggu, PTPN II tidak ada manfaatnya. Pun demikian juga PTPN II tidak membawa untung bagi pemerintah daerah. Ketua umum BPRPI dengan tegas meminta Wakil Gubernur Sumut untuk berani dalam membantu perjuangan Rakyat Penunggu. Dan dengan tegas mengatakan akan berada dibelakang Wakil Gubernur jika ada pihak-pihak yang mengganggu upaya baik Wagub dalam menyelesaikan sengketa yang melibatkan Rakyat Penunggu.

Wakil Ketua Komnas HAM, Ridha Saleh menyampaikan beberapa hal dalam pidatonya. Beliau menyampaikan bahwa HKMAN telah memperlihatkan tentang eksistensi masyarakat adat yang harus terus dipertahankan keberadaan, dan hak-hak-nya harus dilindungi. Selanjutnya, beliau mengatakan masih banyak persoalan dan konflik yang terjadi. Terutama konflik dalam pengelolaan sumber daya alam yang melibatkan Masyarakat Adat dengan Pemodal. Terkait RUU Masyarakat Adat, Ridha Saleh mengharapkan UU ini akan menjadi UU payung bagi pemerintah dalam menyusun UU sektoral yang terkait dengan Sumber Daya Alam.

Pidato selanjutnya adalah Wakil ketua DPRD I SUMUT. Beliau mengajak semua pihak untuk bersama-sama mengawal RUU tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Pengawalan ini dimaksudkan agar isi dan tujuannya tercapai seperti yang diinginkan.

Sejalan dengan pidato-pidato sebelumnya, Wagub Sumut, Gatot Pujonoegroho meminta kepada semua pihak agar acara ini dapat menumbuhkan komitmen sebagai wujud pengabdian kepada bangsa dan negara. Wagub mengatakan selama ini banyak benturan yang terjadi antara pemilik modal dan masyarakat adat di seluruh Nusantara. Sehingga, HKMAN ini harus dijadikan sebagai momentum untuk menjadikan masyarakat adat sebagai warga kehormatan di negara ini. Tugas pemerintah adalah melayani dan memperjuangkan kemerdekaan bagi rakyat semua. Wagub juga menyampaikan 2 hal: bahwa setiap perjuangan membutuhkan militansi yang disertai doa. Memanjatkan doa kepada Tuhan agar membantu perjuangan dan menyadarkan pejabat bahwa bahwa dunia ada batasnya, dan kelak para pejabat itu akan dimintai pertanggungjawaban atas semua perbuatannya. Wagub juga mengharapkan agar AMAN terus mengembangkan konsep-konsep yang dinamis dan berkembang sesuai dengan situasi agar hak-hak Masyarakat Adat diakui. Hal ini terkait dengan RUU yang harus terus dikawal agar UU ini menjadi jalan keluar dalam memecahkan persoalan-persoalan Masyarakat adat. Dan pelibatan Masyarakat adat dalam Pembangunan adalah sebuah kemutlakan dan keharusan agar pembangunan berjalan lancar.

Sebagai pemuncak acara adalah peluncuran Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Koordinator BRWA, Kasmita Widodo dalam sambutannya menyampaikan bahwa BRWA dibentuk sebagai upaya untuk mengakomodir wilayah-wilayah adat yang sudah di petakan. Hal ini sangat penting agar dapat di ketahui publik dan menjadi dokumen bagi seluruh masyarakat Indonesia, dan dapat dipergunakan sebaik-baiknya. Peluncuran BRWA secara resmi dilakukan oleh Wakil Gubernur Sumatera Utara dengan membuka penutup baliho BRWA. Peluncuran BRWA dilanjutkan dengan penyerahan sertifikat BRWA kepada wilayah Adat yang sudah dipetakan, yakni: Wilayah adat Enggano Bengkulu, Lusan Riau, Lewolema Flores, Pulau Nasi NAD dan Lodang Sulawesi Selatan.

Selanjutnya acara ditutup dengan pembacaan doa agar semua yang diharapkan dapat terwujud.

Kepastian Hak bagi Masyarakat Adat dalam Perubahan Iklim

Perubahan Iklim dan dampaknya telah terlihat dan dapat dirasakan dengan nyata. Seluruh komponen masyarakat di seluruh dunia mulai dari peneliti, pelaku ekonomi, aktivis, politisi dan masyarakat telah mengakui pentingnya upaya untuk menghadapi perubahan iklim demi kelangsungan kehidupan di bumi. Salah satu rekomendasi ilmiah adalah pengurangan penyebab perubahan iklim (mitigasi) melalui pengurangan emisi gas rumah kaca. Ini adalah akibat dari laju pengrusakan hutan yang tinggi.

Pemerintah dan pelaku bisnis dari seluruh dunia menyediakan dana hibah, pinjaman dan investasi di Indonesia untuk mengurangi emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD). Pemerintah Indonesia, pada tingkat kabupaten, propinsi dan nasional, sedang menyusun kebijakan yang terkait dengan mitigasi perubahan iklim dan pengurangan emisi dari pengrusakan hutan, terutama yang berkaitan dengan tanah/lahan yang berhutan dan kawasan hutan.

Dari penelitian para pakar, tanah/lahan dan kawasan hutan sebagian besar dikelola, dihuni atau dimiliki oleh masyarakat adat. Namun demikian, hingga saat ini kebijakan pemerintah dan rencana mengenai REDD belum secara langsung memberikan pengakuan hak-hak masyarakat adat terhadap tanah-tanah adat. Kebijakan tertulis yang tengah disusun dan berlaku bahkan tidak mengakui peran serta pembalakan kayu skala industri, pasokan kayu untuk bubur kertas dan konversi hutan untuk perkebunan sawit sebagai penyebab kerusakan hutan dengan laju yang pesat. Seluruh kegiatan ini menyumbang emisi karbon yang tinggi.

Isu perubahan iklim ini sangat terkait dengan ketidakadilan global yang bersifat struktural dan sudah seharusnya menjadi agenda advokasi yang terus-menerus, bukan saja bagi masyarakat adat, tetapi juga bagi pemerintah dan organisasi-organisasi non pemerintah lainnya. Di samping terlibat dalam upaya advokasi untuk perubahan di tingkat global, peran masyarakat adat juga sangat strategis dalam berbagai upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global ini melalui tindakan-tindakan lokal.

Ditengah ketidakberdayaan kelembagaan masyarakat adat, proses migitasi dan adaptasi perubahan iklim akan semakin melemahkan posisi kelembagaan masyarakat adat. Oleh sebab itu maka hal penting yang perlu dilakukan oleh komunitas masyarakat adat dan lembaga pendukung adalah penguatan komunitas adat dan merevitalisasi kapasitas kelembagaan masyarakat adat dalam menangani proses-proses migitasi dan adaptasi perubahan iklim.

Kebutuhan akan pengakuan wilayah hutan adat sebagai alat untuk menghadapi proses-proses adaptasi dan mitigasi perubahan iklim serta antisipasi terhadap bencana kemanusiaan adalah sebuah kebutuhan untuk meminimalisasi dampak yang ditimbulkan terkait tatanan kehidupan masyarakat adat.

Persiapan Masyarakat Adat dalam Menghadapi Perubahan Iklim dan REDD

Indonesia termasuk negara yang sangat rawan terkena dampak perubahan iklim mengingat negara ini merupakan negara dengan ribuan pulau kecil dan besar. Perubahan iklim telah menjadi issue lingkungan global yang paling krusial beberapa tahun terakhir ini dan mulai menjadi perhatian politik internasional. Banyaknya prediksi scientific mengenai kemungkinan-kemungkinan bumi akan menghadapi berbagai bencana serius sebagai dampak dari perubahan iklim ini, langkah-langkah serius mulai diambil sebagai upaya untuk mempersiapkan mitigasi dan adaptasi, untuk mengurangi resiko-resikonya. Salah satunya adalah memperkuat pengetahuan masyarakat adat tentang perubahan iklim itu sendiri.

Untuk menajamkan pengetahuan Masyarakat Adat mengenai perubahan iklim, 4 orang narasumber dihadirkan untuk menyampaikan pandangan dan gagasannya tentang perubahan iklim, REDD dan dampak-dampaknya terhadap masyarakat adat. Ke-empat panelis tersebut adalah Mina Susana Setra (AMAN), A.Ngaloken Gintings (Departemen Kehutanan), Tami Yuki Uno (Program Officer UNREDD), Prasetyadi (Kementerian Lingkungan Hidup). Kasmita Widodo (JKPP) bertindak sebagai moderator dalam seminar ini.

Menimbang Peluang dan Tantangan REDD

Selanjutnya moderator mempersilahkan Mina dari AMAN sebagai narasumber pertama untuk menyampaikan pandangan-pandangannya terkait dengan perubahan iklim. Direktur Advokasi Internasional AMAN tersebut mengemukakan beberapa persoalan terkait dengan perubahan iklim dan masyarakat adat. Dalam materinya, Mina menjelaskan sebaran komunitas adat anggota AMAN yang dibagi dalam 7 (tujuh) region. Banyak komunitas-komunitas adat tersebut yang hidup dan tinggal pulau-pulau kecil serta dataran tinggi. Ancaman bagi komunitas-komunitas adat itu kini telah didepan mata, yakni perubahan iklim. Karena perubahan iklim turut mempengaruhi siklus perladangan komunitas-komunitas adat yang mata pencahariannya bertani. Hal ini terjadi karena sulitnya memprediksikan musim penghujan sebagai dampak dari perubahan iklim. Jika musim hujan tiba, bencana banjir pun terjadi. Jika musim kemarau, maka bencana kekeringan yang muncul. Lihat saja data WHO pada 2007, terjadi bencana ada banjir dan tanah longsor yang menyebabkan 70 ribu rumah hancur, dan kerugian mencapai 140 juta US dollar. Sementara itu menurut data yang dikeluarkan Departemen Pertanian pada 2006, banjir telah mengakibatkan hancur-nya sekitar 600 ribu hektar lahan pertanian. Dan ancaman untuk komunitas-komunitas adat yang tinggal di pulau-pulau kecil adalah meningkatnya permukaan air laut. Dampak langsungnya adalah kehancuran biota dan ekosistem laut. Peningkatan permukaan air laut akan menenggelamkan pulau-pulau kecil tersebut.

Akibat perubahan iklim tersebut, PBB meresponnya dengan membentuk konvensi kerangka kerja PBB untuk perubahan iklim. Lantas apa yang dapat dipelajari dari perubahan iklim tersebut bagi masyarakat adat? Perubahan iklim dan krisis ekonomi yang berlangsung dapat dijadikan sebagai bahan kritik atas paradigma ekonomi pembangunan yang ada selama ini, yang menyebabkan kerusakan alam. Disinilah momentum bagi masyarakat adat untuk mengajukan sistem ekonomi yang mampu menjaga kelangsung alam.

Saat ini, ada diskusi di PBB tentang penyelamatan hutan yang masih tersisa. Bagaimana caranya? Negara-negara industri dan kaya yang berkontribusi besar atas terjadinya perubahan iklim, akan membayar negara-negara yang masih ada hutannya agar dilestarikan. Karena diskusi ini terkait dengan hutan, maka orang mulai bicara tentang masyarakat adat, karena sebagaian besar masyarakat adat tinggal di kawasan hutan. Masyarakat adat mulai terlibat dalam banyak diskusi, untuk memastikan bahwa hak masyarakat adat terjamin dalam proses negosiasi di level internasional.

Apa peluang dan tantangan REDD ini? Peluangnya bagi masyarakat adat adalah, pembicaraan tentang masyarakat adat semakin intensif. Melalui diskusi di PBB, yang terkait dengan hutan, banyak sekali diskusi tentang masyarakat adat. Peluang lain adalah meluasnya inisiatif untuk menyelamatkan hutan. Kemudian pengakuan hubungan masyarakat adat dengan hutan, dan pengelolaannya serta dorongan pelaksanaan deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat. Masyarakat adat bisa memakai deklarasi itu untuk melindungi wilayah adatnya.

Tantangannya adalah bagaimana masyarakat adat itu mau terlibat. Pertama adalah UU No 41 tentang kehutanan, yang menyebutkan hutan adat adalah hutan negara yang ada di wilayah masyarakat hukum adat. Jadi hutan adat itu adalah punya negara, maka dia bagi-bagi untuk tambang, perkebunan, HPH, dan lain-lain. Ini yang jadi masalahnya. Isu lain adalah pembangunan di negara Indonesia masih tergantung pada sumber daya alam. Otomatis akan merusak sumber daya alam yang ada. Ada banyak tumpang tindih kebijakan. Persoalan lain adalah belum adanya UU perlindungan masyarakat adat. Ini yang harus diperjuangkan oleh masyarakat adat, kurang terlibat dalam proses negosiasi di level internasional. Misalnya pemerintah mau diskusi dengan PBB tentang perubahan iklim, tapi tidak ada masyarakat adat yang terlibat di situ, juga dalam pembuatan kebijakan.

Mina menghimbau kepada komunitas-komunitas adat untuk secara teliti melihat tawaran yang ada terkait dengan REDD. Persetujuan harus didahului dengan penyampaian informasi yang benar. Kemudian harus dilakukan pemetaan wilayah adat terlebih dahulu untuk menentukan batas administrasi negara dengan wilayah adat. Kemudian beberapa kebijakan harus di amandemen, seperti UU No. 41, dan pencabutan kebijakan yang merugikan masyarakat adat. Dan terakhir kesimpulanya adalah No right No REDD.

Isu Baru : REDD Plus?

Pembicara kedua adalah Prasetiyadi dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), yang menekankan pada dua point penting dari konvensi PBB. Dalam konvensi itu diakui bahwa negara maju adalah penyumbang terbesar emisi. Dan negara berkembang relatif rendah tapi akan terus meningkat. Kedua adalah konsentrasi gas rumah kaca ini harus distabilkan. Menjelang konferensi PBB tahun 2007 lalu, ada rencana aksi nasional menghadapi perubahan iklim. Tujuanya adalah mengarusutamakan isu. Selanjutnya, Indonesia menjadi tuan rumah konferensi perubahan iklim.

Terkait dengan emisi karbon dari hutan, Prasetiyadi menyampaikan bahwa kerusakan hutan menyumbang emisi 25% yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Indonesia, Brasil dan Papua New Guena adalah yang paling besar. Dan perlu intervensi kebijakan untuk mengurangi laju kerusakan hutan di negara berkembang. Dan beberapa negara berkembang termasuk kita adalah kontributor utama dari rumah kaca.

Terkait dengan REDD. Bila di kelola dengan baik, akan bermanfaat bagi rakyat. Ada perbedaan deforestasi dengan degradasi. Deforestasi adalah dari hutan menjadi bukan hutan. Degradasi ada diantara hutan dan non hutan, secara definisi dia masih hutan tapi turun kualitasnya dan mengemisikan gas rumah kaca. Penyebab deforestasi dan degradasi itu ada dua jenis. Deforestasi yang sudah terencana dimana hutan teralokasikan untuk pemukiman, perkebunan, dan lain-lain. Tapi juga ada yang tidak terencana misalnya karena kebakaran hutan, ilegal loging, dan lain-lain. Ada isu baru yaitu REDD plus, menambahkan konservasi, yang meingkatkan peran masyarakat lokal dalam REDD. REDD Plus ini masih tahap negosiasi, terutama fungsi masyarakat lokal dalam monitoring.

Upaya mengurangi dampak negatif perubahan iklim di sektor Kehutanan

Pembicara ketiga, A.Ngaloken Gintings (Dephut) menyampaikan materinya yang terkait dengan perubahan iklim dan REDD. Sebagai negara kepulauan dengan belasan ribu pulau dan ketergantungan yang besar terhadap pertanian (pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan), Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim, baik dari sisi lingkungan, sosial, ekonomi.

Dalam paparannya, A.Ngaloken Gintings menjelaskan bahwa REDD itu bersifat sukarela, jika menguntungkan maka gunakanlah. REDD menjadi penting karena hutan adalah penyerap karbon. Tidak hanya hutan, sawit, karet, semua menyerap karbon. Hutan sesuai dengan fungsinya juga berbeda dalam daya serap thp C dan emisi. Kemudian kegiatan-kegiatan dalam bidang kehutanan dapat dihubungkan dengan kegiatan mitigasi dan adaptasi. Dan kegiatan mengurangi Deforestasi dan Degradasi lebih mudah dan waktunya lebih singkat dibanding dengan kegiatan penanaman

Kemudian A.Ngaloken Gintings menjelaskan upaya mengurangi dampak negatif perubahan iklim di sektor kehutanan dengan mitigasi dan adaptasi. Mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim adalah masalah survival. Mitigasi adalah meningkatkan kapasitas hutan dalam penyerapan dan penyimpanan karbon. Semua kegiatan penanaman hutan adalah mitigasi, misalnya HTI, HTR, HR,GERHAN, Indonesia menanam. Mempertahankan stok carbon melalui konservasi hutan. Kemudian pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi, misalnya PHL, pencegahan illegal logging, penanggulangan kebakaran, pencegahan konversi dan perambahan.

Sementara Adaptasi adalah meningkatkan resiliensi ekosistem hutan dan adaptabilitas sektor kehutanan terhadap kejadian ekstrim yang terkait dengan perubahan iklim. Program-program di level internasional adalah program-program capacity building, transfer teknologi dalam rangka adaptasi.

UN-REDD

Sebagai pembicara terakhir adalah Tami Yuki Uno. Program Officer UN-REDD ini menjelaskan tentang UN-REDD sebagai lembaga kerjasama untuk membantu Indonesia dalam menyusun skema REDD. UN-REDD menggandeng Departemen Kehutanan untuk mengimplementasikan program-programnya.

Menurut Tami Yuki Uno, REDD menjadi penting karena kira-kira 20% deforestasi terjadi di negara-negara berkembang. Biaya untuk mengurangi emisi di negara maju sangat mahal sekali, sementara biaya untuk menjaga hutan lebih murah. UN REDD ada 9 negara. Dan di Indonesia bekerjasama dengan Dephut, Bappenas, Dewan Nasional untuk Perubahan Iklim (DNPI) dan Departemen Keuangan. Jika REDD dipraktekkan maka negara-negara maju akan membayarnya.

REDD juga penting untuk komunitas lokal karena REDD akan memberi kesempatan buat mereka untuk mengelola hutan. Masalah akan muncul jika ada investor dari luar untuk REDD, dan bagaimana kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan tersebut. Sehingga komunikasi dan sosialisasi menjadi sangat penting. Saat ini UN REDD sedang menyusun program demonstrasi di Gorontalo.

Penutup

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) memperkirakan bahwa dari sekitar 210 juta penduduk Indonesia, antara 50 sampai 70 juta diantaranya adalah masyarakat adat. Dari jumlah tersebut, AMAN juga memperkirakan bahwa 30 - 50 juta di antaranya adalah masyarakat adat yang kehidupannya masih tergantung dengan hutan adat, yaitu ekosistem hutan yang berada di wilayah adatnya.

Fakta mengatakan, banyak wilayah hutan adat yang telah dirampas untuk kegiatan eksploitasi yang cenderung meningkatkan pelepasan emisi ke atmosfer sebagai akibat belum adanya pengakuan atas wilayah dan hutan adat. Pelindungan atas wilayah kelola masyarakat adat beserta sumberdaya hayati yang terkandung didalamnya adalah solusi untuk mereduksi konsentrasi gas rumah kaca (GRK) dengan sebuah aksi nyata di tingkat komunitas.

Dalam hal ini, dibutuhkan suatu kerja-kerja kolektif jangka panjang untuk mendorong pengakuan dan kepastian hak kepemilikan atas wilayah, hutan dan sumber daya alam Masyarakat Adat. Sebagai langkah awal dari inisiatif ini, suatu persiapan yang matang, baik di tingkat lokal dan nasional, menjadi suatu kebutuhan yang mendesak untuk dilakukan.

Materi Pengantar Workshop Nasional Penyiapan Masyarakat Adat Tentang REDD dan Climate Change

Sebuah Catatan dari Workshop

Pelaksanaan workshop nasional ini dilakukan untuk mendiskusikan informasi yang muncul pada saat seminar tentang perubahan iklim dan REDD. Sekretaris Jendral AMAN, Abdon Nababan menyampaikan materi pengantar yang akan menjadi bahan diskusi bagi para peserta untuk merumuskan strategi masyarakat adat dalam menghadapi perubahan iklim.

Dalam materi pengantarnya, Abdon Nababan menjelaskan tentang situasi yang dihadapi dunia, dan akan mempengaruhi kehidupan masyarakat adat, yakni perubahan iklim. Disadari sepenuhnya bahwa jalan keluarnya adalah ketika masyarakat adat merapatkan barisan untuk memulihkan dirinya dengan praktek-praktek pengelolaan sumber daya alam. Masyarakat adat berpotensi menjadi korban, tapi sangat berpotensi menjadi solusi. Maka masyarakat adat harus mempersiapkan dirinya.

Keberadaan anggota AMAN sekarang ini ada di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, NTT, Maluku dan Papua. Jumlah ini akan bertambah karena dalam raker kali ini, AMAN sudah mempersiapkan anggota baru yang akan disahkan nanti. Inilah anggota AMAN yang harus dipersiapkan untuk menghadapi perubahan iklim tersebut. Baik sebagai jalan keluar atau sebagai korban.

Siklus pertanian akan berubah, karena perubahan iklim. Bagi masyarakat adat di pesisir dan pulau kecil, naiknya suhu bumi juga akan mempengaruhi, karena mencairkan es di kutub dan akan meningkatkan permukaan air. Dan dipastikan secara ilmiah, dimana para ahli memprediksi itu akan terjadi, akan ada pulau-pulau yang tenggelam dan berkurang luas pulaunya.

Sebelumnya sudah didiskusikan pra syarat untuk terpenuhi agar masyarakat adat bisa berkontribusi secara nyata untuk mencegah perubahan iklim. Pra syarat itu adalah, soal kepastian hak atas wilayah adat. Untuk mengelola wilayah adat. Apapun solusi yang ditawarkan pemerintah atau institusi lain, kalau tidak ada jaminan dan perlindungan terhadap masyarakat adat dan pengelolaanya maka solusi itu akan sulit diraih. Kedua, masyarakat adat harus merebut ruang hidup bagi sistem pengetahuan lokal dan sisem adat asli yang hidup di masyarakat adat, sehinggga sistem ini bisa efektif melakukan kewajiban adatnya untuk memelihara alam. Kalau ini hidup, maka alam akan seimbang.

Dalam 2 tahun 4 bulan ini, pengurus besar AMAN (PB AMAN) sudah masuk ke ruang-ruang kebijakan yang mungkin bisa dimasuki. Dalam konsultasi masyarakat adat se Asia untuk perubahan iklim. AMAN terlibat dalam perundingan internasional.

Perubahan Iklim dan Peluang-nya

Jadi dalam situasi ini maka perubahan iklim harus ditempatkan sebagaii peluang. Ketika pemerintah di dunia, organisasi internasional tak punya harapan untuk masalah ini, maka kepemimpinan masyarakat adat ditunggu. Bagaimana kepemimpinan itu dikelola? Supaya persoalan mendasar yang selama 10 tahun dibicarakan bisa dibawa ke arena internasional.

Sehingga sangat penting untuk menggandeng LSM dan akademisi, untuk memperkuat tekanan dan mengintensifkan intervensi AMAN dalam arena kebijakan. Dalam situasi seperti ini, masyarakat adat harus lebih aktif, lebih keras, karena ruangnya sudah terbuka.

Kebijakan-kebijakan yang selama ini meminggirkan masyarakat adat akan diangkat kembali. Jadi masyarakat adat harus bersuara lebih keras dan masuk ke arena politik lebih cepat. Kedua, masyarakat adat harus menata dirinya. Bagaiamana mau mendorong pengakuan atas hutan adat, jika hutan adat masih dikendalikan oleh taman nasioanl, HPH. Selanjutnya membangun pusat informasi tentang masyarakat adat. Data masyarakat adat harus ada dan lengkap. Data ini akan menjadi alat negosiasi yang efektif. Karena data masih menjadi kelemahan organisasi AMAN.

Ada banyak capaian yang harus di sasar dalam kerja-kerja mendatang. Misalnya untuk masyarakat adat, harus mempersiapkan diri untuk masuk dalam proses penyelesaian sengketa. Apakah masyarakat adat sudah punya tim perunding jika muncul permasalahan? Hanya sebagaian saja yang sudah punya. Kemudian mempersiapkan masyarakat adat untuk melakukan dan mengembangkan upaya litigasi dan adaptasi.

Pemerintah Indonesia hingga kini tidak punya sikap atau rencana yang sistematis untuk mengurus dampak perubahan iklim. Padahal hal rakyat akan menjadi korban. Pada momentum seperti inilah, masyarakat adat harus menunjukkan bahwa dirinya dapat diandalkan sebagai solusi. Karena itu masyarakat adat akan pro aktif membantu pemerintah. Misalnya dengan menyediakan data dan informasi untuk menyelesaikan tata ruang yang tumpang tindih. Dan masyarakat adat akan memantau pelaksanaanya. Masih banyak lagi cara-cara pro aktif untuk membantu pemerintah ini.

Organisasi masyarakat adat harus mengorganisir kelompok-kelompok profesional dan akademisi yang memiliki keahlian di bidangnya masing-masing. Keahlian mereka dibutuhkan untuk mendukung perjuangan masyarakat adat. Selama ini, keahlian mereka telah disalahgunakan untuk mendukung kebijakan pemerintah yang menyesatkan. Para akademisi ini harus dibekali pengetahuan yang tidak ada di bangku kuliah. Mereka harus dibekali dengan pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki masyarakat adat. Dengan demikian, konsolidasi kelompok masyarakat sipil akan berjalan massif, terutama untuk menghadapi meluasnya ancaman perubahan iklim. Pengetahuan modern ala bangku kuliah berkolaborasi dengan pengetahuan tradisional yang sudah teruji dalam memelihara keseimbangan alam.

Masyarakat Adat Menata diri: Menuju Masyarakat Adat yang Berdaulat, Mandiri dan Bermartabat

Reportase dari Raker AMAN

Hubungan hutan dan iklim sangatlah erat, hutan membantu untuk menjaga stabilitas lingkungan, hutan juga merupakan komponen penting dalam siklus karbon secara global, besarnya CO2 (carbon dioksida) yang tersimpan dalam ekosistem hutan merupakan suatu penyangga penting dalam proses menjaga perubahan iklim (climate changes).

Berangkat dari persoalan di atas, selama kurang lebih 5 (lima) hari, terhitung sejak 4 – 9 Agustus 2009, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyelenggarakan serangkaian kegiatan yakni: Konsultasi Konsultasi Nasional Masyarakat Adat Mengenai Perubahan Iklim dan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan (REDD), kemudian dilanjutkan dengan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) AMAN, dan dipuncaki dengan perayaan Hari Masyarakat Adat Internasional

Konsultasi nasional dan Rapat kerja tersebut dihadiri sekitar 139 orang yang terdiri dari utusan Pengurus Wilayah dan Daerah serta anggota Dewan AMAN, wilayah dan daerah. Turut hadir pula para deklarator AMAN yang membidani lahirnya AMAN sebagai organisasi pada 1999. Mereka berkumpul untuk merumuskan program kerja dan strategi-strategi organisasi AMAN ke depan, terutama dalam menyiapkan masyarakat adat anggota AMAN dalam merespon isu REDD dan Perubahan Iklim. Hal ini terekam jelas dalam sesi pembukaan kegiatan.

Seperti yang disampaikan oleh Ketua Panitia Raker, Kamardi SH pada acara pembukaan, bahwa berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya merupakan pilar dari masyarakat adat hasil rumusan Kongres AMAN 3, Pontianak pada 2007. Ada beberapa kemajuan yang dilakukan AMAN terkait dengan perubahan iklim yang mengancam eksistensi wilayah adat tersebut, baik pada ranah advokasi nasional maupun internasional, diantaranya adalah pada level internasional mendorong pemerintah untuk menandatangani deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat (UNDRIP). Pada ranah advokasi nasional, AMAN terus-menerus mendesakkan agar deklarasi ini di adopsi dalam sistem hukum nasional, termasuk tuntutan UU dan kementerian khusus masyarakat adat.

Perjuangan yang membutuhkan energi luar biasa besar tersebut sangat mungkin dilakukan dengan organisasi yang solid dan kuat. AMAN sendiri secara organisasi masih butuh pembenahan, terutama terkait dengan akurasi data anggota, rumusan Anggaran Rumah Tangga (ART) dll.

Masih pada sesi pembukaan, Koordinator Dewan AMAN, I Nyoman Swardana menyampaikan pandangannya bahwa rumusan ART yang akan dibahas dalam Raker kali ini harus dijadikan acuan untuk mengarungi kehidupan bermasyarakat adat. Dia menekankan pentingnya konsolidasi untuk memperkuat posisi masyarakat adat di masa-masa yang akan datang.

Sementara itu Sekretaris Jendral AMAN, Abdon Nababan coba merefleksikan perjalanan AMAN sebelum menyampaikan kata sambutannya. Dalam refleksinya, Abdon Nababan mengatakan bahwa sesungguhnya sejarah perjuangan AMAN sudah lebih dari 10 tahun lalu. Sebelum AMAN berdiri sebagai organisasi, para pendiri AMAN sudah berjuang di kampungnnya masing-masing. Merekalah yang berjuang dan berjasa membangun fondasi AMAN. Untuk mengenang jasa para pendiri tersebut, Abdon Nababan meminta para peserta untuk mengheningkan cipta sejenak.

Selesai mengheningkan cipta, Abdon Nababan menyampaikan kata sambutannya. Dalam pidato sambutannya, Sekjend AMAN menekankan pentingnya membicarakan ulang cita-cita masyarakat adat untuk hidup merdeka, dan juga pemenuhan atas hak-haknya. Dan perjuangan untuk menuju masyarakat adat yang berdaulat tersebut tidak bisa disandarkan kepada orang lain. Hanya masyarakat adat itu sendiri yang bisa menentukan nasibnya, dan membuat keputusan untuk diri mereka. Terutama keputusan untuk menentukan penggunaan/pengelolaan kekayaan alam, seperti hutan, tanah, laut dan sebagainya. Namun keputusan yang ada harus lahir dari sebuah proses yang demokratis melalui musyawarah adat. Musyawarah adat adalah satu warisan yang menunujukan kedaulatan masyarakat adat.

Abdon Nababan juga menekankan perjuangan untuk kemandirian ekonomi. Agar masyarakat adat cukup pangan, pakan dan sandang. Syarat menuju kemandirian ekonomi tersebut telah dimiliki secara turun temurun oleh masyarakat adat. Segenab kekayaan alam yang berada di wilayah-wilayah adat, dan dibarengi dengan sistem pengelolaan yang arif serta berkelanjutan merupakan syarat untuk terwujudnya kemandirian ekonomi masyarakat adat.

Bahkan sejak 10 tahun lalu, para aktivis gerakan masyarakat adat telah mengatakan bahwa masyarakat adat adalah solusi bagi persolaan bangsa ini. Masyarakat adat akan menjadi jalan keluar dari krisis global yang berlangsung hingga kini. Lihat saja, ketika krisis ekonomi, energi, pangan dan ekologi tengah mengancam saat ini, para pemimpin dunia berteriak agar kembali ke sistem kearifan tradisional dan memprioritaskan keseimbangan alam.

Di ujung pidatonya, Sekjend AMAN menyampaikan ideologi masyarakat adat yang tidak mengandalkan uang untuk hidup, melainkan sistem adatnya. Ideologi masyarakat adat lebih dari Sosialisme. Karena masyarakat adat mengabdi pada sistem kehidupan, bukan sekedar antara manusia. Hingga terjadilah keseimbangan alam yang berkelanjutan. Saat ini, ada tantangan besar dihadapan masyarakat adat. Perubahan iklim adalah tantangan besar itu. Perubahan iklim terkait dengan kelangsungan kehidupan penduduk bumi, sehingga masyarakat internasional berharap banyak dari masyarakat adat. Olehnya, masyarakat adat harus menata dan memperkuat dirinya untuk membantu kehidupan penduduk bumi.

Sementara itu, sebagai pembicara terakhir pada sesi pembukaan ini, Abah Asep menyampaikan rasa hormatnya dan ucapan selamat datang kepada para peserta raker AMAN. Abah Asep mengucapkan rasa syukur karena masih banyak komunitas-komunitas adat yang keukeuh pada adatnya. Rusaknya sistem adat akan merusak sistem kenegaraan. Sehingga adat seharusnya menjadi persoalan penting bagi negara. Dalam pidato sambutannya, Abah Asep menyampaikan beberapa persoalan yang dialami masyarakat adat di Kasepuhan Sinar Resmi. Satu diantaranya adalah konflik antara masyarakat adat dengan pengelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Konflik ini di picu karena keberadaan UU No. 41 tahun 1999 yang menghapus hutan adat dalam klausulnya. Bagaimana mungkin hutan adat yang telah di kelola secara turun temurun oleh masyarakat adat kemudian ditetapkan sebagai hutan negara, tanpa menyisakan hak pengelolaan untuk masyarakat adat. Masyararakat adat dilarang memasuki hutan adatnya, apalagi jika mengambil sumber daya yang ada didalam hutan adat tersebut. Jika ketetapan ini dilanggar maka mereka akan dipenjarakan. Sehingga, diharapkan dalam Raker AMAN ini ada sebuah rumusan terkait dengan pencabutan UU No. 41 tahun 1999.

Di akhir pidatonya, Abah Asep menekankan pentingnya bagi para aktivis gerakan masyarakat adat untuk merebut posisi-posisi penting dalam pemerintahan dan legislatif. Sehingga persoalan-persoalan yang mengganggu kehidupan masyarakat adat saat ini bisa segera diselesaikan, dan tidak terulang kembali. Karena jika orang-orang adat yang duduk di pemerintahan dan legislatif, maka kebijakan yang mereka keluarkan pasti akan berpihak terhadap masyarakat adat.

Sesi pembukaan ini kemudian dilanjutkan dengan pemukulan gong oleh Abah Asep sebagai tanda bahwa kegiatan resmi di buka. Acara selanjutnya setelah resmi dibuka adalah Konsultasi Konsultasi Nasional Masyarakat Adat Mengenai Perubahan Iklim dan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan (REDD).