Wednesday, February 4, 2009

Menunggu Purnama


Aku lelah bertanya kenapa, dan tidak punya kekuatan lebih untuk menduga mengapa. Aku merasa semua darimu penuh rahasia, begitu jauh, begitu tak terjangkau. Ada kalanya hangat hatimu membuat aku nyaman, dan sinar matamu mampu timbulkan rona merah di pipiku, tapi lalu kau menarik dirimu, tapi lalu kau menjauh dariku.


Di seberang jalan, tampak sosok bayang hitam berkelebat dan sedari tadi telah menunggumu. Bayang itu adalah bayang setan yang telah menghantui hari-hari mu. Dia menggantung seperti kelelawar dengan kepala menjuntai ke bawah. Taring-nya mulai keluar ketika dia melihat mu menuju ke arahnya. Dalam hitungan detik, bayang itu melompat dan berubah ujud menjadi manusia. Alisnya tebal dan hampir menyatukan kedua baris alisnya. Jenggot-nya tertata rapi melengkung laksana bangsawan Arab yang mengagungkan jenggot sebagai bentuk Machoism. Keagungan kodrati laki-laki atas perempuan, yang tidak bisa dibantah (kata mereka)! Dia memegang tombaknya yang panjang dan lancip. Tombak itu sering diacungkan dan ditusukan ke tubuh mu.


Senyum bayang hitam itu semakin melebar, dan tetesan air liur semakin deras keluar dari sela-sela giginya. Dia melihat mu seperti seonggok daging segar yang akan di santab. Dan dalam sekejab pula, ketika kamu sejarak 1 langkah darinya, ujudnya berubah total menjadi manusia. Manusia yang berhasil menaklukan mu dan membuat mu mengiba-iba untuk dapatkan cintanya. Cinta seorang anak pengusaha kulit tersamak di Jalan Raya Bogor. Dia yang selalu menghadiahkan mu kemasan video berisi sosis, tarian erotis, bahkan keahlian permainan tombak.


Pernah dulu kau ceritakan padaku tentang dia, dan satu kali pernah kudengar tentang hatimu padanya. Satu kali kau pernah siratkan tentang dia, satu kali mampu membuatku muntah dan hilang arah, dan berkali-kali kurasakan bencimu padanya. Tapi kau tak kuasa keluar dari bayangnya. Kau masih terus menunggunya, menantinya, dan mengharapkan cintanya. Walau kamu harus berbagi dengan perempuan lain, asal hidup bersamanya, itu pun akan kau lakukan. Perjuangan dan pengorbanan mu sudah pada titik nadir yang membusukkan cinta itu sendiri. Karena dia tidak cinta sama kamu. Dia cuma ingin tubuh mu, tapi tidak menginginkan cinta mu apalagi hati mu. Lembaran kisah masa lalu antara kamu dan dia, hanya lembaran hitam penuh noda. Sejuta pohon alasan dan kemunafikan tumbuh subur di ujung lidahnya. Untuk terus membuai mu dalam gulungan lembut awan, dan tak ingin dia melepasmu hingga tubuh mu melapuk termakan cintamu. Tak ada cinta tanpa pengorbanan, dan pengorbanan itu tak kunjung dilakukannya untuk meraih cinta mu. Baginya, tak pantas laki-laki berkorban untuk cinta kaum pribumi. Pribumi hanya seonggok daging bagi mereka, yang siap di makan kapan saja.


Sementara, aku, terus mematung dan membatu menyaksikan kalian berdua. Ku berlindung dibalik tiang listrik. Sejurus, kalian berpelukan mesra. Tangan mu menggelayut manja di lehernya. Dan kamu membiarkan serbuan ciuman yang bertubi-tubi menghujam jenjang indah leher mu, dan seluruh tubuh mu. Dia mulai mengeluarkan tombaknya yang lancip dan menghujamkan ke tubuh mu. Terdengar erangan dari mulut mu. Ku cuma bisa menatap episode ini dari balik tiang listrik.


Dia pergi setelah puas melampiaskan semua tumpahan libidonya, meninggalkan mu dalam lunglai dan bunga cinta mu yang membusuk. Dia pergi berkelebat ke arah lorong gelap, sambil tertawa membaha dan mencari mangsa lain. Onggokan daging yang di tusuk dengan tombaknya yang lancip.


Ku coba mendekati mu, namun ada sepasang mata lain yang turut mengawasi mu. Kamu memanggilnya, sepasang mata itu, dan mengajaknya berdansa walau lunglai tubuh mu.


Aku coba bersabar. Karena cinta ku pada mu jauh lebih agung dari 4 pasang mata lainnya. Kunyatakan pada mu, bahwa aku punya cinta. Tapi kamu tidak menjawabnya. Kamu tak juga menyatakan cinta mu pada ku. Kau buat aku berada di ruang hampa udara yang melayangkan tubuhku tak tentu arah. Aku lelah bertanya mengapa, mengapa aku tidak bisa mengerti logika dalam kepalamu. Mengapa sulit bagiku untuk meraba hatimu, karena kini jelas untukku, tidak ada logika dalam cintaku padamu.


Jika perahu tidak bisa berjalan. Semoga bukan sebab layar sengaja diturunkan. Melainkan akibat musim tanpa angin. Dengan demikian…ada kesempatan bagi hati dan lengan untuk mengayuh dayung agar perahu sampai.

Di tengah-tengah kehampaan jiwa. Aku mendengar deburan ombak melambung tinggi seperti khayalku. Inginku bukan seperti ini, mengapa…!! Bayang kalbu menyilaukan bayang-bayang semudi batin yang tersiksa. Haruskahku menanti sang purnama. Di dalam keegoan yang seolah dikuasai oleh amarah dan nafsu semata.

Mungkinkah ku mampu, mengalahkan bisingnya jiwa di tengah kehancuran diri. Rasanya diri ini dinaungi kabut hitam yang seolah-olah merangkaikan kisah sedih di pagiku ini


Apa yang harus kulakukan dengan cintaku padamu?



04022009

Tuesday, February 3, 2009

HAMPA


Saat langkahmu menjauh dan dirimu tak terlihat lagi, Kurasakan dalam hati dan dalam benakku…
Aku merasa sepi meretih.....

Aku mau kamu ada, di saat aku membuka mata dan ketika semburat merah menyapa di ufuk fajar.

Aku mau kamu ada, saat aku menutup mata. Ketika selimut malam mulai turun, dan sinar bintang mulai menyala laksana lentera firdaus.

Aku mau kamu ada di setiap menitku. Di antara titik airmataku. Di antara tawa bahagiaku. Di sela-sela canda.

Karena saat langkahmu menjauh…kusadari satu hal, Aku merasa…Kosong
Selaksa jiwa yang tidak tergenapi......Aku hanya separuh asa tanpamu.


Gamang


Ada setumpuk cerita tentang perempuan yang menangis, karena puisi? Kau terlalu banyak menorehkan garis di lengkung alis. Sedang aku terbata-bata mengejar punggungmu yang terus menepis. Kau terlalu banyak meretas jalan. Menunggang angin seperti layangan lupa pada tali. Sedang aku tak butuh puisi untuk makan siang. Hanya sedikit cinta jika pula masih tersisa


Pulanglah ke rumah semula meski alisku tak selebat yang kau puja. Kita sudah terlalu tua untuk menorehkan dusta. Karena waktu semakin melancip ke tanah kuburan. Kepada siapa kau ingin meninggalkan cerita?. Kepada aku, atau debu yang merona di ujung senja


Lekuk-lekuk ular jalanan telah aku lalui, kenangan bersama kabut yang dekapku, sedap khas pegunungan masih tersisa di helai rambut hidungku. Gerimis tipis saat kabut memayungi menjadi bagian tersendiri yang selalu terngiang bila hujan turun di pesisir. Keping-keping telah retak yang tak mungkin lagi menyatu.


Tapi...Kalau kau mau mencariku. Aku ada di sudut lain menuntut perhatianmu. Yang tulus dan hanya untukku. Datanglah dengan hatimu yang tulus, hanya untukku...Karena aku tak sanggup berbagi dengan dia, dia dan dia.


Aku tak berharap banyak apalagi mendekapmu, seperti saat kau dekap layar biduk berhembus ke samudra, bersama terombang-ambing di tengah debur kehidupan hingga fajar menjelang saat angin pesisir mengusirmu kembali kepegunungan. Doaku semoga angin gunung tetap segar. Kini tinggal pesisir bersama biduk mendekap sepi.