Tuesday, February 3, 2009

Gamang


Ada setumpuk cerita tentang perempuan yang menangis, karena puisi? Kau terlalu banyak menorehkan garis di lengkung alis. Sedang aku terbata-bata mengejar punggungmu yang terus menepis. Kau terlalu banyak meretas jalan. Menunggang angin seperti layangan lupa pada tali. Sedang aku tak butuh puisi untuk makan siang. Hanya sedikit cinta jika pula masih tersisa


Pulanglah ke rumah semula meski alisku tak selebat yang kau puja. Kita sudah terlalu tua untuk menorehkan dusta. Karena waktu semakin melancip ke tanah kuburan. Kepada siapa kau ingin meninggalkan cerita?. Kepada aku, atau debu yang merona di ujung senja


Lekuk-lekuk ular jalanan telah aku lalui, kenangan bersama kabut yang dekapku, sedap khas pegunungan masih tersisa di helai rambut hidungku. Gerimis tipis saat kabut memayungi menjadi bagian tersendiri yang selalu terngiang bila hujan turun di pesisir. Keping-keping telah retak yang tak mungkin lagi menyatu.


Tapi...Kalau kau mau mencariku. Aku ada di sudut lain menuntut perhatianmu. Yang tulus dan hanya untukku. Datanglah dengan hatimu yang tulus, hanya untukku...Karena aku tak sanggup berbagi dengan dia, dia dan dia.


Aku tak berharap banyak apalagi mendekapmu, seperti saat kau dekap layar biduk berhembus ke samudra, bersama terombang-ambing di tengah debur kehidupan hingga fajar menjelang saat angin pesisir mengusirmu kembali kepegunungan. Doaku semoga angin gunung tetap segar. Kini tinggal pesisir bersama biduk mendekap sepi.



No comments: