Friday, January 30, 2009

Bayangan angin yang berkelebat


Sore ini mestinya milik kita

Tapi laut menculik mentari dari pelukan
Cakrawala memias tanpa rona
Camar-camar menjauh, menyisakan sunyi
Juga langit yang muram

Dia milikmu seutuhnya. Aku “mungkin” pernah terlintas di hatinya, tapi secuil saja. Jangan khawatir. Aku mencintainya : cinta yang kadang kala menyakitkan, cinta yang terlalu besar untuk disingkirkan, cinta yang sesungguhnya. Kamu, sang iblis tidak akan pernah mencintainya sepertiku, kamu tidak memahaminya, kamu tidak bisa mendengar. Kamu hanya ingin menikmati daging segar yang dihidangkannya untuk menyenangkanmu.

Kenapa?

Karena dia tidak cerita ke kamu, hai iblis! Dia tidak pernah cerita tentang aku ke kamu tapi dia cerita ke aku segalanya! segalanya tentang kamu. Kadang hati ini meronta, menangis, minta kebebasan. Sering hati ini berteriak! melantunkan nada sedih. Aku sendiri suka tidak mengerti, mengapa aku masih mencintainya. Aku cemburu melihatnya bersamamu tapi tak kuasa tuk membentenginya.

Padahal setiap hari yang diimpikannya cuma kamu, kamu, dan kamu. Ketika dia menatapmu, senyumnya begitu tulus dan bahagia. Ketika aku menatapnya, indah bola matanya seolah menari menyisir ruang. Tentu saja! Aku pernah menginginkannya, aku berharap, sampai sekarang pun aku masih berharap tapi aku sadar, hatinya tidak pernah buatku seutuhnya.

Apa ruap isi hatinya? Tentu saja kamu, kamu, dan kamu. Sebesar apa pun hatinya, aku tak akan muat di situ, aku juga tak memaksa..

Kalau sampai kamu patahkan hatinya, kamu sakit jiwa : gila! tak punya hati kalau sampai itu terjadi, kamu lebih jahat dari pembunuh. Dan aku akan datang pada mu dengan belati terhunus. Untuk mencabik-cabik tubuh iblis mu.

Kamu tidak perlu takut akan keberadaanku karena sekalipun aku ingin mengambilnya darimu, aku tidak akan pernah bisa. Karena baginya, aku hanya bayangan! Bayangan angin yang berkelebat.

Hati yang terjatuh dan terluka merobek malam menoreh seribu duka. Kukepakkan sayap-sayap patahku mengikuti hembusan angin yang berlalu menancapkan rindu. Di sudut hati yang beku ia retak, hancur bagai serpihan cermin, berserakan!

Sebelum hilang diterpa angina, sambil terduduk lemah kucoba kembali mengais sisa hati bercampur baur dengan debu. Ingin kurengkuh kugapai kepingan di sudut hati hanya bayang dan samara lantas, ia menghilang saat mentari turun dari peraduannya. Tak sanggup kukepakkan kembali sayap ini ia telah patah tertusuk duri-duri yang tajam hanya bisa meratap meringis mencoba menggapai sebuah pegangan.

Malam ini mestinya milik kita
Tapi awan merebut rembulan dari kepungan bintang
Langit hanya jelaga, seperti jubah hitam dalam rimba
Anjing melolong di kejauhan,
giris luar biasa
Aku di sini: seperti debu yang sendiri....

No comments: