Tuesday, January 7, 2014

Doa Panjang Akhir Tahun 2013 : Kisah Konflik Agraria Tanpa Akhir

Sejak mula manusia sudah sadar akan ketergantungannya pada alam. Alam dan sumberdaya kandungannya adalah sumber hidup material manusia, sumber budaya dan bahkan sumber inspirasi spiritual. Dengan kata lain, alam dan sumberdaya adalah salah satu syarat keberadaan manusia. Namun ini bukan semata sebuah kesadaran linier yang dapat diprediksi. Karena tingkat kesadaran selalu berbeda dan ukuran keberadaan pun selalu bermacam-macam. Maka tidak semua itu baik adanya. Konflik antar manusia adalah buktinya.

Sejak mula pula kisah konflik antar manusia telah melegenda dalam alam sadar dan bawah sadar manusia. Kisah anak-anak Adam yang saling bunuh mungkin sebuah kisah yang banyak diketahui. Mengapa konflik? Karena pihak yang satu merasa keberadaannya terancam oleh keberadaan pihak lain. Pada tataran sebuah kelompok masyarakat atau komuniti, kondisi ini diantisipasi dengan memperkuat mekanisme dan pranata pencegah atau juga pranata untuk beraksi bilamana konflik pecah dalam wujud kekerasan.

Pranata itu bisa sebuah institusi, bisa pula produk-produk institusi. Dan tindakan membangun pranata itulah yang gagal dilakukan oleh Pemerintahan SBY. Pranata tersebut gagal karena dibangun hanya untuk mengelabui rakyat. Kebijakan sebagai sebuah produk dari pranata misalnya, dikeluarkan hanya untuk memfasilitasi modal, rakyat seakan dilupakan. Lihat saja kebijakan di sektor agraria secara umum, khususnya sektor perkebunan. Rakyat seperti dihilangkan dalam klausul kebijakan. Indikatornya adalah konflik yang kian marak.

Jumlah konflik agraria di Indonesia sepanjang 2013 meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan dengan tahun lalu. Konflik warga dengan perusahaan perkebunan dan pertambangan paling sering terjadi.

Peningkatan konflik terutama terjadi di provinsi-provinsi tempat perusahaan perkebunan dan pertambangan berekspansi. Sebab, perusahaan-perusahaan itu mendapatkan izin penggunaan lahan atas lahan dalam wilayah kelola masyarakat. Dalam beberapa tahun terakhir, tercatat rata-rata perluasan lahan perkebunan sawit mencapai 500.000 hektar per tahun. Apalagi, pemerintah mendukung ekspansi dengan menghapus batasan luas lahan perkebunan besar. Sebelumnya, setiap perusahaan mengelola maksimal 100.000 hektar.

Konon bahaya paling besar bagi kemanusiaan dan kelangsungan ras manusia di Bumi adalah manusia sendiri. Ceritera konflik agraria, barangkali, puluhan atau ratusan tahun ke muka akan menjadi sebuah kisah dalam kitab-kitab yang dipelajari tentang bagaimana manusia menghancurkan sesamanya melalui pengerukan besar-besaran isi perut Ibu Bumi sebelum akhirnya menghancurkan Ibu Bumi itu sendiri. Akankah kisah air bah akan terulang karena Bumi makin panas? Bukankah makin hari makin banyak industri, makin banyak sumber energi yang melepaskan panas ke angkasa dari rumah-rumah dan makin tipis pelindung Bumi?

Bukan hanya hutan yang hilang sebagai pelindung, tapi tanah tempat kita berpijak dan orang-orang arif yang memandang alam sebagai syarat eksistensial manusia makin punah diterjang mesin-mesin sekelompok manusia lain yang hidup dalam ilusi akan dunia baru yang dapat diciptakannya dari kertas-kertas yang bernama uang?

Tahun 2013 telah lewat, Doa panjang rakyat yang menjeritkan derita akan kembali bergaung ke langit: Tinggalah bersama kami ya Tuhan karena senjakala telah menyongsong Bumi ini. Tinggalah bersama kami. Amin.