Tuesday, May 31, 2011

Masyarakat Adat Menata diri: Menuju Masyarakat Adat yang Berdaulat, Mandiri dan Bermartabat

Reportase dari Raker AMAN

Hubungan hutan dan iklim sangatlah erat, hutan membantu untuk menjaga stabilitas lingkungan, hutan juga merupakan komponen penting dalam siklus karbon secara global, besarnya CO2 (carbon dioksida) yang tersimpan dalam ekosistem hutan merupakan suatu penyangga penting dalam proses menjaga perubahan iklim (climate changes).

Berangkat dari persoalan di atas, selama kurang lebih 5 (lima) hari, terhitung sejak 4 – 9 Agustus 2009, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyelenggarakan serangkaian kegiatan yakni: Konsultasi Konsultasi Nasional Masyarakat Adat Mengenai Perubahan Iklim dan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan (REDD), kemudian dilanjutkan dengan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) AMAN, dan dipuncaki dengan perayaan Hari Masyarakat Adat Internasional

Konsultasi nasional dan Rapat kerja tersebut dihadiri sekitar 139 orang yang terdiri dari utusan Pengurus Wilayah dan Daerah serta anggota Dewan AMAN, wilayah dan daerah. Turut hadir pula para deklarator AMAN yang membidani lahirnya AMAN sebagai organisasi pada 1999. Mereka berkumpul untuk merumuskan program kerja dan strategi-strategi organisasi AMAN ke depan, terutama dalam menyiapkan masyarakat adat anggota AMAN dalam merespon isu REDD dan Perubahan Iklim. Hal ini terekam jelas dalam sesi pembukaan kegiatan.

Seperti yang disampaikan oleh Ketua Panitia Raker, Kamardi SH pada acara pembukaan, bahwa berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya merupakan pilar dari masyarakat adat hasil rumusan Kongres AMAN 3, Pontianak pada 2007. Ada beberapa kemajuan yang dilakukan AMAN terkait dengan perubahan iklim yang mengancam eksistensi wilayah adat tersebut, baik pada ranah advokasi nasional maupun internasional, diantaranya adalah pada level internasional mendorong pemerintah untuk menandatangani deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat (UNDRIP). Pada ranah advokasi nasional, AMAN terus-menerus mendesakkan agar deklarasi ini di adopsi dalam sistem hukum nasional, termasuk tuntutan UU dan kementerian khusus masyarakat adat.

Perjuangan yang membutuhkan energi luar biasa besar tersebut sangat mungkin dilakukan dengan organisasi yang solid dan kuat. AMAN sendiri secara organisasi masih butuh pembenahan, terutama terkait dengan akurasi data anggota, rumusan Anggaran Rumah Tangga (ART) dll.

Masih pada sesi pembukaan, Koordinator Dewan AMAN, I Nyoman Swardana menyampaikan pandangannya bahwa rumusan ART yang akan dibahas dalam Raker kali ini harus dijadikan acuan untuk mengarungi kehidupan bermasyarakat adat. Dia menekankan pentingnya konsolidasi untuk memperkuat posisi masyarakat adat di masa-masa yang akan datang.

Sementara itu Sekretaris Jendral AMAN, Abdon Nababan coba merefleksikan perjalanan AMAN sebelum menyampaikan kata sambutannya. Dalam refleksinya, Abdon Nababan mengatakan bahwa sesungguhnya sejarah perjuangan AMAN sudah lebih dari 10 tahun lalu. Sebelum AMAN berdiri sebagai organisasi, para pendiri AMAN sudah berjuang di kampungnnya masing-masing. Merekalah yang berjuang dan berjasa membangun fondasi AMAN. Untuk mengenang jasa para pendiri tersebut, Abdon Nababan meminta para peserta untuk mengheningkan cipta sejenak.

Selesai mengheningkan cipta, Abdon Nababan menyampaikan kata sambutannya. Dalam pidato sambutannya, Sekjend AMAN menekankan pentingnya membicarakan ulang cita-cita masyarakat adat untuk hidup merdeka, dan juga pemenuhan atas hak-haknya. Dan perjuangan untuk menuju masyarakat adat yang berdaulat tersebut tidak bisa disandarkan kepada orang lain. Hanya masyarakat adat itu sendiri yang bisa menentukan nasibnya, dan membuat keputusan untuk diri mereka. Terutama keputusan untuk menentukan penggunaan/pengelolaan kekayaan alam, seperti hutan, tanah, laut dan sebagainya. Namun keputusan yang ada harus lahir dari sebuah proses yang demokratis melalui musyawarah adat. Musyawarah adat adalah satu warisan yang menunujukan kedaulatan masyarakat adat.

Abdon Nababan juga menekankan perjuangan untuk kemandirian ekonomi. Agar masyarakat adat cukup pangan, pakan dan sandang. Syarat menuju kemandirian ekonomi tersebut telah dimiliki secara turun temurun oleh masyarakat adat. Segenab kekayaan alam yang berada di wilayah-wilayah adat, dan dibarengi dengan sistem pengelolaan yang arif serta berkelanjutan merupakan syarat untuk terwujudnya kemandirian ekonomi masyarakat adat.

Bahkan sejak 10 tahun lalu, para aktivis gerakan masyarakat adat telah mengatakan bahwa masyarakat adat adalah solusi bagi persolaan bangsa ini. Masyarakat adat akan menjadi jalan keluar dari krisis global yang berlangsung hingga kini. Lihat saja, ketika krisis ekonomi, energi, pangan dan ekologi tengah mengancam saat ini, para pemimpin dunia berteriak agar kembali ke sistem kearifan tradisional dan memprioritaskan keseimbangan alam.

Di ujung pidatonya, Sekjend AMAN menyampaikan ideologi masyarakat adat yang tidak mengandalkan uang untuk hidup, melainkan sistem adatnya. Ideologi masyarakat adat lebih dari Sosialisme. Karena masyarakat adat mengabdi pada sistem kehidupan, bukan sekedar antara manusia. Hingga terjadilah keseimbangan alam yang berkelanjutan. Saat ini, ada tantangan besar dihadapan masyarakat adat. Perubahan iklim adalah tantangan besar itu. Perubahan iklim terkait dengan kelangsungan kehidupan penduduk bumi, sehingga masyarakat internasional berharap banyak dari masyarakat adat. Olehnya, masyarakat adat harus menata dan memperkuat dirinya untuk membantu kehidupan penduduk bumi.

Sementara itu, sebagai pembicara terakhir pada sesi pembukaan ini, Abah Asep menyampaikan rasa hormatnya dan ucapan selamat datang kepada para peserta raker AMAN. Abah Asep mengucapkan rasa syukur karena masih banyak komunitas-komunitas adat yang keukeuh pada adatnya. Rusaknya sistem adat akan merusak sistem kenegaraan. Sehingga adat seharusnya menjadi persoalan penting bagi negara. Dalam pidato sambutannya, Abah Asep menyampaikan beberapa persoalan yang dialami masyarakat adat di Kasepuhan Sinar Resmi. Satu diantaranya adalah konflik antara masyarakat adat dengan pengelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Konflik ini di picu karena keberadaan UU No. 41 tahun 1999 yang menghapus hutan adat dalam klausulnya. Bagaimana mungkin hutan adat yang telah di kelola secara turun temurun oleh masyarakat adat kemudian ditetapkan sebagai hutan negara, tanpa menyisakan hak pengelolaan untuk masyarakat adat. Masyararakat adat dilarang memasuki hutan adatnya, apalagi jika mengambil sumber daya yang ada didalam hutan adat tersebut. Jika ketetapan ini dilanggar maka mereka akan dipenjarakan. Sehingga, diharapkan dalam Raker AMAN ini ada sebuah rumusan terkait dengan pencabutan UU No. 41 tahun 1999.

Di akhir pidatonya, Abah Asep menekankan pentingnya bagi para aktivis gerakan masyarakat adat untuk merebut posisi-posisi penting dalam pemerintahan dan legislatif. Sehingga persoalan-persoalan yang mengganggu kehidupan masyarakat adat saat ini bisa segera diselesaikan, dan tidak terulang kembali. Karena jika orang-orang adat yang duduk di pemerintahan dan legislatif, maka kebijakan yang mereka keluarkan pasti akan berpihak terhadap masyarakat adat.

Sesi pembukaan ini kemudian dilanjutkan dengan pemukulan gong oleh Abah Asep sebagai tanda bahwa kegiatan resmi di buka. Acara selanjutnya setelah resmi dibuka adalah Konsultasi Konsultasi Nasional Masyarakat Adat Mengenai Perubahan Iklim dan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan (REDD).

No comments: