Tuesday, May 22, 2007

NEFIN dan Gerakan Masyarakat Adat di Nepal

Nepal adalah negara yang mempunyai kondisi geografis dan keragaman budaya luar biasa. Keragaman budaya dari negara yang berbentuk Monarki Konstitusional tersebut tercermin pada Pasal 4 Konstitusi 1991, yang mengatakan bahwa Nepal adalah negara yang multi-etnik, multikultural dan multi-linguistik. Namun pengakuan oleh konstitusi tersebut sama sekali tidak menjadi sebuah realitas politik dalam kehidupan sehari-hari. Keberagaman budaya masyarakat kemudian menjadi sebuah issu yang ”dilawan” oleh kebijakan yang ada. Misalnya, pemerintah kerajaan Nepal memberlakukan stratifikasi sosial melalui sistem kasta, menjadikan bahasa Nepal (khas Nepali) sebagai satu-satunya bahasa resmi, dan Hindu dijadikan satu-satunya agama resmi.

Dampak dari praktek tersebut adalah meluasnya diskriminasi etnik, kasta dan gender, yang selanjutnya menghancurkan identitas budaya komunitas-komunitas asli. Hal ini tentu dapat dilihat sebagai bentuk hilangnya atau tidak dioptimalkannya potensi modal sosial masyarakat adat akibat hancurnya bahasa dan agama-agama asli mereka.
Ada 59 komunitas asli (dalam bahasa Nepal: Janajati) yang sudah diakui dan populasi mereka sekitar 37.2% dari 23.4 juta penduduk Nepal. Komunitas-komunitas asli ini berasal dari beberapa kelompok suku pengembara, masyarakat adat sekitar hutan dan petani. Dari komposisi populasi tersebut, berdasarkan sensus terakhir dan merujuk pada hasil survei standar hidup, menunjukkan kenyataan bahwa komunitas asli tersebut sebagian besar merupakan kelompok masyarakat miskin, rentan terhadap marginalisasi dan terlantar.

Namun di tengah situasi politik yang tidak menguntungkan bagi eksistensi komunitas asli Nepal tersebut, masih terdapat organisasi yang mengambil peran strategis untuk mendorong perubahan sosial bagi kehidupan komunitas asli Nepal. Organisasi itu bernama NEFIN (The Nepal Federation of Indigenous Nationalities), sebuah organisasi yang beranggotakan komunitas-komunitas asli Nepal. Organisasi ini adalah organisasi payung berbentuk federasi dan berdiri pada tahun 1991. NEFIN menjadi satu-satunya organisasi yang diakui keabsahannya oleh pemerintah. Secara umum cita-cita organisasi ini adalah mendorong upaya pengakuan atas berbagai bentuk keragaman bahasa, agama dan budaya komunitas asli Nepal, dan membantu komunitas asli untuk memperjuangkan kebutuhan mereka secara berkelanjutan.

Dalam struktur organisasinya, NEFIN mempunyai sebuah dewan yang terdiri dari perwakilan semua komunitas anggotanya. Setiap komunitas mempunyai perwakilan 1 orang yang duduk sebagai anggota dewan. Dewan mempunyai 9 posisi kantor yang berotasi di antara anggota organisasi disusun menurut abjad. Pelaksana harian organisasi dikendalikan oleh Sekretaris Jendral yang dibantu 7 sekretaris yang bertanggung jawab atas beberapa departemen. Rapat majelis umum (kongres) dilaksanakan tiap 3 tahun sekali untuk memilih Sekretaris Jendral, merumuskan dan menetapkan Statuta serta menetapkan Garis-Garis Perjuangan Organisasi.

Nepal dalam periode gejolak politik
Lebih dari satu dekade terakhir, situasi politik Nepal mengalami gejolak. Ketidakstabilan politik dipicu perilaku pemerintahan yang otoriter sehingga mengeskalasi perlawanan kelompok gerilyawan Maois yang menyatakan perang dan angkat senjata pada 13 February 1996 terhadap pemerintah Kerajaan Nepal. Bahkan jika di telisik ke belakang, sebelum kelompok gerilyawan menyatakan perang, gejolak politik sering melanda negara yang berada diantara 2 raksana Asia (Cina dan India) ini. Sejak 1991, hampir tidak ada rezim pemerintahan yang bertahan lebih dari 2 tahun. Gejolak seperti ini tentunya berdampak juga pada kehidupan masyarakat adat Nepal.

Secercah harapan sempat menyeruak pada tahun 1990, ketika terjadi perubahan pada bentuk negara, dari bentuk negara Monarchy Absolut (kerajaan mutlak) ke bentuk Monarchy Constitutional (kerajaan berlandaskan konstitusi). Kekuasaan dan kebijakan yang sebelumnya mutlak berada di tangan Raja dalam sistem negara Monarchi Absolut kini di ambil alih Konstitusi. Semua kebijakan dan peraturan harus berlandaskan Konstitusi. Situasi ini pada awalnya dianggap sebagai sebuah kemajuan bagi demokrasi, dimana ada ruang terbuka bagi masyarakat sipil di Nepal termasuk masyarakat adat untuk mengembangkan seluruh sumber daya dan potensi-nya.

Kenyataannya, ruang demokrasi itu tidak benar-benar terbuka, karena Raja masih mempunyai kekuasaan besar untuk memberangus demokrasi, misalnya membubarkan parlemen dan pemerintahan yang terpilih melalui pemilihan umum. Hal ini berlangsung sepanjang 1990-an dan memuncak pada masa kekuasaan Raja Gyanendra yang membubarkan parlemen dan pemerintahan pada 4 Oktober 2002. Bahkan setelahnya, Raja Gyanendra melakukan “kudeta” terhadap pemerintahan yang sah. Pada 1 Februari 2005, Raja Gyanendra mengambil alih seluruh kekuasaan politik dan administrasi negara, demokrasi pun sekarat. Hak-hak sipil dan politik rakyat kembali diberangus oleh Raja.

Namun perkembangan yang buruk tersebut tidak mengendurkan perlawanan masyarakat sipil. Malah sebaliknya perlawanan bersenjata yang dilancarkan kelompok gerilyawan Comunist Party of Nepal (CPN)-Maoist semakin meluas dan membesar kekuatannya. Kelompok perlawanan bersenjata Maois menjadikan areal pedesaan sebagai basis perjuangannya dengan metode gerilya. Banyak anggota komunitas asli Nepal yang bergabung ke dalam CPN-Maoist. Bahkan CPN-Maoist menjadikan persoalan masyarakat adat sebagai bagian perjuangan politik utama mereka. Menurut Stella Tamang, ada 5 persoalan besar yang diusung masyarakat adat dan didukung oleh CPN-Maoist, yakni :

1. Pembentukan negara sekuler, kesetaraan hak untuk bahasa, budaya, pendidikan, informasi dan pembangunan;
2. Restrukturisasi kekuasaan politik;
3. Hak untuk menentukan nasib sendiri dan otonomi seluas-luasnya;
4. Affimative action dibidang pendidikan, birokrasi dan kesehatan;
5. Partisipasi dalam proses pengambilan keputusan, dari perencanaan hingga pelaksaan-nya; (Indigenous Affairs 1-2/04)

Lebih jauh menurut Luisang Waiba Tamang, CPN-Maoist sudah membangun “Otonomi Pemerintahan Rakyat” yang menyesuaikan otonomi tersebut dengan peta etnis dan tanah leluhur di tingkat regional. Mereka mendeklarasikan pembentukan 6 region otonom berbasis etnis di Tamang, Tharu, Limbu, Gurung dan Newar (Indigenous Affairs 3-4/05).
Sementara itu, ditengah berkecamuknya konflik bersenjata NEFIN mengambil posisi strategis dengan melakukan pendidikan politik secara terbuka terhadap masyarakat adat. NEFIN membangun kesadaran masyarakat adat dengan sistematis. Hasilnya dapat dilihat dari gencarnya aksi-aksi protes melalui kekuatan massa terhadap kebijakan pemerintah di Kathmandu sebagai pusat kekuasaan politik. NEFIN tak putus-putusnya menyerukan kepada pemerintah, partai politik dan komunitas internasional untuk tidak mengabaikan partisipasi masyarakat adat dalam upaya membangun perdamaian di Nepal. Karena, masyarakat adat adalah kelompok yang terkena dampak langsung dari konflik bersenjata.

NEFIN kemudian mendesak pemerintah untuk segera 1. mengakui identitas dan hak masyarakat adat; 2. memasukkan partisipasi aktif dan penuh mereka dalam proses pembangunan perdamaian. NEFIN juga meyakini bahwa struktur negara saat ini tidak efektif, diskriminatif dan eksklusif. Sehingga kekerasan yang ada merupakan akibat dari persoalan struktur negara. Sehingga NEFIN dengan jelas dan tegas mendesak dilakukannya restrukturisasi negara. NEFIN juga meluaskan perjuangannya pada level internasional dengan membangun jaringan untuk kampanye internasional. Hal itu terlihat ketika isu masyarakat adat Nepal dijadikan sebagai laporan khusus pada Forum Permanen PBB untuk isu masyarakat adat, pada Mei 2005.

Gerakan lain yang dibangun NEFIN adalah advokasi kebijakan yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat. Salah satu-nya ketika Menteri Pertanahan dan Kehutanan akan mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat adat, dimana kebijakan tersebut berdampak buruk terhadap kontrol, akses dan pembagian manfaat dari sumber daya alam di wilayah adat mereka. Untuk mengadvokasi persoalan ini, pada 5 Juni 2005, NEFIN memimpin sebuah delegasi masyarakat adat untuk berdialog dengan sang menteri. Pada dialog tersebut NEFIN mengajukan sebuah memorandum bahwa pemerintah sebaiknya tidak mengeluarkan kebijakan yang berdampak terhadap kepentingan masyarakat adat tanpa konsultasi dan melibatkan partispasi aktif mereka.

Periode pengorganisasian yang dilakukan NEFIN, kelompok masyarakat sipil lainnya (NGO, organisasi mahasiswa dll) dan perlawanan bersenjata CPN-Maoist yang diarahkan pada pemerintah kerajaan dapat dilihat sebagai bentuk perlawanan yang saling memperkuat. Perlawanan tersebut menemukan momentum-nya pada April 2006, ketika jutaan rakyat tumpah ruah dijalanan Kathmandu untuk mendesak Raja mengembalikan mandat rakyat ke Parlemen yang telah dibubarkan dengan sewenang-wenang. Selanjutnya parlemen didesak untuk segera membentuk pemerintahan transisi. Dalam proses demokratik ini NEFIN berperan besar dalam melakukan mobilisasi masyarakat adat untuk terlibat dalam aksi-aksi protes tersebut.

Akhirnya, dapat dikatakan bahwa NEFIN telah mengambil peran sangat strategis dengan mengambil ruang kampanye legal yang kosong. Karena perlawanan utama yang dilancarkan CPN-Maoist mengambil metode gerilya di wilayah pedesaan. Sepintas, seperti ada benang merah yang menghubungkan perlawanan CPN-Maoist dengan NEFIN. Namun hingga saat ini, belum ada study yang menunjukkan korelasi atau hubungan strategis antara gerakan yang dilakukan NEFIN dengan kelompok gerilyawan Maois. Namun setidaknya, pernyataan yang dikeluarkan Pemimpin CPN-Maoist, Prachanda dapat menjadi rujukan untuk menyimpulkan. Pracandha mengumumkan bahwa 80% anggota parlemen dari partai-nya dalam pemerintahan sementara akan datang dari masyarakat adat. CPN-Maoist juga tetap komitment untuk mentransformasikan kekuasaan Nepal ke negara-negara bagian dimana masyarakat adat akan menguasai region otonom dengan mengontrol hampir semua persoalan kecuali pertahanan dan kerjasama luar negeri.

No comments: