Wednesday, January 25, 2012

Melawan RUU Pesanan Asing

Masyarakat sipil Indonesia sedang melakukan penolakan terhadap pengesahan Rancangan Undang-Undang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan yang diajukan oleh Pemerintah RI dan disahkan melalui rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat RI pada 16 Desember 2011. Secara substansi, RUU ini tidak jauh berbeda dengan Perpres No. 36 tahun 2005 dan Perpres No. 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum, yang ditolak sebagian besar masyarakat sipil karena dinilai menjadi alat penggusuran tanah-tanah rakyat, serta tidak memberikan perlindungan terhadap masyarakat korban. Pengesahan RUU ini akan semakin melanggengkan praktik-praktik pelanggaran HAM terhadap masyarakat , masyarakat adat, termasuk perempuan, yang merupakan kelompok rentan di dalam konstruksi jender patriarki yang masih berlaku di Indonesia.

Potensi terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM di dalam RUU ini sangat besar, mengingat sebagian besar tanah-tanah masyarakat di Indonesia hanya sedikit yang ‘memiliki’ dokumen hukum lengkap. Tahun 2004 tercatat, dari 85 juta bidang tanah (belum termasuk tanah-tanah yang berada di kawasan hutan dan kawasan yang dikuasai oleh masyarakat adat), baru 26 juta bidang yang bersertifikat atau 30 persennya. Pada tahun 2005–2008 bertambah 13 juta sertifikat, sehingga sampai dengan tahun 2008, masih 60 persen yang belum bersertifikat. Sedangkan, dasar ganti kerugian adalah bukti sertifikat. Keadaan ini jelas akan mempertajam potensi konflik agraria yang sudah banyak terjadi. Apalagi di dalam RUU tersebut tidak ada pengakuan yang hakiki atas hak masyarakat adat maupun tanah komunal atau tanah adat.

Selain itu, sebagai negara agraris, RUU ini tidak mencantumkan ketentuan terkait perlindungan tanah-tanah produktif alih fungsi lahan. Dengan tidak adanya ketentuan ini maka sangat potensial sekali RUU ini nantinya mengkonversi atau mengusur tanah-tanah pertanian produktif milik rakyat atau petani kecil dengan dalih pembangunan kepentingan umum. Artinya RUU ini sama sekali tidak memiliki pertimbangkan analisis historis-sosiologis bahwa Indonesia adalah negara agraris yang rakyatnya hidup dari tanah-tanah pertanian.

Praktik pengadaan tanah di Indonesia masih banyak menyisakan persoalan hingga kini. Data KPA, menunjukan sepanjang tahun 2010 terjadi 106 konflik agraria di berbagai wilayah Indonesia. Luas lahan yang disengketakan mencapai 535,197 hektar dengan melibatkan 517,159 KK yang berkonflik. Posisi sebagian besar rakyat yang tidak dilindungi hak atas tanahnya, mekanisme pembebasan tanah yang bersifat otoriter/memaksa, serta manipulasi makna ’kepentingan umum’ merupakan catatan buruk pemerintah dalam pengaturan dan pengadaan tanah, karena selalu ‘memakan’ korban. Berdasarkan data kasus LBH Jakarta, terkait penggusuran di wilayah perkotaan, terjadi kenaikan korban penggusuran dari 1883 KK pada 2006 menjadi 6000 KK pada tahun 2007. Sedangkan, data Komnas Perempuan tahun 2010 mencatat 395 perempuan yang menjadi korban penggusuran.

Permasalahan di dalam praktik pengadaan tanah selama ini, antara lain adalah penggusuran paksa, praktik kolusi pertanahan terkait bukti hak atas tanah, inventarisasi dan identifikasi obyek pengadaan tanah secara sepihak, penetapan kompensasi secara sepihak, hingga tidak terlibatnya masyarakat terkena dampak dalam penetapan obyek pengadaan tanah. Bahkan disebutkan dalam Naskah akademik bahwa ‘keberatan masyarakat atas pengadaan tanah untuk sebuah pembangunan dikategorikan sebagai ‘kendala atau hambatan’. Hal ini sangat jelas bahwa RUU ini memang lebih mengakomodir kepentinan sektor swasta. Sedangkan, pelanggaran HAM yang kerap terjadi dalam praktik pengadaan tanah di antaranya intimidasi, penganiayaan, penembakan, hingga penangkapan warga yang berujung pada kriminalisasi, dengan melibatkan aparat keamanan. Hal ini berdampak nyata terhadap hilangnya sumber-sumber kehidupan, dan ancaman terhadap keberlangsungan hidup masyarakat, khususnya perempuan, di mana perempuan lah yang kemudian harus memikirkan keberlanjutan rumah tangga, keluarga dan anak-anaknya, terkait tempat tinggal, penyediaan makanan, air bersih dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Keberlanjutan praktik-praktik tersebut akan semakin memiskinkan masyarakat Indonesia.

RUU ini merupakan bagian dari paket reformasi regulasi pembangunan infrastruktur di Indonesia bagi proses keterbukaan pasar dan pelibatan peran swasta, dengan memperluaskan konsep pengadaan tanah dari hanya pembangunan untuk kepentingan umum menjadi termasuk untuk kepentingan swasta. Sementara pengertian dan kriteria kepentingan umum tidak dijelaskan di dalam RUU tersebut. RUU ini seperti berdalih seolah-olah proyek yang didorong adalah untuk kepentingan umum, padahal proyek tersebut tidak lebih hanya untuk kepentingan swasta, seperti proyek infrastruktur yang sepenuhnya dibiayai, dimiliki, dikelola dan diperuntukan bagi kepentingan swasta, bahkan asing. Seperti proyek jalan tol, bendungan, pelabuhan, bandara, sarana dan prasarana telekomunikasi, transportasi, air minum, sampai pada pertanian skala besar seperti Food Estate. yang selama ini terbuka untuk swasta dan asing. Kebijakan ini sekaligus dimaksudkan untuk memudahkan investor asing menguasai sektor-sektor strategis melalui pembangunan infrastruktur di Indonesia. Kebijakan ini dinilai tidak memihak masyarakat yang rentan akan penggusuran dan menjadi target kriminalisasi.

Selain itu, RUU ini sarat dengan ‘pesanan’ asing. Beberapa-dokumen menyebutkan bahwa RUU ini didorong oleh ADB dan Bank Dunia. Sejak tahun 2005, Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB) dan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) telah berperan dalam mengarahkan kebijakan pembangunan di Indonesia, melalui penyediaan pendanaan bagi pembangunan infrastruktur serta bantuan teknis untuk perubahan regulasi. Hal ini dilakukan melalui skema utang untuk ”Program Pembangunan Reformasi Sektor Infrastruktur, yang mendorong pemerintah melakukan berbagai reformasi kebijakan untuk menguatkan peran swasta melalui skema Public Private Partnership (PPP) dan kebijakan liberalisasi.

RUU ini akan segera disahkan pada Desember tahun 2011 ini, karerena merupakan salah satu prasyarat penting untuk mempelancar penyediaan tanah bagi proyek pembangunan, sesuai dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 yang telah diluncurkan pada awal tahun ini oleh Presiden RI. Bahkan Presiden SBY bersedia mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk masalah pengadaan tanah, jika RUU tersebut tidak selesai tahun ini. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia siap melakukan segala daya upaya untuk mendukung investasi MP3EI, dengan mengesampingkan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia saat ini, yang telah digambarkan di atas.

RUU ini tidak akan belaku efektif untuk menyelenggarakan pembangunan yang adil dan demokratis, karena sejumlah prasayarat belum tersedia, yakni : 1) Pengakuan formal terhadap hak-hak masyarakat belum diberikan dan dilaksanakan penuh; 2) rencana penataan ruang belum dibuat partisipatif, integratif dan belum dilaksanakan secara konsisten; 3) akses masyarakat terhadap informasi pada badan-badan publik belum terpenuhi; 4) tidak adanya mekanisme keberatan yang dapat diakses publik dengan mudah terhadap hasil tim penilai; dan 5) belum terciptanya peradilan yang bersih dan independen.

No comments: