Wednesday, January 25, 2012

Hentikan Kekerasan Di Papua, Segera Gelar Dialog Nasional

“Mereka adalah batu sudut rumah (negara) yang diabaikan oleh para pembangun negara” (Nurcholis Madjid tentang Papua)

Laksana cerita berseri, kekerasan demi kekerasan terus berlangsung di Papua. Jalan cerita-nya tetap sama, tema kekerasan tetap menjadi “roh” dalam alur cerita. Lakon utama dalam cerita kekerasan di Papua adalah aparat keamanan. Bagi aparat keamanan, Papua adalah medan perang.

Dalam beberapa bulan di penghujung tahun ini, aparat keamanan yang bertugas di Papua, tidak pernah bosan mempertontonkan tindakan keji, berupa penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi. Pada 2 November 20011 WIT, 12 masyarakat sipil dari Kampung Umpagalo, Distrik Kurulu, Kabupaten Jayawijaya menjadi korban kekerasan aparat keamanan. Berdasarkan keterangan korban dan para saksi, mereka mengalami penyiksaan dan pelakunya berasal dari anggota TNI dari Pos Kurulu Batalyon 756 (http://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=1404). Mereka di gelandang dari Kampung Abusa hingga Pos TNI. Selama 2 jam mereka mengalami penyiksaan fisik hingga teror mental. Mereka dituduh sebagai anggota TPN/OPM. Tanpa memiliki bukti dan atau melakukan penyelidikan terlebih dahulu, pasukan perang ini menciduk mereka.

Peristiwa di atas semakin menambah daftar kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua. Sebelumnya terjadi penembakan buruh PT Freeport Indonesia dan pembubaran paksa serta rangkaian tindak kekerasan terhadap peserta Kongres Rakyat Papua III. Bahkan kurun 6 bulan sebelum kasus ini terjadi, TNI juga melakukan penyiksaan terhadap warga sipil di Puncak Jaya. Jika dicermati dengan seksama, akar dan latar belakang persoalan penyebab tindak kekerasan tetap sama, yakni stigma TPN/OPM dan separatisme yang sudah sangat masif diseluruh Papua.

Fenomena kekerasan tersebut diatas merupakan potret buram warisan rezim militer Orde Baru yang masih dipraktekkan hingga kini, dalam menyelesaikan berbagai persoalan-persoalan rakyat di tanah surga tersebut. Kekerasan tak akan menyelesaikan masalah di Papua. Karena yang terjadi di Papua merupakan artikulasi dari macetnya saluran demokrasi dan akumulasi dari berbagai proses penindasan terhadap rakyat Papua.

Memeriksa Sejarah Bisu Bangsa Papua

Menguatnya tuntutan merdeka dan meluasnya gerakan pembebasan Papua dari NKRI akhir-akhir ini dapat dikatakan sebagai bentuk akumulasi dari rangkaian penindasan yang dialami rakyat Papua. Bila diperiksa sejarah bisu bangsa Papua, tanpa prasangka mengunjungi pelosok-pelosok tanah Papua maka dengan mudah kita akan mendengar kisah-kisah sejarah penderitaan yang keluar dari mulut masyarakat biasa. Ingatan rakyat dengan tajam dan jernih mencatat rekaman peristiwa-peristiwa kekerasan, baik fisik maupun non fisik. Kisah pilu itu tidak pernah dibukukan, tapi diwariskan turun-temurun ke generasi selanjutnya.

Jika dikaitkan dengan hak-hak asasi manusia beserta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya maka sejarah bisu itu akan terkait dengan warna buram kehidupan sehari-hari rakyat Papua, yakni :

Pertama, Tingginya eskalasi kekerasan akibat operasi militer dengan alasan menghancurkan gerakan separatis di Papua. Praktek-praktek kekerasan berlangsung dengan mengangkangi hak-hak asasi rakyat Papua dan dicatat memori kolektif bangsa Papua sebagai suatu bentuk pelanggaran haknya. Beberapa lembaga nasional maupun internasional telah menerbitkan laporan menyangkut pelanggaran HAM di Papua. Akibat situasi tersebut, selama puluhan tahun, struktur mental bangsa Papua dididik dalam ketakutan.

Kedua, Tergerusnya nilai-nilai budaya orang Papua, dimana sistem budaya orang Papua dipersempit oleh pihak luar menjadi hasil kesenian serta kerajinan tradisional semata-mata. Sistem budaya tidak dilihat sebagai sebuah filsafat hidup yang lengkap dengan persepsi terhadap dunia dan sejarahnya. Misalnya, pandangan terhadap alam yang membuat kelestarian lingkungan hidup terjaga secara tradisional, egalitarisme yang mendasari relasi antar pihak dan antar pribadi, sistem pertanian yang adaptif terhadap keadaan alam pegunungan dll.

Ketiga, Arus migrasi ke Papua, baik yang terprogram maupun spontan, telah mengakibatkan pergeseran komposisi penduduk. Namun soal yang lebih mendasar adalah semakin terbangunnya kesenjangan ekonomi antara masyarakat adat dengan pendatang. Kemudian diperparah dengan tidak adanya proses akulturasi budaya pendatang dengan budaya asli dll. Kesenjangan tersebut berpotensi menjadi konflik yang rawan; apalagi ditambah pada perasaan serta kekecewaan masyarakat adat terhadap pemerintah yang begitu saja mengambil alih tanah-tanah adat tanpa mempedulikan rasa keadilan masyarakat. Dengan alasan hukum dan pembangunan: bahwa tanah dikuasai negara, bahwa pembangunan nasional harus didahulukan, maka pemerintah merampas tanah-tanah adat yang dalam sistem budaya Papua bukanlah sebuah komoditi melainkan sumber budaya. Inilah yang menjadi salah satu trauma.

Keempat, Sumber daya alam bangsa Papua dieksploitasi habis-habisan oleh kekuatan modal tanpa menyisakan sedikitpun keuntungan yang diraih kepada pemiliknya yang sah yakni Rakyat Papua. Ironisnya, perusahaan yang bercokol di tanah Papua hampir semua bersifat ekstraktif: kayu gelondongan, kayu lapis, kayu gaharu, perkebunan kelapa sawit, perikanan skala besar, tambang-tambang emas dan tembaga, sehingga tidak menumbuhkan struktur ekonomi rakyat yang berdaya saing. Sikap kewirausahaan (entrepreneurship) rakyat setempat kurang dikembangkan, padahal mereka kehilangan tanah karena telah ‘dikonsesikan’ kepada perusahaan-perusahaan ekstraktif itu.

Kelima, “Penumpulan” sumber daya manusia. Hak untuk mendapatkan pendidikan gratis dengan mutu yang baik tidak diberikan oleh Pemerintah. Di pedalaman Papua, banyak Sekolah Dasar (sebagai pondasi pendidikan) nyaris roboh, satu dua guru harus mengajar di 6 kelas, atau mendengar keluhan guru yang gajinya terus terlambat beberapa bulan, buku-buku pelajaran yang tidak sesuai dengan kurikulum yang ditentukan dsb. Selain pendidikan, layanan kesehatan masyarakat juga sulit dijangkau oleh rakyat biasa.

Kenyataan diatas tersusun selama puluhan tahun dan menggelora sebagai sejarah bangsa Papua. Sejarah ini tidak pernah menjadi sejarah resmi bangsa yang diajarkan di sekolah-sekolah. Rangkaian peristiwa itu ‘hanya’ menjadi bagian dari ingatan kolektif bangsa Papua. Ingatan itulah yang diwariskan turun-temurun, yang berarti juga pewarisan trauma-trauma korban. Memori kolektif itu mengandung energi, tenaga, kekuatan yang terakumulasi hari demi hari. Terbukti dengan bantuan hembusan angin reformasi, magma itu mulai keluar dari kepundan.

Mencari solusi ditengah kusutnya situasi

Salah satu resolusi Kongres Masyarakat Adat Nusantara II di Lombok pada 2003, AMAN dengan tegas mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera melakukan dialog nasional yang melibatkan masyarakat adat di Papua. Resolusi kongres tersebut merupakan rumusan dari situasi sosial politik di Papua yang tak kunjung kondusif. Olehnya, pemerintah SBY- Budiono harus segera mengakomodasi berbagai tuntutan, keinginan dan harapan orang Papua. Upaya-upaya menciptakan perdamaian dengan jalan dialog perlu segera dilakukan bagi penyelesaian masalah kekerasan di tanah Papua. Karena itu, wajar bila penambahan pasukan Polri/TNI ke bumi Papua dikhawatirkan oleh banyak kalangan nantinya hanya akan menambah rumit persoalan. Karena itu, semua pihak yang terkait dengan masalah ini perlu duduk bersama untuk turut serta memberikan kontribusi dan merumuskan upaya terbaik guna mengakhiri masalah ini secara arif dan bijaksana.

Akhirnya, perlu disadari bahwa fenomena sosial politik yang berlangsung di tanah Papua merupakan akumulasi dari aksi demoralisasi, yang telah mempertontonkan konflik berkepanjangan di tanah air, khususnya di Papua. Tindakan brutalisasi aparat keamanan terhadap rakyat Papua, adalah akibat dari dipilihnya metode kekerasan untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Hal ini turut pula menciptakan kekusutan hidup masyarakat (social dis-organization) yang menjurus kepada kelumpuhan sosial (social entropy) dan perpecahan di kalangan rakyat (social dis-integration). Fenomena baru tersebut terus dan sedang terjadi di depan mata. Haruskah kita diam menyaksikan korban-korban brutalisasi yang terus berjatuhan di depan mata kita? atau mampukah kita membawa konflik ini kepada suatu suasana yang damai, benar, adil dan demokratis melalui DIALOG? Jawabannya HARUS!

No comments: