Wednesday, January 25, 2012

Melayani Pemodal Dengan RUU Pengadaan Tanah

Rasanya semua orang mengamini pernyataan bahwa tanah adalah faktor produksi penting, karena menyangkut hajat hidup orang banyak (baca: Petani dan masyarakat adat). Fakta juga menunjukan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih sangat tergantung kepada ketersediaan tanah sebagai penopang ekonomi. Namun konsep Hak Menguasai Negara (HMN) menempatkan negara seolah-olah menjadi penguasa dalam pengaturan tanah dengan tujuan kesejahteraan rakyat. Dalam konteks ini Negara diberi tanggung jawab untuk mensejahterakan rakyat-nya dengan menciptakan keteraturan dalam urusan pertanahan bukan menciptakan kekacauan.

Namun sejarah mencatat bahwa Negara dalam konsep HMN hampir tidak pernah merumuskan langkah yang tepat dalam urusan tanah ini. Justeru sebaliknya, peruturan dan kebijakan dibuat menimbulkan kekacauan hukum, yang pada gilirannya menimbulkan konflik dan pelanggaran HAM di sektor pertanahan. Menurut KPA tak kurang dari 1.753 kasus agraria, dan tersebar dari desa hingga kot dengan intensitas konflik paling tinggi ada di Pulau Jawa, terutama di Jawa bagian Barat. Konflik pertanahan tersebut adalah buah dari kebijakan pertanahan negara yang melihat tanah dari kacamata ekonomi semata.

Melihat situasi seperti itu, tidak salah jika ada sebagian orang yang berpendapat bahwa pemimpin negeri ini sudah kehilangan imaginasi dalam merumuskan kebijakan yang menjamin tercapainya keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat terutama mengenai masalah pertanahan.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan bahwa 35 persen daratan Indonesia diizinkan untuk dibongkar oleh industri pertambangan. Sawit Watch menyatakan, hingga Juni 2010 pemerintah telah memberikan 9,4 juta hektar tanah dan akan mencapai 26,7 juta hektar pada 2020 kepada 30 grup usaha yang mengontrol 600 perusahaan. Luas itu setara dengan tanah yang dikuasai oleh 26,7 juta petani miskin jika setiap petani memiliki tanah 1 hektar. Padahal, masih banyak petani kita yang tak memiliki tanah atau menguasai tanah di bawah 0,5 hektar.

Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Modal?

Dapat dikatakan bahwa RUU ini sarat dengan kepentingam modal. Karena RUU ini menganggap pengelolaan tanah harus diserahkan ke pemilik modal yang cuma segelintir, dan seakan menutup mata dengan kenyataan bahwa 60% masyarakat Indonesia hidup bergantung pada ketersediaan tanah. RUU ini tidak mengantisipasi konflik hak atas tanah yang bakal terjadi di masa datang. Sekali lagi, RUU ini mengabaikan penyebab dari banyaknya sengketa hak atas tanah selama ini. RUU juga nyata-nyata tidak mampu merumuskan makna dari kepentingan umum. Dalam Pasal 1 Ayat (6) RUU hanya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah seluruh lapisan masyarakat. Rumusan kepentingan umum ini tentu saja sangat tidak memadai jika disandingkan dengan bunyi Pasal 6 Ayat (2) RUU. Dan yang selama ini terjadi, modal dan investasi selalu menjadikan dirinya adalah pembangunan dan kepentingan umum.

Absennya Pengakuan Hak Masyarakat Adat terhadap Tanah Adat

RUU Pengadaan Tanah dinilai tidak menghormati tanah adat. Sebab, dalam rancangan tersebut tidak mempunyai prasyarat hukum yang efektif dengan tidak membahas bagaimana nasib tanah adat. Masyarakat adat, termasuk tanahnya, perlu diakui dan mendapatkan penghormatan dari negara. Sayangnya, di RUU tersebut tidak pernah ada pasal mengenai hak adat.

Dalam RUU ini, bentuk penyelesaian sengketa adalah ganti rugi. Tak ada alternatif lain selain ganti rugi, misalnya penyertaan modal, pemukiman kembali dan tanah pengganti. Dan ganti rugi akan diberikan ke tanah-tanah bersertifikat atau tanah-tanah yang mempunyai legalitas hukum.

Celakanya, banyak tanah di Indonesia ini yang belum dilegalkan. Tercatat, pada 2004, dari 85 juta bidang tanah baru 26 juta bidang yang bersertifikat. Artinya, hanya 30 persen yang sudah legal. Tanah tersebut belum termasuk tanah-tanah yang berada di kawasan hutan dan kawasan yang dikuasai masyarakat adat. Maka, ada kemungkinan tanah yang belum disertifikasi jumlahnya lebih besar daripada yang terdata.

Jika kepemilikan dengan bukti sertifikat yang menjadi dasar ganti rugi tanah yang diambil, lalu bagaimana dengan nasib tanah-tanah tanpa sertifikat yang jumlahnya jauh lebih banyak itu?" tanya Idham.

Maka dapat dipastikan jika tanah adat itu ‘diserobot’ negara tanpa mempertimbangkan keberadaan masyarakat adat justru akan menimbulkan dan mempertajam konflik sosial. Termasuk konflik yang terjadi di wilayah masyarakat adat.


Absennya Prinsip-Prinsip FPIC

Salah satu yang diatur oleh RUU untuk dijadikan objek dari pembebasan tanah adalah tanah ulayat. Dimasukkannya tanah ulayat sebagai salah satu objek dari pembebasan tanah mengabaikan beberapa hal: pertama, RUU tidak mempertimbangkan sistem kepemilikan tanah pada masyarakat adat yang bersifat komunal. RUU memang menyebutkan masyarakat hukum adat sebagai pihak yang berhak mendapatkan ganti rugi. Namun RUU tidak mengatur mengenai prosedur konsultasi untuk mencapai persetujuan dari masyarakat adat yang kemudian ganti rugi dapat diberlakukan.

RUU ini juga tidak mempertimbangkan bagaimana seharusnya konsultasi dengan masyarakat adat dibangun dalam rangka pelepasan hak atas tanah. Konsultasi harus dimaknai sebagai dialog yang harus diarahkan untuk mencapai consent dari masyarakat adat. Bahkan musyawarah yang diatur dalam RUU terkesan hanya formalitas karena musyawarah tidak ditujukkan untuk menanyakan apakah masyarakat setuju atau tidak setuju. RUU, terutama pasal yang mengatur mengenai musyawarah ini terang melanggar prinsip-prinsip Free, Prior and Inform Consent (FPIC) sebagaimana diatur dalam berbagai UU. Pasal ini juga melanggar UUD 1945 terutama Pasal 18 B Ayat 2 yang mengakui hak-hak masyarakat adat.

Consent bermakna “setuju” atau “tidak setuju”. Consent ini adalah hak masyarakat. Consent harus didapatkan melalui musyawarah di masyarakat yang melibatkan seluruh stakeholders di masyarakat. Musyawarah ini harus bebas atau free dari intimidasi, suap, tekanan psikologis dan sebagainya. Masyarakat hanya akan mencapai consent, jika mereka memahami keuntungan dan kerugian dari sebuah proyek yang akan dilakukan di atas tanah mereka. Untuk memahami ini, masyarakat harus mendapatkan informasi. Pemerintah dan atau pihak swasta yang akan membebaskan lahan masyarakat berkewajiban memberikan semua informasi yang terkait dengan rencana mereka. Informasi ini haruslah bersifat prior, artinya harus dilakukan di awal perencanaan. Namun informasi bukanlah menyelesaikan masalah, sehingga sangat penting bahwa informasi tersebut harus dikomunikasikan. Komunikasi harus dilakukan secara jujur dan terbuka mengenai dampak dari sebuah rencana di atas tanah masyarakat. Dialog tidak boleh diarahkan kepada salah satu pilihan, misalnya ganti rugi dan sebagainya karena keputusan mengenai itu hanya ada di tangan pemegang hak atas tanah (masyarakat).

Keputusan apapun dari masyarakat harus dihormati. Karena keputusan mengenai “iya” atau “tidak” dari masyarakat adalah sebuah “HAK” yang diakui dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat dan beberapa peraturan perundang-undangan nasional.

Pasal 32 dalam RUU ini menutup akses masyarakat dalam mencapai keadilan. RUU ini tidak memberikan peluang pada upaya hukum lain setelah putusan PT yang ditetapkan oleh RUU ini sebagai putusan pertama dan terakhir. Lebih daripada itu, RUU memandang sengketa harus diselesaikan di pengadilan dan menutup kemungkinan mekanisme-mekanisme penyelesaian sengketa yang lain. Bahkan dalam kondisi di mana kesepakatan mengenai ganti rugi tidak tercapai maka uang ganti rugi itu hanya dititipkan di pengadilan.

Oleh karena itu, AMAN dengan tegas menolak pengesahan RUU Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum ini. Negara seharusnya membuat sebuah regulasi yang memperjelas status hak masyarakat (adat) atas tanah, bukan malah sebaliknya membuat regulasi yang mempertajam konflik atas tanah. Dalam hal ini, regulasi tersebut harus mengakui dan menghormati sistem-sistem kepemilikan atas tanah yang beragam dalam masyarakat.

Sebelum ada regulasi yang memperjelas status hak masyarakat atas tanah, maka pengambil kebijakan (Pemerintah dan DPR) harus menunda pengesahan RUU ini menjadi UU dan lebih jauh dari itu menghentikan aktivitas-aktivitas pembangunan yang saat ini berkonflik.

No comments: