Wednesday, May 7, 2014

Memperkuat Moratorium Penebangan Hutan



Catatan Buat Penguasa Baru Indonesia

Dengan produksi 24,5 juta ton minyak kelapa sawit mentah pada tahun lalu, Indonesia sebetulnya sudah sulit disaingi siapa pun. Namun, angka ini tampaknya masih ingin digenjot lebih dahsyat lagi. Untuk 2020, misalnya, target yang dipatok adalah 40 juta ton. Target itu di satu sisi sah-sah saja. Persoalannya, untuk meningkatkan produksi pengusaha Indonesia lebih condong kepada ekspansi ketimbang intensifikasi lahan. Bila pola ini dipertahankan, laju ekspansi lahan kelapa sawit bisa mencapai 450 ribu hektare per tahunnya. Ini bukan kabar yang menggembirakan, utamanya pada keberlangsungan hutan kita.

Laju ekspansi ini sebetulnya sudah coba direm dengan moratorium penebangan hutan selama dua. Langkah ini dilakukan bukan untuk gagah-gagahan, melainkan dengan jualan oksigen melalui skema REDD (reduced emissions from deforestation and forest degradation) Indonesia mendapatkan dana dari Norwegia sampai US$ 1 miliar selama kurun 7-8 tahun sejak perjanjian diteken. Dana ini adalah bentuk dukungan negara Skandinavia ini atas tekad Indonesia mengurangi emisi atau buangan zat asam arang (CO) sampai 26 persen pada 2020.

Terkait dengan Moratorium tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menghimbau kepada presiden baru nanti untuk meneruskan moratorium konsesi hutan. Presiden menyampaikan himbauan itu ketika memberikan pidato kunci sekaligus membuka Forests Asia Summit 2014 atau Pertemuan Puncak Hutan Asia, di Shangri – la Hotel, Jakarta, Senin (5/5).

Presiden SBY mengklaim bahwa kebijakan moratorium penebangan hutan tersebut telah menurunkan tingkat penggundulan hutan dari 1,2 juta hektar menjadi  450 hingga 600 ribu hektar per tahun selama periode moratorium, terhitung sejak inpres Moratorium dirilis pada 2011. Keberhasilan menurunkan angka dorestasi tersebut telah mengurangi pelepsan 211 juta ton CO2.

Guna memperkuat upaya moratorium konsensi hutan itu, Presiden SBY telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2013 yang sifatnya  sebagai penguatan dan koreksi atas moratorium sebelumnya, misalnya penyelesaian tumpang tindih perizinan.

Inpres Nomor 6 Tahun 2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut merupakan perpanjangan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 atau yang lebih dikenal dengan Inpres Moratorium Hutan yang seharusnya berakhir pada 20 Mei 2013.

Namun di lapangan, pemerintah daerah dan berbagai intansi terkait, menerjemahkan  moratorium secara berbeda lain lagi dengan kehendak resmi pemerintah pusat. Sebelum tanggal moratorium jatuh, pengusaha sekuat tenaga, bahkan mungkin kalap, membebaskan lahan. Bila dengan moratorium saja pelanggaran di lapangan masih terjadi, skenario yang kurang menggembirakan untuk lingkungan dan ekonomi rakyat bakal menanti setelah moratorium diangkat.

Sawit memang komoditas yang penting bagi perekonomian Indonesia. Namun, yang menikmati harum dan gurihnya hanya kalangan terbatas. Sebagian besar petani rakyat dan warga sekitar perkebunan besar yang seharusnya bisa sejahtera karena komoditas unggulan ini justru menjadi pihak yang paling sering dirugikan dengan pertumbuhan kebun yang kian menggila. Selama puluhan tahun, maraknya kebun sawit sejalan dengan tumbuhnya konflik di sana-sini. Sumatera dan Kalimantan sudah merasakan imbas pahit dari agresivitas ekspansi sawit.

Kini sawit merambah tapal batas baru: Papua. Pada tahun 2007, sekitar 10 juta hektar hutan di Tanah Papua telah dialokasikan untuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan sekitar 1,6 juta hektar dialokasikan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI). Sementara khusus untuk perluasan (ekspansi) perkebunan kelapa sawit mencapai 7 juta hektar yakni 5 juta hektar di provinsi Papua dan 2 juta hektar di provinsi Papua Barat. Rencana ekspansi perkebunan sawit ini menjadi ancaman besar bagi masyarakat adat Papua juga karena hutan adatnya akan diklaim atas izin pemerintah oleh perusahaan. Hutan alam juga akan habis ditebang untuk industri minyak sawit, sementara sekitar 80% penduduk asli Papua masih hidup bergantung pada hasil hutannya sebagai peramu dan petani subsisten.

Banyak konflik yang terjadi di Papua karena masalah tanah. Bagaimana pun, rencana pemerintah untuk membuka perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran di Tanah Papua berpotensi menjadi sumber konflik baru. Karena itu sudah saatnya, para legislator dan Presiden baru hasil pemilihan legislative dan pemilihan presiden baru mendorong perpanjangan moratorium penebangan dan sekaligus memperkuat moratorium itu sendiri. Seperti dijelaskan diatas, dengan moratorium saja tidak cukup untuk menurunkan trend deforestasi, tapi harus diperkuat dengan instrument-instrumen hukum untuk memperkuat moratorium.

No comments: