Friday, January 26, 2007

Tangis Anak Lapar di Lumbung Padi Negeri Merdeka?

Di manakah engkau, wahai Pemerintah, para pemimpin bangsa? Di manakah dikau ketika rakyat jelata dicabik-cabik jiwanya oleh kemiskinan dan kau bergelimangan pesta pora di astana, berselingkuh dengan modal akbar internasional untuk terus memeras Bumi Pertiwi dan mencabut nyawa putera puterinya?


Tragedi, nampaknya jadi bagian tak terelakkan oleh bangsa Indonesia. Hanya beralih bentuk dari masa ke masa, kita melihat penumpasan dengan bedil dalam masa Orde Baru, pemberangusan dan pembungkaman adalah tanda utama jaman itu. Kini wajahnya beralih menjadi bencana alam. Layaknya bencana alam dipahami sebagai sesuatu yang tak terhindarkan. Namun tragisnya bangsa ini, bencana yang terjadi terutama lahir akibat kemaruknya pemimpin dan pengelolaan harta negeri secara serampangan.


Dari deretan penderitaan rakyat Indonesia, yang terlalu banyak untuk disebutkan satu per satu dalam tulisan ini, kasus busung lapar menjadi fenomena tersendiri. Tiba-tiba busung lapar menjadi hits dan menyeruak keatas serta menampar wajah penguasa Indonesia dari pusat sampai daerah. Tidak tanggung-tanggung, ratusan generasi penerus bangsa diberbagai daerah terkulai lemah, kurus dan tak berdaya hingga meninggal, karena mengalami malnutrisi alias GIZI BURUK


Ironis!! Kekurangan gizi ditengah kekayaan alam yang melimpah ruah, Gemah Ripah Loh Jinawi. Ibarat mati dilumbung padi. Adalah Propinsi NTT, salah satu Propinsi yang paling menyedihkan terkait dengan soal busung lapar ini. Tak kurang, 35 orang anak di NTT harus meregang nyawa karena kekurangan gizi.

Data statistik berdasarkan informasi dari BPS, jumlah balita di NTT sekitar 477.829. Dan dari jumlah tersebut,
berdasarakan informasi dari Kementrian Kesejahteraan Rakyat, Balita yang mengalami malnutrisi sebanyak 98.977 orang,
dengan komposisi : gizi kurang 85.604 balita, gizi buruk : 12.925 balita, marasmus : 425 balita, kwashiorkor 7 balita
dan marasmus kwashiorkor 16 balita. Total angka balita yang terserang busung lapar tersebut merupakan kumulasi dari
enam kabupaten di Propinsi NTT, yaitu Kabupaten Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Kupang, Alor, Lembata,
dan Manggarai.

Mengurai Penyebab Busung Lapar

Lantas, apa yang menjadi penyebab utama dari rentetan peristiwa busung lapar yang terjadi di NTT? Apakah karena potensi sumber daya alam dan manusia di NTT yang terbatas? TIDAK!!!

Penyebab utama-nya adalah model kebijakan sentralistik dan represif. NTT dan kawasan timur Indonesia lainnya mengalami proses diskriminasi pembangunan. Tak heran jika NTT hingga kini terlihat sebagai wilayah yang sangat miskin, baik dari segi infrastruktur, maupun perkembangan masyarakat termasuk ketahanan ekonominya.

Kebijakan otonomi daerah yang mulai dipraktekkan sempat membangun harapan perbaikan. Penyerahan pengelolaan daerah secara otonom kepada pemerintah daerah, yang semula dianggap solusi untuk menekan angka kemiskinan, malah menjadi pemicu dari proses pemiskinan yang dahsyat terhadap rakyat.

Pemerintah Daerah yang merasa memiki kekuasaan tak terbatas, malah mengeluarkan berbagai produk kebijakan (dalam bentuk perda) yang anti rakyat. Yang berujung pada pemotongan akses masyarakat terhadap sumber daya alam-nya. Misalnya, kasus ketika Bupati Manggarai Anton Bagul (kala itu), dengan sewenang-wenang menebangi tanaman kopi masyarakat, aksi sewenang-wenang tersebut menuai protes masyarakat. Celakanya, aksi protes masyarakat tersebut dibalas dengan tindakan represif yang menelan korban jiwa dari pihak petani kopi. Ini merupakan salah satu kebijakan Pemda yang justeru memiskinkan rakyatnya.

Sebagaimana daerah lain, korupsi juga disinyalir menjadi penyebab kemiskinan yang memproduksi busung lapar di wilayah NTT. Inidikasi tersebut dapat dijelaskan jika mengacu pada APBD. Untuk tahun anggaran 2004, alokasi anggaran yang bersumber dari APBD, APBN dan bantuan luar negeri untuk pembangunan ekonomi, pendidikan dan kesehatan di NTT sebesar Rp. 1,525 Triliun, dengan komposisi dana dari APBD sebesar Rp. 467,142 Miliar, APBN sebesar Rp. 938,344 Miliar, dan bantuan luar negeri sebesar Rp. 119,715 Miliar.

Bayangkan! Kemana dan dibuat apa dana sebesar itu? Logikanya, saat ke-tiga program pembangunan tersebut berjalan, maka busung lapar pasti tidak terjadi. Karena busung lapar terjadi justeru disebabkan oleh rendahnya taraf ekonomi dan pendidikan masyarakat.

Kebijakan Negara yang Memiskinkan Rakyat

“Buat apa kalian di daerah?”, merupakan kalimat yang disampaikan SBY pada rapat koordinasi antar Gubernur se-Indonesia untuk menanggulangi bencana busung lapar. Dengan melontarkan pertanyaan tersebut, tersirat kesan ekspresi kegundahan SBY terhadap kinerja punggawa-punggawa di daerah tersebut. Tapi muncul pertanyaan, apakah ekspresi tersebut lahir dari ketulusan seorang penguasa saat melihat rakyat-nya kelaparan? Apakah SBY tidak mencoba merefleksi berbagai kebijakan pemerintahannya yang ditengarai justru menjadi pemicu merebaknya kemiskinan rakyat Indonesia?

Satu di antaranya adalah Peraturan Presiden (Perpres) No. 36 tahun 2005. Perpres ini memberikan kekuasaan kepada penguasa negeri ini untuk mencabut hak seseorang atas tanah dengan dalil untuk kepentingan umum, seperti untuk pembangunan jalan kereta api, dan lain-lain. Kebijakan ini dapat dipastikan akan memotong rantai akses masyarakat terhadap sumber daya alam-nya. Dengan semakin sempitnya tanah, rakyat yang sebelumnya petani terpaksa bekerja di sektor-sektor lain selain bertani. Kekurangan skill akan menjadi faktor penentu rendahnya bayaran dan kesejahteraan yang mereka dapat, dan akhirnya rakyat yang miskin ini tetap menjadi miskin, sehingga bukanlah suatu bayangan hampa apabila saat ini juga kita katakan sebagian rakyat kembali harus mengalami dan menyaksikan anak-anak mereka tergilas busung lapar untuk masa yang akan datang.

Disamping itu, terkait dengan busung lapar bahwa pemerintah tidak menciptakan kondisi yang memungkinkan terpenuhinya hak anak seperti yang tercantum dalam Pasal 28B Ayat (2) UUD 1945. Dalam konsideran menimbang UU No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan juga disebutkan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia. Dengan diletakannya pangan sebagai hak asasi manusia, dan di satu sisi pemerintah lalai untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi rakyatnya, maka pemerintah pada dasarnya telah melanggar hak asasi manusia itu sendiri. Pemerintah dan negara telah melalaikan tanggung jawabnya dalam pemeliharaan dan perlindungan anak seperti yang dirumuskan dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pemerintah juga dengan sangat angkuh menjauhkan diri dari pergaulan internasional dengan tidak meratifikasi Kovenan Hak Ekonomi Sosial, dan Budaya, dan bahkan Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi pun tidak dipenuhi. Keengganan pemerintah memenuhi berbagai ketentuan nasional, seperti konstitusi dan aturan-aturan internasional ini menunjukkan kepada kita bahwa pemerintah saat ini sedang menggiring pembangunan dengan memanfaatkan para pemegang modal untuk memonopoli sektor perekonomian rakyat.

Pilkadal dalam bingkai kesejahteraan rakyat

Hajatan yang disebut dengan pesta demokrasi ini menjadi refleksi berbagai ironi sepanjang sejarah Republik. Kata ’pesta’ umumnya mencerminkan kemakmuran dan kegembiraan. Namun pengalaman dalam serangkaian pemilihan umum sejak dulu sampai sekarang menunjukkan kisah tragis. Kecurangan, kekerasan, korupsi dan intimidasi adalah inti dari kegiatan politik ini. Dampaknya pada rakyat tak berubah. Karena proses yang buruk menghasilkan pemimpin yang buruk dengan program yang sangat buruk dan berdampak luarbiasa buruknya bagi rakyat.

Meski demikian kita diajarkan oleh sejarah bahwa optimisme dan harap yang terus menyala adalah sumber hidup bangsa. Pilkada secara langsung ini adalah satu peluang bagi masyarakat daerah termasuk di NTT untuk memilih pemimpin daerahnya yang akan membawa mereka keluar dari kesulitan ekonomi yang selama ini mereka alami. Tentu saja pemimpin ini tidak dapat diharapkan untuk mengubah iklim ataupun topografi NTT yang selama ini dituding sebagai penyebab kemiskinan daerah itu. Yang harus dilakukan adalah bagaimana pemimpin itu mempergunakan sumber daya yang ada untuk mencari alternatif di sektor ekonomi, sehingga tidak cuma mengandalkan pertanian dan perkebunan sebagai tulang punggung ekonomi daerah apalagi menghadapi kenyataan bahwa sektor pertanian telah mengalami erosi ke arah pertanian monokultur.

Akhirnya, pengentasan kemiskinan dan pemberantasan busung lapar menjadi misi kemanusiaan para kepala daerah yang menjadi pemenang dalam PILKADAL di NTT. Karena busung lapar bukan hanya berimplikasi pada hilangnya nyawa anak-anak balita, tetapi akibat yang tidak kalah mengerikan adalah munculnya generasi berotak kosong di kemudian hari. Wallahuallam bissawab.

No comments: