Thursday, February 15, 2007

Geliat AMAN

Rasanya belum hilang gemerincing simbal, dentuman gendang bele, dan hentakan kaki dari tarian penyambutan tamu di lapangan Tanjung Lombok Barat September 2003. Tak terasa, tak disadari, seperti kata Amir Hamzah, lalu waktu bukan giliranku, mati hari bukan kawanku. Begitulah organisasi AMAN mengalir penuh dinamika yang hidup sampai kita tak merasakan berlalunya waktu, tak menyadari matinya hari-hari yang lewat. Kongres Kedua AMAN telah berlalu setahun lebih.

Kongres itu telah merumuskan agenda besar AMAN sampai Kongres berikutnya. Pertama adalah soal kejelasan basis anggota. Dalam KMAN ditetapkan sejumlah 776 komunitas masyarakat adat dan 23 organisasi masyarakat adat di tingkat daerah yang bernaung di bawah AMAN. Hal ini penting untuk dikemukakan kembali karena kenyataannya telah ada jauh lebih banyak organisasi di daerah yang menyatakan diri sebagai anggota AMAN. Sehingga yang penting dilakukan ke depan adalah mempersiapkan diri untuk mendapatkan pengesahan admistratif organisasi dalam Kongres mendatang.

Setelah Kongres, ada sejumlah organisasi masyarakat adat (OMA) daerah yang telah menjadi anggota AMAN, setelah melakukan musyawarah besar pembentukan orgnasasi. AMAR (Riau), AMA Bengkulu, AMA-PM (Mentawai), AMA Kaltim, PAKAT-Landak Kalbar, Rampi, AMA-BOM (Bolaang Mongondow). AMAN, terlibat secara aktif dalam proses lahirnya berbagai organisasi ini, melalui struktur Dewannya, maupun melalui fasilitasi oleh Seknas AMAN. Sementara itu, sejak jauh sebelum Kongres Kedua berlangsung, telah ada sejumlah organisasi masyarakat adat yang mengembangkan inisiatif untuk menjadi organisasi yang beraliansi ke AMAN. Namun proses-proses keorganisasian masyarakat adat yang harus dijalani secara demokratis belum dapat terwujudkan sampai dengan saat ini. Sebutlah beberapa benih yang telah disemai seperti Pematuli di Tana Ai, Sikka, Flores; Kongres Masyarakat Adat Mollo Utara, Timor; dan sejumlah inisiatif lainnya, termasuk inisiatif sepuluh binua di Kabupaten Pontianak untuk membentuk sebuah organisasi masyarakat adat. Di samping itu AMAN juga sedang melakukan fungsi fasilitasi dalam persiapan menuju musyawarah-musyawarah (Kongres) organisasi-organisasi anggotanya, seperti Perekat Ombara dan BPRPI.

Dinamika-dinamika seperti itu di satu sisi menunjukkan perkembangan yang menarik dari segi kesadaran politik dan organisasi sebaga alat yang paling berdayaguna, di lain pihak juga menimbulkan kecermatan dan kehati-hatian dalam mengembangkan aliansi strategis dengan berbagai pihak. Kejelian dan kehati-hatian diperlukan terutama dalam memperhitungkan langkah agar jangan sampai dimanipulasi atau politik atas nama, hanya karena telah menjadi anggota jaringan. AMAN punya sejumlah pengalaman pahit dengan politik atas nama, dan manipulasi ini.

Perlu ditegaskan di sini bahwa kita berhimpun dalam AMAN untuk berorganisasi, bukan sekedar memobilisasi manusia sebanyak-banyaknya – dengan bahasa yang sedikit kasar, bukan hanya kumpulkan orang untuk teriak-teriak, lalu bubar dan tidak bikin apa-apa lagi. Karena itu, dalam berbagai inisiatif yang muncul, yang dibutuhkan sebagai tindak lanjut bukanlah klaim atau slogan bahwa kita punya organisasi A, B, C dan sebagainya, melainkan upaya membangun proses-proses demokratis untuk memperjelas anggota, menunjuk pengurus organisasi dengan mandat yang jelas yang lahir dari mekanisme organisasi yang jelas pula, yaitu melibatkan seluruh anggota..

Hal ini menyangkut upaya menjawab pertanyaan dasar organisasi: Siapa anggota? Apa tujuan atau cita-cita besar seluruh anggota organisasi? Apa saja prinsip dasar dan panduan utama dalam mengarahkan organisasi? Siapa yang memberi mandat kepada sejumlah orang yang melakukan kerja-kerja program maupun kerja-kerja politik? Bagaimana menghidupkan organisasi?

Jika semua pertanyaan ini dapat dijawab dengan pasti, barulah kita mulai melangkah lebih jauh dengan membagi pekerjaan yang harus dilakukan. Mengenai kejelasan anggota, sampai saat ini Sekretariat berinisiatif untuk membuat data yang lengkap dan terpercaya tentang alamat anggota, organisasi, dan situasi dan kondisi sosial, politik dan lingkungan serta konflik yang dihadapi. Dengan itu diharapkan akan ada tindak lanjut pelayanan oleh organisasi melalui orang da perangkat yang tepat. Dalam hal ini perlu diingat terus bahwa menjadi anggota AMAN artinya mengikuti prinsip berkelanjutan, bersatu dalam keberagaman, demokratis, berkeadilan, dan menjunjung tinggi HAM.

Kedua, tentang tindak lanjut rekomendasi dan tuntutan AMAN kepada Pemerintah. Ada 12 (duabelas) tuntutan Kongres kepada Pemerintah. Di antaranya dapat disebutkan beberapa di sini, pelaksanaan TAP MPR No IX/2001 secara konsisten dengan mencabut seluruh peraturan perundangan yang melecehkan keberadaan dan hak masyarakat adat, seperti UU No. 41/1999 tentang Kehutanan; Mencabut seluruh ijin Kuasa Pertambangan, HPH, HGU, HPHTI, IHPHH, IPK dalam wilayah masyarakat adat; Membuat Undang-Undang Khusus yang mengakui dan melindungi keberadaan dan hak masyarakat adat; Revisi UU 22/1999; Ratifikasi Konvensi ILO 169; dan Menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap masyarakat di seluruh Indonesia; Penyediaan sarana pendidikan yang memadai di daerah-daerah terpencil. Jika kita memeriksa seluruh tuntutan strategis ini, maka dapat dikatakan bahwa sampai satu tahun setelah Kongres Kedua, tidak ada perubahan sama sekali dalam sikap dan tindakan pemerintah.

Daripada mencabut ijin kuasa pertambangan, pemerintah malah menerbitkan UU No. 19/2004 yang memberikan keleluasaan praktek pertambangan di hutan lindung. Bukannya menghentikan kekerasan terhadap masyarakat, pemerintah malah dengan sangat angkuh membunuhi masyarakat adat di Manggarai, yang mengajukan protes atas dibabatnya kebun kopi dan ditahannya rekan-rekan mereka oleh aparat karena melakukan pekerjaan menggarap kebun kopinya sendiri. Dukungan dari sesama anggota AMAN masih kurang dalam setiap kasus yang dihadapi sesama anggota.

Dalam hal pertambangan di hutan lindung yang alas hukumnya telah dipertegas dengan adanya UU No. 19/2004, upaya yang telah dan sedang dilakukan AMAN adalah melakukan gugatan ke Mahkama Konstitusi. Proses ini sedang berlangsung sampai saat ini, dan dukungan dari basis anggota dalam bentuk aksi dan surat ke Mahkama Konstitusi adalah tindakan yang akan sangat efektif untuk mempengaruhi perimbangan tekanan dan pembuatan keputusan.

Dalam kerja kampanye untuk memberantas penebangan liar dan mempromosikan kearifan masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya alam umumnya dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan, AMAN telah melakukan sejumlah workshop dan seminar, baik yang diinisiasi oleh Sekretariat Nasional maupun yang dinisiasi dan dikawal sendiri oleh anggota-anggotanya. AMA Bengkulu, AMAR Riau, AMA Kaltim, AMA Kalbar, Pakat, AMAN Sulsel, AMA Toraja adalah sejumlah organisasi anggota AMAN yang sangat aktif melakukan kerja-kerja kampanye seperti ini. Komunitas-komunitas anggota AMAN juga sebagian telah melakukan upaya pendokumentasian kearifan sistem pengelolaan sumberdaya alam umumnya dan sumberdaya hutan khususnya. Upaya komunitas-komunitas ini sebagian di antaranya difasilitasi oleh AMAN bekerjasama dengan Down to Earth (DtE) untuk dapat didokumentasikan dan dipublikasikan untuk menjadi alat bukti tertulis bahwa masyarakat adat memiliki alternatif yang efektif dalam pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan berkeadilan. Komunitas yang difasilitasi tersebut adalah Kasepuhan Ciptagelar, Toro, Tana Ai, dan sedang dikaji sejumlah komunitas lainnya.

AMAN juga terus mendorong penguatan kerja-kerja di bidang pengelolaan hasil non-kayu melalui kerjasama yang telah berlangsung dua tahun lebih bersama KpSHK dan Telapak Bogor, untuk memperkuat ekonomi komunitas dan sekaligus menunjukkan aspek pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Sejumlah daerah telah dikunjungi untuk memperluas gagasan ini. Flores dan Timor di NTT, Mentawai, Riau dan Jambi di Sumatera, Buru di Maluku, Lombok di NTB dan sejumlah komunitas di Kalsel dan Kalteng (komunitas Bekumpai dan Temboyan).

Berkaitan dengan itu, maka AMAN juga memperkuat gerakan masyarakat adat di Jawa yang memberi perhatian khusus pada gerakan budaya dan spiritualitas masyarakat adat. Upaya ini mendapatkan penguatan formalnya dalam Kongres Pamapuja yang diselenggarakan di komunitas Sedulur Sikep, di Desa Kalioso, Kudus, Jawa Tengah pada 11 – 13 Desember 2004. Acara ini difasilitasi sebagian besarnya oleh AMAN melalui Sekretariat Nasional. Yang penting dicermati adalah bahwa tujuan AMAN adalah transformasi politik dan bukan konservasi sosial budaya. Hal ini diharapkan akan bermuara kepada adanya sebuah peraturan perundangan yang menghormati dan melindungi keberadaan masyarakat adat, sebagaimana diamanatkan Kongres Kedua.

Ketiga, terkait dengan kerja advokasi dan pengkajian, AMAN telah mengembangkan media informasi dan komunikasi yang semakin efektif melalui Gaung AMAN dan sedang mempersiapkan sebuah terbitan berkala yang fokus pada kajian-kajian tentang masyarakat adat di samping terus menjalin kerjasama dengan organisasi pendukung dalam melakkan advokasi di lingkup anggota. AMAn juga sedang mengerjakan website khusus AMAN yang selama ini dikelola oleh Down to Earth (DtE).

Berkaitan dengan bencana gempa tsunami di Aceh, sampai saat ini AMAN telah mengembangkan program khusus untuk pemulihan khusus di Sekretariat Nasional untuk kerja pemulihan Aceh. Dukungan digalang bersama sesama anggota AMAN dengan dengan jaringan AMAN di tingkat internasional, antara lain dengan Assembly of First Nation Canada, Saami Council, AIPP, Permanen Forum, Kementria Luar Negeri Norwegia, dan dengan sejumlah lembaga donor seperti Kemala, ICCO dan UNDP. Komitmen telah diperoleh, tindak lanjutnya masih dalam proses sampai saat ini. Upaya pemulihan Aceh adalah cermin tanggungjawab seluruh organisasi AMAN.

Penulis : Emil Kleden (Sekretaris Pelaksana AMAN)

No comments: