Thursday, February 15, 2007

Say No to Pertambangan

Jika Industri-nya dikuasai Asing

"Kami punya banyak alasan untuk membatalkan kontrak-kontrak tambang itu. Seandainya perusahaan-perusahaan pertambangan itu menggugat kami untuk membayar kompensasi, itu lebih murah daripada harus membayar kerugian negara dan kehancuran lingkungan hidup."

Sekelumit pernyataan tegas di atas disampaikan Presiden Kostarika pada bulan Juli 2002, dalam sebuah deklarasi damai terhadap alam dan lingkungan. Presiden Abel Pacheco, berani membuat keputusan untuk melarang praktik pertambangan terbuka walaupun tengah menghadapi gelombang ancaman dari pelaku pertambangan internasional yang akan menggugat pemerintah Kostarika ke pengadilan arbitrase internasional. Namun, keteguhan akan sebuah masa depan bangsa yang lebih baik, tidak menyurutkan langkah Presiden Abel Pacheco untuk kukuh menolak praktik pertambangan terbuka di Kostarika.

Indonesia punya cerita lain lagi. Pada tanggal 11 Maret 2004 Pemerintahan Megawati mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 2004 yang melapangkan jalan para pelaku pertambangan untuk mengeksploitasi sumber daya mineral, bahkan yang berada di dalam kawasan lindung dan konservasi. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2004 yang mengatur tentang perubahan UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan ini akan dijadikan payung hukum bagi perusahaan-perusahaan tambang yang operasinya terganjal oleh UU No. 41/1999 tentang Kehutanan.

Dengan dalih untuk menciptakan kepastian hukum dan iklim investasi, pemerintah rela mengorbankan kawasan hutan lindungnya untuk dieksploitasi perusahaan tambang. Berdasarkan keterangan resmi pemerintah (Departemen Kehutanan) ada 13 perusahaan tambang yang akan memperoleh prioritas melanjutkan kegiatan eksploitasinya di hutan lindung. Ketigabelas perusahaan itu adalah: PT. Sorik Mas Mining, PT. Karimun Granite, PT. Natarang Mining, PT. Indominco Mandiri, PT Interex Sacra Raya, PT. Pelsart Tambang Kencana, PT. Nickel Indonesia (INCO), PT Aneka Tambang (ANTAM), PT. Nusa Halmahera Mineral, PT. Weda Bay Nickel, PT. Gag Nikel, dan PT Freeport Indonesia (FI). Maka tersenyum lebarlah para pemilik masakapai-maskapai pertambangan di atas karena menerima jatah membongkar 925.000 hektar kawasan lindung untuk 13 lokasi pertambangan terbuka.

Namun catatlah ini: Investasi ini akan mengancam sekitar 7 juta penduduk di sekitar hutan lindung pada 25 kabupaten di 10 propinsi, dimana 30% di antaranya sudah hidup di bawah garis kemiskinan dan kelak harus hidup dengan limbah beracun pertambangan.

Indonesia dalam keadaan darurat?

Di tengah hiruk pikuk dunia politik menjelang pemilihan umum, pemerintahan Megawati meloloskan satu produk kebijakan yang cacat hukum jika dilihat dari segi prosesnya dan jauh dari rasa keadilan rakyat jika dilihat dari segi substansinya.

Dari segi prosesnya, Pemerintahan Megawati telah melanggar ketentuan Konstitusi yaitu UUD 1945 pasal 22 dan mengabaikan mandat Ketetapan MPR RI No.III tahun 2000 tentang Tata Cara Urutan Peraturan Perundang-undangan, dimana dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa "hanya dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tersebut harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan". Dalam proses penetapan Perpu No.1/2004 ini pemerintahan Megawati telah mengeluarkan Perpu tanpa memberikan alasan jelas. Pemerintah juga tidak mensosialisasikan lebih dulu alasan tersebut kepada masyarakat. Selain itu, persetujuan dari DPR dikesampingkan dan secara gamblang telah memotong proses pembahasan materi yang sedang dilakukan oleh DPR RI berkaitan dengan obyek materi yang diatur.

Sementara terhadangnya proses aktivitas penambangan di kawasan lindung bukanlah gambaran suatu kondisi negara dalam keadaan darurat. Sehingga Perpu hanya dijadikan alat legitimasi hukum untuk meloloskan kepentingan pihak penguasa dan pemodal.

Menurut Senior Investigator Petromine Watch, Ali Azhar Akbar, penerbitan Perpu ini sama sekali tidak memenuhi persyaratan keadaan darurat. "Selain itu, ada perubahan sikap dari Menteri Kehutanan, Prakosa, yang sebelumnya ngotot melarang tetapi kini justru menyetujui," ujarnya. Sehingga timbul kecurigaan terhadap keluarnya Perpu tersebut, yang disinyalir diliputi nuansa persekongkolan sebagai alat untuk mengisi dompet dana kampanye sejumlah partai politik dan calon presiden Pemilu 2004.

Dari segi substansinya, Perpu itu sama sekali tidak mencerminkan adanya keberpihakan terhadap nasib jutaan rakyat dan keberlanjutan fungsi hutan lindung. Perpu itu justru merefleksikan keberpihakan Pemerintah Megawati terhadap kepentingan para investor tambang yang notabene dikuasai oleh korporasi multinasional. Sementara kepentingan rakyat yang di seputar lokasi yang telah lama hidup di bawah garis kemiskinan malah diabaikan.

Hal ini terlihat jelas dari konsideran yang tercantum dalam Perpu itu dimana disebutkan bahwa Perpu itu dibuat demi terciptanya kepastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan di kawasan hutan, dan mendorong minat serta kepercayaan investor untuk berusaha di Indonesia.

Potret Buram Masa Depan Hutan dan Masyarakat Adat Indonesia

Kondisi hutan Indonesia saat ini berada dalam ambang batas kritis. Seperti gambaran yang disampaikan Walhi, bahwa hutan Indonesia dalam tiap menitnya berkurang sekitar 3,3 hektar. Dan luas tersebut sama dengan tiga kali lapangan sepak bola. Padahal luas keseluruhan hutan Indonesia saat ini tersisa sekitar 98 juta hektar, dan paling sedikit setengahnya dipercaya telah mengalami degradasi akibat kegiatan manusia. Tingkat laju pengurangan hutan (deforestasi) dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang sangat tajam. Indonesia telah kehilangan sekitar 17% hutannya pada periode 1985 dan 1997. Rata-rata negara kehilangan 1 juta hektar hutan setiap tahun pada tahun 1980-an, dan meningkat menjadi 1,7 juta ha per tahun pada tahun 1990-an. Sejak tahun 1996, deforestasi meningkat sampai 2 juta hektar pertahun. Saat ini laju kerusakan hutan meningkat menjadi 2,4 juta hektar/ tahun (Forest Wact Indonesia: 2003).

Warna suram kondisi hutan Indonesia di atas diperparah dengan keluarnya Perpu No. 1 Tahun 2004 yang memberikan izin operasi perusahaan tambang di kawasan hutan lindung. Apalagi, banyak wilayah konsesi perusahaan-perusahaan tambang itu yang berada di kawasan taman Nasional, bahkan beberapa di antaranya berada di lokasi yang ditetapkan sebagai kawasan warisan dunia (world heritage). Misalnya, areal konsesi Perusahaan tambang emas Newmont Horas Nauli dan Sorikmas Mining, di Mandailing Natal (Sumut) berada di kawasan hutan lindung Batang Gadis yang ditetapkan sebagai Taman Nasional.

Lantas, bagaimana nasib masyarakat adat di sekitar 13 lokasi yang menjadi areal konsesi perusahaan pertambangan? Populasi masyarakat adat yang berada di sekitar 13 kawasan tersebut berjumlah sekitar 7 juta orang. Jika ditelisik ke belakang, praktek pertambangan Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir telah banyak menimbulkan masalah terhadap masyarakat adat dalam bentuk pelanggaran HAM, penggusuran lahan dan juga perusakan lingkungan hidup. Misalnya, menurut data yang dikeluarkan oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), ada sekitar 25 ribu anggota komunitas adat Amungme dan Komoro yang menderita karena kehadiran Freeport Indonesia; sekitar 20 ribu warga komunitas adat Dayak Siang, Murung dan Bekumpai yang kehilangan pendapatan karena lokasi tambangnya diberikan pada PT. IMK; sekitar 12 ribu orang Kelian harus kehilangan kampung dan mata pencaharian karena kehadiran PT. Kelian Equatorial Mining, dan ada puluhan ribu orang yang tidak bisa memanfaatkan sungai Tiku karena tercemar limbah PT. Barisan Tropical Mining. Sementara itu, menuruta data yang dikeluarkan KOMPAS, ada 14 kasus pertambangan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan. Kasus-kasus tersebut hampir memiliki kesamaan, yakni pembuangan limbah pertambangan yang di buang secara serampangan ke sungai dan laut. Tak bisa dipungkiri bahwa air adalah sumber kehidupan umat manusia, namun air tersebut tidak bisa dimanfaatkan karena sudah tercemar limbah pertambangan. Belum terhitung lagi penderitaan komunitas adat Dongi di Soroako, Minahasa, Sumbawa dan daerah lain yang juga menderita karena kehadiran perusahaan tambang di kesatuan wilayah adatnya. Kasus terakhir yang mencuat adalah terkontaminasinya masyarakat Buyat oleh air raksa (mercuri) yang melebihi ambang batas normal, hingga menimbulkan korban nyawa. Limbah tailing yang dibuang ke laut oleh perusahaan pertambangan PT. Newmont Minahasa Raya (NMR) yang menjadi penyebabnya.

Pertambangan dan devisa negara

Bagi negara, investasi pertambangan adalah aset yang harus dilindungi (kadang menggunakan kekerasan melalui aparat) dan dihormati (sering berlebihan), serta diakselerasi kehadirannya (melalui insentif dan disinsentif), karena investasi tambang mendukung pertumbuhan ekonomi dan mendatangkan masukan langsung kas negara melalui pembayaran pajak dan royalti. Tapi benarkah itu? Karena selama ini negara telah dikecohkan oleh angka kontribusi sektor pertambangan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tidak heran, karena dari segi angka-angka, sektor ini memegang peran penting bagi pendapatan negara. Menurut Price Waterhouse Coopers (PWC) pendapatan negara tahun 1998 dari 12 industri tambang yang mereka survey sebesar Rp. 5.666.000.000.000 (lima triliun enam ratus enam puluh enam miliyar rupiah). Sepintas terlihat suatu angka yang sangat besar. Angka ini yang selalu dibanggakan oleh pelaku pertambangan di Indonesia termasuk pemerintah.

Namun, sayang tidak ada satu perhitungan (baik pemerintah, pelaku pertambangan maupun PwC) yang membandingkan antara pendapatan negara dari pajak dan royalti dengan laju kerusakan hutan alam, hancurnya ekosistem sungai dan laut, kontaminasi air bersih oleh logam berat, harga mineral yang diberi gratis, ditinggalkannya danau-danau besar beracun pasca penambangan, menurunnya pendapatan penduduk lokal dan hilangnya keragaman hayati akibat kegiatan penambangan. Jika dilakukan perbandingan, maka negara dan pelaku tambang tidak lagi bangga, karena akan terlihat besaran kontribusi pertambangan bagi pemiskinan struktural penduduk lokal dan terancamnya keselamatan generasi mendatang karena lingkungan hidup yang dicemari.

Berkaitan dengan keluarnya Perpu No. 1 Tahun 2004, hasil perhitungan yang dilakukan oleh Greenomics Indonesia, kontribusi sektor pertambangan sebenarnya tidak sebanding dengan nilai kerugian ekologi yang harus dibayar. Dari hasil studi menunjukkan bahwa 25 wilayah kabupaten/kota yang akan dijadikan lokasi kegiatan tambang, akan mengalami kehilangan nilai ekonomi modal ekologi tidak kurang dari Rp 70 triliun per tahun dengan pemberlakuan Perpu No. 1/2004 di atas. Padahal nilai ekonomi modal ekologi ini hanya dihitung dari kawasan hutan lindung yang luasnya tidak lebih dari satu juta hektar, hanya 925.000 hektar. Sementara nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari 25 kabupaten/kota tersebut rata-rata hanya sekitar Rp 42 triliun per tahun. Artinya ada selisih Rp 38 triliun, dan itu harus ditanggung oleh pemerintah daerah.

Pemerintah juga harus berpikir ulang karena eksploitasi tambang terbuka di hutan lindung secara bertahap akan menurunkan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sekitar Rp 23,05 triliun per tahun nilai PDRB di 25 kabupaten/kota akan menyusut, setidaknya ketika modal ekologi terdivestasi pada tingkat yang signifikan selama 14 tahun ke depan. Nilai PAD 25 kabupaten/kota yang hanya sekitar Rp 93 miliar pada tahun 2003 juga akan turut terdivestasi, karena praktik tambang terbuka di hutan lindung akan menciptakan perekonomian lokal serba mahal. Ini adalah konsekuensi logis dari divestasi peranan ekologis hutan lindung yang dimainkan oleh Daerah Aliran Sungai (DAS) terhadap berbagai kegiatan perekonomian masyarakat, seperti pertanian, perikanan, industri, dan lain sebagainya.

Globalisasi Ekonomi dan Pengaruhnya bagi Pertambangan Indonesia

Keluarnya Perpu No. 1 Tahun 2004, harus juga dilihat dalam bingkai globalisasi. Krisis kapitalisme yang terjadi, mendorong korporasi-korporasi internasional mencari lahan-lahan baru yang penuh dengan potensi sumber daya alam. Dan lahan-lahan tersebut ada di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia. Dalam skenario globalisasi, program penyesuaian struktural/Structural Adjustment Programme (SAP) harus diterapkan oleh negara-negara pengutang seperti Indonesia. Salah satu point dalam SAP adalah deregulasi kebijakan. Artinya, pemerintah Indonesia harus men-deregulasi (mengubahnya sesuai kepentingan bisnis multinasional lewat instrumennya seperti WTO) kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip investasi. Nah, karena investasi di pertambangan terinterupsi dengan adanya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Maka harus disusun satu regulasi baru, yakni Perpu No. 1 Tahun 2004 yang pada prinsipnya menambah ketentuan baru pada UU No 41/1999, yang menegaskan, semua perizinan atau perjanjian pada bidang pertambangan di kawasan hutan lindung sebelum berlakunya UU itu dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian tersebut.

Peran lembaga keuangan global juga mewarnai buruknya wajah pertambangan di Indonesia. Beberapa perusahaan besar seperti Newmont Nusa Tenggara (NNT) dan INCO yang membangun operasional tambangnya dengan mekanisme Eksport Credit Agency's (ECA's). Dengan skema ECA's, pemerintah akan menanggung sejumlah hutang jika terjadi masalah atau kegagalan dalam pertambangan NNT. Hutang negara ini secara tidak langsung akan menjadi hutang rakyat Indonesia. Bahkan untuk menutup pertambangannya pada tahun 2003, PT KEM mendapat pinjaman Bank Dunia dengan tanggungan pemerintah Indonesia. Sumber daya mineral terkuras habis, lahan bekas tambang rusak berat, dan harus menanggung hutang untuk memperbaikinya.

Membangun Kekuatan, Menghadang Pertambangan

Kini, persiapan tengah dilakukan maskapai-maskapai pertambangan raksasa yang telah mendapat izin beroperasi, untuk mengekstrasi semua potensi sumber daya mineral yang terkandung di bawah tanah didalam kawasan hutan lindung. Tidak lama lagi, deru mesin-mesin pertambangan yang memekakan telinga akan terdengar di tengah hutan yang sebelumnya hening dan tenang. Haruskah hal ini kita diamkan? Jawabannya TIDAK!

Mulai saat ini, konsolidasi komunitas-komunitas adat harus segera diintensifkan. Tidak ada jalan lain kecuali merancang satu agenda bersama, yang menghasilkan sebuah strategi dan taktik untuk menghadang masuknya perusahaan pertambangan di wilayah persekutuan adat kita. Lebih baik mengantisipasi sejak dini dari pada terlanjur terjadi bencana lingkungan yang menghancurkan masa depan generasi selanjutnya.

Pengalaman menunjukkan bahwa kita selalu kalah ketika melawan suatu kebijakan setelah ia dilaksanakan dalam kampung-kampung kita. Karena itu kita harus sudah menolak sebelum ia masuk dan mengobrak-abrik kampung kita.

No comments: