Thursday, February 15, 2007

TERASING DI NEGERI SENDIRI

“Anak-anak kami yang lahir dari pernikahan adat, dianggap sebagai anak haram karena pernikahan orang tuanya tidak tercatat di Kantor Catatan Sipil”

(Pengakuan Pak Kento Subarman, Warga Masyarakat Adat Karuhun Cigugur)

Pengakuan negara yang terbatas pada 5 agama besar telah memunculkan perlakuan diskriminatif terhadap masyarakat adat. Kepercayaan masyarakat adat yang sering disebut oleh para ahli Antropologi sebagai agama lokal, misalnya saja Kaharingan (Kalimantan), Aluk Ta’ Dolo (Toraya), dan Karuhun (Cigugur). Pemerintah menganggap agama-agama tersebut sebagai budaya, bukan agama, dan dikategorikan sebagai Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Jaman Soeharto, urusan agama lokal ini menjadi kewenangan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bukan Departemen Agama. Namun sekarang ini menjadi tidak jelas siapa yang harus mengurusi Penghayat Kepercayaan karena faktanya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sudah dihapus. Urusan budaya dialihkan pada Departemen Budaya dan Pariwisata. Tapi bagaimana itu diurus, belum juga jelas. Bahkan masyarakat adat dipaksa untuk menuliskan lima agama besar dalam kartu identitas (KTP) mereka. Padahal sebagai warga negara, mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama kepada negara, seperti warga negara lainnya.

Persoalan ‘pemaksaan” pencantuman agama besar dalam KTP maupun dokumen lainnya ini menimbulkan dampak pada pemenuhan hak masyarakat adat. Bagi masyarakat adat Karuhun Cigugur – Jawa Barat, pemenuhan hak sebagai warga negara belum didapatkan. Bahkan mereka menerima perlakuan yang diskriminatif, terutama dalam pelayanan hak sipil, seperti:
- Pengisian kolom Agama pada KTP dan dokumen resmi lainya. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka menganut dan menjalankan kepercayaan agama Karuhun. Tapi mereka diharuskan untuk mencantumkan salah satu agama dari agama yang diakui negara. Jika menolak, ia tidak akan mendapat KTP. Padahal untuk segala urusan, negara mengharuskan warganya mempunyai KTP.
- Pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil. Bagi pasangan suami-istri yang melangsungkan perkawinan secara adat, pihak Kantor Catatan Sipil tidak mau mencatatnya dan tidak mau memberikan Akte Perkawinan.
- Pengurusan Akte Kelahiran Anak. Karena orang tua tidak memiliki Akte Perkawinan maka anak dianggap lahir di luar nikah. Sehingga si anak tidak bisa memperoleh Akte Kelahiran.
- Hak atas Pendidikan. Dalam praktek mendapatkan pendidikan di sekolah (pendidikan formal), anak-anak Warga Karuhunan tidak mendapatkan pendidikan agama. Padahal pendidik yang berasal dari warga Karuhunan cukup tersedia. Untuk mendapatkan nilai mata pelajaran agama, anak diharuskan untuk mengikuti salah satu agama yang ada di sekolah itu, yang tentunya hanya 5 agama yang diakui pemerintah. Ini menunjukkan pemerkosaan atas hak Asasi anak dalam menentukan pilihannya.
- Hak mengucapkan sumpah/janji pegawai. Untuk masyarakat adat Karuhunan yang menjadi PNS, karena tidak mengucapkan sumpah/janji, yang bersangkutan kehilangan Hak promosi Jabatan.
- Hak untuk Mendapatkan Tunjangan Keluarga (istri dan anak) bagi PNS. Karena tidak memiliki Akte Perkawinan, ia selamanya dianggap berstatus bujangan dan tidak mendapatkan tunjangan untuk anak dan istrinya.

Menyikapi perlakuan yang diskriminatif tersebut diatas, bulan Mei 2004 perwakilan masyarakat adat Cigugur melangsungkan pertemuan antara Komnas HAM dan ICRP. Pertemuan tersebut membahas Penataan Ulang Hubungan Negara dan Agama. Selain pertemuan itu, mereka sebelumnya telah melakukan beberapa upaya untuk mendapatkan keadilan dan pemenuhan atas hak-haknya. Upaya yang sudah dilakukan antara lain:
- Menggugat Kantor Catatan Sipil melalui PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara). Di PTUN, penggugat (masyarakat adat Karuhun) dimenangkan oleh pengadilan. Hasil keputusan ini ditanggapi oleh Kantor Cacatan Sipil dengan naik banding. Di tingkat itu, Kantor Cacatan Sipil yang dimenangkan. Karena dianggap tidak adil, masyarakat adat Cigugur kemudian melanjutkan proses hukum ini ke tingkat Kasasi ke Mahkamah Agung. Sampai sekarang, hasilnya belum diketahui alias masih tanda tanya.
- Dua kali menyampaikan permasalahan diskriminasi yang dialami masyarakat adat Karuhun Cigugur kepada Komnas HAM. Pimpinan Komnas HAM menerima perwakilan masyarakat adat Karuhun Cigugur. Mereka menyatakan akan menyampaikan “keluhan” masyarakat adat Karuhun Cigugur kepada para pihak terkait, termasuk kepada Legislatif selaku pembuat Undang-Undang
- Melaksanakan seminar, lokakarya bahkan membentuk forum dialog. Berbagai pertemuan tersebut dimaksudkan untuk menghasilkan rekomendasi atas permasalahan yang terjadi. Namun sampai sekarang ini, belum ada perubahan.

Upaya-upaya diatas menunjukkan bahwa proses perjuangan untuk mendapat pengakuan atas keberadaan masyarakat adat Karuhun Cigugur, sangat panjang. Pengakuan ini sangat penting karena mereka adalah warga negara yang tidak sepatutnya menerima perlakuan yang berbeda. Sudah seharusnya negara tidak mencampuri bahkan membatasi agama yang akan dianut oleh warga negara. Bahkan negara seharusnya memberikan kebebasan bagi warganya untuk menentukan sendiri apa agama yang akan mereka anut, seperti yang diatur dalam UUD pasal 29.

Kekhawatiran agama menjadi sumber konflik, adalah isu yang mengada-ada. Kenyataannya, konflik yang terjadi di Poso maupun Ambon bukan lah karena perbedaan agama tapi provokasi dari pihak-pihak tertentu demi kepentingan politik tertentu. Masyarakat adat sudah membuktikan, terutama di Cigugur khususnya di wilayah komunitas masyarakat adat Karuhun, kehidupan masyarakat sangat pluralis baik keyakinan/agama maupun etnis. Perbedaan yang ada tidak pernah menjadi pertentangan dan masyarakat hidup harmonis, rukun dan damai. Menurut pak Kento, agama yang dianut oleh masyarakat adat sesungguhnya mengedepankan solusi kemanusiaan dan kontekstual dengan konteks sosiologis tertentu.

No comments: