Sunday, May 25, 2014

Membandingkan Visi dan Misi Capres Terkait Reforma Agraria Dan Penyelesaian Konflik Tenurial



Dalam Sembilan program prioritas atau Nawa Cita yang dirumuskan pasangan Jokowi – JK, ada beberapa hal yang terkait dengan agraria, yakni point no 5 tentang peningkatan kualitas hidup rakyat melalui program Indonesia kerja dan Indonesia sejahtera dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 juta hektar. Kemudian Point nomor 7 tentang mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Kemuddian mewujudkan kedaulatan pangan melalui kebijakan perbaikan irigasi dan jaringan irigasi di 3 juta hektar, 1 juta hektar sawah baru diluar jawa. Pengehentian konversi lahan produktif untuk usaha lain seperti industri, perumahan, perkebunan dan pertambangan.

Dalam program berdaulat secara politik, terutama terkait dengan desa. Program jokowi – JK yang menarik adalah menyiapkan dan menjalankan kebijakan regulasi baru tentang share holding antara pemerintah, investor dan desa dalam pengelolaan sumber daya alam. Pasangan Jokowi – JK akan menyiapkan dan menjalankan kebijakan-kebijakan dan regulasi baru tentang akses dan hak desa untuk mengelola sumber daya alam skala lokal untuk kemakmuran rakyat. Kemudian pada point no 9 tentang melindungi dan memajukan hak-hak masyarakat adat. Dalam kebijakan perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat ini, bagi saya adalah program yang selangkah lebih maju dari program pasangan Prabowo - Hatta. Program pasangan Jokowi - JK dalam pengelolaan sumber daya alam ini cukup maju namun bisa menjadi boomerang bagi pasangan Jokowi – JK jika tidak diimplementasikan. 

Sebaliknya, program-program yang ditawarkan pasangan Prabowo – Hatta mengedepankan program-program yang merujuk pada pertumbuhan ekonomi. Dalam program terkait pengelolaan sumber daya alam dan di ranah agraria, pasangan Prabowo – Hatta menjadikan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sebagai basis perumusan program mereka. Program MP3EI ini diluncurkan sejak 2011, dan program ini menuai kritik keras dari aktifis lingkungan dan sosial.

Lantas apa saja program-program yang ditawarkan pasangan Prabowo – Hatta yang bersinggungan dengan persoalan agraria? Dalam visi dan misi yang dimasukkan ke KPU, pasangan Prabowo – Hatta akan membangun industri pengolahan untuk menguasai nilai tambah bagi perekonomian nasional dengan salah satunya melaksanakan Reformasi Pengelolaan Sumber daya Alam dan Industri dengan tujuan meningkatkan nilai tambah dari sumber daya alam, mulai dari mineral, batu bara, minyak, gas, kehutanan hingga kelautan, bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kemudian terdapat program mempercepat reforma agraria untuk menjamin kepemilikan tanah rakyat, meningkatkan akses dan penguasaan lahan yang lebih adil dan berkerakyatan, serta menyediakan rumah murah bagi rakyat. Untuk program kedaulatan pangan, Prabowo – Hatta akan mencetak 2 juta hektar lahan baru untuk meningkatkan produksi pangan antara lain beras, jagung, sagu, kedele dan tebu yang dapat mempekerjakan lebih dari 12 juta juta orang; dan mempercepat pengembangan inovasi dan teknologi untuk meningkatkan produktifitas pertanian rakyat, terutama tanaman pangan (termasuk hortikultura), peternakan dan perikanan, melalui penambahan dana riset sebesar Rp 10 triliun dari APBN selama 2015-2019, termasuk membangun Demplot Peningkatan Produktifitas Pertanian Rakyat di setiap Kabupaten mulai tahun 2015, disesuaikan dengan pengembangan koridor ekonomi MP3EI. Dan masih ada lagi program-program terakait dengan kelestarian alam dan lingkungan hidup. Dan salah satu point yang cukup menjadi perhatian saya adalah program reboisasi 77 juta hektar hutan yang sudah rusak dengan sistem tumpang-sari penanaman bambu, jabon, sengon, sagu, bakau dan tanaman lainnya serta konservasi aneka ragam hayati, hutan lindung, taman nasional dan suaka alam. Termasuk juga program mendorong  usaha batubara, nikel, tembaga, bauksit dan bijih besi menjadi pertambangan yang ramah lingkungan dan sosial.

Sejauh pemahaman saya, Prabowo dan kelompok pendukungnya seperti Aburizal Bakrie adalah kelompok pemodal yang mempunyai konsesi lahan berjuta-juta hektar luasnya. Apakah lahan-lahan yang dimiliki oleh Prabowo dan ARB akan masuk dalam kawasan-kawasan yang diakan reboisasi seperti yang tercantum dalam program mereka? Entahlah…. Hanya Tuhan yang tahu. Kemudian pertambangan ramah lingkungan, seperti apa program ini? Sejauh ini saya belum menemukan praktek-praktek pertambangan yang ramah lingkungan. Entahlah jika pasangan Prabowo – Hatta nanti berkuasa, mungkin mereka akan menemukan tekhnologi tepat guna yang ramah lingkungan.

Merujuk pada program-program yang ditawarkan kedua capres di atas, ada perbedaan yang cukup kontras terkait dengan penghormatan terhadap hak-hak rakyat. Pasangan Jokowi – JK menempatkan manusia sebagai subjek dari programnya dengan menghormati hak-hak manusia sebagai bagian yang tak terpisahkan dari ekosistem dan alam. Berbeda dengan pasangan Prabowo – Hatta yang tak secuil pun memasukan penghormatan dan perlindungan kelompok-kelompok masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam, seperti penghormatan terhadap masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya hutan.

Dalam tulisan ini, saya akan menggunakan indikator pembenahan konflik tenurial untuk menilai program-program para capres yang berhubungan dengan agraria.

Konflik tenurial dalam pengelolaan sumber daya alam, tak bisa diingkari, adalah episentrum konflik dan silang sengkarut persoalan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, termasuk sektor perkebunan dan pertambangan. Tumpang tindih kepemilikan tanah, surat izin bertabrakan, bukan kisah baru di jagat industri ekstraktif seperti pertambangan dan perkebunan. Sertifikat resmi pun tak jarang tak berpengaruh apa pun, penyerobot (perusahaan atau individu) bisa beraksi leluasa, terutama jika didukung kolusi dengan pemerintah dan aparat hukum.

Konflik tenurial pun mewujud dalam spektrum -- jenis sengketa maupun wilayah sebaran konflik—yang luas. Konflik tenurial sangat marak terjadi dalam 5 tahun terakhir. Inilah persoalan kronis, yang menumpuk dan menumpuk selama puluhan tahun, yang siap meledak di ratusan titik di wilayah Indonesia. Data olahan Sawit Watch menunjukkan bahwa kurang lebih sekitar 396 komunitas berkonflik dengan perusahaan perkebunan di 8 provinsi. Konflik terjadi umumnya karena tumpang tindih kepemilikan lahan antara izin konsesi perusahaan dengan wilayah kelola rakyat. Sementara itu data KPA memperlihatkan dalam dua periode kepemimpinan SBY, konflik agraria cenderung mengalami peningkatan. Sepanjang 2013, KPA mencatat 369 konflik agraria dengan luasan lahan mencapai 1. 281.660.09 hektar melibatkan 139.874 keluarga. Konflik perkebunan di peringkat teratas dengan 180 kasus (48,78%), disusul infrastruktur 105 kasus (28,46%), pertambangan 38 (10,3%), kehutanan 31 (8,4%), pesisir kelautan 9 (2,44%) dan lain-lain enama kasus (1,63%). Jadi, setiap hari terjadi lebih dari satu konflik agraria melibatkan 383 keluarga atau 1.532 jiwa dengan luasan wilayah sekiar 3.512 hektar.

Sektor kehutanan, area konflik agraria terluas sekitar 545.258 hektar disusul perkebunan 527.939,27 hektar dan pertambangan 197.365,90 hektar. Dibandingkan 2012, ada peningkatan areal konflik 318.248,89 atau naik 33,03 persen. Dari sisi jumlah kasus naik 198 atau 86,36 persen.

Selama lima tahun terakhir (2009-2013) terjadi peningkatan konflik sebanyak 314% atau tiga kali lipat jika dibandingkan 2009.  Areal konflik meningkat drastis mencapai 861% dan keluarga terlibat konflik naik tajam sebesar 1.744%.

Untuk pembenahan ini, pasangan Jokowi – JK menawarkan program reforma agraria, salah satunya adalah melaksanakan land reform. Land reform ini dapat dimaknai bahwa pasangan Jokowi – JK akan mendistribusikan lahan ke rakyat, terutama ke petani gurem tak bertanah. Dari visi dan misi-nya, pasangan Jokowi – JK akan mendistribukan lahan seluas 9 juta hektar dan akan mencetak sawah baru seluas 1 juta hektar. Bagaimana dengan pasangan Prabowo – Hatta? Pasangan ini akan melakukan reforma agraria dan mencetak sawah baru seluas 2 juta hektar.

Jika ditelisik lebih jauh, program mencetak sawah baru seluas 1 juta hektar milik Jokowi – JK sedikit lebih maju dari program mencetak sawah baru seluas 2 juta hektar milik Prabowo – Hatta. Kenapa? Karena program 1 juta hektar sawah baru milik Jokowi – JK peruntukannya buat petani, sementara program 2 juta hektar sawah baru milik Prabowo – Hatta tidak jelas peruntukannya. Apakah buat petani atau buat pengembangan agribisnis seperti MIFEE. Jika pruntukannya hanya untuk agribisnis, maka akan mengancam kehidupan dan produksi petani gurem tak bertanah. Jumlah petani akan jauh menyusut dan kemungkinan besar punah.

Terkait dengan penyelesaian konflik tenurial ini, pasangan Jokowi – JK menawarkan salah satu solusi yang keren yakni penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat. Dalam program Jokowi – JK, ada 6 program perioritas terkait dengan hak-hak masyarakat adat (point 9). Bahkan salah satunya, Jokowi - JK berkomitmen akan membentuk komisi independen yang akan melakukan kajian dan penilaian atas berbagai kebijakan yang terkait dengan masyarakat adat dan pengelolaan sumber daya alam. Komisi ini yang akan menjadi kunci penting untuk membenahi berbagai konflik tenurial yang meledak diberbagai wilayah, yang melibatkan masyarakat adat, Negara dan pemodal.

Salah satu program Jokowi – JK yang terdapat dalam visi – misinya adalah penyempuranaan Undang-Undang Pokok Agraia. Mungkin tim penyusun visi dan misi Jokowi – JK melakukan riset terkait dengan meletupnya konflik-konflik tenurial. Konflik lahan kian menjadi karena pemerintah SBY dan DPR tak melirik UUPA 1960 sebagai solusi penyelesaian konflik lahan. UUPA adalah satu-satunya perundangan yang mengatur pertanahan. Setengah abad berlalu sejak UUPA disahkan, pemerintah dan para politisi di gedung DPR tidak juga menempatkan persoalan agraria sebagai agenda legislasi dengan urgensi tinggi. Sebuah paradoks getir di negeri yang katanya negeri agraris.

Nah, sejauh UUPA belum tergantikan, pasangan Jokowi - JK merujuk kembali spirit utama dalam produk legislasi tersebut. UUPA jelas menyebutkan batasan kepemilikan lahan, ketentuan Hak Guna Usaha, hak pakai, hak ulayat dan hak memungut hasil hutan. Semangat reformasi dan perlindungan pada rakyat jelas terasa dalam UUPA. Adalah tugas parlemen dan pemerintah untuk secara serius membuat revisi perundangan dan turunannya secara jelas mengatur teknis kepemilikan tanah, air dan udara seperti dimaksud UUPA.

Sebaliknya, tidak tampak program pembenahan konflik tenurial dalam program Prabowo – Hatta. Entah instrument dan mekanisme apa yang akan digunakan pasangan Prabowo – Hatta dalam membenahi konflik tenurial ini. Pasangan Prabowo – Hatta mendasarkan program pengelolaan sumber daya alam pada MP3EI, menempatkan sumber-sumber agraria seperti kelapa sawit sebagai salah satu sektor penting yang akan digenjot habis-habisan.

Rencana MP3EI adalah menggemukkan pundi-pundi pendapatan negara dari sumber daya alam. Caranya, dengan ekstensifikasi meluaskan kebun di berbagai area, membangun pelabuhan, jalan-jalan penghubung, rel kereta api, menumbuhkan industri hilir, serta meremajakan kebun dengan bibit bagus, dan mempromosikan penggunaan pupuk berkualitas.



Namun, skenario gemilang pasangan Prabowo - Hatta tampak melupakan persoalan utama yang menjadi sumber kanker pengelolaan sumber daya alam Indonesia, yakni penghormatan atas hak-hak masyarakat adat dan lokal, serta perubahan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam. Program pasangan Prabowo - Hatta tidak sedikit pun menyiratkan strategi membasmi kanker itu secara tuntas. Visi dan misi pasangan Prabowo - Hatta nyata betul hanya menimbang pertumbuhan fisik, yang diwakili dengan rel kereta, pabrik CPO, bangun smelter, dan pelabuhan ekspor. Persoalan yang lebih subtil dilupakan, mungkin lantaran membutuhkan kerja keras dan komitmen nyata pada rakyat dan petani kecil. Padahal, perkara kualitatif, bukan sekadar statistik, itulah yang menentukan kualitas pengelolaan sumber daya alam di negeri ini.


Pada akhirnya, apabila pembenahan konflik tenurial tersebut dilakukan dengan serius, kita bisa berharap pada kembalinya marwah sumber daya alam yang akan mensejahterakan rakyat. Dalam pandangan saya, rakyat bisa berharap pada program-program pasangan Jokowi – JK yang menempatkan manusia sebagai subjek dalam pengelolaan sumber daya alam dan agraria. Dan program-program Jokowi – JK tersebut harus ditindaklanjuti dengan pembenahan sengkarut kepemilikan tanah dan perizinan. Ini semua memang melibatkan pembenahan sungguh-sungguh dalam tata kelola pemerintahan (terkait pemberian izin, sertifikasi lahan, dan supervisi pengelolaan sumber daya alam, menyehatkan iklim bisnis (investor yang tak main suap sana-sini), dan civil society yang kuat. Yang terakhir ini termasuk petani dan buruh yang kritis memperjuangkan haknya, riset komprehensif dari para akademisi tentang pengelolaan sumber daya alam, serta NGO dan media yang kompeten memantau apa yang terjadi di lapangan. Konflik tenurial memang sebuah kisah epik di negeri ini. Perjalanannya menyisakan pekerjaan rumah menggunung, yang sangat layak kita perjuangkan. Manusia, bumi dan isinya layak diperlakukan dengan respek. Hanya dengan begitu, alam akan membalas dengan sepadan dan bahkan jauh lebih baik.

1 comment:

Unknown said...

Ini baru mantap, "memandingkan" Calon berdasarkan programnya, lebih menarik jika dibandingkan juga program agraria SBY selama berkuasa SBY-JK/SBY-Boediono. dengan PPAN nya