Dalam
Sembilan program prioritas atau Nawa Cita yang dirumuskan pasangan Jokowi – JK,
ada beberapa hal yang terkait dengan agraria, yakni point no 5 tentang
peningkatan kualitas hidup rakyat melalui program Indonesia kerja dan Indonesia
sejahtera dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9
juta hektar. Kemudian Point nomor 7 tentang mewujudkan kemandirian ekonomi
dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Kemuddian mewujudkan kedaulatan
pangan melalui kebijakan perbaikan irigasi dan jaringan irigasi di 3 juta
hektar, 1 juta hektar sawah baru diluar jawa. Pengehentian konversi lahan
produktif untuk usaha lain seperti industri, perumahan, perkebunan dan
pertambangan.
Dalam
program berdaulat secara politik, terutama terkait dengan desa. Program jokowi
– JK yang menarik adalah menyiapkan dan menjalankan kebijakan regulasi baru
tentang share holding antara pemerintah, investor dan desa dalam pengelolaan
sumber daya alam. Pasangan Jokowi – JK akan menyiapkan dan menjalankan
kebijakan-kebijakan dan regulasi baru tentang akses dan hak desa untuk
mengelola sumber daya alam skala lokal untuk kemakmuran rakyat. Kemudian pada
point no 9 tentang melindungi dan memajukan hak-hak masyarakat adat. Dalam
kebijakan perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat ini, bagi saya
adalah program yang selangkah lebih maju dari program pasangan Prabowo - Hatta.
Program pasangan Jokowi - JK dalam pengelolaan sumber daya alam ini cukup maju namun bisa menjadi boomerang bagi pasangan Jokowi
– JK jika tidak diimplementasikan.
Sebaliknya,
program-program yang ditawarkan pasangan Prabowo – Hatta mengedepankan
program-program yang merujuk pada pertumbuhan ekonomi. Dalam program terkait
pengelolaan sumber daya alam dan di ranah agraria, pasangan Prabowo – Hatta menjadikan
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia ( MP3EI) sebagai basis perumusan program mereka.
Program MP3EI ini diluncurkan sejak 2011, dan program ini menuai kritik keras dari aktifis
lingkungan dan sosial.
Lantas apa saja
program-program yang ditawarkan pasangan Prabowo – Hatta yang bersinggungan dengan persoalan
agraria? Dalam visi dan misi yang dimasukkan ke KPU, pasangan Prabowo – Hatta akan
membangun industri pengolahan untuk menguasai nilai tambah
bagi perekonomian
nasional dengan salah satunya melaksanakan Reformasi Pengelolaan Sumber daya
Alam dan Industri dengan tujuan meningkatkan nilai tambah dari sumber daya
alam, mulai dari mineral, batu bara, minyak, gas, kehutanan hingga kelautan,
bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kemudian terdapat
program mempercepat reforma
agraria untuk menjamin kepemilikan tanah rakyat, meningkatkan akses dan
penguasaan lahan yang lebih adil dan berkerakyatan, serta menyediakan rumah
murah bagi rakyat. Untuk program kedaulatan pangan,
Prabowo – Hatta akan mencetak 2 juta hektar lahan baru untuk meningkatkan produksi
pangan antara lain beras, jagung, sagu, kedele dan tebu yang dapat
mempekerjakan lebih dari 12 juta juta orang; dan mempercepat
pengembangan inovasi dan teknologi untuk meningkatkan
produktifitas pertanian rakyat, terutama tanaman pangan
(termasuk hortikultura), peternakan dan perikanan, melalui penambahan dana
riset sebesar Rp 10 triliun dari APBN selama 2015-2019,
termasuk membangun Demplot Peningkatan Produktifitas Pertanian
Rakyat di setiap Kabupaten mulai tahun 2015, disesuaikan
dengan pengembangan koridor ekonomi MP3EI. Dan masih ada lagi
program-program terakait dengan kelestarian alam dan lingkungan hidup. Dan
salah satu point yang cukup menjadi perhatian saya adalah program reboisasi 77
juta hektar hutan yang sudah rusak dengan sistem tumpang-sari penanaman bambu,
jabon, sengon, sagu, bakau dan tanaman lainnya serta konservasi aneka ragam hayati,
hutan lindung, taman nasional dan suaka alam. Termasuk juga program mendorong usaha batubara, nikel, tembaga, bauksit dan
bijih
besi menjadi
pertambangan yang ramah lingkungan dan sosial.
Sejauh pemahaman
saya, Prabowo dan kelompok pendukungnya seperti Aburizal Bakrie adalah kelompok
pemodal yang mempunyai konsesi lahan berjuta-juta hektar luasnya. Apakah
lahan-lahan yang dimiliki oleh Prabowo dan ARB akan masuk dalam kawasan-kawasan
yang diakan reboisasi seperti yang tercantum dalam program mereka? Entahlah…. Hanya
Tuhan yang tahu. Kemudian pertambangan ramah lingkungan, seperti apa program
ini? Sejauh ini saya belum menemukan praktek-praktek pertambangan yang ramah
lingkungan. Entahlah jika pasangan Prabowo – Hatta nanti berkuasa, mungkin
mereka akan menemukan tekhnologi tepat guna yang ramah lingkungan.
Merujuk
pada program-program yang ditawarkan kedua capres di atas, ada perbedaan yang cukup
kontras terkait dengan penghormatan terhadap hak-hak rakyat. Pasangan Jokowi –
JK menempatkan manusia sebagai subjek dari programnya dengan menghormati
hak-hak manusia sebagai bagian yang tak terpisahkan dari ekosistem dan alam.
Berbeda dengan pasangan Prabowo – Hatta yang tak secuil pun memasukan
penghormatan dan perlindungan kelompok-kelompok masyarakat yang menggantungkan
hidupnya pada sumber daya alam, seperti penghormatan terhadap masyarakat adat
yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya hutan.
Dalam tulisan ini, saya
akan menggunakan indikator pembenahan konflik tenurial untuk menilai program-program
para capres yang berhubungan dengan agraria.
Konflik
tenurial dalam pengelolaan sumber daya alam, tak bisa diingkari, adalah
episentrum konflik dan silang sengkarut persoalan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, termasuk sektor perkebunan dan pertambangan.
Tumpang tindih kepemilikan tanah, surat izin bertabrakan,
bukan kisah baru di jagat industri ekstraktif seperti pertambangan dan perkebunan. Sertifikat resmi pun tak jarang tak berpengaruh apa pun, penyerobot (perusahaan atau individu) bisa beraksi leluasa, terutama
jika didukung kolusi dengan pemerintah dan
aparat hukum.
Konflik
tenurial pun mewujud dalam spektrum -- jenis sengketa
maupun wilayah sebaran konflik—yang luas. Konflik tenurial sangat marak
terjadi dalam 5 tahun terakhir. Inilah persoalan kronis, yang menumpuk dan
menumpuk selama puluhan tahun, yang siap meledak di ratusan titik di wilayah
Indonesia. Data olahan Sawit Watch menunjukkan bahwa kurang lebih sekitar 396 komunitas berkonflik dengan perusahaan perkebunan di 8
provinsi. Konflik terjadi umumnya karena tumpang tindih kepemilikan lahan
antara izin konsesi perusahaan dengan wilayah kelola rakyat. Sementara itu
data KPA memperlihatkan dalam dua periode kepemimpinan SBY, konflik agraria
cenderung mengalami peningkatan. Sepanjang 2013, KPA mencatat 369 konflik
agraria dengan luasan lahan mencapai 1. 281.660.09 hektar melibatkan 139.874
keluarga. Konflik perkebunan di peringkat teratas dengan 180 kasus (48,78%),
disusul infrastruktur 105 kasus (28,46%), pertambangan 38 (10,3%), kehutanan 31
(8,4%), pesisir kelautan 9 (2,44%) dan lain-lain enama kasus (1,63%). Jadi,
setiap hari terjadi lebih dari satu konflik agraria melibatkan 383 keluarga
atau 1.532 jiwa dengan luasan wilayah sekiar 3.512 hektar.
Sektor
kehutanan, area konflik agraria terluas sekitar 545.258 hektar disusul
perkebunan 527.939,27 hektar dan pertambangan 197.365,90 hektar. Dibandingkan
2012, ada peningkatan areal konflik 318.248,89 atau naik 33,03 persen. Dari
sisi jumlah kasus naik 198 atau 86,36 persen.
Selama lima
tahun terakhir (2009-2013) terjadi peningkatan konflik sebanyak 314% atau tiga
kali lipat jika dibandingkan 2009. Areal konflik meningkat drastis
mencapai 861% dan keluarga terlibat konflik naik tajam sebesar 1.744%.
Untuk
pembenahan ini, pasangan Jokowi – JK menawarkan program reforma agraria, salah
satunya adalah melaksanakan land reform.
Land reform ini dapat dimaknai bahwa pasangan Jokowi – JK akan mendistribusikan
lahan ke rakyat, terutama ke petani gurem tak bertanah. Dari visi dan misi-nya,
pasangan Jokowi – JK akan mendistribukan lahan seluas 9 juta hektar dan akan
mencetak sawah baru seluas 1 juta hektar. Bagaimana dengan pasangan Prabowo –
Hatta? Pasangan ini akan melakukan reforma agraria dan mencetak sawah baru
seluas 2 juta hektar.
Jika
ditelisik lebih jauh, program mencetak sawah baru seluas 1 juta hektar milik
Jokowi – JK sedikit lebih maju dari program mencetak sawah baru seluas 2 juta
hektar milik Prabowo – Hatta. Kenapa? Karena program 1 juta hektar sawah baru
milik Jokowi – JK peruntukannya buat petani, sementara program 2 juta hektar
sawah baru milik Prabowo – Hatta tidak jelas peruntukannya. Apakah buat petani
atau buat pengembangan agribisnis seperti MIFEE. Jika pruntukannya hanya untuk
agribisnis, maka akan mengancam kehidupan dan produksi petani gurem tak
bertanah. Jumlah petani akan jauh menyusut dan kemungkinan besar punah.
Terkait
dengan penyelesaian konflik tenurial ini, pasangan Jokowi – JK menawarkan salah
satu solusi yang keren yakni penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat.
Dalam program Jokowi – JK, ada 6 program perioritas terkait dengan hak-hak
masyarakat adat (point 9). Bahkan salah satunya, Jokowi - JK berkomitmen akan
membentuk komisi independen yang akan melakukan kajian dan penilaian atas
berbagai kebijakan yang terkait dengan masyarakat adat dan pengelolaan sumber
daya alam. Komisi ini yang akan menjadi kunci penting untuk membenahi berbagai
konflik tenurial yang meledak diberbagai wilayah, yang melibatkan masyarakat
adat, Negara dan pemodal.
Salah satu
program Jokowi – JK yang terdapat dalam visi – misinya adalah penyempuranaan
Undang-Undang Pokok Agraia. Mungkin tim penyusun visi dan misi Jokowi – JK melakukan
riset terkait dengan meletupnya konflik-konflik tenurial. Konflik lahan kian
menjadi karena pemerintah SBY dan DPR tak melirik UUPA 1960 sebagai solusi
penyelesaian konflik lahan. UUPA adalah satu-satunya perundangan yang mengatur
pertanahan. Setengah abad berlalu sejak UUPA disahkan, pemerintah dan para
politisi di gedung DPR tidak juga menempatkan persoalan agraria sebagai agenda
legislasi dengan urgensi tinggi. Sebuah paradoks getir di negeri yang katanya
negeri agraris.
Nah, sejauh
UUPA belum tergantikan, pasangan Jokowi - JK merujuk kembali spirit utama dalam
produk legislasi tersebut. UUPA jelas menyebutkan batasan kepemilikan lahan,
ketentuan Hak Guna Usaha, hak pakai, hak ulayat dan hak memungut hasil hutan.
Semangat reformasi dan perlindungan pada rakyat jelas terasa dalam UUPA. Adalah
tugas parlemen dan pemerintah untuk secara serius membuat revisi perundangan
dan turunannya secara jelas mengatur teknis kepemilikan tanah, air dan udara
seperti dimaksud UUPA.
Sebaliknya,
tidak tampak program pembenahan konflik tenurial dalam program Prabowo – Hatta.
Entah instrument dan mekanisme apa yang akan digunakan pasangan Prabowo – Hatta
dalam membenahi konflik tenurial ini. Pasangan Prabowo – Hatta mendasarkan
program pengelolaan sumber daya alam pada MP3EI, menempatkan sumber-sumber
agraria seperti kelapa sawit sebagai salah satu sektor penting yang akan
digenjot habis-habisan.
Rencana
MP3EI adalah menggemukkan pundi-pundi pendapatan negara dari sumber daya alam.
Caranya, dengan ekstensifikasi meluaskan kebun di berbagai area, membangun
pelabuhan, jalan-jalan penghubung, rel kereta api, menumbuhkan industri hilir,
serta meremajakan kebun dengan bibit bagus, dan mempromosikan penggunaan pupuk
berkualitas.
Namun,
skenario gemilang pasangan Prabowo - Hatta tampak melupakan persoalan utama
yang menjadi sumber kanker pengelolaan sumber daya alam Indonesia, yakni
penghormatan atas hak-hak masyarakat adat dan lokal, serta perubahan kebijakan
yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam. Program pasangan Prabowo -
Hatta tidak sedikit pun menyiratkan strategi membasmi kanker itu secara tuntas.
Visi dan misi pasangan Prabowo - Hatta nyata betul hanya menimbang pertumbuhan
fisik, yang diwakili dengan rel kereta, pabrik CPO, bangun smelter, dan
pelabuhan ekspor. Persoalan yang lebih subtil dilupakan, mungkin lantaran
membutuhkan kerja keras dan komitmen nyata pada rakyat dan petani kecil. Padahal,
perkara kualitatif, bukan sekadar statistik, itulah yang menentukan kualitas pengelolaan
sumber daya alam di negeri ini.
Pada
akhirnya, apabila pembenahan konflik tenurial tersebut dilakukan dengan serius,
kita bisa berharap pada kembalinya marwah sumber daya alam yang akan
mensejahterakan rakyat. Dalam pandangan saya, rakyat bisa berharap pada program-program
pasangan Jokowi – JK yang menempatkan manusia sebagai subjek dalam pengelolaan
sumber daya alam dan agraria. Dan program-program Jokowi – JK tersebut harus
ditindaklanjuti dengan pembenahan sengkarut kepemilikan tanah dan perizinan. Ini
semua memang melibatkan pembenahan sungguh-sungguh dalam tata kelola pemerintahan
(terkait pemberian izin, sertifikasi lahan, dan supervisi pengelolaan sumber
daya alam, menyehatkan iklim bisnis (investor yang tak main suap sana-sini),
dan civil society yang kuat. Yang terakhir ini termasuk petani dan buruh yang
kritis memperjuangkan haknya, riset komprehensif dari para akademisi tentang pengelolaan
sumber daya alam, serta NGO dan media yang kompeten memantau apa yang terjadi
di lapangan. Konflik tenurial memang sebuah kisah epik di negeri ini. Perjalanannya
menyisakan pekerjaan rumah menggunung, yang sangat layak kita perjuangkan.
Manusia, bumi dan isinya layak diperlakukan dengan respek. Hanya dengan begitu,
alam akan membalas dengan sepadan dan bahkan jauh lebih baik.
1 comment:
Ini baru mantap, "memandingkan" Calon berdasarkan programnya, lebih menarik jika dibandingkan juga program agraria SBY selama berkuasa SBY-JK/SBY-Boediono. dengan PPAN nya
Post a Comment