Monday, May 26, 2014

Menyoroti Program Capres Dalam Penyelamatan Hutan Dan Lingkungan

Presiden baru Indonesia harus memiliki komitmen yang lebih kuat untuk menyelamatkan hutan dan gambut serta menjamin hak dan ruang kelola masyarakat adat dan lokal. Dari kedua pasangan capres yang berkompetisi, pasangan Jokowi - JK bisa dikatakan lebih memiliki komitmen kuat dalam menjamin hak-hak masyarakat adat. Pasangan capres Prabowo - Hatta juga mempunyai program penyelamatan lingkungan, tapi jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat sepertinya absen dalam program mereka. Mengejar pertumbuhan sepertinya menjadi tulang punggung dalam visi dan misi pasangan Prabowo - Hatta. 

Visi misi Prabowo-Hatta memang memperhatikan soal isu lingkungan namun tidak dijelaskan secara detail dan masih harus ada penajaman atas hal itu. Masih mengawang-ngawang.

Program penyelamatan hutan dan lingkungan Jokowi - JK tersebar dibeberapa point dalam visi dan misinya. Ada harmonisasi kebijakan dalam program penyelamatan lingkungan dan hutan yang diusung pasangan Jokowi - JK. 

Harmonisasi kebijakan pengelolaan hutan ini harus segera diperkuat dengan menutup celah hukum yang melegalkan konversi hutan alam dan gambut. Ini adalah program yang dapat mengoptimalkan perbaikan tata kelola hutan dan lahan gambut. 

Selain itu, ada juga program Jokowi yang akan meninjau ulang berbagai kebijakan pembangunan yang justru mengancam lingkungan hidup dan hak-hak masyarakat. Disinilah letak nilai-nilai humanis program Jokowi dalam penyelamatan hutan dan lingkungan. Manusia adalah bagian dari ekosistem dan alam, termasuk hutan. Dan Jokowi menghormati hak-hak masyarakat adat dengan mengurai 6 program prioritas yang terkait dengan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat. 

Jadi siapa pun yang akan menang dalam pilpres mendatang, baik Jokowi maupun Prabowo harus menutup berbagai celah hukum yang melegalkan konversi hutan alam dan gambut, juga memperketat pengawasan dan penegakan hukum. Terkait penegakan hukum dan pengawasan, kedua pasangan tampaknya memiliki kemiripan program. 

Yang belum tampak secara jelas dan tegas dalam visi dan misi kedua pasangan capres adalah terkait kebijakan penundaan izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut yang lazim disebut sebagai moratorium. Belum tegas terlihat. Moratorium sendiri dianggap belum mampu menyelesaikan berbagai permasalahan kehutanan Indonesia, padahal masa berlakunya tinggal satu tahun lagi. Pemerintah masih setengah hati menyelamatkan hutan alam dan lahan gambut yang tersisa dengan memanfaatkan berbagai celah dalam kebijakan yang memang tidak memiliki sanksi ini.

Akibat dari pelaksanaan moratorium yang setengah hati oleh Rezim SBY, maka kita masih menyaksikan kebakaran hebat yang seharusnya bisa diminimalkan dengan adanya kebijakan moratorium.

Hingga Februari 2014 saja, telah terjadi kebakaran lahan gambut hebat di Provinsi Riau, di mana 38,02% di antaranya berada di wilayah moratorium.

Situasi ini harus menjadi perhatian serius para capres. Tidak boleh lagi dilakukan setengah hati dengan penegakan hukum yang seakaan tumpul jika berhadapan dengan perusahaan kebun sawit dan HTI. Aturan perundang-undangan dengan sangat jelas menyatakan bahwa pemerintah dan pemegang izin konsesi wajib melindungi hutan dan mencegah terjadinya kebakaran hutan dan gambut di areal izinnya.

Selain karena kebakaran, hutan Indonesia juga terancam oleh masifnya alih fungsi dan peruntukkan kawasan hutan di berbagai daerah untuk memuluskan mega proyek yang mengancam hak-hak masyarakat adat dan lokal. 

Tidak ada pengeculian terhadap proyek-proyek skala raksasa dengan alasan apapun. Moratorium harus berlaku tanpa pandang bulu. Dalam kasus MIFEE di Kabupaten Merauke, hutan alam, hutan rawa dan savana tempat hidup orang Marind dicaplok, dirampas, dan dialihfungsikan untuk pembangunan industri pertanian dan perkebunan skala besar dengan luas mencapai 1.553.492 hektar atas nama ketahanan pangan dan energi.

Presiden terpilih nantinya harus memprioritas dalam program kerjanya untuk meninjau kebijakan yang terakit dengan alokasi dan peruntukan kawasan yang mengabaikan kelestarian hutan. Sebagai contoh, pada 2013 Pemprov Papua Barat mengusulkan revisi RTRWP dengan perubahan peruntukkan (pelepasan kawasan hutan) seluas 952.683 hektar dan perubahan fungsi seluas 874.914 hektar, sebuah angka fantastis yang akan memperparah laju kerusakan hutan di Indonesia. RTRWP seperti ini harus ditinjau dan bila perlu dicabut. 

Contoh lainnya adalah Kepulauan Aru  yang terancam padahal tergolong ke dalam kategori pulau kecil. Kep Aru ini terancam oleh pengalihan kawasan hutan menjadi non-kawasan hutan untuk pembangunan perkebunan tebu yang dikecualikan dalam Inpres Moratorium. Meskipun rencana tersebut dinyatakan batal oleh Menteri Kehutanan, ancaman belum hilang karena saat ini ada rencana pembukaan perkebunan sawit oleh PT. Nusa Ina.

Presiden baru harus memperpanjang Moratorium ini, namun Moratorium ini tidak boleh tunduk pada kepentingan bisnis skala besar. Pemerintah baru tidak boleh mengkompromikan kawasan-kawasan moratorium dengan pemberian izin skala besar. Moratorium seharusnya dijadikan acuan untuk penolakan izin dan penyesuaian RTRW yang tidak menghamba pada kepentingan modal.

Presiden baru harus tegas menolak konversi hutan melalui mekanisme revisi RTRW yang mengandung alih fungsi dan peruntukkan kawasan untuk mengejar target MP3EI. 

Nah disinilah pokok permasalahan dari visi dan misi pasangan Prabowo - Hatta. Pasangan Prabowo menjadikan MP3EI sebagai basis program pembangunan mereka. Padahal MP3EI adalah pendorong utama deforestasi di Indonesia saat ini dan di masa depan. Hal ini bertentangan dengan cita-cita penyelamatan hutan dan berpotensi memperbesar jumlah konflik di Indonesia, yang belum juga terselesaikan.

Dari aspek penyelesaian konflik kehutanan, pasangan Jokowi - JK tampak lebih maju dengan menyusun program penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat. Pengalaman pada Rezim SBY harus dijadikan ukuran disini. Pemerintah SBY cenderung lambat merespon kepentingan masyarakat adat dan lokal yang hak-haknya dilanggar. 

Jika ditelisik lebih jauh lagi dengan mengurai secara detail, maka visi-misi pasangan Jokowi-JK lebih detail dan lengkap dalam penyelesaian masalah soal lingkungan. Program yang cukup penting dalam visi dan misi Jokowi adalah pembentukan peradilan lingkungan. Para penjahat lingkungan harus diadili dalam peradilan lingkungan atas berbagai praktek kejahatan lingkungan yang mereka lakukan. Ini hal baru yang hanya mungkin terealisasi jika Jokowi - JK jadi presiden. Karena peradilan lingkungan terekam kuat dalam visi dan misi mereka.

No comments: