Tuesday, May 14, 2013



Sistem Ekonomi Berbasis Binua 

Jopi Peranginangin
Sampai saat ini, corak produksi pertanian yang menyesuaikan dengan topografi-nya masih menjadi tulang punggung ekonomi sebagian besar masyarakat adat Indonesia. Demikian halnya dengan Kabupaten Landak, akan tetapi lapisan tanah subur tipis dan kontur tanah-nya cenderung tidak memungkinkan untuk dibangun saluran irigasi. Sehingga didaerah seperti ini, pola pertanian hortikultur yang tepat untuk dikembangkan. Pola seperti ini sering di istilahkan dengan pertanian tebas-bakar. Pola seperti ini merupakan hasil evolusi masyarakat dengan alamnya. Setelah persoalan produksi selesai sampai terpenuhi-nya kebutuhan mendasar, suatu kelompok masyarakat akan melanjutkan ke pembentukan organisasi. Modus produksi yang berbeda itu akan menghasilkan model organisasi yang berbeda pula. Misalnya, pada komunitas adat Dayak Kanayatn, organisasi yang dikembangkan lebih egaliter dan berjenjang. Dari unit terkecil bernama tumpuk karadakng (kampung) berlanjut ke unit yang lebih besar yaitu Binua. Berbeda dengan konsep Desa yang mengembangkan pola pertanian agrikultur (pertanian dengan irigasi, biasanya intensif) sebagaimana yang dikembangkan masyarakat Jawa yang cenderung mengantar pada bentuk organisasi yang bersifat sentralistik.



Sosiolog Philip Kottak, menggunakan istilah organisasi sosiopolitik pada organisasi-organisasi yang menyatukan, mengatur atau mengelola suatu kelompok masyarakat. Menurutnya, pengaturan disini didefinisikan sebagai proses yang menjamin bahwa variabel-variabel tetap berada dalam kisaran normal, yang mengoreksi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma dan menjaga intergritas sistem. Dalam pengertian ini, kekuasaan, kewenangan dan hukum merupakan variabel-variabel yang diikat oleh pengaturan sehingga menjadi satu sistem. Tumpuk karadakng (Kampung) adalah awal dari pembentukan identitas kultural dayak. Ini dapat dilihat dari proses pembentukannya, dimana kampung terbentuk dulu setelah itu binua. Pembentukan binua bisa dipengaruhi beberapa faktor, misalnya, saat jumlah penduduk dengan luas lahan tidak seimbang lagi, atau karena pembukaan lahan baru/parokng ditempat lain oleh satu keluarga hingga diikuti keluarga lain, bisa juga karena konflik. Beberapa faktor tersebut yang menyebabkan jumlah kampung bertambah. Kampung yang merasa mempunyai asal-usul sama dengan kampung lain berasosiasi untuk membentuk suatu organisasi sosiopolitik yang lebih kompleks, yakni BINUA.

Sistem Ekonomi binua

Berdasarkan sejarah, ada 5 komponen utama yang dapat dikembangkan untuk mendukung ekonomi masyarakat adat (terkait dengan hubungan adat dan ekonomi) ditingkat binua, yaitu:
1. Ari Tuha: Biasanya berbentuk kerja bersama setiap perwakilan keluarga dalam satu tumpuk karadakng dan atau binua diladang milik pengurus adat. Ari tuha dilaksanakan selama 1-2 hari dalam setahun (satu musim tanam). Puluhan anggota masyarakat adat dengan sukarela memenuhi kewajibannya guna memenuhi hak pengurus adat.
2. Adat Tahutn: Berbentuk seperangkat barang/benda adat (tumpi’, poe’, ayam, beras, minyak kelapa, dll). Setiap keluarga/rumah berkewajiban ”menyetor” adat ini kepada pejabat adat yang bergelar Tuha Tahutn. Selanjutnya Tuha Tahutn akan mengundang mereka untuk hadir dalam pembagian adat tahutn ini. Setiap keluarga kembali mendapat adat tahutn ini setelah diberkati melalui prosesi upacara persembahan kepada Jubata (Tuhan). Melihat dari dekat konsep ini, sebenarnya dapat dikembangkan menjadi alat untuk mobilisasi ekonomi pada tataran binua.
3. Nyolo’: Ungkapan keprihatinan keluarga masyarakat adat terhadap keluarga lainnya yang memerlukan. Nyolo’ dilakukan dalam berbagai bentuk; utamanya beras, gula-kopi, daging, dll. Nyolo’ dapat diartikan sebagai ungkapan solidaritas ekonomi masyarakat adat.
4. Birisatn: Serangkaian proses pemungutan sumbangan dari masyarakat secara terencana, yang dilakukan pada saat tertentu. Birisatn diadakan apabila seseorang keluarga atau warga mendapat musibah.
5. Aleatn: Pola kerja berkelompok di masing-masing kampung. Anggotanya berjumlah antara 5-30 orang. Kegiatan yang dilakukan biasanya berkisar pada siklus perladangan atau sawah.

Merujuk pada sistem ekonomi diatas, tampak bahwa masyarakat dengan pola pertanian hortikultur sangat mengutamakan keseimbangan alam. Hal ini tidak lepas dari pemahaman bahwa hasil pertanian merupakan buah dari perpaduan kerja keras dan kemurahan alam, dalam bentuk alam yang seimbang (air cukup, tidak banjir, tidak kering, panas cukup, tidak terlalu panas, dsb). Pengalaman ini direfleksikan pada hubungan antara manusia dengan penciptanya dan relasi antara manusia dengan manusia. Adat merupakan kata yang menunjuk pada suatu konsep luas, misalnya, Konsep dibalik ungkapan mengadati kampung, sangat erat kaitannya dengan konsep keseimbangan sosial. Masyarakat adat (dayak, misalnya) percaya bahwa perbuatan-perbuatan yang melanggar norma sosial akan merusak keseimbangan sosial. Maka sebuah kampung yang warganya melakukan hal itu harus dikembalikan kepada keseimbangan, caranya dengan ritual adat.

Potensi pengembangan ekonomi produk hutan non kayu

Sistem ekonomi asal-usul diatas akan semakin sinergis dengan pengembangan ekonomi masyarakat adat Landak jika merujuk pada potensi sumber daya alam-nya, yakni Hutan. Karena produk hutan selain kayu memiliki kontribusi yang cukup penting dalam sistem perekonomian rumah tangga penduduk didalam dan disekitar hutan.

Beberapa hasil hutan non kayu yang diperkirakan cukup menonjol dalam kegiatan perekonomian rumah tangga dan menjadi mata pencaharian utama masyarakat adat selain bertani (hasil inventarisasi Persekutuan Komunitas Masyarakat Adat Kabupaten Landak dan Yayasan Pangingu Binua (2005), sbb :
1. Rotan Saga ( Calamus caesius ). Pada masyarakat adat, rotan memang telah menjadi salah satu hasil hutan yang penting dalam rangka memenuhi keperluan rumah tangga. Rotan digunakan untuk membuat peralatan yang dibutuhkan sehari-hari, seperti Bide/alas tidur, dubang/pengangkut benih padi, dll. Dalam perkembangannya, rotan juga dibutuhkan untuk membuat barang-barang kebutuhan pasar ( barang kerajinan ). Dibeberap tempat, rotan yang belum diolah juga sudah sejak lama menjadi komoditi perdagangan untuk menghasilkan uang kontan.
2. Bambu (mambusa arundinaceae). Salah satu produk hutan non kayu yang penting dalam kehidupan masyarakat adat. Pada jaman dulu, hampir setiap rumah menggunakan bambu sebagai bahan baku, misalnya dinding, tiang, kasau, dll. Selain digunakan untuk bahan rumah, bambu juga digunakan untuk pagar, jembatan, kerajinan tangan, rakit bahkan batang muda ( rebung) bambu dikonsumsi manusia sebagai bahan pangan. Olehnya, bambu memainkan peranan penting dalam pola perekonomian masyarakat adat.
3. Gaharu. Merupakan hasil hutan non kayu yang mempunyai nilai ekonomi cukup baik. Masyarakat adat di Menjalin, Darit, Air besar adalah pengumpul gaharu. Pengumpulan gaharu dilakukan dengan menebang pohon yang memang menghasilkan gaharu. Kegiatan pencaharian gaharu ini baru terjadi dalam sepuluh tahun belakangan ini. Hasil buruan gaharu dijual masyarakat kepada para pedagang dikota. Hal ini menunjukan bahwa aktivitas ekonomi gaharu ini pada dasarnya tercipta sebagai respons atau hasil interaksi antara kebutuhan orang luar atas gaharu dan pemenuhan kebutuhan sendiri atas sejumlah kebutuhan berupa uang tunai.
4. Tengkawang (shorea). Tengkawang yang diekstrak mejadi minyak tengkawang merupakan bahan untuk minyak goreng, pembuatan coklat, sabun, kosmetika, cat dan vernis. Sebagian besar produk tengkawang ini menjadi komoditi eksport.
5. Satwa. Sejumlah satwa liar juga termasuk kedalam hasil hutan non kayu yang potensial. Satwa liar diburu tidak hanya untuk bahan pangan tetapi juga memiliki manfaat lain seperti perdagangan untuk kebutuhan dunia kedokteran sebagai hewan percobaan. Misalnya Monyet ( Macaca sp), Rusa (Cervus unicolor) dll, namun satwa-satwa tersebut kini sulit ditemukan diwilayah Kabupaten Landak.
Produk hutan non kayu diatas dapat dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan dimanfaatkan untuk tujuan komersil guna mengatrol perekonomian masyarakat. Sumber daya hutan non kayu itu dapat dikonversi menjadi uang tunai melalui aktivitas pengumpulan, pemrosesan dan perdagangan. Dengan demikian, komoditi hasil hutan non kayu itu bukan saja potensial bagi ekonomi pedesaan sebagai sumber kehidupan tetapi beberapa jenis darinya malahan potensial untuk pasar eksport yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan asli daerah Kabupaten Landak.

No comments: