Tuesday, May 14, 2013



Tanah dan Jalan Kesejahteraan Rakyat


Jopi Peranginangin



Persoalan tanah untuk rakyat adalah persoalan utama rakyat Dunia Ketiga. Bahkan, jika dirunut secara jeli, tanah sangat erat kaitannya dengan istilah Dunia Pertama, Dunia Kedua dan Dunia Ketiga. Dunia Pertama adalah negara-negara industri maju, yaitu Amerika, Eropa Barat, Kanada dan Jepang. Dunia Kedua adalah Negara-negara Blok Timur (bekas Uni Soviet dan negara-negara satelitnya). Dunia Ketiga adalah negara-negara – umumya di Asia, Afrika dan Amerika Latin – bekas jajahan Dunia Pertama. Secara ideologis, Dunia Pertama memandang tanah diseluruh dunia adalah milik warga dunia, dan persaingan bebas dalam pasar adalah mekanisme yang dipandang ”fair” untuk semua individu memperebutkannya. Negara adalah alat pasar untuk mendapat keadilan sosial. Karena itu kepentingan pasar dapat mengalahkan kepentingan Negara, lebih-lebih menyangkut tanah.

Dunia Kedua memandang tanah adalah milik negara dan karena itu semua pengelolaan tanah diatur oleh negara untuk kesatuan masyarakat dan bukan terutama bagi individu. Tidak boleh ada persaingan bebas dalam Dunia Kedua, apalagi kalau menyangkut pemilikan dan penguasaan tanah. Negara adalah alat langsung untuk mendapat keadilan sosial. Di sini Negara tidak hanya mengambil peran distribusi tanah bagi kelompok masyarakat, melainkan juga sampai pada untuk apa tanah itu digunakan dan kadang-kadang bagaimana tanah itu harus digunakan.

Dunia Ketiga, umumnya dipandang dan diperlakukan sebagai ”cadangan tanah” bagi Dunia Pertama dan sampai tingkat tertentu – juga bagi Dunia Kedua. Dunia Ketiga umumnya pula terbagi antara kedua aliran ideologis di atas. Pertanyaan yang mau dijawab sebetulnya adalah aksi apa dan cara yang bagaimana yang perlu atau harus ditempuh untuk mencapai keadilan sosial? Di Indonesia, apa yang dikenal sebagai upaya untuk mencapai keadilan dalam penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria umumnya dibedakan menjadi semangat yang populis dalam era Orde Lama dan semangat non-populis dalam era sejak Orde Baru sampai saat ini.

Dalam perkembangan setelah era Perang Dingin berakhir ditandai robohnya Tembok Berlin, istilah Dunia Kedua sudah jarang sekali terdengar dalam ruang publik. Demikian pula tidak sering orang menyebutkan Dunia Pertama. Yang masih terus sering disebut-sebut adalah Dunia Ketiga dalam dikotominya dengan negara-negara industri maju. Pergeseran kemudian lebih menguat pada istilah Utara –Selatan. Utara mewakili negara-negara maju dan Selatan adalah negara-negara berkembang yang terkonsentrasi di tiga region tersebut di atas.

Perjuangan rakyat di negara-negara Selatan untuk mendapatkan keadilan dalam pengelolaan sumberdaya alam bervariasi dari satu region ke region lain, dari satu negara ke negara lain, bahkan dari satu wilayah ke wilayah lain dalam satu negara. Meski berbeda dalam beberapa prinsip utama, strategi dan metode, satu hal yang dapat ditemukan sebagai persamaan dalam semua negeri tersebut adalah cita-cita keadilan untuk rakyat banyak dalam penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan sumberdaya agraria.

Gerakan rakyat yang cukup radikal dapat dilihat misalnya di Amerika Latin, Timur Laut India, Kerala, Nepal dan Bangladesh. Di negara-negara ini, upaya-upaya melawan dominasi kekuatan modal dan pasar sangatlah kental diwarnai keadilan distribusi sumber-sumber agraria untuk rakyat. Demokrasi kerakyatan adalah warna utama gerakan di mana struktur-struktur feodal dan negara yang oligarkhis dilawan dengan pendidikan dan aksi massa terorganisir dan inisiatif ekonomi alternatif yang kuat.

Tanah Sebagai Prasyarat Utama Kesejahtaraan
Aksi Penolakan Perkebunan Sawit di Kalteng

Pertanyaan untuk rakyat Indonesia yang tak bertanah adalah apa yang mau dilakukan? Prinsip apa, strategi apa dan metode apa yang hendak dipilih untuk secara konsisten dilaksanakan dalam upaya merebut keadilan dalam distribusi sumber agraria? Melihat aksi-aksi masyarakat tertindas dalam melawan penggusuran, pengambil-alihan tanah dan kebun mereka, dan pemindahan paksa oleh pemerintah dan investor, maka dapat dikatakan bahwa semua upaya rakyat miskin Indonesia melalui berbagai aksi tersebut bertujuan untuk mendapatkan keadilan dalam pengakuan, penghormatan dan perlindungan atas hak-hak mereka, terutama menyangkut hak atas sumberdaya agraria. Dan melihat pula bahwa dampak dari berbagai perampasan hak rakyat tersebut adalah menurunnya tingkat kesejahteraan dan bertambahnya kemiskinan, maka bolehlah diduga secara kuat bahwa ada dua premis utama yang menjadi landasan gerakan rakyat untuk keadilan dalam pengelolaan sumberdaya agraria. Pertama, ”Keadilan dalam pengelolaan sumberdaya agraria adalah prasyarat utama untuk mencapai kesejahteraan rakyat banyak”. Kedua, ”Pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap hak rakyat adalah prasyarat utama menuju tercapainya keadilan dalam pengelolaan sumberdaya agraria”. Hak rakyat yang utama adalah hak hidup dan tanah adalah hidup mereka.

Kedua premis ini memang perlu dibuktikan melalui studi-studi yang serius. Dan salah satu studi yang telah membuktikan premis pertama adalah studinya Amartya Sen menunjukkan bahwa kelaparan dan kemiskinan yang terjadi di dunia bukanlah terutama disebabkan oleh kurangnya pangan dan sumberdaya alam melainkan karena kurangnya demokrasi. Jelaslah bahwa kurangnya demokrasi menyebabkan kurang diakuinya atau bahkan tidak diakuinya hak rakyat, baik hak sipil politik maupun hak ekonomi, sosial dan budaya. Studi-studi tentang reforma agraria yang dilakukan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria menunjukkan bahwa upaya untuk menjawab premis tersebut melalui kebijakan dan keputusan-keputusan politik tidaklah mudah.
Karena pemerintah dan rakyat pada umumnya menghadapi dilemma yang sulit dipecahkan. Noer Fauzi, dalam makalahnya yang dipresentasikan pada Kongres Kehutanan Indonesia yang ketiga (KKI III), Oktober 2001, menyimpulkan kesulitan ini dalam narasinya sebagai, ”Di sinilah letak kesulitan pokoknya, yakni di satu pihak, pemerintahan yang baik senantiasa bekerja dalam koridor hukum yang ada; dan di pihak lain, hukum yang ada merupakan sumber ketidakadilan.” Seraya mengutip rumusan Gerung (Gerung, 2000) bahwa “Di satu pihak, rasa keadilan umum harus dipenuhi karena demi itulah hukum bekerja. Di lain pihak, otonomi prinsip-prinsip hukum harus dijaga karena hanya dengan itulah eksistensi negara hukum terjamin.”

Pembangkangan Sosial Untuk Keadilan

Persoalan dalam menjawab premis tersebut tidaklah terbatas pada rumusan kedua penulis di atas. Karena dari pihak gerakan rakyat, persoalan tersebut dijawab dengan sikap dan tingkat keyakinan yang berbeda-beda pula. Ada kelompok gerakan yang meyakini premis tersebut sebagai suatu kebenaran mutlak dan oleh karenanya maka segala upaya untuk mencapainya adalah tindakan mulia. Sikap radikal seperti ini dapat dilihat disebagian negara Amerika Latin dan secara khusus di dua tempat yang demikian terkenal, yaitu di Porto Alegre, Brasil dan Kerala, India.

Sementara di tempat lain, keyakinan atas premis tersebut tidak cukup radikal sehingga pembuktiannya menjadi sebuah kesimpulan politik tidaklah cukup kuat dan terpadu. Akibatnya gerakan rakyat untuk membuktikannya pun bersifat lebih moderat dan kadang bersifat ikut arus. Di Indonesia, misalnya, gerakan rakyat yang disimbolkan dengan rumusan ”tanah untuk rakyat” misalnya belum menemukan organisasi dengan keyakinan yang kuat sebagaimana yang pernah terjadi sebelum 1965. Karena itu pula hampir tidak pernah terlihat sebuah pembangkangan sosial. Pembangkangan sosial adalah sebuah tindakan kolektif rakyat untuk menolak sebagian atau seluruh keputusan dan kebijakan politik pemerintah yang sedang berlangsung dan menuntut sebuah perubahan radikal. Ia bisa bersifat sangat revolusioner dan massif namun bisa pula berbentuk moderat dan bertahap.

Melihat situasi politik di Indonesia yang tidak kunjung membaik dalam arah politik penyelenggaraan negara, maka sebuah gerakan rakyat untuk menuntut keadilan dalam pengelolaan sumberdaya agraria membutuhkan upaya massif agar perubahan arah tersebut dapat terjadi. Data penguasaan konsesi lahan di Indonesia misalnya dapat membuktikan tidak adanya perubahan arah tersebut. Data yang dikeluarkan oleh Jatam pada 2005, misalnya, menunjukkan bahwa 35% dari 1,9 juta km2 atau sekitar 67 juta ha tanah telah dikuasakan kepada konsesi pertambangan. HPH dan HTI menguasai 44 juta ha lahan sementara HGU sekitar 15 juta ha. Sementara alokasi untuk proyek-proyek lain seperti pendidikan dan kesehatan, pertanian, dan pemukiman sekitar 70 juta ha. Di mana 200-an juta rakyat harus mencari sumber hidup? Dengan luas daratan Indonesia yang 190 juta ha, dan jumlah penduduk yang 230 juta jiwa, maka dapat dibayangkan bahwa lebih dari 200 juta manusia harus dapat bertahan hidup di atas lahan yang kurang dari 40 juta ha. Data yang dikeluarkan oleh Bank Dunia 2009 menunjukkan bahwa rata-rata satu keluarga petani di Indonesia hanya memiliki lahan kurang dari setengah (0,5) ha. Tak ada kesejahteraan petani dengan tanah yang cuman segitu.

Sejarah telah menunjukkan bahwa tanpa kesadaran revolusioner radikal, tidak akan terjadi perubahan arah dari yang oligarkis dan despotis menuju demokrasi yang populis. Tanah untuk rakyat hanya bisa dicapai bilamana rakyat sadar bahwa tanah tidak bisa ditukar dengan apa pun. Karena tanah adalah nyawanya.

Artikel ini pernah dimuat di http://www.beritasatu.com/blog/nasional-internasional/1117-tanah-dan-jalan-kesejahteraan-rakyat.html#

No comments: