Tuesday, May 14, 2013

Penguatan Politik Masyarakat Adat Dalam Aras Perubahan Nasional 

Jopi Peranginangin
 

Masyarakat Adat Mollo di NTT
Jauh sebelum Negara Republik Indonesia berdiri telah hidup bermacam-macam komunitas, yang hidup berdasarkan asal usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat. (Pandangan Dasar Kongres Masyarakat Adat Nusantara 1999 tentang Posisi Masyarakat Adat Terhadap Negara) 

Pengalaman dan kesaksian penderitaan komunitas-komunitas di seantero nusantara yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun temurun di atas suatu wilayah adat – yang kemudian disebut masyarakat adat – telah menjadi dasar bagi dirumuskannya gagasan ‘otonomi masyarakat adat’. Kongres Masyarakat Adat Nusantara, yang untuk pertama kalinya berlangsung pada 15 - 22 Maret 1999 di Jakarta, merumuskan bahwa “Diakui dengan jelas adanya keanekaragaman budaya masyarakat adat di seantero nusantara, sebagaimana yang telah dirumuskan dalam istilah Bhineka Tunggal Ika. Tapi, kenyataannya, kami tidak memperoleh pengakuan atas kedaulatan. Kehidupan masyarakat adat dalam Republik Indonesia mengalami penderitaan-penderitaan yang serius. Penderitaan itu pada dasarnya bersumber dari tidak diakuinya kedaulatan masyarakat adat oleh kedaulatan Negara Republik Indonesia dalam berbagai praktek-praktek penyelenggaraannya”. 

Berbeda dengan Otonomi Daerah, otonomi masyarakat adat adalah suatu hak untuk mengurus rumah tangga sendiri yang melekat dan berasal dari proses sosial dan kesejarahan yang terjadi di dalam masyarakat adat. Di dalam UUD 1945 hak ini diistilahkan dengan “hak asal-usul”. Sementara Otonomi Daerah merupakan hak pemberian dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, yaitu berupa penyerahan wilayah dan kewenangan pembuatan kebijakan, administrasi dan anggaran daerah. 

“Hak asal-usul” dalam otonomi masyarakat adat merupakan sekumpulan hak yang tak dapat dipisahkan namun dapat dibedakan satu sama lain. Kumpulan hak inilah yang mendasari pengaturan kewilayahan adat dan pengelolaan sumber daya alam, penegakan hukum dan peradilan adat, serta pengaturan penduduk yang hidup di dalamnya. Otonomi ini bersumber pada asal-usul kesejarahan, nilai-nilai dan identitas budaya yang istimewa dan unik di masing-masing komunitas masyarakat adat. 
Anak-Anak Komunitas Adat Bathin IX

Keistimewaan dan keunikan inilah yang melahirkan kemajemukan atau keberagaman, yang antara lain bisa dilihat dari beragamnya penamaan atas komunitas-komunitas adat di seantero nusantara. Nagari di Minangkabau, Marga di Sumatera bagian selatan, Bius/Horja/Huta di Tano Batak, Gampong dan Mukim di Aceh, Pekon di Lampung, Banua/Binua di Kalimantan, Negeri di Minahasa, Kampung/Ngata/ Boya di Kaili-Sulawesi Tengah, Lembang di Tana Toraja, Petuanan di Maluku, Pamusungan di Lombok Barat bagian utara, Boa/Adak di Manggarai-Flores, Yo di Sentani-Papua, atau Tobu di Kendari hanyalah sebagian kecil dari yang dapat disebut. 

Memperkuat Posisi Masyarakat Adat dalam Tatanan Politik Nasional 

Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan (Alinea pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945) 

Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat tanpa kekerasan (Pasal 20 Ayat 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) 

Lebih dari sekedar perbincangan, otonomi masyarakat adat telah diusung menjadi tuntutan serta agenda para pemimpin adat dan organisasi-organisasi masyarakat sipil pendukungnya. Gagasan itu semakin mungkin terwujud sehubungan dengan peluang yang tercipta dari kebijakan pemerintah tentang otonomi daerah. Dengan UU otonomi daerah ini memungkinkan penggantian konsep pemerintahan desa dengan konsep pemerintahan “adat”. Hal ini semakin kuat lagi dengan pasal-pasal yang terkandung dalam konstitusi UUD 1945 yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya …….”. Posisi masyarakat adat ini semakin dipertegas lagi pada Pasal 28-I pada bab X A yang menyatakan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati sebagai hak azasi manusia. Juga dengan dikeluarkannya TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam yang meletakkan prinsip pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat dalam arah dan kebijakan pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam. 

Dengan demikian, upaya mewujudkan otonomi masyarakat adat mau tidak mau harus memasuki arena politik. Arena politik memberikan kesempatan kepada masyarakat adat untuk ikut campur dalam seluruh proses perumusan dan melakukan perubahan kebijakan pemerintahan daerah dan pusat. Bersamaan dengan itu arena politik juga menawarkan kesempatan untuk melakukan penataan ulang hubungan antara penyelenggara negara (pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat) dengan komunitas-komunitas masyarakat adat. 

Lazimnya dalam demokrasi modern yang dikonsepkan dan dikembangkan di negara-negara Barat, arena politik adalah arena perebutan pengaruh antara berbagai pihak dalam rangka perolehan kuasa-kuasa pengambilan keputusan di dalam lembaga-lembaga pemerintahan. Instrumen demokrasi yang dianggap paling sahih dalam arena ini adalah partai politik dan pemilu. Pengalaman Indonesia mempraktekkan berbagai jenis demokrasi modern sejak merdeka sampai saat ini telah nyata-nyata membuktikan bahwa demokrasi ala Barat mengandung cacat bawaan yang parah, yakni tidak memberi tempat bagi keberadaan satuan-satuan masyarakat berbasis teritorial dengan sejarah dan budaya yang sangat beragam (multikultur). 

Arena politik di Indonesia, yang didasarkan pada tatanan politik modern, selama ini tidak memberi peluang bagi partisipasi politik rakyat, termasuk bagi masyarakat adat yang hidup di pelosok nusantara, jauh dari pusat-pusat kekuasaan politik di Jakarta. Dengan kondisi seperti ini, tidak heran bila masyarakat adat nusantara mengalami derita pahit, sebagaimana sudah dialami masyarakat adat di negara-negara maju. Indian di Amerika atau suku Aborigin di Australia adalah contohnya. Penyakit dalam tatanan politik modern yang berbasiskan partai politik dan pemilu inilah yang harus dicegah agar penderitaan rakyat tidak bertambah lagi. 

Atas kesadaran ini, bagi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), memasuki arena politik jelas bukan dalam arti sederhana seperti membentuk partai politik, tetapi lebih dimaksudkan untuk membawa aspirasi otonomi masyarakat adat ini sebagai agenda politik. Agenda politik ini harus dikerjakan dari mulai tingkat kampung, daerah, nasional, bahkan sampai tingkat internasional. Karena itu, jenis demokrasi yang hendak dikembangkan adalah demokrasi partisipatif (participatory democracy). 

Prinsip utama demokrasi partisipatif bagi masyarakat adat adalah suatu proses politik dimana masyarakat adat berperan aktif dalam pembuatan kebijakan-kebijakan (pemerintahan daerah dan pusat) yang mempengaruhi kehidupan mereka. Dengan prinsip ini, masyarakat adat akan mengutamakan kekuatan politiknya pada arena lokal, dan kemudian memperjuangkan kepentingan-kepentingan lokal pada arena yang lebih luas di tingkat daerah (kabupaten dan propinsi) dan nasional. Jelas bahwa perhatian dan kesadaran politik masyarakat adat tidak boleh diisi dengan penyerahan urusan politik kepada wakil-wakil rakyat di parlemen dan pemerintah. 

Dengan demikian, masyarakat adat harus mengembangkan cara-cara dan perlengkapan yang lebih baik untuk menghadapi dan menangani curahan dampak politik nasional dan daerah terhadap kehidupan komunitas-komunitas adat di tingkat lokal. Cara-cara dan perlengkapan inilah yang diharapkan dapat mencegah masyarakat adat agar tak kembali menjadi korban dari para pelaku politik dan proses-proses politik di tingkat nasional dan daerah. Sejalan dengan itu masyarakat adat juga harus memperhatikan terus, sampai dimana penyelenggara negara mengakui keberadaan dan hak-hak mereka. Atau para penyelenggara negara itu justru menyingkirkan masyarakat adat. Upaya ini dapat dilakukan sambil aktif ikut serta dalam pembuatan kebijakan yang akan mempengaruhi keberadaan dan hak-hak masyarakat adat. 

Manakala pengakuan dari penyelenggara negara telah terwujud, maka partisipasi politiknya akan dilanjutkan dengan upaya perolehan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Artinya, penyelenggara negara dikatakan menghormati hak-hak masyarakat adat bila seluruh jajaran pemerintahan (pusat dan daerah) secara bersama-sama mengubah seluruh kebijakan penyelenggaraan negara termasuk proyek-proyek pembangunan sehingga tidak melanggar hak-hak masyarakat adat. Penyelenggara negara (pusat dan daerah) melindungi hak-hak masyarakat adat, manakala mereka mencegah dan menindak pihak-pihak lain “non-negara” (seperti perusahaan-perusahaan besar) yang melanggar hak-hak masyarakat adat. Penyelenggara negara memenuhi hak-hak masyarakat adat, manakala pemerintah menggunakan kebijakan, anggaran dan proyek-proyeknya untuk mengembalikan hak-hak masyarakat adat, termasuk hak-hak yang dirampas sebelumnya, baik oleh penyelenggara negara maupun oleh pihak-pihak lain yang non-negara. 

Dengan menyadari bahwa masyarakat adat dengan sendirinya harus berpolitik, maka para pemimpin adat yang langsung terjun untuk ikut campur dalam pembuatan kebijakan pemerintah perlu menyadari penyakit-penyakit bawaan dari kegiatan berpolitik itu sendiri. Penyakit berpolitik para politisi pada umumnya adalah mengatas-namakan rakyat untuk kepentingan dirinya atau kelompoknya. Korupsi politik seperti ini harus dikoreksi dengan senantiasa menjadikan pimpinan adat bukan “wakil” masyarakat adat, melainkan sebagai “utusan” masyarakat adat. Posisi “wakil” memungkinkan pemimpin adat dapat melakukan kesepakatan-kesepakatan apa saja dengan kekuasaan yang telah diberikan oleh masyarakat adat yang diwakilinya. Namun, sebagai “utusan”, ia hanya boleh bertindak menjadi juru bicara dan juru runding dengan pihak lain, dan akan selalu melaporkan kembali hasil-hasil kerjanya pada komunitas-komunitas masyarakat adat yang mengutusnya. Ia tidak memiliki kekuasaan dan wewenang untuk membuat keputusan atas nama masyarakat adat yang mengutusnya. 

Dengan demikian, organisasi masyarakat adat di tingkat lokal, daerah maupun nasional harus selalu menata diri dalam upaya menjaga mutu organisasinya maupun kualitas para pemimpin adat agar tindakan dan catatan capaian-capaiannya dapat diteladani oleh generasi muda sebagai kader perjuangan organisasi. Untuk itu organisasi masyarakat adat harus mampu menjelajah arena-arena politik pembuatan kebijakan yang penting, yang ikut menentukan nasib masyarakat adat. Organisasi masyarakat adat harus pula membangun koalisi/kerjasama dengan para pendukungnya. Organisasi masyarakat adat juga harus mengembangkan ketrampilan-ketrampilan berpolitik para utusan yang dikirimnya. 

*Tulisan lama yang dipersiapkan untuk seminar perluasan partisipasi politik lokal*

No comments: