Wednesday, January 28, 2009

Memilih Logika dan Absurditas : Sang Kekasih Hujan


Jari ku kaku dan seakaan malas bergerak, tuk menjentik tiap tuts yang ada di keyboard laptop ku. Dada ku serasa sesak, aliran darah macet laksana terhimpit batu karang. Semua itu kurasakan kini, kala ku menghadap sebuah kenyataan tentang kamu. Kamu, orang yang telah menanamkan benih-benih kasih sayang di ladang hatiku, kamu yang selalu membuat jantungku berdegub kencang tak karuan saat mataku bersirobok dengan matamu. Kenyataan itu adalah kenyataan yang sedari dulu telah eksis. Eksis, atau telah ada sedari ku mencoba menggugah hati mu.


Dengan tidak melihat kemungkinan terburuk, aku coba bernegosiasi dengan perasaan ku, situasi dan ruang hati kamu. Ruang hati kamu yang belum menyisakan ruang bagi hati yang lain, yang coba menerabas masuk. Dan sebisa mungkin aku menendang keluar hati yang telah ada sebelumnya. Ku coba kukuh pada keinginanku, bahkan menawar pun ku lakukan. Semuanya untuk coba meraih mimpi bersama kamu, merendah kasih walau tangan mu masih menggengam benang sutra kasih lainnya.


Waktu berjalan dengan banyak cerita didalamnya. Namun, rentang waktu perjalanan yang telah di tempuh tak kunjung menyibak kabut tipis yang menyelimuti mu. Misteri masih mengelilingi kamu walau banyak cerita yang sudah keluar dari mulut mu. Satu cerita kamu dari beberan cerita lainnya, adalah kebencian kamu dengan ketakjujuran. Kejujuran menjadi pondasi hidup mu, dan menjadi ukuran penilaian bagi penerimaan lainnya. (Bahkan dajal pun kamu terima asal "jujur"?). Tapi aku hanya bisa termangu saat kamu melakukan hal yang kamu benci, ketakjujuran.


Bimbang menghampiriku, kalut menggulung hatiku, semua menyatu dalam kegoyahan. Kembali ku coba bernegosiasi dengan perasaan dan situasi yang ada. Negosiasi bukan untuk menentukan siapa untung dan siapa buntung, siapa kalah dan siapa pemenangnya. Tapi bernegosiasi untuk meredam gejolak batin dan perasaan, bernegosiasi dengan proses, bernegosiasi dengan kenyataan. Hai Jopi! Bangunlah! bukan kamu yang menjadi pilihannya. Bukan kamu yang terkasih baginya. Tapi dajal itu, setan dan iblis yang berbentuk manusia yang menjadi pelabuhan tambatan hatinya. Dajal padang pasir, telah merenggut dan menghisap habis semuanya. Hatinya, cintanya. Si dajal menghadiahkannya balon warna-warni dengan aneka rasa. Tak kuasa kamu menolak dan mengabaikan panggilan iblisnya. Magnet yang terpancar dari dajal itu, menarik mu dengan kuat walau kamu harus menahan perih dan sakitnya.


Biadab! merupakan kata yang pantas di arahkan pada dajal itu. Pengorbanan kamu seakan tak berarti oleh kolotnya titah-titah leluhur tentang keagungan ras. Kamu seperti pemuas nafsu kejinya. Ku coba tuk menarik mu dari pusaran magnet itu, tapi sangat sulit. Cara terbaik mungkin dengan menghancurkan sang dajal. Membumihanguskannya hingga berkeping-keping dan luruh ke bumi, terseret arus banjir ke muara.


Akh….kelembutan masih dapat diandalkan. Bukan kah api masih bisa dipadamkan dengan air? Bukan kah baja masih bisa dicacah dengan intan?


Tapi yang tak ku mengerti adalah ketika cinta, hasrat dan nafsu telah membutakan hati, mata dan jiwa seseorang. Absurditas telah memukul telak logika hingga terjerembab ke dasar jurang. Tak kuasa ku menggugahnya, menuntunnya dan meraihnya menjauh dari keabsurdan cinta. Dan kini bahaya lain telah mengintai. Kamu telah menyodorkan daging segar ke mulut buaya, dan memasukkan ekstasi cinta pada sang buaya. Ekstasi cinta yang melayangkan hati dan jiwa sang buaya ke langit ke tujuh. Sang buaya pun ketagihan akan fantasi nikmatnya ekstasi cinta. Tak peduli usia, sang buaya terus merayap mendekati mu karena zat psikotropika yang terkandung dalam ekstasi cinta itu. Buaya itu hanya menginginkan fantasi mu. Tak lain!

Langkah ku semakin tersendat mendekatimu dan meraihmu. Jarak yang harus ku tempuh semakin jauh dan berkelok. Ada 3 persimpangan di depan, satu arah menuju mu, satu arah menuju ke sang buaya dan dajal, satu arah merupakan arah yang berlawanan dengan dua arah lainnya. Arah ini adalah arah yang akan meninggalkan mu. Mana yang harus ku pilih? Kembali logika dan absurditas yang akan menjadi pilihan ku. Logika atau Absurd?


*****

Ku dongak kan dagu ku menatap langit. Disana awan saling berangkulan dan bercumbu. Hujan! Hujan berlari-lari lincah, membangunkan awan-awan. Mewartakan pada mereka bahwa sang dewata telah memberi ijin turunnya air-air kehidupan. Awan-awan tertegun sesaat, Hujan mengangguk, guruh pun bergumam lembut dan akhirnya butir-butir bening luruh jatuh ke pangkuan bumi.


Cinta mereka berlabuh perlahan, bagai tetes-tetes pertama yang jatuh ke pangkuan bumi. Mengayun bersama sapuan angin yang sesekali meningkahi cengkrama cinta dua makhluk yang sedang terbius asmara . Hasrat pun tak kuasa dihadang, menggemuruh seperti derap air yang turun semakin rapat, beriak cepat, menggelombang dan akhirnya pecah menjadi bias-bias warna pelangi.


Hujan dan aku tersenyum malu-malu. Raga pun bagai terbang. Tak bisa dihindari. Hujan baru merasakan cinta yang seperti ini. Entah aku. Hari-hari Hujan tak lagi sepi. Hujan rajin bertandang ke bumi. Menurunkan kristal-kristal beningnya dengan segenap cinta. Meletupkan gairahnya tanpa malu-malu. Awan-awan tersipu-sipu melihat pendaran warna-warni pelangi disetiap waktu.


Sang dewata kikuk berperilaku. Menegur Hujan pun tak ada guna. Dalam hati hanya bisa bermohon, agar sang dewi cinta tetap berpihak padanya.

* * *

Diturunkannya bulir-bulir kristal yang hangat dengan sepenuh cinta. Ia pun turun seiring dengan ketukan berirama yang jatuh ke bumi. Ku panggil kamu dengan nyanyian jiwa ku yang merindu. Tak ada jawaban.


Dengan keheranan, kuhampiri rumah hati kamu. Dari balik jendela yang buram, ku lihat sang dajal dan kamu sedang duduk didepan perapian yang tampak hangat. Ditangan mu tergenggam secangkir minuman yang masih mengepulkan asap. Diujung kaki mu ada tiga ekor kucing yang lincah bercengkrama, dan sejumlah balon-balon yang pecah. Kamu tampak tertawa-tawa gembira melihat polah makhluk-makhluk itu, pecahan balon. Ditingkahi lincah nyala api yang melenggak-lenggok menggairahkan, kehangatan terpancar ke seluruh pojok rumah.


Hujan merasa terganti.


Diketuk-ketuknya jendela. Suara kaca beradu dengan jemari yang lentik, berketak-ketik menggelitik. Berirama lagu asmara , mengundang hasrat untuk bercinta. Kamu sejenak menoleh. Wajah mu beku.


Kamu akan kecewa! Dibentangkannya tangan kemudian ditariknya lurus ke udara. Awan-awan tertegun, kemudian tersadar akan apa yang terjadi. Hujan kemudian berputar-putar memanggil angin yang datang bergulung-gulung dahsyat. Awan-awan menjadi pekat. Hujan berlari, membangunkan guruh yang berteriak murka. Hujan berkejaran dengan lidah-lidah halilintar yang merobek-robek alam. Air mata Hujan berderai seiring dengan pelarian jiwanya yang perih, berderap menjadi ribuan jarum yang merajam bumi. Menghujamkan rasa sakit yang tak terperi.


Hujan terus berlari ke hulu sungai, menumpahkan air-airnya dengan tak terkendali. Meluap menjadi gelombang kekecewaan yang tak tertahankan. Amarahnya hanyut, menderas, menjadi luapan bah yang siap menerjang apa saja yang menghadang. Rindu Hujan telah menjadi badai.


Suara sungai menggemuruh, buihnya pun tak lagi putih. Warna air telah menghitam, sehitam kekecewaan Hujan yang kelam. Lelaki itu tak siap. Tak sadar apa yang terjadi, tiba-tiba terjangan air bah telah menghantam dirinya. Melarutkan semua yang menjadi miliknya. Hanya dalam hitungan detik semuanya musnah. Lenyap sudah semua yang pernah menjadi impianku.


Dalam kepungan air yang mengganas, aku melihat Hujan. Berdiri di puncak bukit memandangnya. Ekspresi yang hampa, kemudian pergi tanpa menoleh lagi.


* * *

Akhirnya, ku bisa tuliskan perasaan ku. Sangat sulit bagi ku mengurai kata demi kata menjadi kalimat saat ku bersama mu. Tak tahu kenapa. Tapi aku orang yang tak peduli masa lalu, ketika ku sayang pada seseorang. Tapi saat ini, bukan masa lalu yang menjadi permasalahan, tapi satu keputusan tentang logika dan absurditas.


No comments: