Monday, January 29, 2007

Inisiatif FLEGT : Pengelolaan Hutan Adil dan Lestari?

Falsafah Pengelolaan Hutan Masyarakat Adat Papua

Falsafah dari suku Amungme di Kabupaten Mimika seperti ditulis Dr Karel Phil Erari dalam bukunya, Tanah Kita, Hidup Kita: Hubungan Manusia dan Tanah di Irian Jaya sebagai Persoalan Teologis (Pustaka Sinar Harapan, 1999), mengungkapkan, "tanah ibarat ibu kandung". Tanah menyediakan kebahagiaan bagi anak-anaknya. Falsafah itu dianut semua suku di Tanah Kasuari. Mereka melihat tanah dengan segala yang hidup di atasnya bagian dari persenyawaan abadi. Namun, untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka memanfaatkan untuk kesejahteraan tanpa merusaknya. Falsafah itu yang selama ini diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan selanjutnya direfleksikan dengan sistem pengelolaan yang lestari dan berkelanjutan terhadap tanah beserta semua yang ada diatasnya.


Bagian paling timur Indonesia ini mempunyai luas daratan 42,2 juta hektare (ha). 41 juta ha (97 persen) di antaranya merupakan kawasan hutan, berdasarkan peruntukannya kawasan hutan Papua terbagi atas : hutan lindung = 591.991 ha, hutan produksi = 279.021 ha, hutan produksi tetap = 422.737 ha, hutan produksi konservasi = 319.118 ha, hutan PPA = 632.099 ha, dan hutan lainnya 21.284 ha.


Merujuk pada data angka-angka luasan hutan tersebut, betapa kaya-nya potensi sumber daya hutan orang Papua. Hingga sangat tidak masuk akal jika melihat realitas kehidupan masyarakat adat Papua saat ini. Jauh dari standar kehidupan yang dianggap layak dalam kacamata kesejahteraan. Sebuah persoalan yang begitu mudah dicari jawabannya, yaitu kebijakan pemerintah yang memiskinkan rakyat ! TITIK.


Persoalan yang tersisa dari OHL II


Mencermati situasi terkini dan falsafah Masyarakat Adat Papua tersebut, sistem pengelolaan mereka sama sekali tidak bertentangan prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan lestari. Sistem pengelelolaan itu merupakan warisan nenek moyang dan kekayaan pengetahuan lokal yang tidak kalah dibanding ilmu-ilmu pengetahuan modern. Namun, kearifan lokal itu harus kehilangan ‘roh-nya’ dan tunduk dihadapan hukum positif yang diproduksi Negara, misalnya dapat dilihat berbagai produk hukum tentang kehutanan yang menegasikan hak-hak berserta sistem pengelolaan tradisional masyarakat adat atas hutan.


Dalam kasus Papua, masyarakat adat harus terpojok dengan tudingan pembalakan hutan, seiring dengan terbongkarnya jaringan pembalakan kayu di Papua yang melibatkan aparat negara dan cukong-cukong kayu (lihat Laporan Utama Gaung AMAN edisi XV tahun 2005). Melalui program Operasi Hutan Lestari (OHL) II, pemerintah melalui Departemen Kehutanan melibas semua jenis usaha kayu tanpa pandang bulu, termasuk usaha kayu yang dikelola masyarakat. Gebrakan pemerintah itu ternyata menyisakan persoalan sendiri di masyarakat adat Papua, karena dalam OHL II tidak memasukkan program penguatan kapasitas masyarakat sekitar hutan dalam meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan-nya. Persoalan terulang kembali ketika masyarakat adat menjadi korban dalam sistem hukum negara.

Inisiatif FLEGT: Hanya Bahasa Politik ?

Sekilas terkesan tidak adil membebankan tanggung jawab meningkatnya illegal logging atau pembalakan liar di Indonesia kepada negara lain, namun dengan perkembangan teknologi digital, pusat data, dan pantauan penginderaan satelit, tanggung jawab itu bisa dialihkan ke pihak negara pengimpor kayu, terutama negara maju untuk mencari tahu asal usul kayu yang mereka impor. Cina mengimpor 27 persen dari hasil industri hutan kayu Indonesia, Jepang mengimpor 22 persen, dan Amerika Serikat sembilan persen. Selama ada kebutuhan, akan selalu ada pasokan baik legal maupun tidak. Di Indonesia, diperkirakan ekspor kayu tiga kali lebih besar dari ketentuan pembalakan (penebangan) yang diizinkan pemerintah setiap tahunnya.

Terkait dengan inisiatif FLEGT yang diluncurkan Uni Eropa. Voluntary Partnership Agreement/VPA (Persetujuan Kemitraan Sukarela) menjadi sebuah muara kesepakatan antara Uni Eropa selaku negara konsumen dan negara produsen (termasuk Indonesia) dalam pembenahan pengelolaan kehutanan dan perdagangan produknya secara lestari dan adil.

Kenyataannya, proses FLEGT setelah 2 tahun lebih belum juga menuju sebuah kesepakatan yang tertuang dalam VPA. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah,” Apakah ini hanya sebuah bahasa politik dalam isu kehutanan global?” “Apakah ini memang sebuah cerminan ketidakmampuan EU maupun Indonesia dalam melakukan praktek pengelolaan hutan dan perdagangan kayu yang lestari dan adil?”

Kasus Illegal Logging Papua adalah sebagian contoh ketidakmampuan pemerintah Indonesia dalam konteks penegakan hukum (law enforcement) maupun tata pemerintahan kehutanan yang baik. Hukum Negara yang semestinya menjamin dan melindungi Hak Hidup penduduknya dalam konteks akses terhadap sumber daya alam maupun menikmati manfaatnya menjadi terabaikan dan dikalahkan oleh motif mencari keuntungan sesaat.

Masyarakat Papua selaku masyarakat adat yang berdaulat atas tanah adatnya dan secara legal juga diakui dan diatur dalam UU Otonomi Khusus Papua, dalam tataran prakteknya tidak berarti banyak. Posisi Masyarakat Adat dan tanah serta hutannya tetap saja hanya menjadi obyek eksploitasi. Kenyataan tersebut menunjukkan betapa jauh panggang dari api. Good Forestry Governance yang digembar-gemborkan dengan keengganan pemerintah untuk memberi peran kepada Masyarakat Adat secara nyata dalam pengelolaan hutan, serta keengganan untuk menyelesaikan masalah-masalah tenurial, pada akhirnya hanya merupakan Bahasa Kosmetik dalam dunia politik internasional.

Di sisi lain, Uni Eropapun setali tiga uang, dalam konteks perdagangan kayu dan produk kayu. Produk kayu haram yang berasal dari sumber-sumber illegal tetap saja mengalir masuk dan Negara Konsumen beserta para pedagangnyalah yang menikmati keuntungan. Negara Produsen, salah satunya Indonesia hanya menikmati kehancuran hutannya dan memanen bencananya.

Kesulitan untuk mencapai kesepakatan di antara negara-negara anggota Uni Eropa merupakan salah satu kendala dalam menciptakan peraturan tegas yang bisa melarang produk kayu haram dari sumber illegal masuk pasar Eropa. Ini juga yang kemudian mendorong kelompok masyarakat sipil (Ornop) Indonesia untuk melakukan perjalanan lobby ke beberapa negara di Eropa. Ada beberapa poin-poin kunci yang diserukan kepada negara-negara Uni Eropa termasuk kepada Komisi Uni Eropa. Poin-poin kunci tersebut antara lain :

  1. Harus ada kejelasan verifikasi legalitas kayu dan produk kayu. Legalitas tersebut juga mencakup prinsip Free Prior and Informed Consent/FPIC (Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan)
  2. Proses verifikasi harus berdasarkan pada keterlacakan yang jelas pada kayu dan produk kayunya. Tidak hanya berdasarkan dokumen legal yang ada tetapi juga kesesuaiannya dengan kenyataan di lapangan.
  3. Lembaga mendapat mandate Negara sebagai penyelenggara verifikasi legalitas haruslah Lembaga yang kredibel, independen dan transparan, dimana auditnya dilakukan oleh pihak ketiga yang independen.
  4. Verifikasi Legalitas hanya berlaku pada periode waktu tertentu dan terbuka untuk monitoring public. Jika ditemui indikasi pelanggaran-pelanggaran dan terbukti maka lisensi legal bisa dicabut. Sistem verifikasi legalitas harus memberi ruang kepada masyarakat sipil untuk bisa melakukan « Independen Monitoring Spot Cek » untuk lebih bisa menjamin verifikasi legalitas yang lebih kredibel.
  5. Transparansi dan partisipasi masyarakat dalam setiap perubahan kebijakan/peraturan perundang-undangan adalah sebuah keharusan demi pengelolaan hutan dan tata kepemerintahan hutan yang lebih baik. Komunikasi dan penyampaian informasi yang utuh dan menyeluruh di antara para pemangku kepentingan baik di Indonesia maupun UniEropa menjadi sebuah syarat. Kelemahan dan ketidakadilan hukum/peraturan perundang-undangan antara Negara mitra dan Negara Anggota Uni Eropa menjadi obyek usulan perubahan sebagai usaha bersama dan usaha yang berbalasan.

Kembali berkaca, pada situasi kehutanan Indonesia pada jalannya proses inisiatif FLEGT, sudahkah kita berada dijalan menuju pengelolaan hutan yang adil dan lestari?

No comments: