Habis Hutan Terbitlah Gurun Pasir
Pulau tanpa penghuni, tak lama lagi. Halmahera sedang menanti masa itu, menambah jumlah pulau tanpa penghuni, akibat penggurunan. Kawasan Konservasi Toguraci di Pulau Halmahera, Maluku Utara akan menjadi salah satu kawasan penggurunan. Adalah PT. Nusa Halmahera Mineral (NHM) yang akan membongkar hutan adat Toguraci seluas 7.070 hektar, terdiri dari hutan lindung 4.660 hektar dan hutan produksi terbatas 2.410 hektar. PT NHM adalah perusahaan tambang emas patungan yang mayoritas sahamnya dikuasai Newcrest Singapore Holdings Pty. Ltd. (82,5%) dan PT. Aneka Tambang (17,5%). Areal konsesi perusahaan ini 449.000 hektar, tertera dalam Kontrak Karya. Konsesi ini tersebar di tiga lokasi yakni : Toguraci (Gosowong Barat), Gosowong Utara dan Gosowong Selatan.
Sejak mulai berproduksi 14 Juli 1999 sampai Desember 2000 di Gosowong, total produksi PT. NHM sudah mencapai 11,45 ton emas. Pada tahun 2000, produksi emasnya sebesar 7,6 ton emas. Pada 2001 dihasilkan emas sebanyak 8.946 kilogram dan diperkirakan masih memiliki sisa cadangan sebesar 4.342 kilogram. Total cadangan yang masih dapat ditambang sekitar 381.123 ton bijih emas dan perak. Kadar emas 25,33 gpt dan perak 32,40 gpt. Potensi ini mengandung 310.378 ons emas dan 397.009 ons perak. Umur tambang sebelumnya diperkirakan lima tahun dengan rata-rata produksi emas 154.000 ons/tahun (Sumber : Website Antam, Edisi 1 Januari 2001). Dengan perkiraan umur tambang demikian, PT NHM seharusnya berhenti beroperasi pada 2002. PT. NHM merupakan salah satu dari 4 perusahaan yang akan melakukan pengakhiran tambang pada 2002 berdasarkan pengumuman yang dikeluarkan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) (Sumber : SKH Republika 2 Maret 2002). Mengapa PT NHM masih meneruskan penambangan dengan mengeduk kawasan Hutan Lindung Toguraci, Kecamatan Kao, Halmahera Utara?
Keuntungan total PT. NHM saat beroperasi di Gosowong dari 1998-2002 sebesar Rp 600 miliar. Kawasan Hutan Lindung memiliki cadangan 20 ribu deposit bijih logam. Pada 31 Januari 2004, PT NHM bahkan sudah menggali 8,000 ton bijih emas dari Hutan Lindung Toguraci dan menghasilkan emas murni yang mendatangkan laba sebesar Rp. 40 Milyar. Gambaran keuntungan ekonomi uang inilah yang menjadi sumber malapetaka, karena tidak mempedulikan aspek sosial dan ekologi Halmahera Utara.
Krisis Air di Pulau Halmahera
Seperti halnya Pulau Gag dan Sumbawa, Pulau Halmahera dengan luas sekitar 18.000 Km2 merupakan salah satu pulau kecil yang hutan lindungnya akan dibongkar untuk pertambangan. Padahal kawasan ini memiliki curah hujan tinggi. Di samping itu topografi kawasan termasuk dalam kategori agak curam dan curam. Artinya, tanah di kawasan seperti ini dan memiliki resiko terjadinya erosi besar-besaran bila hutannya gundul dan lahan tidak tertutup vegetasi. Erosi akan mengakibatkan pendangkalan sungai di kawasan tersebut, selain banjir dan longsor yang tak mungkin tertahankan. Di samping itu tentu saja akan muncul KRISIS AIR di Toguraci.
Hutan sangat dibutuhkan karena kemampuannya reservoir dan penyuplai kebutuhan air bagi makhluk hidup di Toguraci. Apalagi bagi masyarakat adat Kao dan Malifut yang tinggal di sekitar kawasan hutan lindung Toguraci. Sementara kenyataannya areal konsesi pertambangan PT. NHM berada dalam kawasan tangkapan air sungai Tobobo (Sumber : Mengeruk Emas Menambang Bencana, 2002, JATAM). Artinya, ketersediaan air tawar akan menipis seiring dengan pembongkaran kawasan hutan sebagai kawasan tangkapan air (reservoir). Apalagi pertambangan adalah jenis industri yang rakus air. Untuk menjalankan roda produksi, industri pertambangan akan menyedot air dalam jumlah besar setiap harinya. Kebutuhan air itu biasanya diambil dari sungai atau dari air tanah dengan pengeboran. Dampaknya, masyarakat setempat akan menderita karena pasokan air berkurang drastis.
Faktor lain adalah limbah pertambangan yang pasti mencemari sungai dan air tanah. Jika benar bahwa setiap tahunnya perusahaan memproduksi emas sebesar 154.000 ons/tahun, maka limbah tailing yang dihasilkan berjumlah sangat besar. Setiap tahunnya perusahaan membuang limbah tailing ke alam sebesar 14,9 juta ton atau sekitar 41 ribu ton/ hari. Dalam praktek pertambangan emas, tailing yang berasal dari penghancuran batu-batu berkandungan emas di pabrik akan dialirkan ke kolam limbah, atau langsung dibuang ke sungai dan laut. Limbah tailing ini mengandung asam kimia dan logam-logam berat yang sangat berbahaya bagi tubuh manusia dan semua makhluk hidup. Jika masuk ke dalam air yang dikonsumsi manusia dan semua makhluk hidup maka kasus Buyat akan kembali terulang. Manusia, tumbuhan dan hewan mengkonsumsi racun-racun berbahaya.
Menyikapi hal tersebut, salah seorang warga masyarakat adat Kao, Jhon Djiniamngele, mengatakan masyarakat Kao dan Malifut sangat cemas dengan tindakan PT. NHM membuka tambang di kawasan hutan adat Toguraci. Gambaran akan dampak serius, seperti yang terjadi di proyek Gosowong menghantui mereka. Masyarakat bukan hanya kehilangan hutan adat maupun kebun-kebunnya, tetapi juga hasil tangkapan udang dan ikan teri. Karena mereka yakin air laut di kawasan itu juga bakal tercemar oleh limbah PT. NHM. “Kami meminta agar PT Nusa Halmahera Mineral menghentikan kegiatan operasi pertambangannya di hutan adat dan hutan lindung Toguraci dan harus mengembalikan fungsi hutan seperti semula,” kata Jhon.
Pekerjaan Rumah Pemerintahan dan Parlemen Baru
Menyadari bahaya yang mengancam eksistensinya, masyarakat adat Kao dan Malifut tidak tinggal diam. Aksi pendudukan di kawasan hutan lindung Toguraci adalah salah saatu bentuk perlawanan. Masyarakat dari Desa Eti dan Dumdum Pantai, dari dua kecamatan yang berbatasan dengan lokasi tambang PT. NHM terlibat dalam aksi itu. Mereka menuntut PT Nusantara Halmahera Mineral (NHM) segera meninggalkan lokasi dan merehabilitasi kawasan hutan lindung yang telah dieksploitasi. Mereka juga menuntut PT NHM mengembalikan sebagian laba yang telah diperoleh kepada masyarakat. Sebab selama 10 minggu beroperasi di Toguraci, PT. NHM telah meraih laba Rp 40 miliar lebih. Sementara saat beroperasi di Gosowong dari 1998-2002 meraih laba Rp 600 miliar.
Namun, aksi damai masyarakat tersebut dihadapi dengan tindakan represif oleh aparat keamanan yang didatangkan PT. NHM ke lokasi. Pasukan ini memerintahkan masyarakat untuk meninggalkan lokasi tersebut, yang kemudian ditolak oleh masyarakat. Penolakan tersebut malah dijawab oleh tembakan. Akibatnya, seorang warga bernama Rusli Tungkapi tertembak dibagian kepala sehingga meninggal di tempat. Kasus kekerasan tersebut saat ini masih dalam tahap penyilidikan KOMNAS HAM, dan belum ada hasil akhir dari penyelidikan tersebut.
Kasus kekerasan yang terjadi di Halmahera seharusnya menjadi catatan khusus buat Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Dewan Perwakilan Rakyat yang baru saja dilantik. Pemerintahan dan Parlemen baru ini harus segera memutuskan rantai kekerasan yang diwariskan rezim sebelumnya. Termasuk juga akar masalah dari munculnya aksi kekerasan tersebut. Kasus PT. NHM memberikan bukti nyata buruknya pengelolaan industri pertambangan. Dengan dampak buruk yang dialami masyarakat di seantero negeri ini selama ini, toh masih ditambah juga dengan ijin bagi pertambangan di hutan lindung. Sudah sepatutnya, DPR dan Pemerintahan yang baru menolak tegas pembukaan hutan lindung untuk pertambangan dengan mencabut Perpu No. 1/2004. Ini penting menjadi catatan bagi eksekutif dan legislatif baru.
Perpu No 1/2004 garapan pemerintah dan DPR periode pemerintahan Megawati menjadi akar persoalan dari ancaman bahaya penggurunan berbagai wilayah kehidupan masyarakat adat dan lokal akibat eksplorasi alam habis-habisan dengan dalih pemasukan bagi negara. Daftar ekologi gersang di dunia akan kian bertambah setelah Gurun Gobi, Kalahari, Sahara, Rub Al Nafud, Rub Al Khali. Belum terhitung kawasan yang kian menggersang di seantero Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi dan Jawa serta pulau-pulau kecil.
No comments:
Post a Comment