Sejak mula manusia sudah sadar akan ketergantungannya
pada alam. Alam dan sumberdaya kandungannya adalah sumber hidup material
manusia, sumber budaya dan bahkan sumber inspirasi spiritual. Dengan kata lain,
alam dan sumberdaya adalah salah satu syarat keberadaan manusia. Namun ini
bukan semata sebuah kesadaran linier yang dapat diprediksi. Karena tingkat
kesadaran selalu berbeda dan ukuran keberadaan pun selalu bermacam-macam. Maka
tidak semua itu baik adanya. Konflik antar manusia adalah buktinya.
Sejak mula pula kisah konflik antar manusia telah
melegenda dalam alam sadar dan bawah sadar manusia. Kisah anak-anak Adam yang
saling bunuh mungkin sebuah kisah yang banyak diketahui. Mengapa konflik?
Karena pihak yang satu merasa keberadaannya terancam oleh keberadaan pihak
lain. Pada tataran sebuah kelompok masyarakat atau komuniti, kondisi ini
diantisipasi dengan memperkuat mekanisme dan pranata pencegah atau juga pranata
untuk beraksi bilamana konflik pecah dalam wujud kekerasan.
Pranata itu bisa sebuah institusi, bisa pula
produk-produk institusi. Dan tindakan membangun pranata itulah yang gagal dilakukan oleh Pemerintahan SBY. Pranata tersebut gagal karena dibangun hanya
untuk
mengelabui rakyat. Kebijakan sebagai
sebuah produk dari pranata misalnya, dikeluarkan hanya untuk memfasilitasi
modal, rakyat seakan dilupakan. Lihat saja kebijakan di sektor agraria secara umum,
khususnya sektor perkebunan. Rakyat seperti dihilangkan dalam klausul
kebijakan. Indikatornya adalah konflik yang kian marak.
Jumlah konflik agraria di Indonesia
sepanjang 2013 meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan dengan tahun lalu.
Konflik warga dengan perusahaan perkebunan dan pertambangan paling sering
terjadi.
Peningkatan konflik terutama terjadi
di provinsi-provinsi tempat perusahaan perkebunan dan pertambangan berekspansi.
Sebab, perusahaan-perusahaan itu mendapatkan izin penggunaan lahan atas lahan
dalam wilayah kelola masyarakat. Dalam beberapa tahun terakhir, tercatat
rata-rata perluasan lahan perkebunan sawit mencapai 500.000 hektar per tahun. Apalagi,
pemerintah mendukung ekspansi dengan menghapus batasan luas lahan perkebunan
besar. Sebelumnya, setiap perusahaan mengelola maksimal 100.000 hektar.
Konon bahaya paling besar bagi kemanusiaan dan
kelangsungan ras manusia di Bumi adalah manusia sendiri. Ceritera konflik agraria, barangkali, puluhan atau ratusan tahun ke muka akan
menjadi sebuah kisah dalam kitab-kitab yang dipelajari tentang bagaimana
manusia menghancurkan sesamanya melalui pengerukan besar-besaran isi perut Ibu
Bumi sebelum akhirnya menghancurkan Ibu Bumi itu sendiri. Akankah kisah air bah
akan terulang karena Bumi makin panas? Bukankah makin hari makin banyak
industri, makin banyak sumber energi yang melepaskan panas ke angkasa dari
rumah-rumah dan makin tipis pelindung Bumi?
Bukan hanya hutan yang hilang sebagai pelindung, tapi
tanah tempat kita berpijak dan orang-orang arif yang memandang alam sebagai
syarat eksistensial manusia makin punah diterjang mesin-mesin sekelompok
manusia lain yang hidup dalam ilusi akan dunia baru yang dapat diciptakannya
dari kertas-kertas yang bernama uang?
Tahun 2013 telah lewat, Doa panjang
rakyat yang menjeritkan derita akan kembali bergaung ke langit: Tinggalah bersama kami ya Tuhan karena
senjakala telah menyongsong Bumi ini. Tinggalah bersama kami. Amin.