Si Elaies Yang Datang dari Afrika
Indonesia negeri
kaya. Sejak kecil kita tumbuh dengan memuja keberlimpahan alam pertiwi seperti
dalam syair lagu Rayuan Pulau Kelapa. Lagu yang menutup siaran resmi layar TVRI
saban malam. Nyiur melambai, mengiringi gunung, lembah, lautan, dan daratan di
segala penjuru. Emas, tembaga, nikel, minyak, sawit, karet, semua ada.
Indonesia negeri
sarat paradoks. Negeri kaya ini seolah berjalan tanpa rencana yang jauh
menjangkau ke masa depan. Tak ada kesadaran bahwa keberlimpahan itu pasti akan
menipis dan berakhir. Alih-alih memiliki sense of
urgency dan keberpihakan pada rakyat luas, sumber daya alam cenderung
diobral dan dikelola sembrono. Walhasil, sumber daya alam yang melimpah itu,
ironisnya, kerap menorehkan luka dan disharmoni sosial. Berkah dan kutukan alam
yang kaya, celakanya, sering hanya berjarak tipis.
Paradoks pekat
melingkupi sawit. Komoditas yang satu ini memiliki pamor yang begitu cemerlang.
Dia membawa janji sebagai sumber energi zaman baru, biofuel. Elaeis guinensis, nama ilmiahnya, juga menjanjikan “tiket” menuju kedaulatan
ekonomi. Tiket yang bukannya mustahil dikejar. Syaratnya, sawit dikelola dengan
benar: proses perizinan yang transparan dan akuntabel, memajukan petani sebagai
ujung tombak, menghormati hak ulayat, ramah lingkungan, dan memperlakukan buruh
dengan baik.
Yang juga tak kalah
penting, pengelolaan sawit juga mutlak diiringi ikhtiar memupuk dan menumbuhkan
industri hilir. Agar negeri ini tak hanya jadi persinggahan untuk menguras
bahan baku. Agar negeri ini juga menuai keuntungan dari pengolahan produk turunan
yang punya nilai tambah tinggi. Jurus yang seharusnya juga diterapkan untuk
semua sumber daya alam yang dimiliki Indonesia seperti minyak, rotan, karet,
emas, tembaga, dan lain sebagainya.
Hutan terbongkar karena Kebun Sawit |
Gak bisa dipungkiri
bahwa minyak sawit telah terbukti sebagai komoditas yang ampuh. Berbagai
produk, mulai dari sampo di kepala sampai kuteks di jempol kaki, membutuhkan
minyak sawit sebagai campuran bahan baku. Isi tas belanjaan, termasuk di mall
supermewah di seluruh penjuru dunia, semuanya membutuhkan minyak sawit. Tak
heran bila nilai ekonomis sawit bakal terus melaju seiring bumi yang makin tua
dengan cadangan bahan bakar fosil yang kian menipis. Sawit pun makin berkilau
bagaikan emas hijau.
Anehnya, sebetulnya
tidak aneh karena inilah konsekuensi logis dari pengelolaan yang kurang
visioner, sawit yang berpotensi dahsyat itu menyisakan timbunan persoalan.
Konflik kepemilikan lahan, terpinggirkannya masyarakat adat, biodiversitas
hutan tergerus, kriminalisasi petani, adalah ekses ekstra serius yang timbul
meletup di sana-sini. Ekses-ekses yang mutlak harus dibenahi dan diurai satu demi
satu, dengan jernih dan obyektif, jika tak ingin sawit terus membawa disharmoni sosial dalam berbagai
level.
Konflik meletup
dimana-mana karena sawit. Akhir tahun 2011, masyarakat Indonesia dikejutkan
dengan adanya korban berjatuhan di perkebunan sawit di Mesuji, wilayah
perbatasan Lampung dan Sumatera Selatan.
Penduduk yang berbilang tahun memperjuangkan haknya dipaksa berhadapan dengan
perusahaan yang mengerahkan pasukan keamanan, baik yang swasta maupun aparat
TNI dan Polri.
Dan, yang patut
secara serius kita soroti bersama bukanlah berapa jumlah korban yang jatuh di
Mesuji. Sebab satu nyawa hilang pun sudah terlalu banyak. Lebih dari sekadar
soal statistik, Mesuji membawa pesan yang tegas, yakni pentingnya membenahi keruwetan
praktik pengelolaan sumber daya alam, perkebunan maupun pertambangan. Ini
adalah teriakan, lonceng panggilan, yang amat serius kepada pemimpin negeri ini
untuk segera berbenah.
Jangan lagi
mengabaikan tumpukan persoalan. Berbilang tahun pula para pejabat yang terkait,
baik dari Kementerian Kehutanan atau Kementerian Pertanian, cenderung mengelak
adanya gunung konflik dalam dunia persawitan di Indonesia. Alasan yang kerap
ditampilkan adalah: “Indonesia menjadi korban black
campaign persaingan sawit dunia. Sawit dari Indonesia sering diisukan
tidak ramah lingkungan, merusak hutan, dan
mengabaikan hak-hak petani. Padahal, semua itu semata-mata karena persaingan
global.”
Alasan para pejabat
tadi mungkin ada benarnya. Amerika dan beberapa negara di Eropa, misalnya,
sedang mengembangkan produk perkebunan (jagung, kanola, bunga matahari) yang diharapkan
bisa menyaingi sawit. Namun, sejauh ini keunggulan minyak sawit, baik dari segi
efisiensi maupuan kegunaan, masih jauh melampaui komoditas perkebunan yang
lain. Walhasil, sawit dan berbagai produk turunannya masih berada di atas angin
dalam peta persaingan global. Tapi, lepas dari perkara persaingan, tragedi
Mesuji dan perburuan orang utan adalah bukti tak terelakkan. Tragedi ini adalah
tamparan bagi pemerintah dan khususnya para pejabat terkait. Apa yang kerap dituding
sebagai black campaign itu memang ada
benarnya. Mesuji dan perburuan orang utan adalah konfirmasi telak bahwa ada
banyak hal yang keliru dalam pengelolaan perkebunan sawit di Indonesia. Suatu
hal yang patut menjadi bahan refleksi untuk menata langkah ke depan.
Teramat sayang jika
pengembangan sawit sebagai komoditas yang menjanjikan, dengan posisi Indonesia
sebagai produsen terbesar di dunia, harus diwarnai dengan kepahitan yang
ditanggung petani dan masyarakat. Kami
yakin, dunia juga berkepentingan terhadap sustainabilitas dan perbaikan perkebunan sawit
di Indonesia. Sebab, bersama Malaysia, Indonesia adalah pemasok utama komoditas
yang amat strategis dan dibutuhkan dunia ini.
Menulis tentang
sawit itu seperti tersesat di antara labirin informasi dunia persawitan. Setiap
soal membutuhkan perhatian tersendiri. Karakter kebun sawit yang masih muda
berbeda dengan kebun yang sudah melewati usia 20-30 tahun. Di kebun yang
masih muda, sawit belum bertandan dan petani
belum bisa menuai hasil. Di kebun yang sudah tua, petani butuh dana peremajaan
yang tidak sedikit. Labirin yang paling
membikin pusing kepala tentunya adalah sengketa
kepemilikan lahan, izin hak guna usaha yang berpindahpindah tangan, dan juga relasi antara petani plasma dan perusahaan yang timpang.
Setiap persoalan
terkait dengan
persoalan lain,
kadang dalam jalinan yang susah diurai. Itulah pekerjaan rumah raksasa
yang harus dikerjakan penguasa baru negeri galau ini.