Pelajaran Menarik dari Papua New Guinea
Beberapa waktu yang lalu AMAN keadatangan tamu dari Ecoforestry Forum Papua New Guinea (PNG/Papua Timur) Ken Mondiai dan Grant Rosoman dari Greenpeace. Keduanya mempunyai pengalaman panjang dalam usaha mengawali, membangun dan mengawal kegiatan pengelolaan hutan oleh masyarakat yang oleh mereka diberi istilah “Ecoforestry” yang mengandung arti kegiatan pengelolaan hutan yang berorientasi ekologi / fungsi lingkungan sedangkan di Indonesia lebih di kenal dengan istilah “Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat”. Kedua istilah tersebut bisa dibilang sama dalam artian usaha pengelolaan hutan oleh masyarakat, tetapi dalam artian tekanan kegiatannya ternyata berbeda.
Perbedaan mendasar PNG dan Indonesia
Dalam diskusi kami, baik dengan Grant maupun dengan Ken, hal yang mendasari perbedaan tersebut adalah perbedaan kondisi politik kehutanan PNG maupun Indonesia sehingga tekanan kegiatan pengelolaan hutan oleh masyarakat di Indonesia lebih ditekankan pada pelaku (rakyat/Masyarakat Adat dalam konteks AMAN) sedangkan di PNG lebih ditekankan pada fungsi (ekologi/lingkungan). Lebih jauh perbedaan antara Indonesia dan PNG dari sisi kebijakan kehutanannya adalah hampir 97 % tanah dan hutan di PNG merupakan tanah/hutan milik adat, artinya berdasarkan hukum negara (dalam hal ini Undang-undang Dasar dan Undang-Undang Kehutanan) yang berlaku masyarakat adat merupakan pemilik yang sah dari tanah dan hutan adat mereka berhak membuat perencanaan dan pengelolaan atas tanah mereka. Berkaca dari hal tersebut, sangat jelas perbedaannya dengan Indonesia, dimana kepemilikan tanah/hutan oleh masyarakat adat tidak diakui oleh negara (atau diakui dengan syarat-syarat yang memberatkan atau diakui hanya secara lokal oleh pemerintah daerah). Dari kondisi tersebut maka isu yang menonjol di Indonesia adalah masalah kepemilikan tanah/hutan sehingga dengan demikian gerakannya lebih menekankan basis pengelola-nya yaitu Masyarakat, untuk mendapatkan pengakuan tidak hanya hak pengelolaan tetapi juga hak kepemilikan atas tanah/hutan yang dikelolanya. Sedangkan di PNG di mana kepemilikan tanah/hutan di akui sebagai hak milik rakyat/masyarakat adat maka tekanannya lebih diarahkan pada bentuk dan arah pengelolaannya.
Belajar dari pengalaman
Kondisi (politik kehutanan) di PNG tidak juga membuat pengelolaan hutan oleh masyarakat kemudian menjadi sangat mudah. Seperti yang dituturkan oleh Ken maupun Grant, sampai saat ini program “Ecoforestry” di PNG sudah berjalan sepuluh tahun lebih, dan baik cerita gagal maupun sukses merupakan bagian dari perjalanan yang masih berlangsung sampai sekarang. Secara umum kondisi masyarakat adat di PNG kurang lebih sama dengan di Indonesia dalam hal hubungannya dengan hutan, hutan adalah gantungan hidup .
Bisnis dan industri kehutanan di PNG berjalan tidak jauh berbeda dengan kondisi bisnis dan industri kehutanan di Indonesia. Meskipun secara politis kondisinya berbeda, tapi hal yang paling nyata dari kondisi masyarakat kedua negara ini adalah masyarakat sering menjadi penonton pembangunan, dalam hal ini di sektor kehutanan. Di PNG, perusahaan besar biasanya membeli konsesi (hak) pengusahaan kayu atau membeli kayu dari Masyarakat dengan harga yang sangat jauh di bawah pasar, sebagai contoh di tahun 1997; perusahaan kayu di PNG membeli setiap meter kubik kayu dari Masyarakat dengan harga US$ 5 (Rp. 45.000) dan kemudian perusahaan menjual ke pasar seharga US$ 75 (Rp. 675.000) keuntungan yang diperoleh perusahaan adalah 2500%! (Bandingkan dengan Indonesia untuk kayu jati, para exportir mandapatkan keuntungan sekitar 500% dari harga jual kayu di tingkat produsen/petani). Kondisi lain di PNG, Perusahaan membeli konsesi (hak)pengusahaan kayu hutan marga masyarakat adat (bandingkan dengan ijin HPH kecil /100 Ha dari Kabupaten atas nama koperasi/usaha masyarakat kemudian ijin tersebut di beli pengusaha dn seterusnya) dengan menandatangani kontrak dengan suatu marga tertentu maka perusahaan berhak mengusahakan kayu hutan marga tersebut dan setelah membabat habis hutan marga tersebut kemudia perusahaan mencari sasaran hutan marga lain dan mengikatnya dengan kontrak. Seringkali praktek-praktek industri (pengusaha/perusahaan)kehutanan skala besar di PNG menyalahi aturan tetapi karena penegakan hukum yang lemah dan korupsi maka aturan tersebut menjadi tidak berarti terutama dalam melindungi kepentingan rakyat dan kelestarian sumber daya alam.
Penipuan, pembodohan, perampasan dan penindasan terhadap masyarakat yang nota bene adalah pemilik hutan menjadi praktek yang lazim dilakukan oleh perusahaan, sementara pemerintah yang lemah dan korup menutup mata terhadap semua hal yang terjadi. Harapan masyarakat untuk dapat meningkatkan kesejahteraan hidup dengan menjual hak pengusahaan kayu kepada perusahaan justru sebaliknya menyengsarakan mereka, karena perjanjian/kontrak yang dibangun hanya mempertimbangkan keuntungan perusahaan dengan menipu msayarakat pemilik hutan. Kenyataan yang demikian pahit membangkitkan niat untuk mengorganisir Masyarakat pemilik hutan dan menuntut perusahaan angkat kaki dari hutan marga mereka. Meskipun pengorganisasian dan pengusiran perusahaan dari hutan adat mereka memaksa harus berurusan dan berhadapan dengan aparat keamanan (yang berada di pihak pengusaha) tetapi tekad masyarakat adat untuk memperoleh kembali hutannya dan niat mereka untuk mengelolanya secara mandiri membuat mereka terus berjuang. Sampai pada akhirnya hal tersebut mendapat simpati dan dukungan dari para aktivis LSM yang kemudian membangun “Ecoforestry Forum” sebagai usaha membantu masyarakat adat di PNG untuk dapat mengelola hutannya secara mandiri dan berkelanjutan.
Hal terpenting dalam memulai usaha pengelolaan hutan oleh masyarakat adalah memupuk modal sosial. Seperti di ketahui bersama bahwa masyarakat adat identik dengan kearifan dalm pengelolaan sumber daya alam, norma dan aturan adat yang menitikberatkan pada keseimbangan alam termasuk pranata sosial-nya yang kuat. Kenyataannya semua hal tersebut semakin lama bukan semakin kuat tetapi sebaliknya semakin terkikis baik oleh kebijakan maupun oleh gelombang modernisasi, globalisasi, kapitalisme dan konsumerisme. Di PNG, kegiatan pengelolaan hutan oleh Masyarakat Adat yang didampingi Ecoforestry Forum juga digunakan sebagai wahana pendidikan. Pendidikan yang dimaksudkan disini meliputi perencanaan tata ruang kelola sumber daya hutan dengan pertimbangan fungsi dan daya dukung lingkungan, perencanaan kegiatan kelola kehutanan mulai dari produksi, transportasi, pemasaran dan penanaman kembali. Di sisi lain pendidikan dan pelatihan perencanaan kelola ruang berdasarkan fungsi lingkungan, pengelolaan organisasi dan usaha, teknologi tepat guna semakin menguatkan praktek-praktek pengelolaan hutan oleh Masyarakat adat di PNG, tetapi dari semua pelajaran tersebut yang dapat ditarik dari proses belajar tersebut adalah bahwa modal sosial merupakan modal utama, artinya membangun kesepakatan-kesepakatan bersama, mengantisipasi konflik yang mungkin muncul merupakan pondasi yang perlu dibangun secara kuat sejak awal.
Ketika usaha dan organisasi pengelolaan hutan oleh masyarakat adat menjadi semakin kuat otomatis secara politis kedudukan mereka juga menjadi semakin kuat, kepentingandan partisipasi masyarakat adat selalu menjadi pertimbangan penting dalam membuat kebijakan di PNG. Saat ini produlsi kayu di PNG menganut prinsip Kelestarian Kelola Hasil artinya produksi kayu mempertimbangkan daya dukung lingkungan untuk memulihkan diri sehingga diperoleh hasil kayu yang berkelanjutan dari hutan yang dikelola.Diperkirakan luas hutan yang boleh diusahakan untuk kelestarian hasil adalah 3 sampai 15 juta hektar dan produksi kayu untuk ekspor sampai dengan 2 juta meter kubik per tahun. Selain prinsip kelestarian hasil terdapat juga kelestarian kelola, artinya pengelolaan dengan mempertimbangkan kelimpahan dan keragaman jenis dari ekosistem hutan sehingga hutan tetap dapat memberikan jasa lingkungan yang terjaga sesuai dengan fungsi lingkungan (ekologis).
No comments:
Post a Comment