Mimpi indah tidak selalu menjadi kenyataan yang nikmat. Itulah yang dialami Orang Talang Mamak di Indragiri Hulu, Riau. Harapan dan angan-angan akan masa depan yang lebih baik pupus sudah. Apa yang dijanjikan aparat pemerintah bersama PT. Regunas dan PT Mega Nusa Inti tak pernah terwujud. Padahal ratusan ribu hektar hutan, ladang dan kebun tempat tumpuan hidup sebelum kedatangan perusahaan tersebut sudah diserahkan. Tanpa ganti rugi pula. Dan kini semua itu telah menjadi milik perusahaan. Orang Talang Mamak bertahan hidup dalam kehampaan dan keniscayaan.
Ruang hidup mereka terhimpit di antara hamparan kebun sawit. Sumber ekonomi hanyalah getah karet dan buah-buahan. Kebanyakan anak-anak tak sekolah, tingkat kematian ibu dan anak relatif tinggi, kesehatan penduduk tak terjamin karena tidak ada biaya, dan kehilangan ladang dan kebun. Tatanan sosial, politik dan sistem nilai turut hancur. Pertanyaan yang menghantui mereka tak kunjung terjawab: Ketika perusahaan datang untuk menanamkan investasi, Negara (pemerintah) nampak ada di depan mata bak malaikat. Kemana Negara (pemerintah) yang manis itu ketika mereka hendak mengadukan keterpurukan hidupnya?
“Kami bukan dibina melainkan dibinasakan”, kata warga Talang Mamak. Dengan kenyataan sumber kehidupan sosial dan ekonomi semakin terbatas dan dibatasi, masa depan ribuan Orang Talang Mamak sungguh terancam. Keselamatan dan kesejahteraan hidupnya tambah hari kian merosot.
Potret kehidupan masyarakat seperti inilah yang disebut sebagai kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural atau proses pemiskinan rakyat dimengerti sebagai proses perampasan daya kemampuan untuk hidup yang memiliki tiga dimensi. Pertama, perampasan daya sosial, mencakup perampasan akses kepada basis produksi rumah tangga, informasi pengetahuan, keterampilan dan sumber-sumber keuangan. Kedua, perampasan daya politik, mencakup perampasan akses kepada pengambilan keputusan politik, memilih dan menyuarakan aspirasi dan untuk bertindak kolektif. Ketiga, perampasan daya psikologis yaitu hilangnya kepekaan dan potensi individu dalam ranah sosial dan politik, sehingga tidak mampu berpikir kritis, karena terhegemoni (pola pikir sudah dipengaruhi) oleh perkataan palsu. (Billah, 2000).
Kemiskinan struktural terjadi sebagai akibat sistem ekonomi kapitalis. atau ekonomi modal. Dengan paham ini maka seluruh isi negara ini adalah milik Negara dan akan dimanfaatkan untuk kepentingan pasar. Siapa yang bermain di pasar? Para pemilik modal (pengusaha) yang mendapat kesempatan dari Negara untuk memanfaatkan dan mengelola semua modal dalam negara untuk dapat dilempar ke pasar. Pengusaha dapat untung, Negara dapat bagian. Persoalannya dalam paham struktural, yang menjadi Negara dalam hal ini adalah Pemerintah. Dan aparat negara diposisikan sebagai alat Pemerintah. Paham ini kemudian dikawinkan dengan paham Negara Kesatuan. Dalam paham Negara Kesatuan, negara dipandang sebagai sebuah organisasi yang tertinggi dan sempurna dengan kekuasaan yang sangat dominan atas berbagai kelompok sosial yang ada di dalam Negara. Apa yang terjadi?
Negara ditempatkan sebagai pihak yang paling berhak menguasai, menata, dan mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya sebagaimana penafsiran atas pasal 33, UUD 1945. Penafsiran seperti ini menunjukkan bahwa Negara telah menjadi alat penjaga pasar agar pasar tetap berjalan baik. Demikian pula, dalam peraturan perundangan turunan lainnya diproduksi untuk kepentingan ekonomi kapitalis, misalnya: UU Perkebunan, UU Sumberdaya Air, Perpu No. 1 thn 2004, RUU Sumberdaya Agraria, RUU Pertambangan, RUU Migas dan Panas Bumi. Semua peraturan perundangan ini menunjukkan dengan jelas bahwa Negara mendorong pemberlakuan seluruh instrumen yang memungkinkan pasar tetap berjalan. Persekongkolan untuk menjadikan peraturan perundangan negara sebagai instrumen yang menjaga kelanggengan pasar dan kepentingan para pemilik modal itu kita kenal sebagai politik hukum. Sementara seluruh daya politik yang dikembangkan demi kepentingan ekonomi pasar kita kenal sebagai ekonomi politik. Dampak dari kebijakan pembangunan seperti ini adalah kemiskinan dan ketidakadilan.
Tengok saja kebijakan pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia. Pengusahaan sumberdaya hutan terkonsentrasi hanya pada 578 pemegang HPH, 10 di antaranya mengontrol 45 % total konsesi HPH dengan luas 60 juta hektar. Menurut catatan Dephutbun, para “Raja Hutan” itu adalah PT. Kayu Lapis Group memiliki konsesi HPH hampir seluas Propinsi Jawa Barat, yakni 3,5 juta hektar. PT. Djayanti Djaya Group dengan luas 2,9 juta hektar, PT. Barito Pacific Group 2,7 juta hektar. Perusahaan milik Prajogo Pengestu ini awalnya hanya mendapat konsesi 400.000 hektar di Papua Barat, kemudian membeli dari pemilik lain, baik dari pemilik pertama maupun kedua atau ketiga. PT Kalimanis Group 1,6 juta hektar. Korindo Group 1,3 juta hektar. PT Alas Kusumah Group 1,2 juta hektar. Sumalindo Group 850.000 hektar. PT Daya Sakti Group 540.000 hektar. Raja Garuda Mas Group 380.000 hektar. (Kompas, 30/8/99).
Menurut WALHI sekitar 80 persen dari HPH itu diperoleh melalui praktek KKN di era Orde Baru. Sebut saja antara lain: Bob Hasan, Prajogo Pangestu, Burhan Urai, Eka Tjipta Widjaja, Gunawan Sutanto, Windya Rahman, Anthony Salim dan Budiono Widjaya.
Di sektor pertambangan, terdapat sekitar 561 perusahaan yang didominasi modal asing menguasai 5,25 juta hektar konsesi pertambangan dan disektor perkebunan terdapat 2.178 perusahaan yang menguasai lahan seluas 3,52 juta hektar.
***
Cerita lain di balik semua ini adalah meluasnya konflik dan ketegangan sosial yang berdimensi ekonomi dan politik, serta meluasnya kejahatan lingkungan yang mengancam kemampuan alam melayani kehidupan manusia dan menimbulkan bencana banjir, longsor, kekeringan, kelangkaan sumberdaya alam, kelaparan, dan sebagainya.
Keadaan hutan Indonesia saat ini mengalami deforestasi (penghancuran dan hilangnya hutan) lebih dari 3,5 juta hektar pertahun. Menurut Forest Watch Indonesia (FWI) dalam buku Potret Keadaan Hutan Indonesia (2002), dalam kurun waktu 50 tahun terakhir tutupan hutan berkurang dari 162 juta ha menjadi 98 juta ha atau berkurang sebesar 40 %. Berkurangnya luas hutan sebagai akibat pengusahaan hutan, perkebunan, pertambangan, transmigrasi, dan proyek pembangunan lainnya. Belum lagi dampak pencemaran tanah, air, udara dan daya dukung alam semakin merosot.
Catatan WALHI, sejak tahun 1998 hingga 2003, terjadi sekitar 647 bencana, 85% di antaranya banjir dan longsor yang menelan korban 2.022 jiwa. Kerugian material ratusan milyar rupiah. Banjir di Riau (2003), menimbulkan kerugian ekonomi mencapai Rp. 1,12 triliun, setara 57 persen APBD Riau 2003 (Kompas, 27/12/03). Pemerintah selalu menyalahkan alam dan tak pernah mengakui ini akibat kekeliruan manusia (human error). Bencana di Indonesia bukanlah takdir, namun akibat penghancuran lingkungan hidup yang berlangsung secara sistematik.
Di negara-negara maju, praktek pengetahuan dan teknologi pembangunan yang merusak lingkungan dan menimbulkan bencana dan merosotnya pelayanan alam sudah ditinggalkan. Mereka kini mengurusi pemulihan alam di negaranya masing-masing. Ironisnya, dari situ pula datang pemodal asing untuk menguras sumberdaya alam di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Sementara kita masih getol mengimpor dan menggunakan pengetahuan tekonologi merusak.
Melihat angka-angka pengurasan sumberdaya alam, bencana dan biaya yang harus dikeluarkan di atas tidak ada pilihan lain, kita harus berhenti menggunakan pola pengelolaan tersebut sekarang juga.
Apa rekomendasi kita? Kembalikan pengelolaan sumberdaya alam kepada rakyat. Mereka harus menjadi subjek pelaku, bahkan dalam sistem pasar yang dianut negara. Apa yang harus dilakukan? Sejarah membuktikan bahwa kekuatan masyarakat sipil yang terorganisir dan terkonsolidasi dapat meruntuhkan tirani.
No comments:
Post a Comment