Bencana demi bencana melanda negeri kita, dampak bencana masih dapat dilihat dan terus terasa seolah baru kemarin terjadi. Sementara itu kita menyaksikan bencana banjir dahsyat terus terjadi sampai hari ini. Sumatera Selatan, Kalimantan, Jawa dan khususnya Ibukota Jakarta adalah beberapa wilayah yang mengalami banjir dasyat dalam hari-hari ini. Surut air laut, meluap air sungai; habis digasak air dari laut, dibenamkan dalam luapan air dari gunung-bukit gundul dan sungai-sungai.
Ketika bencana terjadi kita melihat berbagai respon berbagai pihak. Kaum agamawan dan rohaniwan memobilisasi doa-doa bersama, pemerintah mengumumkan hari berkabung nasional, partai politik berteriak soal kelambanan pemerintah dalam bertindak dan organisasi-organisasi masyarakat sipil sibuk menggalang dukungan bagi korban dengan berebut tongkat koordinasi. Dan negara-negara luar pun sigap memobilisasi kekuatan sipil dan militer mereka untuk membantu korban bencana, mengubur jenasah korban dan pembersihan lokasi bencana.
Di tengah riuh rendahnya pemikiran dan tindakan tentang bencana Aceh dan Sumatera Utara dan berbagai bencana lainnya, ada beberapa hal yang perlu dicermati. Pertama, pendapat yang mengemuka bahwa bencana ini adalah gejala alam biasa untuk mendapatkan kembali keseimbangannya yang telah terganggu. Kedua, bahwa ini kutukan Tuhan atas negeri yang penuh dengan dosa. Yang terakhir adalah respon politik pemerintah atas bencana yang dipandang sebagai yang tak pernah belajar dari sejarah. Kita akan melihatnya satu demi satu.
Pertama, soal pernyataan bahwa bencana alam sebagai gejala alam biasa. Apa yang perlu diperhatikan dalam jargon-jargon seperti ini adalah bahwa ada dua soal yang digabungkan seolah menjadi satu persoalan. Persoalan yang satu adalah gejala alam dan persoalan kedua adalah bencana. Ini dua hal yang berbeda jauh dalam pengertian maupun dalam realitas. Alam senantiasa bergerak menurut hukum-hukum yang baku dan abadi sifatnya. Misalnya, air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Atau air akan meluber bila daya tampung sebuah reservoir (tangki) tidak cukup untuk menampung aliran air dari reservoir lainnya. Atau hukum lain yang menyatakan bahwa setiap ada usikan dari sistem luar terhadap suatu benda, maka akan timbul getaran dan gelombang. Hukum ini dapat dilihat bila kita menggoyang ujung tali, maka muncul gelombang yang menjalar sepanjang tali. Atau kalau kita menjatuhkan sebuah batu di tengah permukaan air maka muncul riak-riak di permukaan air. Nah, semua gejala alam adalah kejadian atau peristiwa yang timbul akibat dari hukum-hukum ini. Karena itu gejala alam adalah hal biasa.
Persoalan lain adalah bencana. Bencana, dalam pengertiannya adalah semua peristiwa atau kejadian yang timbul akibat perbuatan manusia atau peristiwa alam yang menimbulkan korban nyawa dan kerusakan fisik baik pada manusia maupun terhadap semua hasil olah budaya manusia. Bencana yang timbul murni akibat ketidak beresan ulah manusia dapat berupa kebakaran, perang, tawuran, dan berbagai bentuk kekerasan lainnya. Bencana yang timbul akibat gangguan pada keseimbangan hukum alam disebut bencana alam. Karena adanya unsur GANGGUAN inilah maka semua bencana alam bukan hal biasa tetapi hal yang LUAR BIASA. Karena di satu sisi ada kesadaran bahwa gejala alam pasti terjadi, namun di sisi lain tidak ada kesadaran bahwa setiap gejala alam mengandung potensi bencana di dalamnya. Akibatnya tidak ada budaya mengantisipasi dampak bencana.
Kemampuan antisipasi ini harus dibangun dan dikembangkan berdasarkan pengalaman menghadapi berbagai bencana sebelumnya. Ini perlu dilakukan terus menerus, karena tidak seorang pun yang tahu kapan persisnya bencana datang. Manusia dengan seluruh ilmu pengetahuan dan teknologinya hanya bisa memperkirakan periode waktu tertentu akan terjadi sebuah bencana alam. Contoh yang paling jelas adalah bencana banjir di Jakarta telah dapat diperkirakan akan datang setiap tahun pada musim hujan. Namun kapan persisnya hari dan jam dan seberapa besar banjir yang datang tak ada yang dapat memperkirakan. Karena itu persiapan antisipasi harus dilakukan berdasarkan perhitungan maksimum potensi dan dampak bencana.
Kedua, pendapat yang sangat sering dikemukakan oleh para tokoh agama dan bahkan aparat pemerintah bahwa semua ini adalah kutukan Tuhan atas dosa-dosa bangsa kita yang telah begitu beratnya. Semacam “warning” atau peringatan dari Tuhan. Pendapat ini, dari segi iman dapat saja diterima oleh kelompok agama dan kepercayaan manapun. Namun, dari segi sosial dan politik pendapat ini berbahaya. Sisi sosialnya adalah mengalihkan semangat pemulihan dan belajar dari pengalaman secara rasional menjadi sikap pasrah yang irasional. Modal sosial menjadi tidak digunakan dan akhirnya mati, lenyap. Toleransi, rasa kemanusiaan dan semangat mengembangkan budaya adalah modal sosial yang luar biasa yang sangat bermanfaat dalam upaya pemulihan dan belajar dari pengalaman. Keutamaan-keutamaan seperti ini akan lenyap bilamana kemudian berubah menjadi kepasrahan yang apatis. Dan itu sedang terjadi.
Dan dari sisi politik adalah pembodohan terhadap masyarakat bahwa pemerintah tidak atau sekurang-kurangnya bukan penanggungjawab atas dampak bencana, karena toh ini semua kehendak Tuhan dan siapa yang mampu melawan kehendakNya? Padahal sebagian besar bencana ditimbulkan akibat gangguan campur tangan atau intervensi manusia yang berlebihan atas proses alamiah. Demikianlah, banjir di Jakarta setiap tahun adalah dampak dari kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, utamanya sumberdaya hutan yang ekstraktif dan eksploitatif sehingga daya tampung gunung dan bukit sebagai reservoir terhadap curahan air hujan yang melimpah tidak cukup lagi dan akhirnya meluber ke sungai-sungai yang meluap.
Persoalan yang tak kunjung habis disoroti berbagai organisasi civil society dan masyarakat umum adalah respon politik pemerintah atas bencana yang dinilai lamban, tidak terkoordinasi, tidak transparan dan tidak pernah belajar dari sejarah bencana yang telah terjadi. Padahal dalam dua dekade terakhir telah terjadi sejumlah bencana dasyat yang memakan korban ratusan ribu nyawa manusia. Belum terhitung ratusan bencana yang dalam skala angka kerusakan fisik pemukiman dan wilayah kelola serta korban nyawa memang jauh lebih kecil daripada apa yang terjadi di Aceh dan Sumatera Utara, 26 Desember 2004 lalu.
Masih belum hilang dari ingatan kita gempa tsunami di Flores, 1992; letusan Galunggung pada 80-an; banjir Bohorok; dan banjir dan longsor di berbagai daerah di Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Gempa tsunami di Flores, sebagai contoh, membutuhkan waktu lebih dari sepuluh tahun untuk pemulihan sosial dan pembangunan kembali seluruh sarana dan prasarana yang rusak. Namun, generasi yang hilang dari bencana tersebut tak pernah akan tergantikan sampai kapan pun. Demikian pula di Aceh yang kehilangan satu generasi dari sebagian masyarakatnya yang tersebar di Banda Aceh, Meulaboh dan pantai baratnya. Cepat lambatnya pemulihan sangat tergantung pada beberapa faktor seperti keputusan politik pemerintah, kerjasama berbagai pihak utamanya antara pemerintah, masyarakat dan masyarakat dunia.
Di sinilah sesungguhnya fungsi utama modal sosial masyarakat yang telah disebutkan di atas. Sementara telah puluhan tahun modal sosial itu terancam punah karena pendekatan keamanan atas persoalan Aceh, saat ini modal sosial itu belum tentu mendapat ruang yang cukup untuk dapat difungsikan secara optimal. Terbukti dengan tiadanya koordinasi yang baik dari pemerintah atas upaya dan inisiatif berbagai organisasi sosial dan organisasi civil society, di samping tiadanya ruang politik yang cukup bagi pihak-pihak ini untuk dapat memberikan bantuan secara maksimal. Termasuk juga ketidak-jelasan arah program pemerintah atas pemulihan.
Sampai saat ini hutang luar negeri pemerintah dengan menjaminkan Aceh sebesar 5,14 milyar dollar Amerika. Hibah yang diperoleh berjumlah lebih dari 600 juta US dollar. Sementara itu dalam pertemuan CGI yang baru berlalu, pemerintah bukannya mendorong issu penghapusan hutang ketika ada momentum tawaran moratorium hutang oleh beberapa negara kreditor, melainkan malah mendorong upaya penerimaan hutang baru sebesar 3,4 milyar US dollar. Di pihak lain inisiatif-inisiatif pemerintah pusat seperti membentuk Badan Otorita Aceh yang di bawah kontrol Bappenas dan PU dan inisiatif membentuk Badan Khusus untuk pemulihan Aceh yang belum jelas kaitannya dengan Badan otorita tersebut telah menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan masyarakat sipil di tengah masih berlakunya darurat sipil di Aceh. Kita melihat begitu kurangnya perhatian khusus yang diberikan kepada daerah-daerah yang juga terkena dampak serius seperti Sumut, Nias, dan pulau-pulau kecil. Ini menimbulkan tanda tanya pula terhadap kepentingan politik makro yang bermain di belakang seluruh rencana terhadap Aceh.
Flores, Nabire, Bohorok, Kalimantan, Alor, dan banyak lainnya, telah menelan korban ratusan ribu nyawa dan tak terbilang harta. Namun tidak ada satu pun keputusan dan tindakan politik pemerintah dari semua rejim yang pernah berkuasa menunjukkan bahwa pemerintah kita telah belajar dari pengalaman atas bencana-bencana tersebut. Sehingga modal sosial, politik, dan budaya dalam menghadapi bencana juga tidak pernah menunjukkan peningkatan kapasitas antisipasi yang prima untuk meminimalisir dampak kerusakan dan kerugian materil serta korban yang ditimbulkan bencana.
No comments:
Post a Comment