Ibu kota Jakarta di kepung air, banjir melanda dan ekonomi luluh lantak. Dunia terhenyak, serentak mengulurkan tangan, bantuan merampak.
Ketika manusia rapuh letih tak berdaya di hadapan alam yang kuasa, harapan dan sandaran nyata berletak dalam sesamanya. Tanya pada alam tak kuasa mendapat jawab yang membuat seimbang kuasa itu. Alam tetaplah maha kuasa di hadapan manusia.
Eksploitasi yang lahir dari kemampuan generalisasi hukum alam dan manipulasi bagi kepentingan manusia harus berujung pada amuk alam yang menuntut…rakusmu bencanamu, barangkali begitulah suara Alam.
Konon, menurut ilmu pengetahuan, alam ini punya banyak dimensi, sementara yang terasa oleh indra hanya empat, yaitu ruang yang punya tiga dimensi dan waktu yang punya satu. Belasan dimensi lainnya tersembunyi di balik misteri yang sementara coba dikuak segelintir pakar. Namun, konon pula, masyarakat adat di seantero dunia punya kemampuan « deteksi » atas dimensi lain tersebut. Inilah yang menyelamatkan masyarakat adat Enggano dari gempa dasyat beberapa tahun lalu. Namun Jakarta telah lebur jauh sebelum banjir. Semua kemampuan kearifan telah dibenam oleh kebijakan yang mengabdi pada konsumerisme.
Kini semua coba menoleh, namun leher ini sudah terlalu kaku untuk dapat membalik nasib. Generasi yang hilang dan trauma panjang ; bagian dari jerit hati pengungsi yang menggema dan tenggelam bersama puing yang dihanyutkan banjir. Tak cukup doa untuk pemulihan, yang diperlukan adalah TRANSFORMASI.
No comments:
Post a Comment