Pembelajaran dari Sungai Utik
Di Kabupaten Kapuas Hulu, setiap harinya, ribuan kubik kayu diselundupkan ke Malaysia. Cukong-cukong kayu Malaysia, berada dibalik rangkaian penyelundupan kayu tersebut. Harga jual kayu yang tinggi di pasar internasional mendorong para pemilik modal tersebut “bermigrasi secara illegal” memasuki wilayah Indonesia. Dengan segepok ringgit ditangan, para cukong kayu menawarkan ilusi kesejahteraan untuk masyarakat adat disekitar kawasan hutan. Gayung pun bersambut, pemiskinan yang dilakukan rezim Orde Baru selama 32 tahun lamanya, mendorong munculnya kesadaran pragmatis masyarakat tentang sebuah kesejahteraan. Hutan yang selama ini dianggap memiliki nilai-nilai kultural dalam tradisi masyarakat adat Dayak dijajakan bak kacang goreng ke cukong-cukong kayu, dengan mengharap imbalan yang tidak “seberapa” jika dibandingkan dengan nilai ekologis dan peruntukan hutan sebagai investasi ekonomi dan ekologi masa depan.
Benteng Adat Kampung Sungai Utik
Sungai utik, satu dari 7 (tujuh) kampung yang masuk dalam wilayah ketemenggungan Jalai Lintang Kabupaten Kapuas Hulu, menjadi pengecualian menyangkut persoalan diatas. Sebagai kampung yang dilewati jalan lintas perbatasan antara Malaysia dan Indonesia, tiap hari-nya mereka disuguhi pemandangan yang mengundang keprihatinan. Ratusan truk berisi kayu lewat didepan mata dan hidung mereka, namun tidak sedikit pun mereka tergiur apalagi tergoda untuk dengan “latah” memberikan hutannya pada cukong kayu. Seperti yang terjadi pada kampung tetangga mereka. Tidak sama sekali!
Lantas muncul pertanyaan, apa yang membuat mereka begitu kukuh mempertahankan hutan adatnya? Dan dengan apa mereka bisa mempertahankan hutan adat tersebut? Jawabannya adalah KEARIFAN TRADISIONAL. Dengan nilai-nilai kearifan tradisional, masyarakat kampung Sungai utik mempertahankan hutan adatnya. Hal ini tergambar terang dalam pengaturan dan penataan lahan, baik luas serta peruntukannya. Melihat luasan dan potensi hutan kampung sungai Utik berupa kayu, para cukong kayu manapun pasti tak kuasa menahan air liurnya. Namun upaya untuk mengeksploitasi hutan kampung Sungai Utik selalu terpental karena kegigihan masyarakat untuk mempertahankan hutan adatnya.
Konsep pembagian kawasan hutan
Dalam kearifan tradisional masyarakat adat Dayak Iban Kampung Sungai Utik, mengenal konsep pembagian kawasan hutan yang adil dan lestari, konsep tersebut terbagi atas :
a.Kampong Taroh
Merupakan kawasan hutan yang tidak boleh diladangi dan tidak boleh diambil kayunya. Dalam kawasan ini terdapat sumber mata air, tanah berantu dan tempat berkembang biak dan mencari makan binatang.
b.Kampong Galao
Merupakan kawasan hutan cadangan produksi terbatas. Masyarakat mengambil tanaman obat-obatan, kayu api atau batang kayu untuk membuat sampan. Pengambilan hasil hutan dalam kawasan ini dilakukan secara terbatas dan diawasi dengan ketat. Tidak seorang pun boleh berladang, apalagi merusak hutannya. Sanksi hukum adat bagi pelanggar sudah disiapkan.
c.Kampong Endor Kerja,
Merupakan kawasan produksi berkelanjutan yang dikelola secara adil dan lestari. Dalam kawasan ini terdapat tanah mali dan tanah bertuah yang tidak boleh menjadi kawasan produksi. Masyarakat menghindari menebang kayu dalam dua lokasi tersebut. Masyarakat membiarkan anakan kayu dengan diameter di bawah 30 cm dan kayu kecil lainnya yang siap menggantikan pohon yang sudah ditebang.
Kesejahteraan Rakyat Sebagai Jawaban
Melihat kearifan tradisional yang dijalankan dengan sungguh-sungguh tersebut diatas, sangat disayangkan kalau tidak segera direspon dengan bijaksana oleh pemerintah. Jika begitu, respon apa yang harus dilakukan pemerintah?
Kasus-kasus lingkungan terkait dengan kerusakan daya dukung hutan, disebabkan oleh sistem ekonomi dan politik berbasis kapitalisme yang mengabdi pada globalisasi. Sistem ini yang menjadi faktor utama proses pemiskinan yang dialami rakyat melalui instrumen-instrumen kebijakan ekonomi dan politiknya.
Pemberantasan illegal loging tidak cukup hanya dengan menangkap cukong-cukong kayu, karena para cukong kayu punya strategi “berlindung” dibalik punggung rakyat. Tinggal memberi modal ke masyarakat, maka biarkan masyarakat yang membabat hutan-nya. Cukong kayu tinggal menikmati hasil kerja keras masyarakat, sementara pemerintah harus berhadapan dengan masyarakat untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
Untuk itu, dibutuhkan langkah berani untuk memutuskan mata rantai kemiskinan tersebut, sebagai bagian dari program pemberantasan illegal logging. Kebijakan pemotongan subsidi rakyat sudah harus dihentikan saat ini juga (BBM, tarif dasar listrik, kesehatan, pendidikan dll), karena hal ini yang menjadi pemicu melonjaknya harga-harga kebutuhan pokok. Terkait dengan kebijakan tersebut, pemerintah harus meninjau kembali berbagai program-program penyesuaian struktural, pemutihan utang luar negeri, deregulasi ekonomi dan bermuara pada pemutusan hubungan dengan lembaga-lembaga penghisap seperti IMF dan Bank Dunia. Beranikah pemerintahan SBY melakukan kebijakan radikal seperti itu? Wallahuallam.
No comments:
Post a Comment