Dalam teori gerakan sosial, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar dapat menimbulkan sebuah gerakan bersama yang dapat membawa perubahan. Gerak bersama sampai terjadi perubahan ini disebut gerakan sosial. Prasyarat-prasyarat itu antara lain adalah adanya ide atau gagasan yang jelas. Ini termasuk apa yang ingin dicapai, siapa yang akan mencapai itu, dan bagaimana strategi untuk mencapainya. Setelah itu baru dipikirkan tentang alat apa yang akan dipakai, dengan siapa para penggerak ini harus bekerja sama dan siapa saja yang harus dijadikan target utama dalam mendorong gagasan perubahan tersebut.
Persoalan gagasan menjadi paling penting dalam gerakan sosial, karena dalam prosesnya semua pelaku gerakan menghadapi konflik yang sangat sistematik, yang harus direspon dengan upaya konstruksi identitas dari penganut gerakan secara terus menerus. Dalam konteks kampanye, mungkin persoalan ini dapat dirumuskan lebih sederhana.
Jika kita ingin mendorong timbulnya sebuah perubahan melalui gerakan sosial, maka yang pertama harus dilakukan adalah membangun kesadaran. Jika ini sudah tercapai, tahap berikutnya adalah membuat semua orang yang telah menyadari persoalan dan tujuan yang hendak dicapai itu menjadi tertarik untuk terlibat.
Dalam praktek, persoalan rasa tertarik ini masih belum cukup kuat, karena sejujurnya kita harus mengatakan bahwa sebagian besar dari kita masih tertarik kepada posisi-posisi terhormat dalam struktur negara maupun bisnis, meski kita tahu bahwa struktur negara dan sektor bisnis adalah bagian utama dari persoalan yang dihadapi masyarakat adat.
Rasa tertarik adalah prasyarat untuk keterlibatan. Keterlibatan yang sinambung dan mendalam akan menimbulkan keterikatan yang kuat dengan gerakan sehingga muncul hasrat untuk menjadi pelaku yang serius. Hasrat yang serius inilah yang menjadi bara yang menyalakan semangat bertindak. Singkatnya, orang tidak akan bertindak jika tidak merasakan hasrat yang kuat untuk mendapatkan sesuatu yang jelas.
Di sinilah letak pertanyaan paling mendasar dari kita bagi kita. Apa yang dapat kita berikan kepada organisasi, sebagai alat gerakan yang paling berdaya, supaya sebagian urusan yang kita serahkan kepada organisasi dapat tercapai dan dengan demikian gerak organisasi adalah penyaluran hasrat kita atas cita-cita perubahan?
Dengan sedikit gambaran seperti itu, marilah kita periksa gerakan masyarakat adat di Indonesia, khususnya yang telah bertahun-tahun kita upayakan bersama melalui sebuah organisasi, AMAN.
AMAN didirikan dengan tujuan sangat mulia. Memperjuangkan pengakuan bagi masyarakat adat di Indonesia sebagai sebuah kelompok sosial. Pengakuan tersebut lebih dimaksudkan dalam dua tataran, yaitu atas keberadaan (eksistensi) dan atas hak-hak yang menyertai keberadaan mereka. Semboyan AMAN sedikit banyak mencerminkan cita-cita pengakuan tersebut. “Kami tidak akan mengakui Negara kalau Negara tidak mengakui Kami”.
Ini mencerminkan adanya kesadaran bersama bahwa salah satu unsur konstitutif (unsur pembentuk) dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah masyarakat adat. Oleh karena itu mereka berhak untuk hidup dan mendapatkan imbal balik yang sepadan dari Negara yang turut mereka bentuk.
Sejarah kelam masyarakat di kampung-kampung, komunitas-komunitas masyarakat adat penuh dengan konflik tak kunjung henti. Dicaploknya tanah-tanah mereka, dibabatnya hutan-hutan tempat gantungan hidup mereka, dikaplingnya laut dan sungai tempat mereka mencari nafkah, dan dibunuhnya mereka yang mempertanyakan semua ini, telah menimbulkan gelombang kesadaran bersama bahwa sebagai rakyat Indonesia, mereka telah diabaikan sebagai unsur konstitutif NKRI.
Namun penting diperhatikan bahwa kesadaran seperti ini baru merupakan tahap awal dari sebuah gerakan. Pertama, harus diuji apakah kesadaran itu benar-benar sebuah kesadaran gerakan atau sebuah ungkapan keluh kesah belaka, semacam sikap cengeng atau manja. Dua hal ini akan terlihat nyata dalam tindakan berorganisasi. Kesadaran akan cita-cita mulia gerakan akan mewujud dalam sikap yang independen/mandiri, sadar tugas dan kewajiban dalam organisasi gerakan, sadar posisi dalam gerakan, dan secara sinambung selalu setia pada kerja-kerja rutin organisasi basis. Sementara sikap cengeng akan nampak nyata dari perilaku yang selalu menuntut hak, tapi tidak pernah melakukan kewajiban sesuai ketentuan organisasi. Lebih jauh lagi, organisasi akan hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, karir pribadi, kantong pribadi, dan seterusnya yang hanya bersifat pribadi. Kedua, jika kesadaran tersebut benar-benar kesadaran gerakan, maka diperlukan tindak lanjut berupa langkah-langkah memperkuat basis dan mendorong kemandirian mulai dari tingkat kampung sampai tingkat nasional. Dan terpenting adalah kecermatan menghitung resiko dan keberanian menghadapinya.
Kemandirian berbeda dengan ketertutupan. Kemandirian selalu membuka ruang bagi upaya berjaringan tanpa harus mengorbankan prinsip dasar dan tujuan organisasi, sementara ketertutupan selalu memandang dunia luar sebagai ancaman dan karenanya menolak berjaringan. Semua ini membutuhkan banyak dukungan keahlian khusus, seperti kemampuan mengorganisir, memobilisasi sumberdaya manusia dan sumberdaya finansial, kemampuan kampanye dan lobbi yang kuat, serta kemampuan menciptakan alternatif-alternatif dukungan bagi organisasi dalam penyelesaian masalah anggotanya. Apakah semua ini telah dapat diupayakan AMAN sejauh ini?
Sekedar memberi gambaran. Jika anggota AMAN dipukul rata berjumlah 5 juta (ada sekitar 776 komunitas dan 31 organisasi propinsi dan kabupaten serta organisasi tingkat persekutuan masyarakat adat) orang, maka Sekretariat AMAN tidak perlu minta-minta uang ke donor di luar negeri, jika setiap anggota AMAN dapat menyumbang Rp. 1.000., (seribu rupiah) setiap bulan. Karena ada Rp. 5.000.000.000 (lima miliyar rupiah). Dalam satu tahun akan terkumpul Rp. 60.000.000.000., Jumlah yang luar biasa besar. Apa syaratnya supaya ini dapat berjalan?
Setiap organisasi tingkat kampung, harus memiliki data anggota perorangan (individu) yang jelas. Tugas dan kewajiban anggota dijabarkan dengan jelas. Himpunan organisasi kampung ini dapat membentuk organisasi tingkat kecamatan/wilayah persekutan adat. Pada tingkat kabupaten juga dilakukan hal yang sama, sampai propinsi dan akhirnya tingkat nasional. Dengan data anggota dan tugas kewajiban yang jelas tersebut dapat dilakukan tindakan-tindakan administratif organisasi yang tegas dan pasti. Contohnya, iuran anggota Rp. 1.000., perbulan.
Masih ada banyak persoalan lain. Kesadaran identitas misalnya, merupakan persoalan yang sampai saat ini belum dapat dijernihkan dalam AMAN. Siapa saja yang dapat menyebut diri masyarakat adat ? Jika rujukannya semata-mata adat istiadat, maka semua orang Indonesia adalah masyarakat adat. Di sisi lain, menggunakan ukuran kesatuan sosial politik di tingkat kampung, lagi-lagi siapapun dapat mengklaim diri sebagai masyarakat adat, karena betapa pun lama dan jauhnya seorang anak negeri pergi dari kampungnya toh ia akan menengok kembali ke sana bila bicara asal-usul. Bila bicara soal hukum, rasanya tidak ada dari kita di Indonesia ini yang tidak berasal dari suatu komunitas yang punya hukum setempat. Semuanya berasal dari komunitas-komunitas yang punya hukum, sekurang-kurangnya hukum dalam dalam arti seperangkat nilai dan tata aturan yang punya sanksi dalam pemahaman dan perilaku di komunitas.
Maka siapakah masyarakat adat itu?
Ada sebuah pilihan lain untuk mendefinisikan diri dengan lebih jelas menyatakan siapa masyarakat adat. Misalnya, jika kita memperhitungkan hubungan dengan sumberdaya agraria atau sumberdaya alam. Dari sudut pandang ini, jelas bahwa masing-masing komunitas sebetulnya punya sejarah sendiri yang khas dalam hal hubungan mereka dengan pemilikan dan pengelolaan sumberdaya alam. Ada sejarah perubahan dalam bentuk hubungan tersebut, baik bentuk pemilikan maupun model pengelolaan. Setiap komunitas masyarakat adat adalah mereka yang memiliki sejarah ini namun dalam realitas ekonomi politik dan politik hukum negeri ini telah tidak memiliki lagi tanah, tidak punya lagi hak untuk mengambil hasil hutan atau hasil laut, tidak dapat bertani karena tidak ada lahan, tidak bisa ke kebun karena telah menjadi kawasan terlarang bagi mereka, tidak dapat punya uang karena bank mereka, yaitu kebun, hutan, sungai dan laut telah ditutup bagi mereka.
Mengapa semua ini perlu dan harus dikemukakan untuk dipikirkan dalam organisasi?
Pelaku Perubahan
Dalam sejarah dunia, bisa dikatakan bahwa hanya ada empat pihak yang dapat melakukan perubahan melalui gerakan sosial. Pertama adalah orang yang punya legitimasi. Artinya, pihak atau orang ini punya basis massa yang jelas, yang dapat menyuarakan tuntutan dan melakukan tindakan politik bersama-sama. Yang kedua adalah orang atau pihak yang punya kompetensi. Maksudnya adalah mereka yang punya keahlian dan kecerdasan yang hebat. Ketiga adalah mereka yang punya integritas, yaitu mereka yang di mata masyarakat sangat lurus dalam kata dan tindakan dan penuh bakti pada rakyat dan terakhir dan terutama adalah mereka yang punya modal/kapital. Dalam bahasa sehari-hari secara singkat dan sederhana dapat dikatakan bahwa hanya mereka yang sangat kaya, sangat saleh, sangat pintar dan punya massa banyak sekali yang dapat membuat tuntutan dan menimbulkan perubahan.
Jelas bahwa modal telah mengubah dunia, sampai ke kampung-kampung, terlepas dari perubahan itu membawa kesejahteraan atau tidak bagi rakyat banyak. Jika kita, masyarakat adat ingin mendorong perubahan yang berkeadilan, maka sebagai organisasi, semua organisasi masyarakat adat, termasuk AMAN, harus memiliki, sekurang-kurangnya legitimasi politik. Pertanyaannya, berapa jumlah basis massa AMAN? Juga dapat dipertanyakan sejauh mana kompetensinya? Selama ini persoalan kompetensi coba diselesaikan dengan menjalin kerjasama dengan LSM/NGO, karena dipandang bahwa LSM/NGO memiliki keahlian dan kecerdasan. Tapi yang membuat kompetensi dan legitimasi itu bisa operasional secara kontinyu atau sinambung adalah integritas. Pertanyaannya adalah apakah para penggerak AMAN dan organisasi masyarakat adat di Indonesia cukup memiliki integritas sehingga massa rakyat dapat dengan rela dan penuh harap meletakkan cita-cita perubahan ke tangan organisasi? Jika semua ini dapat dijawab maka kekuasaan politik tercipta dengan sendirinya dan bukannya harus dimanipulasi dengan janji-janji politik sebagaimana yang dilakukan oleh politisi-politisi kita selama ini.
No comments:
Post a Comment