Wednesday, January 24, 2007

Teori-Teori Gerakkan Sosial: Sebuah Upaya Awal Menjelaskan Munculnya Gerakkan Masyarakat Adat di Indonesia

Abdul Wahib Situmorang1


Gerakkan demokrasi yang diorkestrai oleh Mahasiswa/I tidak hanya menyebabkan rezim militeristik Soeharto jatuh dan kemudian digantikan oleh rezim yang relatif lebih demokratis, yang paling significant adalah jatuhnya rezim militeristik Soeharto juga mendorong munculnya gerakkan-gerakkan rakyat melawan penindasan yang terjadi selama 32 tahun di Indonesia. Pada periode awal jatuhnya Soeharto, kita menyaksikan demonstrasi terjadi hampir merata diseluruh penjuru pelosok tanah air Indonesia, mulai dari sebuah kampung kecil sampai kekota-kota besar atau mulai dari issue pemilihan kepala desa sampai ke masalah-masalah ekonomi politik yang lebih kompleks cakupannya.


Salah satu gerakkan rakyat yang muncul kembali pada periode 1998-an adalah gerakkan masyarakat adat. Gerakkan ini menginginkan pemerintah Indonesia mengakui hak-hak ekonomi politik adat mereka yang dikebiri selama 32 tahun. Mereka juga mendesak pemerintah untuk memberikan ruang yang sebesar-besarnya kepada masyarakat adat untuk merevitalisasi sejumlah tradisi-tradisi dalam kebudayaan adat meraka yang masih cukup relevan dalam konteks sekarang ini. Tulisan ini tidak berusaha menjawab mengapa gerakkan ini muncul kembali, menguat dan memiliki jaringan berskala nasional bahkan internasional? Tulisan ini berupaya untuk melihat bagaimana teori-teori gerakkan social yang ada cukup mamadai menjelaskan fenomena diatas.


Gerakkan Masyarakat Adat dalam Teori Gerakkan Sosial

Dalam teori gerakkan social, gerakkan masyarakat adat dapat diletakan dalam kerangka new social movement theory, atau teori gerakkan social baru. Teori gerakkan social baru menekankan bahwa agents atau pelaku-pelaku perubahan tidak hanya buruh dan petani dalam sebuah gerakkan social. Para pelopor teori gerakkan social baru, di motori oleh scholars di Frankfurt School, sebuah kelompok pemikir yang berasal dari Jerman melihat bahwa pada decade 1960-an muncul gerakkan-gerakkan social baru dengan agents atau aktor gerakkan utamanya adalah kelompok-kelompok di luar buruh dan petani, dengan mengusung issue yang relatif berbeda dari buruh dan petani2. Misalnya, pada decade 1960-an, di Amerika muncul sebuah gerakkan besar yang meminta kepada pemerintah Amerika untuk menghentikan perang di Vietnam karena perang tersebut telah melanggar prinsip-prinsip kemanusian untuk bebas dari penjajahan.


Masih berada di Amerika, sebuah gerakkan anti diskrimanasi atas warna kulit juga mulai menguat dan gerakkan ini menyebar hampir diseluruh pelosok wilayah Amerika. Gerakkan mereka lebih terorganisir, mempergunakan jaringan gereja, lembaga-lembaga agama dan organisasi-organisasi perlawanan lainnya. Orang-orang kulit hitam bangkit melawan kembali dengan semangat saatnya orang-orang kulit hitam yang bermukim di Amerika mendapatkan perlakuaan yang sama seperti negara memperlakukan ras berkulit putih di Amerika.


Gerakkan anti-diskriminasi warna kulit, dan perang kemudian bergandengan dengan gerakkan lingkungan hidup, perempuan dan masyarakat adat. Kelompok-kelompok ini berpendapat bahwa akumulasi modal juga berdampak kepada mereka. Contoh yang konkrit adalah dampak industri terhadap lingkungan hidup. Karena keinginan mendapatkan maximum profit atau keuntungan maksimum maka pilihan teknologi dan pengelolahan limbah tidak menjadi prioritas para pemilik modal. Begitu juga masyarakat adat, tradisi-tradisi mereka dihancurkan, kewenangan pengelolahan asset ekonomi dan politik dikebiri.


Teori gerakkan social baru juga menegaskan bahwa penyebab munculnya gerakkan-gerakkan baru ini tidak bisa dilepaskan dari teori Marx yang mengatakan bahwa bagunan bawah yaitu ekonomi memainkan peranan penting mempengaruhi bagunanan atas seperti politik, budaya dan social. Akan tetapi, mereka juga melihat dalam konteks kekinian, bagunanan atas justru mendominasi bagunan bawah. Bagunan atas yang mereka identifikasi memiliki pengaruh kuat adalah perkembangan teknologi informasi. Melalui teknologi informasi, para pemilik modal dan negara melakukan proses pembuatan one dimension atau satu dimensi dalam masyarakat3. Masyarakat dibujuk untuk mempercayai bahwa system ekonomi yang paling teruji dalam sejarah adalah system ekonomi kapitalisme sedangkan untuk system politiknya adalah liberal. Mereka, kelompok para pemodal melalui para pemikirnya menutup semua alternatif lain diluar alur yang mereka tawarkan.


Kelompok pemilik modal bersama dengan kekuatan-kekuatan yang mendukungnya mengatakan bahwa walaupun dalam prakteknya system ekonomi kapitalisme dan system politik liberal memiliki banyak kelemahan seperti adanya gap penguasaan politik dan asset ekonomi, mereka menganggap hal ini adalah sebuah proses yang alamiah. Mereka melihat dalam sebuah system politik dan ekonomi sudah menjadi hukumnya ada orang yang ditindas dan ada yang menjadi penindas. Jika kondisi ini dirubah maka akan terjadi goncangan yang besar. Oleh karena itu, mereka menganggap diri mereka sebagai positivist sebuah paham yang melihat bahwa manusia beserta isinya dijalankan oleh sebuah system besar, dimana satu fungsi dengan fungsi yang lain saling bantu membantu untuk menopang jalannya system tersebut, meraka tidak melihat bahwa masing-masing system yang menjalan system besar tersebut saling bertentangan atau berkonflik4.


Walaupun demikian, teori gerakkan social baru memiliki sejumlah kelemahan untuk menjelaskan mengapa sebuah gerakkan social menguat. Teori gerakkan social baru hanya mampu menjelaskan bahwa saat ini gerakkan social yang ada tidak hanya melulu didominasi oleh dua kekuatan lama, yaitu buruh dan petani akan tetapi telah muncul aktor-aktor baru dengan mengusung issue-issue yang beragam.


Oleh karena itu, sejumlah pemikir teori gerakkan social mengajukan beberapa konsep kunci dalam menjelaskan mengapa muncul sebuah gerakkan social disuatu tempat pada suatu waktu. Salah satu konsep kuncinya adalah factor grievance atau keluhan. Teori ini berpendapat bahwa gerakkan social terjadi karena grievance yang mereka peroleh tidak mampu lagi mereka kelola atau mereka pikul. Salah satu sumber teori ini adalah hasil analisa Karl Marx atas kondisi social ekonomi pada awal revolusi industri di Eropa. Para pengikut Marx mempergunakan analisa Marx yang mengatakan bahwa jika buruh ditindas terus menerus maka structur penindasan didalam tempat kerja akan mendorong buruh untuk berpikir kritis bahwa penghisapan tenaga mereka hanya menguntungkan kelompok pemilik modal dan kemudian ini menjadi basis material buruh melakukan revolusi sosial. Begitu juga para petani, petani akan melihat bahwa kerja yang mereka lakukan hanya memperkaya para tuan tanah dan sudah seharusnya mereka merebut tanah dari tuan-tuan tanah agar grievance yang mereka alami menghilang5.


Oleh karena itu, teori ini banyak mengilhami para aktor-aktor gerakkan social pada abad ke 18-an. Karena tingkat upah yang sangat jauh dalam memenuhi kebutuhan hidup standard buruh, jam kerja yang sangat panjang, tempat kerja yang tidak mengindahkan keselamatan para buruh disamping ancaman dan tindakan fisik yang dilakukan oleh para pemilik modal agar buruh bisa bekerja keras untuk menghasilkan laba yang tinggi bagi pemilik modal.


Teori ini masih cukup relevan jika kita mempergunakannya sebagai pisau analisa untuk menjelaskan gerakkan masyarakat adat di Indonesia. Kebijakan ekonomi dan politik pemerintah Indonesia tidak pernah memberikan wewenang yang kuat bagi masyarakat adat di Indonesia untuk melakukan self organizing atau mengurus diri mereka sendiri. Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Pemerintahan Desa dan sejumlah kebijakan investasi baik disektor tambang, hutan dan pesisir laut mengabaikan keberadaan masyarakat adat yang telah memiliki self-regulating atau aturan sendiri dalam mengatur kepemilikan dan pengelolaan sumber daya agraria atau alam. Pemerintah Indonesia dengan seenaknya mengganti system pemeritahan ditingkat kampung dengan system pemerintahan desa yang untuk beberapa hal tidak sesuai dengan struktur social dimana system pemerintahan desa tersebut ingin diimplementasi. Atau, pemerintah Indonesia mencaplok sumber daya alam masyarakat adat kemudian memberikan caplokannya kepada para pemodal tanpa pernah memberikan kesempatan kepada masyarakat adat untuk menyatakan pendapatnya.


Ini adalah basis material perlawanan masyarakat adat di Indonesia yang menginginkan dikembalikannya hak-hak tersebut kepada masyarakat adat dengan cara merebutnya kembali. Mereka melihat bahwa pemerintah Indonesia bersama para pemilik modal tidak memiliki keinginan untuk menyerahkan begitu saja kenikmatan atas kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam kepada masyarakat adat.


Akan tetapi, teori grievance dalam menjelaskan gerakkan social dalam hal ini gerakkan masyarakat adat di Indonesia memiliki sejumlah kelemahan. Kelemahan pertama adalah munculnya sebuah gerakkan masyarakat adat tidak hanya ditentukan oleh seberapa besar grievance yang dirasakan oleh masyarakat adat atau kelompok-kelompok lain seperti buruh dan petani karena berdasarkan fakta sejarah sebuah kelompok sering kali tidak merasakan kalau dirinya telah ditindas. Disamping itu, dari satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain memiliki perbedaan dalam menafsirkan grievance yang mereka rasakan. Ada satu kelompok merasa cukup dengan upah yang seadanya walaupun surplus yang mereka berikan jauh lebih besar dibandingkan dengan tingkat upah yang mereka peroleh karena kondisi kerja tempat dimana mereka bekerja sebelumnya jauh lebih buruk.


Kelemahan yang kedua, teori grievance menisbihkan sumber-sumber lain yang juga turut menentukan muncul dan suksesnya sebuah gerakkan social dalam hal ini gerakkan masyarakat adat. Salah satunya adalah pentingnya political opportunity structure atau structure kesempatan politik yang terbuka. Dalam political opportunity structure theory (POST) atau teori structure kesempatan politik menjelaskan bahwa adanya kesempatan politik yang terbuka mendorong kelompok-kelompok gerakkan social mempergunakannya sebagai sebuah momentum untuk melakukan penekanan untuk mencapai agenda gerakkan socialnya6.


Oleh karena itu, political opportunity structure adalah salah satu teori gerakkan social yang cukup relevan dalam menjelaskan gerakkan masyarakat adat di Indonesia. Teori POST menekankan bahwa gerakkan social membesar disebabkan beberapa variable dalam POST mengalami perubahan. Sebagai contoh, dengan terbukanya structure kesempatan politik maka kita melihat adanya perubahan pada level akses kelembagaan pemerintah yang memberikan ruang bagi kelompok-kelompok gerakkan mempergunakannya untuk merebut agenda-agenda mereka. Lalu, elite-elite politik mengalami perpecahan sedangkan disisi yang lain, belum ada sebuah koalisi baru elite pemegang kekuasaan terbentuk yang akan menjalankan pemerintahan. Kemudian, kelompok-kelompok gerakkan social juga turut menikmati konflik didalam tubuh elit. Konflik ini bisa bersumber keinginan para elit mempertahankan kewenangannya atau elite telah berani mengatakan tidak terhadap kebijakan pemerihtah yang merugikan rakyat. Oleh karena itu, para elite yang berkonflik akan mencari dukungan dari dalam system maupun di luar system dan ini merupakan kesempatan yang bisa dipergunakan oleh kelompok-kelompok pergerakkan untuk mewujudkan tujuannya.


Ini belum terhitung beberapa element lain dalam POST yang kontribusinya sangat significant dalam merangsang munculnya gerakkan social. Misalnya, rakyat disebuah negara atau tempat tertentu memiliki kebebasan berorganisasi, berkumpul dan mengeluarkan pendapat dimana variable-variable ini tidak bisa dinikmati ketika rezim yang berkuasa menutup struktur kesempatan politik yang ada. Disamping itu, kelompok-kelompok gerakkan social juga bisa mengakses pers dengan relative mudah dan pers sendiri cukup berani dalam menyampaikan fakta-fakta dari lapangan.


Para penganut POST selalu merujuk bahwa munculnya gerakkan social di Amerika Utara dan Eropa Barat karena dikedua tempat ini struktur kesempatan politiknya sangat terbuka. Dengan system demokrasinya maka rakyat melalui gerakkan sosialnya mampu mempengaruhi dan untuk beberapa hal merebut agenda-agenda yang mereka ingin capai. Salah satu pelopor POST adalah Peter Eisinger. Eisinger melalui risetnya di Amerika Serikat membuktikan hypotesis POST bahwa gerakkan social di Amerika membesar dan berhasil mencapai tujuannya karena disebabakan oleh POST7. Kemudian teori ini dikembangkan oleh Sydney Tarrow, Dough Mc Adam dan Charles Tilly8.


Jika kita mempergunakan POST dalam menjelaskan gerakkan masyarakat adat di Indonesia maka teori kesempatan politik yang terbuka akan menambah penjelasan teori grienvence sebagai alat untuk memahami fenomena gerakkan masyarakat adat di Indonesia. Jatuhnya rezim Soeharto tentunya membuka struktur kesempatan politik yang dulunya ditutup dengan kuat melalui tangan besi rezim. Akan tetapi, pada decade 1998-an kita menyaksikan hak politik dasar diberikan kembali kepada rakyat, elite tidak lagi satu dalam melihat atau mensyahkan sebuah kebijakan politik. Di tubuh elite politik dan birokrasi juga terjadi konflit yang hebat dalam rangka memperebutkan pengaruh atau pelebaran kekuasaan. Disamping itu, peran dominasi militer yang berkurang, dibukanya kembali kemudahan dalam mendirikan surat kabar dan electronik dan jaminan dari pemerintah atas perlindungan rasa aman bagi media untuk memberitakan sebuah berita juga turut berkontribusi terhadap munculnya gerakkan social atau gerakkan masyarakat adat.


Karenanya, kita menyaksikan munculnya gerakkan masyarakat adat diberbagai pelosok tanah air mempergunakan struktur kesempatan politik yang terbuka. Akan tetapi, teori kesempatan politik terbuka juga menegasikan faktor-faktor lain yang juga penting dalam mendorong atau suksesnya sebuah gerakkan social. Salah satu factor tersebut adalah mobilizing structure. Teori mobilisasi struktur menjelaskan bahwa gerakkan social membutuhkan sebuah organisasi baik terlembaga atau tidak terlembaga yang memiliki sebuah struktur yang mudah untuk dimobilisasi. Teori ini menekankan jika agents atau aktor mampu memobilisasi struktur organisasi maka gerakkan social akan sukses9.


Teori ini bisa ditelusuri pada awal abad ke-20 ketika Lenin menegaskan betapa pentingnya sebuah organisasi pelopor yang mendobrak sekaligus memimpin sebuah revolusi. Gagasan ini muncul setelah Lenin melihat bahwa thesis Marx tentang revolusi social memiliki sejumlah kelemahan salah satunya adalah Marx tidak melihat betapa pentingnya organisasi gerakkan10. Organisasi gerakkan adalah wahana atau kendaraan bagi terwujudnya cita-cita social yang dinginkan. Melalui organisasi gerakkan, akan terwujud upaya mobilisasi massa dan pendidikan kepada massa terhadap kondisi ekonomi politik yang mereka alami.


Organisasi gerakkan adalah salah satu upaya untuk menjawab kekhawatiran Gramsci bahwa kelompok-kelompok tertindas tidak pernah merasa dirinya tertindas karena negara melalui intelektualnya meninabobokan mereka melalui kajian-kajian ilmiah, agama dan social budaya11. Misalnya, pemilik modal melalui negara dan kelompok intelektual dibelakang mereka membujuk rakyat untuk menerima struktur dominasi yang ada. Rakyat harus tunduk terhadap negara walaupun negara telah melakukan banyak penindasan kepada rakyat. Jika rakyat melakukukan perlawanan maka rakyat telah melanggar norma-norma bernegara atau mereka mempergunakan sejumlah ayat-ayat dikitab-kitab suci agama yang mempertahankan struktur dominasi di masyarakat.


Oleh karena itu, adalah tugas aktor-aktor yang berada dalam tubuh organisasi melakukan counter hegemoni terhadap massa melalui berbagai macam bentuk aktivitas mulai dari pendidikan sampai dengan pengorganisasian massa. Tugas-tugas ini diberikan kepada intelektual-intelektual organic yang memiliki kemampuan kerja-kerja counter hegemoni karena pemilik modal bersama dengan negara melalui para intelektualnya cukup ampuh mempergunakan segala sumber daya yang ada menghancurkan keyakinan pemberontakkan didalam tubuh setiap individu. Di samping itu, organisasi gerakkan juga turut memikirkan dan mengupayakan dukungan logistik yang kuat dalam melakukan perlawanan-perlawanan.


Dalam gerakkan masyarakat adat di Indonesia, kita bisa melihat upaya-upaya yang dilakukan oleh organisasi-organisasi gerakkan baik memakai baju Organisasi Non-Pemerintah (ORNOP) atau organisasi kemasyarakatan yang berinisiatif untuk menyelenggarakan kongres masyarakat adat pertama setelah Indonesia merebut kemerdekaan dari Belanda. Kongres ini menghasilkan wadah perjuangan bagi masyarakat adat untuk merebut kembali hak-haknya yang telah dirampas oleh negara dan kekuatan modal. Disamping itu, aktifis – aktifis juga melakukan kerja-kerja pengorganisasian sebagai upaya counter hegemoni atas propaganda yang dilakukan oleh negara dan modal terhadap masyarakat adat.


Para pelopor teori gerakkan social juga menekankan pentingnya innovative collective action dalam sebuah gerakkan social. Inovasi aksi kolektif adalah pilihan-pilihan strategi aksi dalam mencapai tujuan gerakkan social. Dalam strategi inovasi aksi kolektif terdapat dua starategi besar. Yang pertama, apakah agents atau aktor akan mempergunakan cara-cara kekerasan atau yang kedua aktor-aktor gerakkan social mempergunakan diluar cara-cara kekerasan. Atau tidak tertutup kemungkinan, kedua strategi aksi ini dikombinasi sedemikian rupa untuk dipergunakan dalam mencapai tujuan besar gerakkan social yang digagas12.


Teori ini juga berusaha untuk melihat pergerakkan dan asal pemilihan bentuk-bentuk strategi aksi dari satu tempat atau negara ke tempat atau negara lain. Misalnya mengapa gerakkan demokrasi pada tahun 1998 memilih bentuk aksi damai apakah ini dipengaruhi oleh gerakkan aksi damai yang relatif sukses di Philipina atau ada penjelasan lain. Atau bagaimana sebuah gerakkan social begitu inovatif dalam melancarkan strategi mulai dari melakukan demonstrasi biasa sampai dengan melakukan penghadangan truk, mogok massal, atau aksi-aksi dilapangan dengan melakukan perebutan asset – asset ekonomi dan politik.


Sebagai contoh adalah gerakkan rakyat batak melawan PT Inti Indorayon Utama, sebuah industri pulp and rayon yang berdiri di Sosor Ladang, Porsea Sumatera Utara. Rakyat Batak mempergunakan strategi aksi mulai dari cara-cara kekerasan sampai dengan bukan cara-cara kekerasan. Mereka melakukan demonstrasi dari mendatangi kantor-kantor pemerintah dan parlemen baik di tingkat kecamatan sampai dengan tingkat nasional di Jakarta. Rakyat juga melakukan patroli atas truk-truk yang membawa bahan baku pabrik, pelajar melakukan kogok sekolah sampai dengan ibu-ibu melakukan aksi bugil sebagai wujud protes mereka atas pemerintah dan aparat yang sudah tidak memiliki perasaan dalam menghadapi aksi-aksi rakyat. Dalam setiap minggu kita akan menyaksikan rakyat menginovasi pilihan strategi aksi dalam melawan PT IIU atau pemerintah.

Oleh karena itu, muncul dan suksesnya gerakkan social sangat dipengaruhi oleh berbagai macam variable. Untuk memahaminya, skema dibawah ini akan membantu kita untuk memahami teori gerakkan social dalam kerangka memahami gerakkan masyarakat adat.

Kesimpulan

Munculnya gerakkan masyarakat adat di Indonesia memiliki korelasi dengan tingkat grienvence atau keluhan yang tinggi, adanya mobilisasi struktur, kesempatan politik yang terbuka setelah jatuhnya Soeharto dan inovasi aksi kolektif. Dari teori-teori gerakkan social ini, kita bisa mempergunakannya sebagai basis untuk menjawab pertanyaan lanjutan tentang gerakkan masyarakat adat di Indonesia. Misalnya, apakah gerakkan masyarakat adat di Indonesia kuat dan besar? Jika tidak, mengapa gerakkan masyarakat di Indonesia tidak kuat? Facktor-Factor apa saja yang menyebabkannya. Apakah karena gerakkan masyarakat adat kesulitan dalam memformulasikan issue berdasarkan keluhan-keluhan yang mereka rasakan saat ini. Jika tanah atau sumberdaya alam yang dirampas tentunya akan lebih mudah kelompok-kelompok ekternal memahaminya jika keluhan tersebut dibungkus dengan issue agraria atau pengelolaan sumberdaya alam dibandingkan dengan masyarakat adat. Atau apakah karena mobilisasi struktur yang lemah baik dalam organisasi perlawanan masyarakat adat sendiri atau kemampuan memobilisai jaringan gerakkan –gerakkan social yang lain, dipergunakan untuk mendukung perjuangan gerakkan masyarakat adat atau apakah kesempatan politik yang semakin tertutup sekarang ini. Hypotesis-hypotesis diatas bisa di uji dalam penelitian lanjutan tentang gerakkan masyarakat adat. Penelitian ini dapat dipergunakan untuk menggali sekaligus menjawab pertanyaan apakah gerakkan masyarakat adat di Indonesia kuat atau lemah dan factor-faktor apa yang menyebabkannya.



Catatan

1. Penulis adalah Mahasiswa S2 untuk program Studi Asia Tenggara dengan mengambil konsentrasi sosiologi politik Asia Tenggara di Ohio University USA. Saat ini penulis sedang menulis thesis dengan judul, ”Contentious Politics in North Sumatra: The Batak Movement to Oppose a Pulp and Rayon, PT Inti Indorayon Utama.” Disamping itu, penulis juga tetap aktif menjadi aktifis di WALHI.

2. Stevan Seidman, Social Theory in the Postmodern Era Contested Knowledge. Oxford UK & Cambridge USA: Blackwell Press, 1994; Ben Agger, The Discourse of Domination From the Frankfurt School to Postmodernism. Evanston, Illinois: Northwestern University Press, 1992; Enrique Larana, Hank Johnston, and Joseph R. Gusfield, New Social Movement: From Ideology to Identify. Philadelphia.Temple University Press, 1994.

3. Herberth Marcuse, One-Dimensional Man. Boston: Bacon, 1964; Ben Agger, The Discourse of Domination From the Frankfurt School to Postmodernism. Evanston, Illinois: Northwestern University Press, 1992.

4. Stevan Seidman, Social Theory in the Postmodern Era Contested Knowledge. Oxford UK & Cambridge USA: Blackwell Press, 1994; Hanspeter Kriesi, ‘The Political Structure of New Social Movement: Its Impact on Their Mobilization’ in J. Craig Jenkins and Bert Klandermans. The Politics of Social Protest Comparative Perspective on States and Social Movement, eds., Minneapolis. University of Minnesota Press, 1995

5. Aage B Sorensen, ‘Toward a Sounder Basis for Class Analysis’ American Jornal of Sociology 105, 1523-1558, 2000

6. Sidney Tarrow, Power in Movement Social Movement And Contentious Politics. 2nd.ed. Cambridge: Cambridge University Press, 1998.

7. Peter K Eisinger, ‘The Conditions of Protest Behavior in American Cities’ American Political Science Review 67, 11-28, 1973; J. Craig Jenkins, ‘Why do peasants Rebel? Structural and Historical Theories of Modern Peasant Rebellions’ American Journal of Sociology 88: 487-514, 1982

8. Charles Tilliy, Doug McAdam and Sidney Tarrow, The Dynamic of Contention Cambridge: Cambridge University Press, 2002; William A. Gamson and David S. Meyer, ‘Framing Political Opportunity’ in Doug McAdam, John D. McCarthy and Mayer N. Zald. Comparative Perspective on social movements Political Opportunities, Mobilizing Structures, and Cultural Framings. Cambridge. Cambridge University Pres, 1996

9. Roger Gould, ‘Multiple Networks and Mobilization in the Paris Commune, 1871’, American Sociological Review 56, PP 16-29, 1991; Dough McAdam, ‘Micromobilization Contexts and Recruitment to Activism’ International Social Movement Research 1: 125-54, 1988

10. V.I Lenin, What is to Be Done? Burning Questions of Our Movement. NewYork: International Publisher, 1929

11. Antonio Gramsci, Selections from the Prision Noteboooks. Edited and Translated by Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith. New York: International, 1971

12. Charles Tilliy, Doug McAdam and Sidney Tarrow, The Dynamic of Contention Cambridge: Cambridge University Press, 2002

No comments: