Wednesday, January 24, 2007

TEKNOLOGI MODERNITAS DAN PEREMPUAN DAYAK

Merilyn

Sebenarnya sudah begitu banyak tulisan yang menyoroti tema teknologi bersinggungan dengan aspek budaya Dayak dengan kajian yang luas dan sangat mendalam.Pun yang berbicara mengenai hubungan teknologi dan keperempuanan dalam kerangka tradisi dan budaya Dayak.

Jika melihat teknologi dan perempuan secara terpisah, tentu kita menilai bahwa tidak ada masalah yang terjadi. Ketika teknologi, dengan segala aspek kemajuan dan kemodernitasannya menyentuh kehidupan perempuan maka segera akan nampak persoalan. Tulisan ini hendak melihat sejauh mana dan mengapa teknologi menimbulkan masalah dalam kehidupan perempuan Dayak, di mana letak permasalahannya, dan bagaimana menghilangkan atau paling tidak meminimalkan masalahnya.

Jaman di mana kita hidup sekarang ini adalah jaman kekuasaan teknologi. Teknologi telah menyulap dunia dan manusia yang hidup di dalamnya dengan menikmati hasil teknologi melalui singkat, cepat, dan mudahnya lintasan komunikasi, jalur transportasi, beban kerja yang kesemuanya itu membentuk gaya hidup baru (new life style). Lajunya rembesan teknologi tidak dapat ditahan dan dibatasi oleh ruang dan waktu. Trend mode pakaian gadis metropolitan pada saat yang sama juga dikenakan oleh gadis di desa kecil pedalaman Kalimantan atau tayangan telenovela Amerika Latin bisa ditonton oleh ibu dan remaja perempuan di kampung mereka. Perempuan yang dulu menanak nasi dengan kayu bakar (bahasa Dayak Ngaju: punduk apui) tetapi kini sudah menggunakan rice cooker atau magic jar, yang dulu menghaluskan bumbu dengan penghalus bumbu dari kayu atau batu (bahasa dayak Ngaju: pipis dan cobek) tetapi sekarang sudah ada blender, yang dulu bersenda gurau sambil duduk di amak pasar (nama salah satu jenis tikar anyaman orang Ngaju) sambil menginang tetapi sekarang menjamu tamu dengan biskuit sambil duduk di sofa sudut atau di ambal permadani made in pabrik. Ini bukan hanya dilakukan oleh perempuan kota, tetapi perempuan yang tinggal di desa sepanjang pinggir sungai besar Kalimantan Tengah. Di tempat-tempat tertentu, dulu, ketika ada hajatan atau acara pesta perkawinan, kelahiran, atau kematian perempuan bergotong royong dengan penuh keakraban menyumbang dan menyiapkan makanan, sekarang suasana itu hampir tidak nampak lagi karena yang empunya hajatan membayar pekerja atau memesan makanan dengan sistem catering. Hal itu bukan aneh dan mutlak salah sebab perempuan Dayak berhak memanfaatkan hasil teknologi. Namun, contoh di atas seolah hendak menjelaskan bahwa kehadiran teknologi cenderung merubah bahkan menghapus nilai-nilai dan spirit tradisi dan budaya perempuan Dayak yang telah ada.

Masalah muncul kemudian setelah teknologi akhirnya mengkondisikan perempuan hidup dalam kemewahan dan kemudahan sekaligus -pelan-pelan namun pasti- melepaskan tradisi dan budayanya. Bahkan yang parah, telah muncul sikpa mendewakan teknologi dan menganggap tradisi dan budayanya sendiri sebagai sesuatu yang kuno, terbelakang alias ketinggalan, dan tidak beradab. Sesungguhnya, perempuan yang memiliki pandangan demikian telah kehilangan jati diri dan identitas sebagai perempuan Dayak. Ia sendiri telah memaksa dirinya dicabut dari akar kehidupannya. Sangat ironis dan memilukan.

Kita mesti dengan rendah hati mengakui bahwa teknologi tidak sepenuhnya menjadi biang pengikisan jati diri dan identitas perempuan Dayak yang dulu dipelihara rapi dalam bungkusan tradisi dan budayanya, walaupun memang semuanya berawal dari kemunculan teknologi. Titik masalahnya berada pada diri perempuan itu sendiri; sejauh mana ia mampu memandang dan memanfaatkan teknologi secara arif tanpa mengabaikan tradisi dan budayanya. Kenyataannya perempuan Dayak menganggap teknologi sebagai budaya baru (the new culture) mereka. Mereka menelan teknologi bulat-bulat tanpa diiringi sikap yang memadai sehingga yang nampak adalah justru kekurangarifan dalam menerima dan memanfaatkan teknologi. Arif yang dimaksud bukan berarti sentimen dan antipati terhadap teknologi demi penegakan harga diri tradisi dan budaya serta mengkerangkeng diri hidup dalam suasana ala askese melainkan menyambut baik kehadiran teknologi sambil tetap mempertahankan nilai dan spirit tradisi dan budaya. Melemparkan teknologi ke dalam tong sampah demi tradisi dan budaya -terutama bagi sebagian perempuan yang terlanjur menggantungkan diri dengan penggunaannya- adalah ahl yang mustahil. Mungkin ada segelintir perempuan yang melakukan pekerjaannya dengan tetap menggunakan alat tradisional di tengah maraknya kemajuan teknologi, itu bukan hal memalukan sebaliknya patut dihargai.

Menghadapi persoalan ini diperlukan sikap dan jawaban mendesak perempuan Dayak. Saya kira ini bukan hanya dialami oleh perempuan Dayak Ngaju Kalimantan Tengah saja, tetapi seluruh perempuan Dayak di seluruh Kalimantan pada umumnya. Menyadarkan dan menanamkan pemahaman yang benar akan eksistensi tradisi dan budaya Dayak sangat perlu. Tindakan itu dapat dilakukan baik melalui pendidikan sekolah (pelajaran muatan lokal), lokakarya, penyuluhan, pelatihan atau semacamnya. Untuk itu, maka peran media massa yang peka terhadap persoalan ini pun menjadi penting. Kehadiran banyak individu dan institusi yang peduli dan merasa terbeban akan masalah Dayak kekinian patut dibanggakan dan diacungi jempol sekaligus didukung secara penuh. Melalui perjuangan mereka menerbitkan harapan untuk menyelamatkan bahtera tradisi dan budaya Dayak yang hampir karam. Perjuangan itu mesti membentuk mata rantai yang terkait satu dengan yang lain sebagai simbol kebersamaan (bahasa Dayak Ngaju: hakarasan sama arep) memikul tanggung jawab maha besar ini secara khusus di kalangan perempuan Dayak sendiri dan kalangan perempuan Dayak bekerja sama dengan kawan jenis mereka, laki-laki Dayak. Sama seperti fenomena bola salju, perjuangan ini diharapkan akan membawa dampak yang luas dan kuat bila senantiasa digaungkan. Memang perjuangan ini amat mahal dan tidak bersifat taken for granted. ia mesti melewati proses yang panjang dan lama. Pada gilirannya, sekalipun teknologi (seolah) telah menghegemoni tradisi dan budaya habis-habisan, tetapi tidak sampai menelan habis nilai dan spiritnya. Nilai dan spirit itulah yang secara imperatif harus dijaga dan dirawat dengan penuh tanggung jawab dan konsisten dalam kerangka kesadaran dan pemahaman yang benar akan eksistensi tradisi dan budaya dayak agar ia tetap hidup; langgeng dan abadi.

Teknologi dengan segala aspeknya boleh membawa spirit dan nilai-nilai baru: konsumerisme, egoisme, rasionalisme, dll, tetapi dengan kesadaran dan pemahaman yang teguh, perempuan Dayak tidak akan membiarkan spirit dan nilai-nilai kekeluargaan, kekariban, keramahtamahan, kelembutan, kepedulian dll hengkang dari hidup mereka. Sungguh, ini merupakan spirit dan nilai-nilai yang begitu perempuan, sangat feminis! Sikap yang lahir dari spirit dan nilai yang begitu feminis ini harus kita akui menjadi fondasi melawan kekerasan, ketidakadilan, acuh, pementingan diri sendiri yang kian merajalela di sekitar kita. Dengan melanggengkan nilai dan spirit ini dari generasi kepada generasi, insya Allah, kedamaian semakin nampak. Lebih dari itu, dengan melanggengkan nilai dan spirit tradisi dan budaya Dayak secara umum, harapan bahwa kelak ketika perputaran peradaban yang terus berjalan tiba pada satu titik tertentu maka nilai-nilai dan spirit itu akan menemukan rumahnya kembali yakni tradisi dan budaya Dayak yang sesungguhnya.

Penulis : Adalah Mahasiswa S-2 Masyarakat dan Adat STT Jakarta

No comments: