Wednesday, January 24, 2007

“Tanah Indoku – Ummaku Langi” (Tanah adalah Ibuku – Ayahku adalah Langit )

Dataran tinggi itu sangat indah saat pagi hari dan menjelang senja. Ketika pagi menjemput, senyum mentari menyapa dibalik punggung gunung menyebarkan percik sinar keperakan yang menyebar merata dihamparan air laut teluk Palu dan dataran disekitarnya. Manakala sore menjelang, warna gunung yang kebiru-biruan saat pagi hari tampak berubah warna keemasan terkena siraman sinar surya yang terbenam di Pegunungan Kambuno. Itulah sekilas panorama yang ditampilkan Pegunungan Kamalisi, salah satu dataran tinggi yang ada di Kotamadya Palu Propinsi Sulawesi Tengah.

Orang-orang lembah Palu menyebutnya dengan GAWALISE. Menurut pengakuan komunitas adat yang mendiami kawasan pegunungan Kamalisi, proses perubahan nama tersebut terjadi sejak masa pendudukan kolonial Belanda. Tidak ada dokumen resmi/akurat yang dapat menjelaskan perubahan nama tersebut. Namun menurut cerita yang berkembang di masyarakat, perubahan nama kawasan dari Kamalisi menjadi Gawalise tidak terlepas dari kepentingan politik kolonial sebagai bagian dari taktik penaklukan untuk menghilangkan identitas atau klaim teritori masyarakat adat (Ridha Saleh : dari insidental ke perlawanan terorganisir). Tergerusnya nilai-nilai kesejarahan komunitas adat akibat perubahan nama tersebut semakin menjadi-jadi saat Rezim Orde Baru mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang “sukses” melenyapkan kepemilikan dan kesatuan wilayah dikawasan pegunungan tersebut.

Kawasan pegunungan Kamalisi dihuni oleh 3 sub-etnis Kaili asli yakni : Da’a, Unde dan Inde. Komunitas-komunitas asli ini menyebar berdasarkan pengembaraan dan sistem rotasi pertaniannya. Para leluhur bersepakat untuk menyebar, membangun dan mempersatukan komunitas-komunitas masyarakat adat diwilayahnya. Wilayah-wilayah ini dibagi bukan untuk dikuasai, tapi untuk dibangun berdasarkan tanggungjawab atas kesatuan komunitas-komunitas hukum yang bermukim diwilayahnya. Simbol terhadap pengakuan atas kesepakatan tersebut tercermin dari pengakuan masyarakat tentang asal-usul mereka yang berasal dari satu tempat yang bernama KAMALISI – ULUJADI. Berdasarkan cerita lisan komunitas adat di Kamalisi, Ulu Jadi adalah puncak gunung Kamalisi yang dipercaya sebagai tempat paling tua dimana suku-suku yang bermukim di sepanjang pegunungan Kamalisi berasal. Tempat ini hingga kini dilindungi dan dijaga oleh masyarakat. tempat ini dianggap sebagai sumber dari segala sumber kehidupan yang berkaitan dengan hajat hidup orang-orang yang bermukim dikawasan pegunungan Kamalisi.

Secara administrasi wilayah Kamalisi berada di 3 Kecamatan, yakni: Kecamatan Marawola, Banawa (Kabupaten Donggala) dan Palu Barat (Kodya Palu). Wilayah-wilayah tersebut terdiri dari desa-desa yang tersebar diwilayah pesisir dan pegunungan Kamalisi. Diperkirakan luas bentangan pegunungan Kamalisi kurang lebih 121.89 Km2. Sementara itu, berdasarkan administrasi Kamalisi (berbasiskan pada kearifan leluhur) sebelum pemberlakuan UU No. 5/79, desa-desa yang tergabung dalam wilayah adat tersebut disebut Ngata dan menyatu dalam wilayah adat yang lebih besar. Ngata menjadi lokasi pemukiman dan semua bentuk aturan adat dijalankan secara utuh didalamnya. Menurut Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR) Palu, setidaknya ada 11 lokasi yang menjadi wilayah masyarakat adat di Kamalisi. Kesebelas lokasi itu menjadi hunian komunitas adat dengan komposisi beragam, yaitu : Vayanga, Vaenumpu, Karavana, Vau, Jengi-Kinovaro, Kasoloa dihuni suku Da’a; sementara suku Unde menempati lokasi Ngolo; Tado didiami suku Tado; Binggi didiami suku Inde; Pakava dihuni suku Da’a dan Inde; dan Peropu didiami suku Da’a dan Unde.

Mengelola sumberdaya alam berbasiskan kearifan leluhur

Jika sejenak mendalami judul artikel diatas, “Tanah IndokuUmmaku Langi (tanah adalah ibuku – ayahku adalah langit)”, maka akan dapat dijelaskan secara gamblang mengenai relasi komunitas adat di Kamalisi dengan sumber daya alam. Secara harfiah, penjelasan yang menjadi prinsip komunitas adat Kamalisi tersebut adalah tanah sebagai sumber daya alam memberikan kehidupan pada manusia, dari tanah manusia dibuat dan manusia juga akan kembali ke tanah, tanah merupakan basis produksi masyarakat adat. Sedangkat langit yang melindungi manusia, artinya langit sama dengan udara yang memberikan pernafasan bagi manusia.

Dalam kepercayaan komunitas adat di Kamalisi, tanah dan sumberdaya alam lainnya, adalah jelmaan dari leluhur yang diberikan kepada masyarakat (ntodea) untuk dimanfaatkan dan diwariskan kepada anak-cucu. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam tradisi lisan Orang Pakava, bahwa manusia dan alam Pakava berasal dari Tana Pinandu. Dalam salah syair Roya, yaitu sejenis kesenian Orang Pakava yang mempunyai unsur ritual sering diungkapkan kisah tentang asal usul padi ladang yang tidak lain adalah merupakan penjelmaan dari salah satu leluhur Orang Pakava yang bernama Danu. Sampai sekarang masih ada satu tempat di Desa Gimpubia yang bernama Pae Danu (Padi Danu) yang diyakini sebagai tempat penjelmaan leluhur tersebut menjadi padi. (Hedar Laujeng: Hukum Negara vs Hukum Rakyat).

Melihat pandangan dan prinsip diatas, komunitas adat di Kamalisi secara turun-temurun mewarisi sistem pengelolaan sumber daya alam yang arif dan berkelanjutan. Dalam memanfaatkan lahan misalnya, setiap keluarga suku-suku Kamalisi memanfaatkan tanah untuk dijadikan lahan pertanian ladang yang mereka sebut dengan Tinalu. Pada lahan Tinalu, tanaman utama adalah Ngi’i (padi) dan dale (jagung) ditanam disela-sela ruas tanaman padi. Setelah panen Ngi’i, ditempat yang sama biasanya mereka menggantinya dengan tanaman kasubi (ubi), talas atau durian. Biasanya, komunitas adat Da’a dan Unde rentang waktu dalam mengelola ladang antara 5 -7 tahun dilahan datar. Saat akan membuka lahan baru tersebut, ada tahapan-tahapan yang harus dilakukan (lihat tabel).

No

Kegiatan

Keterangan

No

Kegiatan

Katerangan

1

Mompepoyu

Upacara untuk membuka lahan baru dengan berbagai sajian. Upacara ini biasanya dilakukan selama 1 hari penuh, biasanya juga mereka menunggu petunjuk mimpi

8

Momperoya

Membungkus sisa bibit yg sudah diupacarakan

2

Mantalu

Memaras kebun yg sudah boleh dibuka

9

Montilovu

Penanaman yg dimulai oleh teteua adat

3

Mompakoni Puenggayu

Upacara yg dilakukan sebelum menebang pohon-pohon besar

10

Sumpo Kato

Membangun rumah ditengah kebun/ladang

4

Motovo

Menebang kayu-kayu besar setelah diparas

11

Monaso

Membuat tikar dan tempat hasil panen

5

Montilomba

Membakar sisa-sisa parasan

12

Mosambulu

Upacara menolak bala atau hama

6

Motamba

Doa meminta kesuburan tanah

13

Montuvu

Memberi makan pemilik tanah

7

Motamba ridombu

Berdoa meminta kesuburan secara massal

14

Movae

Syukuran hasil panen

Pemanfaatan Hutan

Adanya filosofis bahwa sumber daya alam merupakan asset untuk kesejahteraan masyarakat adat, maka hutan bagi orang Kamalisi menjadi basis produksi sekaligus basis kultural. Berdasarkan hal itulah, maka perlakuan mereka terhadap hutan memperlihatkan relasi yang setara dan mempunyai tata pengelolaan yang berkelanjutan. sistem pengelolaan hutan itu dibagi menjadi :

Pangalentua, yakni hutan perawan yang belum pernah dimasuki manusia apalagi dikelola. Ada aturan adat yang melarang memasuki kawasan tersebut oleh siapapun. Hutan jenis ini masih terdapat dilokasi Pakava, Lewara dan Kasoloa.

Pangale, yakni Hutan yang tidak dikelola untuk tujuan komersil tapi potensi didalamnya bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari, misalnya kayu untuk membangun rumah, rotan, hewan buruan dll. Hutan jenis ini banyak ditemukan di wilayah Kasoloa, Nggolo dan Pakava.

Ova, yakni Hutan bekas kebun yang sudah sudah ditinggalkan antara 10 sampai 20 tahun. Hutan jenis sangat banyak ditemukan melihat pola perladangan gilir balik komunitas adat Kamalisi. Biasanya hutan seperti ini sudah ada pemiliknya.

Olo, Hutan yang tidak dikelola karena biasanya terdapat mata air.

Sistem pengaturan sumberdaya alam diatas, menjelaskan konsep komunitas adat di Kamalisi tentang hubungan manusia dengan sumber daya alam yang setara. Sangat berbeda dengan konsep perundangundangan RI yang pada umumnya cenderung menempatkan manusia sebagai pemegang hak mutlak serta menempatkan sumber daya alam sebagai objek eksploitasi. Ini menjelaskan, konfigurasi ketegangan hubungan Negara dengan komunitas-komunitas adat di Kamalisi mempunyai akar yang sangat dalam. Dengan latar ketegangan hubungan tersebut, maka komunitas-komunitas adat dikawasan Kamalisi mengkonsolidasikan diri-nya dengan cara membentuk organisasi sebagai alat perjuangan. Dan pada 23 - 25 Oktober 2000, Kongres I komunitas adat Kamalisi dilaksanakan, yang dihadiri seluruh komunitas adat Da’a, Unde dan Inde. Akhirnya, AMAK (Aliansi Masyarakat Adat Kamalisi) pun lahir sebagai mandat politik dan keputusan kongres. Rentang waktu 5 tahun sejak diputuskan dalam Kongres I, AMAK telah bekerja sebagaimana fungsinya sebagai alat perjuangan komunitas adat Kamalisi khususnya dan Sulawesi Tengah secara keseluruhan. Dalam perjalanan-nya, AMAK dipenuhi dengan dinamika organisasi yang berisi konflik, perdebatan gagasan, ide dll sebagai prasyarat dari organisasi maju dan modern.

No comments: