Wednesday, January 24, 2007

Buku Panduan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara

Apa dan siapakah AMAN itu?

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) adalah organisasi kemasyarakatan (ORMAS) independen yang anggotanya terdiri dari komunitas-komunitas masyarakat adat dari berbagai pelosok nusantara. Aliansi ini dimaksudkan sebagai wadah perjuangan masyarakat adat untuk menegakkan hak-hak adatnya, eksistensinya dan kedaulatan dalam mengatur dirinya sendiri. “Pandangan Dasar Kongres Masyarakat Adat Nusantara 1999 tentang Posisi Masyarakat Adat terhadap Negara” telah menegaskan bahwa masyarakat adat yang menjadi anggota AMAN adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya.

Kenapa AMAN perlu dibentuk?

Sejak pertengahan tahun 1980-an telah muncul kesadaran baru di kalangan organisasi non pemerintah (ORNOP) dan para ilmuwan sosial tentang dampak negatif pembangunan yang sangat luas terhadap berbagai kelompok masyarakat di Indonesia. Masyarakat adat adalah salah satu kelompok utama dan terbesar jumlahnya yang paling banyak dirugikan oleh (dan menjadi korban) politik pembangunan selama tiga dasawarsa terakhir ini. Penindasan terhadap masyarakat adat ini terjadi baik di bidang ekonomi, politik, hukum, maupun di bidang sosial dan budaya lainnya.

Hal ini menjadi ironi karena pada kenyataannya masyarakat adat merupakan elemen terbesar dalam struktur negara–bangsa (nation-state) Indonesia. Namun dalam hampir semua keputusan politiknasional, eksistensi komunitas-komunitas adat ini belum terakomodasikan, atau bahkan secara sistematis disingkirkan dari proses-proses dan agenda politik nasional. Perlakuan tidak adil ini bisa dilihat dengan sangat gamblang dari pengkategorian dan pendefinisian sepihak terhadap masyarakat adat sebagai “masyarakat terasing”, “peladang berpindah”, “masyarakat rentan”, “masyarakat primitif’ dan sebagainya, yang mengakibatkan percepatan penghancuran sistem dan pola kehidupan mereka, secara ekonomi, politik, hukum maupun secara sosial dan kultural.

Para pendiri negara-bangsa (nation-state) Indonesia sejak semula sudah menyadari bahwa negara ini adalah negara kepulauan yang majemuk. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” secara filosofis menunjukkan penghormatan bangsa Indonesia atas kemajemukan atau keragaman sosial, budaya, politik dan agama. Hanya saja bangunan “negara-bangsa” yang majemuk sebagaimana digagas oleh Para Pendiri Bangsa ini telah dihianati begitu saja oleh para penerusnya, yaitu dengan merampas secara sistematis hak-hak masyarakat adat yang merupakan struktur dasar “negara-bangsa” yang majemuk. Dengan berbagai kebijakan dan produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah, negara secara tidak adil dan tidak demokratis telah mengambil-alih hak asal usul, hak atas wilayah adat, hak untuk menegakkan sistem nilai, ideologi dan adat istiadat, hak ekonomi, dan yang paling utama adalah hak politik masyarakat adat. Perangkat-perangkat kebijakan dan hukum diproduksi untuk memaksakan uniformitas. Kedaulatan negara ditegakkan secara represif dengan mengabaikan kedaulatan rakyat, khususnya kedaulatan masyarakat adat untuk mengatur dan mengembangkan kemandirian kultural dan politik di dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Di bidang ekonomi ditemukan berbagai kebijakan dan hukum yang secara sepihak menetapkan alokasi dan pengelolaan sumberdaya alam yang sebagian besar berada di dalam wilayah-wilayah adat, di bawah kekuasaan dan kontrol pemerintah. Berbagai peraturan perundangan sektoral, khususnya yang dikeluarkan selama pemerintahan otoriter Orde Baru Soeharto dan Habibie seperti Undang-Undang (UU) Kehutanan, UU Pertambangan, UU Perikanan, UU Transmigrasi dan UU Penataan Ruang, telah menjadi instrumen utama untuk mengambil-alih sumber-sumber ekonomi yang dikuasai masyarakat adat dan kemudian pengusahaannya diserahkan secara kolusif dan nepotistik kepada perusahaan-perusahaan swasta yang dimiliki oleh segelintir elit politik dan kroni-kroninya. Politik sumberdaya alam yang sangat tidak adil ini, telah menimbulkan konflik berdimensi kekerasan bagi masyarakat adat dari aparat penyelenggara negara yang sebagian besar dari kejadian tersebut diwarnai oleh pelanggaran hak azasi manusia.

Kebijakan ekonomi yang berorientasi pertumbuhan ekonomi dan memihak kepentingan modal, telah berdampak luas terhadap kehancuran lingkungan hidup dengan korban pertama dan utama adalah masyarakat adat yang hidup di dalam dan sekitar hutan, tambang, laut dan pesisir. Hal ini merupakan akibat penerapan metode dan teknologi pemanfaatan sumberdaya alam yang destruktif yang digariskan pemerintah dalam mengeksploitasi sumberdaya alam secara cepat dan murah demi mengejar ambisi pertumbuhan ekonomi nasional yang setinggi-tingginya. Kebijakan sektoral yang ekstraktif ini tidak memberi kesempatan bagi kearifan adat untuk mengelola sumberdaya alam secara berkelanjutan, sebagaimana yang telah dipraktekkan selama ratusan atau bahkan ribuan tahun. Pengetahuan dan kearifan lokal dalam mengelola alam sudah tidak mendapat tempat yang layak dalam usaha produksi, atau bahkan dalam kurikulum pendidikan formal. Dunia farmakologi tidak mencoba mengangkat kearifan masyarakat adat di bidang tumbuhan obat sebagai bagian utama bidang perhatiannya, sehingga ramuan tradisional, jamu dan sejenisnya dianggap sekunder atau malah diremehkan. Padahal telah terbukti ketika sistem pengobatan moderen gagal memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan, jamu dan teknik-teknik pengobatan tradisional lainnya lalu menjadi alternatif yang dapat diandalkan.

Selain mengambil alih secara langsung sumberdaya ekonomi masyarakat adat berupa tanah dan sumberdaya alam di dalamnya, pemerintah melalui berbagai kebijakan perdagangan hasil bumi dan koperasi secara sistematis mengendalikan kegiatan ekonomi masyarakat adat. Pemberian monopoli kepada asosiasi atau perusahaan tertentu dalam perdagangan komoditas yang diproduksi masyarakat adat seperti rotan dan sarang burung walet, telah menempatkan pemerintah sebagai fasilitator bagi para pemilik modal untuk merampas sebagian pendapatan yang sudah semestinya diperoleh masyarakat adat. Ketidakberdayaan masyarakat adat ini makin diperparah dengan masuknya koperasi ke wilayah-wilayah adat dengan konsep yang telah dimanipulasi lewat UU Koperasi. KUD dan lembaga-lembaga pendukungnya seperti INKUD (Induk Koperasi Unit Desa) dan PUSKUD (Pusat Koperasi Unit Desa), tidak lagi menjadi lembaga ekonomi yang dilahirkan, ditumbuh-kembangkan dan dikontrol oleh anggotanya. Tetapi justru sebaliknya, melalui KUD dan segala perangkatnya, pemerintah mengendalikan kegiatan ekonomi pedesaan agar tetap di bawah kendali elit birokrasi, elit politik dan pemilik modal yang menjadi kroninya.

Di bidang politik, bila dibandingkan dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya sebagai unsur pembentuk Bangsa Indonesia, masyarakat adat menghadapi situasi yang lebih sulit lagi. Kondisi ini bermuara pada politik penghancuran sistem pemerintahan adat yang dilakukan secara sistematis dan terus menerus sepanjang pemerintahan rejim Orde Baru. Upaya penghancuran ini secara gamblang bisa dilihat dari pemaksaan konsep desa yang seragam di seluruh Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Sistem desa, dengan segala perangkatnya seperti LKMD dan RK/RT, secara “konstitusional” menusuk “jantung” masyarakat adat, yaitu berupa penghancuran atas sistem pemerintahan adat. Akibatnya kemampuan (enerji dan modal sosial) masyarakat adat untuk mengurus dan mengatur dirinya sendiri secara mandiri menjadi punah. Mekanisme pengambilan keputusan yang ada di antara institusi-institusi adat digusur secara paksa sehingga yang tersisa hanya peran dalam upacara seremonial semata-mata. Kehancuran sistem-sistem adat ini menjadi lebih diperparah lagi dengan kebijakan militerisasi kehidupan pedesaan lewat konsep pembinaan teritorial TNI dengan masuknya Bintara Pembina Desa (BABINSA) sebagai salah satu unsur kepemimpinan desa. Dengan kebijakan-kebijakan ini bisa dikategorikan bahwa negara telah melakukan pelanggaran hak-hak sipil dan politik masyarakat adat selama lebih dari 20 tahun. Memulihkan kerusakan pranata-pranata sosial masyarakat adat yang sedemikian parah, sebagai akibat dari sistem desa Orde Baru, merupakan tantangan terbesar dan harus menjadi prioritas utama masyarakat adat dan pemerintah, khusus di era otonomi daerah sekarang ini.

Dalam kondisi politik ekonomi yang hanya mengakomodasikan kepentingan segelintir elit kekuasaan dan pengusaha-pengusaha kroninya, hukum yang diproduksi oleh negara dibuat sedemikian rupa agar tetap mengabdi pada kepentingan kekuasaan. Di sini sangat jelas ada 2 sumber ketidak-adilan hukum terhadap masyarakat adat. Pertama, kebijakan-kebijakan pembangunan dan produk hukum yang mengawalnya sudah bias dengan semangat penyeragaman, bias formalitas, dan bias hukum positif, yang secara kultural tidak berakar pada prinsip-prinsip hukum sebagaimana yang dikenal dalam beragam sistem sosial-budaya masyarakat adat yang tersebar di seluruh pelosok nusantara. Kedua, berbagai produk hukum yang mengatur atau berhubungan dengan hak-hak masyarakat adat dibuat saling kontradiktif satu sama lain, atau dibuat mengambang (tidak jelas), sehingga tidak memungkinkan adanya kepastian hukum yang bisa memberikan pengakuan dan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat. Dengan kondisi ketidak-pastian hukum ini, elit kekuasaan bisa melakukan intervensi terhadap proses hukum apabila dianggap mengganggu kepentingan dirinya dan kroni-kroninya.

Kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya pengambil-alihan hak dan kedaulatan dari masyarakat adat oleh penyelenggara negara tanpa melalui proses politik yang adil dan demokratis. Tatanan yang tidak adil ini akhirnya menempatkan masyarakat adat sebagai korban paling menderita dalam tatanan rejim kapitalisme global, yang dalam beberapa tahun terakhir ini semakin gencar “memaksakan” liberalisasi perdagangan dan investasi di seluruh dunia.

Dengan berbagai permasalahan ini, maka sejak pertengahan tahun 1980-an perlawanan masyarakat adat terhadap berbagai kebijakan pemerintah mulai bermunculan secara sporadis. Komunitas-komunitas masyarakat adat Dayak di Kalimantan dengan gigih melawan operasi penebangan hutan (HPH) di wilayah-wilayah adat mereka. Komunitas-komunitas masyarakat adat Melayu di Sumatera Timur melawan pembukaan lahan-lahan di tanah ulayat mereka untuk menjadi perkebunan. Masyarakat Amungme di Papua Barat berjuang puluhan tahun menegakkan hak-hak adatnya di atas wilayah operasi pertambangan PT. Freeport Indonesia. Perlawanan-perlawanan ini terus berkembang dan menyebar di hampir seluruh pelosok nusantara dan sebagian di antaranya telah memakan korban jiwa. Upaya-upaya perlawanan masyarakat adat yang sporadis dan tidak terorganisir dengan baik ini umumnya berakhir dengan kekalahan karena sistem hukum dan politik yang ada sama sekali tidak memihak dan tidak adil terhadap masyarakat adat. Dari kenyataan ini muncul kesadaran baru dan desakan yang kuat dari para pemimpin masyarakat adat agar memiliki organisasi sendiri untuk menyatukan langkah mereka menegakkan kedaulatan masyarakat adat di seluruh nusantara.

Perlawanan demi perlawanan tersebut akhirnya telah menemukan momentum-nya, sebuah momentum bersejarah yakni pada Maret 1999, ketika untuk pertama kalinya sepanjang sejarah bangsa ini, berlangsung Kongres Masyarakat Adat yang pertama. Dalam kongres tersebut terbentuklah sebuah organisasi yang menjadi wadah bagi perjuangan masyarakat adat di Indonesia. Organisasi ini bernama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, disingkat AMAN.

Setelah lebih 4 (empat) tahun sejak dideklarasikannya kelahiran AMAN pada 17 Maret 1999, maka selanjutnya diselenggarakan Kongres Masyarakat Adat Nusantara Kedua atau disingkat KMAN II yang bertempat di Mataram, 19 – 26 September 2003. Sebagaimana halnya organisasi maju dan modern lainnya, KMAN II juga berhasil merumuskan Satuta atau Anggaran Dasar Organisasi sebagai “Kitab” yang berisi pandangan-pandangan organisasi, visi dan misi, prinsip, azas, program serta mengatur mekanisme dan aturan-aturan organisasi.

Apa, visi, misi dan prinsip-prinsip kerja AMAN sebagai organisasi masyarakat adat?

Dalam perjalanan sejarah yang sepenuhnya untuk membangun kembali sisten-sistem kehidupan yang berkelanjutan dan berkeseimbangan bagi masyarakat adat, amaka beragam kelompok masyarakat adat dari nusantara yang merasa senasib dan sepenangungan telah bersepakat untuk bersekutu dalam satu wadah perjuangan untuk meneruskan cita-cita luhur yang diwariskan dari para leluhur. (Pembukaan anggaran dasar AMAN)

Untuk Mewujudkan cita-cita bersama tersebut, Kongres ke-2 AMAN telah menetapkan visi AMAN yang menekankan pada perwujudan cita-cita kehidupan masyarakat adat yang berdaulat, adil, sejahtera, bermartabat dan demokratis.

Sebagai sebuah persekutuan yang dibangun dalam semangat keberagaman dan kemandirian untuk saling menghargai, menghormati dan mendukung diantara sesama masyarakat adat, maka AMAN mengemban misi : 1) Menemukan kembali kepercayaan diri, harkat dan martabat Masyarakat Adat Nusantara, 2) Meningkatkan rasa percaya diri, harkat dan martabat perempuan Masyarakat Adat Nusantara sehingga mereka mampu menikmati hak-haknya, 3) Mengembalikan kedaulatan Masyarakat Adat Nusantara untuk mempertahankan hak-hak ekonomi, social, budaya dan bernegara, 4) Meningkatkan kemampuan Masyarakat Adat mempertahankan dan mengembalikan kearifan adat untuk melindungi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, 5) Mengembangkan proses pengambilan keputusan yang demokratis, 6) Membela dan memperjuangkan hak-hak Masyarakat Adat agar dihormati dan dilindungi, 7) Mewejudkan kader-kader generasi muda pejuang hak-hak masyarakat adat yang penyelenggaraannya diserahkan kepada komunitas adat masing-masing.

Sebagaimana digariskan dalam Pasal 6 Anggaran Dasar organisasi maka untuk mencapai cita-cita tersebut AMAN akan melakukan (1) Penyadaran hak-hak masyarakat adat, (2) pemberdayaan perempuan masyarakat adat, (3) penguatan ekonomi masyarakat adat, (4) penguatan lembaga-lembaga adat di tingkat daerah, (5) mempromosikan nilai-nilai dan kearifan-kearifan asli masyarakat adat, (6) kerjasama dan jaringan dengan semua pihak yang secara nyata telah melakukan kegiatan untuk melindungi hak-hak masyarakat adat, (7) pembelaan terhadap masyarakat adat nusantara yang mengalami penindasan hak-hak azasinya, dan (8) upaya-upaya mempengaruhi kebijakan struktural/hukum yang berkaitan dengan masyarakat adat.

Untuk menopang visi dan merealisasikan misi yang diemban, AMAN mempunyai prinsip-prinsip organisasi, yakni : berkelanjutan, bersama dalam keberagaman, kebersamaan, berkeadilan, demokratis dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

Apa saja garis-garis perjuangan AMAN untuk menegakkan kedaulatan masyarakat adat di seluruh pelosok nusantara?

Untuk menyikapi berbagai permasalahan yang dihadapi dan juga sebagai landasan untuk tindakan bersama bagi masyarakat adat di seluruh pelosok nusantara, maka Kongres II Masyarakat Adat Nusantara telah merumuskan dan menetapkan garis-garis perjuangan AMAN sebagai berikut :

Pengembalian kedaulatan persekutuan politik Masyarakat Adat untuk mengatur kehidupan sosial-ekonomi, hukum dan budaya masyarakat adat, termasuk kedaulatan atas penguasaan dan pengelolaan tanah, kekayaan alam dan sumber-sumber penghidupan lainnya. Untuk menjamin hal ini maka AMAN akan memperjuangkan adanya undang-undang yang mengatur tentang kedudukan hak politik, hukum dan sosial-budaya dari Masyarakat Adat.

Aspirasi masyarakat adat secara terus-menerus dan terlembaga harus mampu mempengaruhi proses dan keputusan-keputusan politk dalam penyelenggaraan negara. Untuk itu perlu diperjuangkan adanya utusan masyarakat adat dalam kelembagaan penyelenggara negara, khususnya di di MPR dan DPR/DPRD, sehingga kebijakan lembaga-lembaga penyelenggara negara (baik di pusat maupun di daerah) yang merugikan masyarakat adat bisa dicegah semenjak dalam tahap perencanaan. Dalam hal ini maka AMAN memperjuangkan terlaksananya pemilihan umum (PEMILU) dengan sistem distrik dan juga pemilihan secara langsung atas jabatan-jabatan politik di daerah dan pusat yang menjamin berlangsungnya demokrasi yang partisipatif (participatory democracy) di Indonesia.

Berbagai undang-undang yang mengingkari kedaulatan masyarakat adat harus dicabut atau diubah. Konsep Hak Menguasai Negara (yang terkandung di antaranya, dalam UU No. 5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, UU No. 11/1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan, UU No. 9/1985 tentang Perikanan) harus ditinjau ulang berdasarkan pengakuan sepenuhnya atas kedaulatan masyarakat adat.

Pengakuan sepenuhnya atas kedaulatan masyarakat adat atas sumberdaya alam harus dijamin dan dilindungi dalam undang-undang yang baru. Dalam proses pembuatan Undang-undang tersebut, masyarakat adat harus mendapat jaminan sepenuhnya sebagai salah satu hak warga negara untuk berpartisipasi.

Perundingan ulang atas penggunaan tanah dan kekayaan alam “kepunyaan” masyarakat adat (lebih tepatnya dikuasai secara turun-temurun oleh masyarakat adat) yang selama ini “dipakai” untuk berbagai proyek-proyek pemerintah dan pengusaha, seperti proyek ekspoitasi hutan, pertambangan, perkebunan, perikanan, dan transmigrasi. Berbagai rencana proyek baru di dalam/di atas tanah dengan menggunakan kekayaan alam masyarakat adat harus didasari atas perundingan bersama masyarakat adat yang menguasainya dan dipertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat adat. Dalam hal ini maka pemerintah harus mencabut seluruh paket HGU, HPH, HTI dan paket-paket pembangunan lain yang merugikan masyarakat adat.

Penghapusan keterlibatan militer dalam seluruh kehidupan sipil, sebagaimana digariskan dalam doktrin dwi-fungsi TNI. Dalam kaitan ini juga harus dihentikan - dan tidak diulangi lagi - pemaksaan proyek-proyek politik dan keamanan seperti Daerah Operasi Militer (DOM) dan sejenisnya, yang telah berakibat pada terjadinya pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat, seperti intimidasi, penyiksaan, pemerkosaan bahkan pembunuhan, khususnya kekerasan terhadap perempuan masyarakat adat. Semua aparat militer yang berada di wilayah-wilayah operasi proyek politik dan keamanan itu harus ditarik dan dikembalikan ke induk pasukannya masing-masing. Penerapan konsep pembinaan teritortial TNI harus dicabut. Instansi militer berupa BABINSA dan KORAMIL yang secara langsung melakukan tindakan represif terhadap masyarakat adat harus dibubarkan dan dikeluarkan dari wilayah kehidupan otonom masyarakat adat.

Para pemegang kekuasaan Negara, baik pihak legislatif, eksekutif dan yudikatif, wajib membuat suatu penyelesaian yang arif dan bijaksana dalam rangka menghormati hak menentukan nasib sendiri bagi komunitas-komunitas masyarakat adat di dalam negara Republik Indonesia. Negara wajib melakukan rehabilitasi atas kedaulatan dan hak-hak masyarakat adat yang selama ini telah dilanggar. Semua aparat yang terlibat dalam pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat, terutama mereka yang menggunakan kekerasan, wajib diusut dan diadili sesuai dengan hukum yang berlaku.

Para korban dari perlakuan pelanggaran HAM dan hak-hak masyarakat sebagai akibat dari kesalahan kebijakan pembangunan ini harus memperoleh rehabilitasi. Negara harus mempersiapkan dana yang cukup memadai untuk merehabilitasi kehancuran wilayah dan penderitaan manusia akibat pelanggaran-pelanggaran institusi negara atas kedaulatan dan hak-hak tersebut.

Pemerintah Republik Indonesia harus ikut serta menghasilkan dan menanda-tangani perjanjian-perjanjian internasional yang menjamin hak-hak masyarakat adat, seperti Konvensi International Labor Organisation (ILO) 169 dan Draft Deklarasi PBB tentang Masyarakat Adat.

Siapa saja yang memprakarsai dan mendukung penyelenggaraan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) Kedua?

Pada Kongres Masyarakat Adat Nusantara Kedua (KMAN II), peran Organisasi Non Pemerintah (Ornop) atau biasa disebut dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) cukup besar. Untuk sekedar mengingatkan, bahwa KMAN I yang tercatat sebagai hari bersejarah yang melahirkan AMAN sebagai organisasi Gerakan Masyarakat Adat di Indonesia merupakan hasil kerja panjang pengorganisasian beberapa penggiat ornop, dimana cukup banyak kasus perjuangan masyarakat adat yang mencuat ke permukaan atas dukungan berbagai Organisasi Non Pemerintah (Ornop) tersebut.

Sejak pertengahan 1980-an, beberapa ORNOP/LSM secara khusus telah mengagendakan persoalan masyarakat adat sebagai bagian dari fokus keprihatinannya. Sebagian dari mereka mengambil peran sebagai teman diskusi di kampung. Sebagian lainnya mengambil peran sebagai pengeras suara dalam upaya menyampaikan aspirasi dan protes atas berbagai ketidak-adilan yang dialami masyarakat adat. Atas dukungan banyak ORNOP ini pula, dan tentu juga pihak-pihak lainnya yang peduli, masyarakat adat mulai mengorganisasikan dirinya dengan lebih baik agar mampu menyuarakan sendiri aspirasinya dan juga mampu melakukan aksi-aksi perlawanan bersama atas berbagai tindakan ketidak-adilan yang dialami masyarakat adat. Pengalaman selama sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa aksi-aksi lokal yang sporadis ini masih kurang efektif medorong tercapainya transformasi sosial yang mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Pada awal tahun 1990-an muncul kesadaran baru di kalangan masyarakat adat untuk membangun solidaritas bersama di antara mereka yang senasib. Dengan kesadaran baru ini maka sejak pertengahan tahun 1990-an di beberapa daerah mulai bermunculan organisasi-organisasi masyarakat adat seperti Aliansi Masyarakat Adat (AMA) Kalimantan Barat, Baileo Maluku, JAGAT di NTT dan sebagainya.

Organisasi-organisasi ini kemudian menjalin kerjasama dengan beberapa jaringan kerja ORNOP untuk menginisiasi dan memfasilitasi Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN). Setelah melalui proses konsultasi dan konsolidasi yang panjang akhirnya Kongres ini terselenggara pada tanggal 17 sampai 22 Maret 1999 di Hotel Indonesia, Jakarta. Paling tidak ada 13 jaringan ORNOP/LSM dan organisasi masyarakat adat yang secara resmi berpartisipasi dalam penyelenggaraan KMAN ini, yaitu: Aliansi Masyarakat Adat (AMA) Kalimantan Barat, Baileo Maluku, BioFORUM, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Jaringan Gerakan Masyarakat Adat Nusa Tenggara Timur (JAGAT), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Jaringan Pembelaan Hak-Hak Masyarakat Adat (JAPHAMA), Jaringan Pesisir dan Laut (Jaring PELA), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KPSHK), Konsorsium Penguatan Masyarakat Adat (KONPENMA) Irian Jaya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).

Demikian hal-nya dengan KMAN II, setelah mengalami penundaan 1 (satu) tahun dari agenda Organisasi, kongres kedua akhirnya dapat terlaksana berkat kerja keras, optimisme dalam bekerja dan berharap, keberanian mengambil keputusan, dan terutama adalah kerja sama. Kerja sama ini lah yang menjadi “mantra sakti” dari keberhasilan penyelenggaraan KMAN II.

Kongres II digagas untuk menjadi momen politik bagi AMAN untuk membuat evaluasi dan perencanaan strategis 3 tahun ke depan. Berdasarkan gagasan dasar tersebut, maka isi dari kongres itu sendiri dirancang sebagai berikut : Pertama, Masyarakat Adat merefleksikan Gerakan dan posisi Terkini. Kedua, Masyarakat Adat Mengukur Negara dan rezim Global. Ketiga, Masyarakat Adat membangun Jalan Baru bagi Bangsa dan Negara. Keempat, Masyarakat Adat Membenahi Organisasia dan Membuat Rencana Aksi Bersama. Kelima, Finalisasi Hasil dan Peliputan Media.

Hasil yang diharapkan dari seluruh rangkaian kegiatan tersebut adalah sebagai berikut : a) Masyarakat Adat yang tergabung dalam AMAN terkonsolidasikan dengan dengan baik dalam organisasi-organisasi masyarakat adat di daerah masing-masing. b) Masyarakat Adat memiliki posisi tawar politis yang lebih besar dalam proses politik yang terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah yang sedang berlangsung. c) AMAN memiliki struktur organisasi yang efektif mewadahi aspirasi dan melayani komunitas-konunitas adat yang menjadi anggotanya. d) AMAN memiliki garis-garis perjuangan sebagai arahan strategis organisasi dan kerangka program kerja yang lebih realistis. e) Isu-isu yang berhubungan dengan masyarakat adat di Indonesia diketahui dan dipahami oleh publik, baik pada tingkat daerah, regional dan nasional maupun pada tingkat internasional. f) Terakomodasikannya isu-isu masyarakat adat dalam agenda politik nasional.

Apa landasan konstitusional dan dasar hukum AMAN dan anggotanya?

Perjuangan masyarakat adat menegakkan hak-haknya memiliki landasan konstitusional dan dasar hukum yang sangat kuat, khususnya setelah adanya Amandemen kedua Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Pasal 18B ayat (2) (amandemen) UUD 1945 pada bab VI yang mengatur tentang pemerintahan daerah telah menegaskan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang”. Bab X A yang mengatur tentang Hak Azasi Manusia pada pasal 28-I Ayat (3) semakin memperkuat kedudukan masyarakat adat dengan mengatakan bahwa: “identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban” merupakan hak azasi manusia yang harus dilindungi oleh Negara. Dengan penegasan pasal ini, menjadi sangat jelas bahwa apabila satu komunitas masyarakat adat menyatakan dirinya masih hidup (self-identification and self-claiming) maka Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib melindunginya.

Sebagai bagian dari warga negara Republik Indonesia maka setiap anggota masyarakat adat yang memperjuangkan hak-haknya harus dilindungi. Pasal 28-C ayat (2) (amandemen) UUD 1945 pada Bab X A yang mengatur tentang Hak Azasi Manusia ditegaskan bahwa: “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan hak-haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”. Orang-orang dan komunitas-komunitas masyarakat adat yang secara bersama-sama memperjuangkan hak-haknya dalam wadah organisasi masyarakat adat, yang disingkat AMAN, juga harus dilindungi hak-haknya oleh Negara sebagai hak azasi manusia. Penegasan ini bisa dilihat dalam pasal 28-E ayat (2) dan ayat (3) (amandemen) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai hati nuraninya” dan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Di samping dilindungi konstitusi negara, hak-hak masyarakat adat dan upaya-upaya penegakannya juga diatur dalam beberapa instrumen internasional. Yang pertama adalah Konvensi ILO (International Labor Organisation) Nomor 169 tahun 1989 mengenai Masyarakat Adat dan Penduduk Pribumi Asli di Negera-Negara Merdeka. Konvensi ini sangat penting bagi kelompok-kelompok masyarakat adat di Indonesia untuk mendukung tindakan perlawanan terhadap ketidak-adilan dalam Negara Republik Indonesia yang merdeka. Konvensi ini dengan tegas memberi perlindungan terhadap hak-hak sosial, budaya, politik dan ekonomi masyarakat adat. Hanya saja konvensi ini belum diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia sehingga belum menjadi hukum yang sah dan harus ditegakkan (mengikat secara resmi). AMAN dan para pendukungnya masih harus berjuang lebih keras lagi agar konvensi ini segera diratifikasi oleh Pemerintah.

Instrumen kedua adalah Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity) (1992) yang sudah diratifikasi (disahkan) oleh Pemerintah Indonesia menjadi UU No. 5 Tahun 1994, khususnya pasal 8 (j) yang menekankan pada perlindungan terhadap kearifan adat dalam pelestarian sumber daya dan keaneka-ragaman hayati dan hak kepemilikan intelektual masyarakat adat. Masih banyak lagi instrumen internasional (walaupun tidak secara khusus untuk masyarakat adat) yang bisa memberi “ruang hidup” bagi masyarakat adat, misalnya Perjanjian Internasional Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (1966), Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (1966), dan sebagainya.

Yang paling penting dari semua itu bahwa saat ini PBB sedang merumuskan (masih draft) Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (Declaration on The Rights of Indigenous Peoples). AMAN sebagai organisasi masyarakat adat di Indonesia terus berjuang agar deklarasi ini segera disepakati dan diputuskan oleh Sidang Umum PBB sebagai salah satu instrumen hukum dalam pergaulan antar negara di tingkat internasional.

Bagaimana bentuk dan struktur organisasi AMAN?

Sampai berakhirnya KMAN II, masih terdapat kesulitan untuk memberikan gambaran yang tepat tentang apa bentuk formal dari organisasi AMAN. Yang jelas, AMAN bukan partai politik dan tidak akan terlibat secara langsung dalam arena politik praktis. Kurang tepat juga bila disebut sebagai organisasi massa dalam pengertian yang ada selama ini. Karena dalam logika organisasi massa, keanggotaannya adalah individu sedangkan keanggotaan AMAN adalah komunitas. Rapat perencanaan Program Kerja di Kintamani-Bali pada bulan Maret 2000, setelah mengkaji kelemahan hukum nasional dalam mengakomodasikan dinamika demokrasi dan keragaman bentuk organisasi rakyat, peserta rapat mengusulkan agar organisasi AMAN ini secara hukum berbentuk Perkumpulan Terbatas. Usulan ini kemudian diterima dan ditetapkan secara resmi dalam Rapat Kerja Dewan AMAN di Denpasar-Bali pada bulan Oktober 2000. Dengan berbagai pertimbangan tersebut maka pada tanggal 24 April 2001 yang lalu AMAN secara hukum telah tercatat sebagai persekutuan oleh notaris H. Abu Jusuf, SH di Jakarta.

Hal yang sudah pasti adalah bahwa AMAN merupakan aliansi dari berbagai organisasi masyarakat adat yang independen dengan basis keanggotaannya adalah komunitas-komunitas masyarakat adat. Komunitas masyarakat adat mana pun di Nusantara ini memiliki peluang yang sama untuk bisa masuk menjadi anggota AMAN, dengan syarat komunitas masyarakat adat yang bersangkutan secara kolektif menyetujui dan menjunjung tinggi azas, prinsip, visi dan garis-garis perjuangan AMAN sebagaimana termuat dalam keputusan-keputusan Kongres Masyarakat Adat Nusantara dan secara terus menerus terlibat aktif memperjuangkan penegakan hak-hak adat dan kedaulatan masyarakat adat secara utuh.

Karena itu struktur organisasi AMAN itu cukup fleksibel, dalam arti bahwa sepanjang satu komunitas masyarakat adat telah memenuhi syarat tersebut dan menyatakan keinginan secara tertulis untuk menjadi anggota AMAN serta membayar iuran anggota yang nilainya sebesar Rp. 100.000,- (keputusan Rapat Kerja Dewan AMAN 2000), maka suatu komunitas bisa langsung menjadi anggota AMAN dan status keanggotaan tersebut disahkan dalam Rapat kerja DAMAN.

Sesuai dengan strukturnya yang fleksibel dan orientasi gerakan bersama yang dibangun dari kesamaan nasib, visi, dan prinsip-prinsip kerja bersama di antara masyarakat adat maka struktur organisasi AMAN dari tingkat “akar rumput” (kampung) sampai tingkat nasional bisa di uraikan sebagai berikut:

Di tingkat basis: Anggota AMAN adalah sekelompok penduduk (komunitas) masyarakat adat yang memiliki wilayah adat yang jelas, sistem hukum dan pranata adat yang khas, dan telah menyatakan diri serta diterima secara sah menjadi anggota AMAN. Dalam hal ini keanggotaan AMAN ini bisa terdaftar sebagai satuan komunitas, dan bisa juga melalui lembaga adat yang ada di komunitas tersebut.

Di tingkat daerah: Anggota-anggota AMAN ini terwadahi dalam organisasi-organisasi masyarakat adat yang independen di daerah (bisa tingkat Kabupaten kalau dengan pendekatan administratif pemerintahan atau bisa juga wilayah persekutuan komunitas masyarakat adat tertentu sesuai kesepakatan bersama kalau didasarkan pada kedekatan budaya dan sejarah). Organisasi-organisasi perjuangan bersama bagi komunitas-komunitas masyarakat adat yang telah menyatakan diri sebagai anggota AMAN di tingkat kabupaten/wilayah persekutuan masyarakat adat tersebut, antara lain adalah: Jaringan Kerja Masyarakat Adat (JKMA) Aceh Selatan, Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) sebagai wadah perjuangan bagi komunitas-komunitas masyarakat adat di pesisir timur Sumatera Utara, PERSAGE/Persekutuan Masyarakat Adat Batak Timur Serdang Hulu – Sumatera Utara, Aliansi Masyarakat Adat (AMA) Sangir-Talaut – Sulawesi Utara, AMA Tana Toraja – Sulawesi Selatan, AMA Togean – Sulawesi Tengah, AMA Banggai – Sulawesi Tengah, AMA Kamalasi – Sulawesi Tengah, dan PeMA Paser – Kalimantan Timur, Perekat Ombara (Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara) – Nusa Tenggara Barat.

Di tingkat wilayah propinsi: Wadah perjuangan masyarakat adat dari beberapa daerah di satu wilayah propinsi atau wilayah persekutuan adat yang sepadan sesuai kesepakatan bersama, juga berhak membangun organisasi yang independen. Organisasi di tingkat wilayah seperti ini, antara lain: Aliansi Masyarakat Adat (AMA) Kalimantan Barat, AMA Sulawesi Tengah (AMASUTA), dan sebagainya. Setiap organisasi di tingkat wilayah berhak memilih dan memutuskan masing-masing 2 (dua) orang pengurus intinya untuk duduk sebagai anggota Dewan AMAN di tingkat nasional mewakili organisasi masyarakat adat di wilayahnya.

Di tingkat regional : Untuk memudahkan pengurusan organisasi dan koordinasi di antara organisasi wilayah propinsi maka secara geografis Indonesia di bagi dalam beberapa region (sampai saat ini AMAN memiliki 7 (tujuh) region, yaitu: 1. Region Sumatera Barat yang mencakup Sumatera, 2. Region Jawa 3. Region Kalimantan. 4. Region Bali – Nusa Tenggara. 5. Region Sulawesi. 6. Region Maluku. 7. Region Papua.

Setiap region harus menyelenggarakan Pertemuan Regional paling lama sekali dalam 3 (tiga) tahun. Pertemuan regional dan atau yang disebut dengan Musyawarah Regional ini adalah mekanisme pengambilan keputusan tertinggi ditingkat regional yang diselenggarakan oleh Koordinator Dewan AMAN dan dewan AMAn di regionalnya serta Pengurus Organisasi Masyarakat Adat ditingkat Regional.

Setiap region dikoordinasikan seorang Koordinator Region yang dipilih dalam Rapat Dewan AMAN. Koordinator Region yang terpilih otomatis menjadi Koordinator Dewan AMAN di tingkat nasional.

Di tingkat nasional : Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang dikelola secara kolektif oleh Dewan AMAN untuk melaksanakan keputusan-keputusan Kongres Masyarakat Adat Nusantara sebagai penentu kebijakan tertinggi organisasi. Untuk penyelenggaraan organisasi sehari-hari maka Dewan AMAN memilih dan menetapkan seorang Sekretaris Pelaksana (Sekpel) AMAN yang bertugas mengelola Sekretariat Nasional AMAN yang berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia.

Apa saja hak dan kewajiban anggota AMAN?

Komunitas atau lembaga masyarakat adat yang telah resmi menjadi anggota AMAN memiliki hak sebagai berikut : (1) Menjadi peserta KAMAN (2) Memilih dan dipilih menjadi Anggota Dewan AMAN dan atau pengurus Organisasi Masyarakat Adat ditingkat manapun. (3) Memilih dan dipilih menjadi Sekpel AMAN. (4) Menjadi peserta musyawarah regional. (5) Mendapatkan layanan dan dukungan dari organisasi untuk melaksanakan keputusan-keputusan KAMAN. (6) Mengusulkan komunitas adat lainnya menjadi anggota AMAN yang mekanisme dan persyaratannya diatur dalam ART.

Sebagai konsekuensi dari hak-hak yang diperolehnya, maka anggota AMAN memiliki kewajiban-kewajiban, yaitu :

  • Mematuhi dan menjalankan AD/ART serta keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh KAMAN, Raker DAMAN, Musyawarah region dan peraturan-peraturan organisasi lainnya.
  • Menyetujui dan memperjuangkan tercapainya cita-cita (visi) AMAN dan secara aktif melakukan tindakan-tindakan penegakan hak-hak adat yang nyata di lapangan sesuai dengan garis-garis perjuangan dan prinsip-prinsip AMAN;
  • Mematuhi aturan-aturan organisasi yang telah ditetapkan secara sah sebagai mekanisme kerja organisasi AMAN.
  • Membayar iuran yang besarnya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) per tahun.

Siapa saja yang menunaikan kewajiban AMAN terhadap anggotanya?

AMAN secara organisatoris memiliki kewajiban untuk menjamin penegakan dan pelaksanaan hak-hak anggotanya. Kewajiban AMAN ini dilaksanakan oleh seluruh pengurus yang memang diberi tugas dan tanggung-jawab untuk itu, yaitu seluruh anggota Dewan AMAN, Sekretaris Pelaksana AMAN dan seluruh pengurus organisasi masyarakat adat di daerah dan wilayah propinsi yang terwadahi di dalam AMAN. Dalam upaya menunaikan kewajiban AMAN terhadap anggotanya maka pengurus AMAN boleh membangun kerjasama dengan para pendukungnya.

Apa dan siapa Dewan AMAN?

Untuk mewakili kepentingan masyarakat adat di setiap wilayah/propinsi maka anggota-anggota AMAN di wilayah propinsi tersebut memilih dan menetapkan 2 (dua) orang, masing-masing seorang laki-laki dan seorang perempuan atau disesuaikan dengan kondisi adat setempat, untuk menjadi anggota Dewan AMAN di tingkat nasional. Khusus untuk wilayah Propinsi Irian Jaya (sekarang Papua Barat) yang sangat luas dengan keragaman kelompok masyarakat adat yang sangat tinggi, maka Kongres Masyarakat Adat Nusantara yang pertama memberikan pengecualian untuk diwakili oleh 4 orang anggota Dewan Aliansi di tingkat nasional.

Dewan AMAN yang berjumlah 54 orang ini merupakan penentu kebijakan operasional tertinggi organisasi di tingkat nasional di bawah Kongres. Dalam pelaksanaan tugasnya, Dewan AMAN menunjuk 7 (tujuh) orang dari antara mereka yang bertugas dan bertanggung-jawab sebagai Koordinator Dewan AMAN. Koordinator yang berjumlah 7 (tujuh) orang ini ditetapkan melalui Rapat Kerja Dewan AMAN dengan Surat Keputusan No : 02/Kpts/Dewan AMAN/IX/2003. Dalam surat keputusan tersebut telah menetapkan 6 (enam) orang Koordinator dewan AMAN, yang dalam surat keputusan lainnya (No : 01/Kpts/Koord. Dewan AMAN/IX/2003) menetapkan pembagian tugas dan fungsi Dewan AMAN, yakni : a) Fungsi eksekutif diemban oleh H. Jailani Hasan dan H Nazarius; b) Fungsi Pengembangan Organisasi diemban oleh Ranggalawe dan Wael Mansyur; c) Fungsi Pengawasan diemban oleh Ronny Toningki dan Ugis Suganda. Sementara itu fungsi koordinasi region Papua dalam 6 (enam) bulan ke depan, terhitung sejak 25 September 2003 akan diemban oleh Amos Soumilena yang akan diatur dalam berita acara berdasarkan surat keputusan tersebut.

Bagaimana proses pemilihan dan penetapan anggota Dewan AMAN?

Anggaran Dasar (AD) menyebutkan bahwa anggota Dewan Aliansi harus mendapat pengesahan dari komunitas masyarakat adat dimana yang bersangkutan menjadi anggota/pengurusnya. Mengacu pada hal tersebut di atas maka kriteria dan persyaratan untuk bisa dan sah menjadi anggota Dewan AMAN mewakili anggota AMAN yang ada di wilayahnya adalah sebagai berikut:

  • Berasal dari komunitas masyarakat adat yang telah terdaftar dan disahkan sebagai anggota AMAN;
  • Dipilih dan ditetapkan oleh anggota-anggota AMAN dalam suatu kongres/ musyawarah/pertemuan yang sah di wilayah propinsinya dan dibuktikan secara tertulis berupa surat keputusan, berita acara atau notulensi pertemuan;
  • Terbukti telah bekerja/mengabdi untuk gerakan masyarakat adat di tengah-tengah komunitasnya atau di dalam persekutuan adat di wilayahnya sekurang-sekurangnya 3 (tiga ) tahun terakhir;
  • Memahami, memiliki komitmen dan kemampuan untuk melaksanakan visi, misi, azas, prinsip-prinsip dan garis-garis perjuangan AMAN.

Apa saja tugas dan tanggung-jawab setiap anggota Dewan AMAN?

Anggota Dewan AMAN merupakan unsur yang paling penting dalam menentukan eksistensi dan keberhasilan organisasi melakukan kewajibannya mengingat tugas dan tanggung-jawabnya yang besar, yaitu: (1) Menyusun anggaran kesekretariatan; (2) Mengusulkan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan visi dan misi AMAN di wilayahnya; (3) Melaksanakan program kerja AMAN yang telah ditetapkan oleh Rapat Kerja Dewan AMAN; (4) Melakukan sosialisasi AMAN secara-menerus dan memperbanyak anggota AMAN di wilayahnya; (5) Memfasilitasi penyelesaian konflik vertikal dan horizontal di wilayah; dan (6) Mengembangkan kapasitas kelembagaan AMAN di wilayahnya.

Kepada siapa dan bagaimana anggota Dewan AMAN mempertanggung-jawabkan tugas-tugas dan tindakan-tindakannya?

Sesuai dengan mandat dan kekuatan legitimasinya, anggota Dewan AMAN yang ada saat ini terdiri dari 2 (dua) kelompok. Kelompok pertama adalah anggota-anggota Dewan AMAN yang merupakan utusan atau perwakilan dari organisasi masyarakat adat independen di wilayah propinsi. Yang dimaksud dengan organisasi yang independen adalah organisasi masyarakat adat di tingkat wilayah propinsi yang memiliki visi, misi dan prinsip yang sesuai atau sama dengan AMAN, tetapi bisa saja memiliki nama yang berbeda dengan mekanisme dan struktur organisasi tersendiri. Independensi ini harus bisa dibuktikan dengan telah terselenggranya kongres/musyawarah yang dihadiri oleh anggota-anggota AMAN di wilayah propinsi yang bersangkutan dan telah menetapkan secara sah Statuta atau Anggaran Dasar sebagai landasan konstitusional organisasi tersebut. Contoh organisasi yang seperti ini yang telah bernaung/beraliansi di dalam AMAN adalah AMA Kalbar (Kalimantan Barat) dan AMASUTA (Sulawesi Tengah). Anggota Dewan AMAN dari kelompok pertama ini sepenuhnya harus mempertanggung-jawabkan semua tugas dan segala tindakannya kepada organisasi di wilayah propinsi yang mengutusnya.

Dengan demikian apabila seorang anggota Dewan AMAN telah nyata-nyata melanggar prinsip-prinsip dan garis-garis perjuangan AMAN (sebagaimana telah diputuskan oleh Kongres, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga) atau tindakannya bisa membahayakan eksistensi AMAN sebagai organisasi rakyat, berdasarkan penilaian dan keputusan Rapat Dewan AMAN, atau Rapat Koordinator Dewan AMAN dan Sekretaris Pelaksana AMAN, maka keputusan akhir berupa pemberian sanksi pemberhentian tetap sepenuhnya berada di tangan organisasi masyarakat adat di wilayah propinsi yang mengutusnya. Koordinator Dewan AMAN, bersama Sekretaris Pelaksana AMAN, hanya punya kewenangan untuk mengeluarkan teguran kepada anggota Dewan AMAN yang bersangkutan dan memberikan rekomendasi kepada organisasi masyarakat adat di wilayah propinsi yang mengutusnya. Kalau teguran pertama tidak ditanggapi dalam waktu 3 (tiga) bulan, maka Koordinator Dewan AMAN bersama Sekretaris Pelaksana AMAN berhak memberikan teguran kedua yang secara otomatis yang bersangkutan harus non-aktif sejak surat teguran tersebut dikeluarkan sampai ada penyelesaian dan keputusan akhir dari organisasi masyarakat adat di wilayah propinsinya.

Kelompok kedua adalah anggota-anggota Dewan AMAN yang dipilih dan ditetapkan sementara pada saat Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) yang pertama tahun 1999 dan sampai hari ini belum menyelenggarakan kongres/musyawarah masyarakat adat di wilayah propinsinya sehingga kedudukannya dalam Dewan AMAN belum mewakili organisasi yang memiliki nama yang pasti serta belum memiliki Statuta atau Anggaran Dasar yang sah sebagai syarat utama organisasi. Dalam situasi yang seperti ini maka kedudukan anggota Dewan AMAN dari kelompok kedua ini adalah sementara dan belum memiliki mandat dan legitimasi yang cukup kuat untuk mewakili aspirasi dan kepentingan masyarakat adat di wilayah propinsinya. Dalam hal ini anggota Dewan AMAN yang bersangkutan harus mempertanggung-jawabkan semua tugas dan tindakannya kepada Dewan AMAN.

Dengan demikian apabila seorang anggota Dewan AMAN dari kelompok kedua ini telah nyata-nyata melanggar prinsip-prinsip atau tidakannya tidak sesuai dengan garis-garis perjuangan AMAN (sebagaimana telah diputuskan oleh Kongres, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga) atau dinilai tidak mampu melaksanakan tugas dan tanggung-jawabnya maka Koordinator Dewan AMAN bersama Sekretaris Pelaksana AMAN memiliki wewenang memberikan teguran dan menjatuhkan sanksi skorsing (non-aktif sementara) pada teguran kedua setelah teguran pertama tidak ditanggapi sampai lebih dari 3 (tiga) bulan. Penyelesaian dan keputusan akhir atas keanggotaan yang bersangkutan di Dewan AMAN berada di tangan Dewan AMAN.

Apa saja tugas dan tanggung-jawab Koordinator Dewan AMAN?

Koordinator Dewan AMAN merupakan pelaksana tugas dan penerima mandat Dewan AMAN untuk melaksanakan tugas-tugas dan tanggung-jawab sebagai berikut:

  • Memantau dan mengawasi kinerja pelayanan Sekretariat AMAN dan pelaksanaan program kerja di tingkat nasional, khususnya di wilayah pemilihan masing-masing.
  • Mengkoordinasikan dan mendukung pelaksanaan tugas dan tanggung-jawab anggota-anggota Dewan AMAN di wilayah pemilihan masing-masing.
  • Menetapkan kebijakan operasional AMAN.

Bersama Sekretaris Pelaksana AMAN:

  • Menentukan anggota Dewan AMAN dan anggota AMAN untuk mengikuti pertemuan-pertemuan di dalam dan luar negeri. Dalam hal ini penentuan Dewan AMAN dan anggota AMAN yang akan mewakili AMAN dalam pertemuan tersebut harus ditentukan berdasarkan atas kapasitas dan pemahaman masalah oleh anggota Dewan AMAN dan anggota AMAN yang bersangkutan.
  • Mengeluarkan pernyataan politik yang mendesak.
  • Mewakili AMAN menjalin kerjasama dengan pihak-pihak lain.
  • Menentukan masuknya AMAN dalam organisasi Jaringan.
  • Mengusahakan dana untuk operasional organisasi AMAN khususnya yang bersumber dari iuran, sumbangan sukarela anggota AMAN dan sumbangan tidak mengikat dari pihak-pihak lain.

Kepada siapa dan bagaimana Koordinator Dewan AMAN mempertanggung-jawabkan tugas-tugasnya?

Agar pelaksanaan tugas dan tanggung-jawab tersebut sesuai dengan keputusan-keputusan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN), Anggaran Dasar (AD) serta keputusan-keputusan Rapat Kerja Tahunan Dewan AMAN maka masing-masing Koordinator Dewan AMAN memiliki kewajiban untuk:

  • Mengirimkan laporan singkat tertulis secara berkala setiap 3 bulan tentang pelaksanaan tugas-tugasnya kepada seluruh anggota Dewan AMAN di wilayah pemilihan masing-masing dengan tembusan untuk arsip ke Sekretariat AMAN.
  • Memberikan laporan pelaksanaan tugas dan tanggung-jawab kepada Rapat Kerja Tahunan Dewan AMAN.

Siapa yang Mengelola Sekretariat Nasional AMAN?

Untuk penyelenggaraan sehari-hari organisasi ini, Kongres juga telah mengamanatkan untuk membentuk Sekretariat Nasional yang berkedudukan di Jakarta (sebagai ibukota negara Republik Indonesia). Sekretariat Nasional ini dipimpin oleh seorang Sekretaris Pelaksana (Sek-Pel) yang dipilih dan ditetapkan oleh Dewan AMAN untuk masa kerja 3 tahun. Berdasarkan Rapat Kerja I dewan AMAN periode 2003 – 2006 yang dilaksanakan di Mataram – NTB tanggal 26 september 2003, dengan Surat Keputusan No : 01/Kpts/Dewan AMAN/IX/2003 telah memutuskan dan menetapkan Emilianus Ola Kleden sebagai Sekretaris Pelaksana AMAN yang berwenang sebagai penyelenggara harian Organisasi dan pengelola Sekretariat Nasional AMAN sampai terselenggaranya Kongres III Masyarakat Adat Nusantara tahun 2006 yang akan datang.

Apa saja tugas dan tanggung-jawab Sekretaris Pelaksana AMAN?

Untuk menjamin bahwa organisasi AMAN berjalan dengan baik dari waktu ke waktu maka Koordinator Dewan AMAN telah menggariskan tugas-tugas dan tanggung-jawab kepada Sekretaris Pelaksana AMAN untuk periode kerja tahun 2003 – 2006 sebagai berikut:

  • Mengelola Sekretariat Nasional AMAN yang berkedudukan di Jakarta sebagai simpul informasi dan komunikasi di antara anggota AMAN, organisasi masyarakat adat di tingkat wilayah dan daerah, anggota Dewan AMAN, dan Koordinator Dewan AMAN serta pendukung AMAN lainnya.
  • Memfasilitasi perwakilan masyarakat adat yang datang ke Jakarta untuk mencari penyelesaian atas kasus pelanggaran hak-hak masyarakat adat dengan tetap harus memprioritas pelayanan terhadap anggota AMAN yang terdaftar di Sekretariat AMAN dan/atau telah dibuktikan dengan adanya rekomendasi dari Dewan AMAN dari masing-masing wilayah/daerah.
  • Memfasilitasi pengembangan organisasi masyarakat adat di tingkat wilayah dan daerah dalam bentuk dukungan pertemuan dan/atau pemberian rekomendasi terhadap proposal kegiatan yang diajukan ke lembaga donor.
  • Memfasilitasi upaya-upaya pengembangan dan penguatan komunitas masyarakat adat yang telah resmi menjadi anggota AMAN
  • Melakukan dialog-dialog dengan pihak-pihak penentu kebijakan yang bertujuan merubah kebijakan yang ada agar berpihak kepada kepentingan masyarakat adat.
  • Menginisiasi, mengembangkan dan mengkoordinasikan pelaksanaan Program Kerja AMAN yang telah ditetapkan dalam Rapat Kerja Dewan AMAN.
  • Memfasilitasi Rapat Koordinator Dewan AMAN dan Rapat Kerja Dewan AMAN.

Bersama dengan Koordinator Dewan AMAN:

  • Bertanggung-jawab atas penyelenggaraan Kongres AMAN.
  • Mengeluarkan pernyataan politik yang mendesak.
  • Mewakili AMAN untuk menjalin kerjasama dengan pihak-pihak lain.
  • Menentukan masuknya AMAN dalam organisasi jaringan.
  • Menentukan Dewan AMAN dan anggota AMAN yang akan mewakili AMAN untuk Mengikuti pertemuan-pertemuan di dalam dan luar negeri berdasarkan atas kapasitas dan pemahaman masalah oleh anggota Dewan AMAN atau anggota AMAN yang bersangkutan.
  • Mengusahakan pencarian dana operasional sekretariat, pembiayaan program dukungan yang sifatnya nasional, dan dana operasional Koordinator Dewan AMAN.

Kepada siapa dan bagaimana Sekretaris Pelaksana AMAN mempertanggung-jawabkan tugas-tugasnya?

Agar pelaksanaan tugas dan tanggung-jawab tersebut sesuai dengan keputusan-keputusan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) dan Anggaran Dasar (AD) serta keputusan-keputusan Rapat Kerja Tahunan Dewan AMAN maka Sekretaris Pelaksana memiliki kewajiban untuk:

  • Memberikan laporan tertulis secara berkala setiap 3 bulan kepada Koordinator Dewan AMAN.
  • Memberikan laporan pelaksanaan tugas dan pertanggung-jawaban dalam Rapat Kerja Tahunan Dewan AMAN.

Sekretaris Pelaksana AMAN dipilih dan ditetapkan oleh Dewan AMAN serta bertanggung-jawab sepenuhnya kepada Dewan AMAN. Dengan demikina apabila Sekretaris Pelaksana AMAN telah nyata-nyata melanggar prinsip-prinsip, atau tindakannya tidak sesuai dengan garis-garis perjuangan atau bahkan bisa membahayakan eksistensi AMAN sebagai organisasi rakyat (sebagaimana telah diputuskan oleh Kongres, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga) atau dinilai tidak mampu sama sekali melaksanakan tugas dan tanggung-jawabnya maka Rapat Koordinator Dewan AMAN memiliki wewenang memberikan teguran dan menjatuhkan sanksi skorsing (non-aktif sementara) pada teguran kedua setelah teguran pertama tidak ditanggapi lebih dari 3 (tiga) bulan. Penyelesaian dan keputusan akhir atas kedudukan Sekretaris Pelaksana AMAN sepenuhnya ditentukan oleh Rapat Dewan AMAN.

Apa saja program kerja AMAN untuk periode kepengurusan 2003 – 2006?

Dengan memperhatikan perkembangan situasi dan kondisi saat ini yang diwarnai dengan kepentingan-kepentingan yang berakibat pada terjadinya perampasan hak-hak Masyarakat Adat, maka dapat disimpulkan bahwa Masyarakat Adat berada dalam posisi yang berbahaya. Oleh sebab itu agenda-agenda kerja AMAN 3 tahun yang akan datang harus mempertimbangkan dan mengacu pada beberapa hal prinsip berikut ini :

1. Menjamin keselamatan anak cucu adat

2. Menjamin praktek sosial adat dengan melakukan re-generasi.

3. Mempertahankan tanah dan kekayaan alam sebagai wilayah hidup masyarakat adat

4. Memulihkan masyarakat adat dari berbagai kerusakan sosial budaya dan lingkungan (ekologis)

RANCANGAN PROGRAM KERJA

Keseluruhan agenda kerja AMAN merupakan sebuah bentuk advokasi/pembelaan terhadap perjuangan merebut kembali dan mempertahankan hak-hak Masyarakat Adat. Agenda-agenda tersebut tercermin dalam program-program dan sub program berikut ini :

1. Pemulihan hak-hak Masyarakat Adat

2. Pelatihan strategy advokasi

3. Pelatihan analisa sosial budaya

4. Memperjuangkan perubahan kebijakan pemerintah yang berdampak langsung terhadap MA.

5. Melakukan pengkajian kebijakan (perda, PP, UU dll).

6. Pelatihan Penyadaran hukum kritis di tingkat kampung.

7. Pelatihan partisipatif merancang Peraturan Daerah

8. Mengembalikan dan mengakui institusi peradilan adat

  • Memfungsikan kembali institusi dan sistem peradilan adat

9. Revilatisasi nilai-nilai dan norma-norma adat

Dokumentasi pengetahuan dan kearifan lokal

Memperjuangkan perlindungan dan pengakuan terhadap kearifan Masyarakat Adat.

10. Melibatkan perempuan dalam menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan baik di tingkat kampung, kabupaten dan propinsi.

  • Mengupayakan adanya perwakilan perempuan asat pada tingkat legislative dan eksekutif
  • Melakukan pelatihan penyadaran hak-hak perempuan bagi Masyarakat Adat.
  • Sosialisasi kesetaraan jender.
  • Melakukan pelatihan peningkatan sdm perempuan adat.
  • Menyelenggarakan pertemuan perempuan yang berskala nasional.

11. Pengelolaan Sumber Daya Alam

  • Pemetaan partisipatif
  • Pengkajian terhadap kemungkinan sertifikasi secara adat.
  • Mengembangkan pola pertanian tradisional.

12. Pendidikan

  • Membentuk pusat-pusat pendidikan Masyarakat Adat
  • Mengupayakan pengadaan kurikulum pendidikan muatan lokal berbasis Masyarakat Adat.
  • Melakukan pendidikan kritis di tingkat kampung.
  • Menyelenggarakan study banding antar Masyarakat Adat.

13. Ekonomi

  • Melakukan pengkajian tentang sistem ekonomi berbasis Masyarakat Adat.
  • Membentuk lembaga-lembaga ekonomi berbasis Masyarakat Adat.
  • Mengembangkan jaringan ekonomi
  • Mengembangkan usaha produksi hasil hutan non kayu.

14. Politik

  • Meningkatkan partisipasi politik Masyarakat Adat
  • Melakukan pendidikan politik bagi Masyarakat Adat.

15. Penguatan organisasi dan pengembangan jaringan

  • Pelatihan manajemen organisasi
  • Melakukan konsolidasi-konsolidasi Masyarakat Adat.
  • Mengadakan kerjasama antar lembaga dan organisasi Masyarakat Adat.
  • Membentuk simpul jaringan informasi.
  • Membentuk dan memperkuat jaringan perempuan Masyarakat Adat.
  • Membentuk dan memperkuat jaringan generasi muda adat.

Dari mana sumber dana AMAN untuk membiayai jalannya organisasi ini?

Untuk membiayai kegiatan-kegiatan AMAN tersebut maka beberapa sumber dana yang bisa diandalkan adalah: (1) iuran anggota yang nilainya Rp. 100.000,- per tahun per komunitas masyarakat adat; (2) sumbangan sukarela dari anggota; (3) sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat; (3) hasil usaha yang sah yang dilakukan sendiri oleh AMAN atau bekerjasama dengan pihak lain.

Khusus untuk kategori sumbangan pihak ketiga yang tidak mengikat, telah disepakati dalam Rapat Kerja Dewan AMAN 2000 di Denpasar-Bali, bahwa AMAN sebagai organisasi tingkat nasional bagi masyarakat adat yang paling banyak menjadi korban penindasan dan ketidak-adilan oleh pihak-pihak lain, sama sekali tidak boleh menggunakan dana yang bersumber dari perusahaan, lembaga dan organisasi yang nyata-nyata telah terbukti menindas, merampas hak-hak adat dan menimbulkan ketidak-adilan serta penderitaan bagi masyarakat adat di mana pun di dunia ini. Pembiayaan atas kegiatan-kegiatan yang diprakarsai dan dilaksanakan sendiri oleh AMAN tidak boleh bersumber dari: (1) perusahaan penebangan hutan komersial skala besar (HPH); (2) perusahaan perkebunan pohon kayu monokultur komersial skala besar (HTI); (3) perusahaan perkebunan negara dan swasta skala besar; (4) perusahaan pertambangan skala besar; (5) dana hutang luar negeri dari lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia (WB); (6) Organisasi Perdagangan Kayu International (ITTO). Di samping enam kategori di atas, maka untuk menghindarkan diri dari kepentingan politik praktis yang sifatnya sesaat maka kegiatan yang dikelola sendiri oleh AMAN juga tidak boleh dibiayai dari dana yang bersumber dari partai politik.

Dengan demikian maka sumbangan/hibah yang sifatnya tidak mengikat dari (1) pemerintah Indonesia dan asing, (2) perusahaan-perusahaan dalam dan luar negeri di luar yang tidak masuk kategori “tidak boleh” di atas, (3) lembaga donor dalam negeri dan luar negeri, (4) bank milik negara dan swasta serta lembaga keuangan lainnya di dalam dan luar negeri, (5) ORNOP/LSM dan (6) semua jenis sumbangan pribadi, boleh diterima untuk membiayai perjuangan AMAN.

Kemana mencari informasi lebih lanjut tentang AMAN dan kegiatannya?

Jakarta :

Rumah AMAN

Jl. B No. 4 RT.01/RW.06 Kompleks Rawa Bambu Satu, Pasar Minggu, Jakarta 12520;

Tel./Fax: 021-7802771; E-mail: rumahaman@cbn.net.id

No comments: