Wednesday, January 24, 2007

NAMBLUONG: TANAH dan HUTAN adalah ORANG TUA KAMI

Nambluong adalah salah satu wilayah adat yang bentangannya mencakup tiga kecamatan, yaitu Nimboran, Nimbrokang dan Genyem. Masih termasuk dalam Kabupaten Jayapura, wilayah adat ini didiami oleh berbagai suku. Suku terbesar adalah suku Nambluong. Ketiga kecamatan tersebut berbatasan dengan Distrik Kaureh Lere (Selatan), Distrik Kemtuk (Timur) serta Distrik Unurum Guay (Barat). Wilayah adat Nimbluong berbatasan dengan wilayah adat Sou (Utara), wilayah adat Yapsi Taja (Selatan), Wilayah adat Kemtuk dan Kemtuk Gresi (Timur) serta wilayah adat Unurum Guay dan Bonggo (Barat).

Sistem sosial dan pengurusan Komunitas

Komunitas adat Nambluong mempunyai konsep pemerintahan dan pengurusan (governance) asli yang termanifestasi dalam bentuk kelembagaan adat yang mengatur hubungan sosial antar warga dalam menyelesaikan berbagai persoalan-persoalan sosial dan politik internalnya. Konsep pemerintahan asli ini didasarkan pada batas-batas kewilayahan/teritori yang tersusun berjenjang seperti hal-nya konsep adminstrasi kewilayahan negara modern yang umumnya dikenal saat ini.

Struktur pemerintahan asli komunitas adat Nambluong dimulai dari struktur tertinggi yakni YENO, yang pengertiannya sama dengan Negara. Pemimpin Yeno ini seorang Iram atau Hlu Dkening dan dibantu seorang Takay.

Yeno dibagi-bagi dalam apa yang dinamakan TANG atau TANGYAP, dipimpin oleh Iram Tang atau disebut juga Dkening Tang. Iram Tang dibantu oleh Takay Tang, Nenskingwouw Tang dan Sa Tang.

Tangyap dibagi lagi berdasarkan TANG Kelompok besar (Iram Tang atau Dkening Tang dan Takay Tang), TANG kelompok kecil (Irambe atau Hlu Dkeningge Nenskingwouw Tang, Takayge Nenskingwouw Tang, Yrungge Nenskingwouw Tang) dan Tang kelompok paling kecil (Irambe atau Hlu Dkeningge Sa Tang, Takayge Sa Tang, Lum Tang – Leing Tang).

Tang merupakan bentuk persekutuan dari kelompok-kelompok (Klabuyap), terdiri dari beberapa rumah tangga (Yamo Dkam), biasanya berjumlah antara 30-50 orang. Pembentukan Tang terjadi menurut garis keturunan darah dari satu nenek moyang. Hal inilah yang selanjutnya mempengaruhi corak sistem kekerabatan komunitas adat Nambluong.

Cara pengelompokan berdasarkan pada 2 prinsip, yaitu prinsip keturunan dan territorial. Prinsip keturunan membentuk kelompok kekerabatan yang anggotanya berasal dari garis keturunan tertentu dari pihak keturunan Ayah atau patrilineal. Kelompok kekerabatan berdasarkan keturunan diurut mulai dari keluarga inti yang tinggal dalam satu rumah tangga dan terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum menikah. Dari sinilah awal terbentuknya Tang, yang terjadi ketika ada anggota keluarga yang melakukan perkawinan. Perkawinan menghubungkan beberapa keluarga inti lain dengan keluarga inti pertama, dan terbentuklah Tang.

Pengelompokan berdasarkan teritori lebih dipengaruhi faktor-faktor perkawinan, ekonomi (biasanya melalui perdagangan dengan sistem barter) dan meningkatnya populasi penduduk.

Struktur pemerintahan asli yang berjenjang tersebut masing-masing diberi otoritas untuk mengelola dan mengurus rumah tangga sendiri. Otonomi ini hanya dibatasi oleh urusan Yeno, artinya tidak ada Tang yang otonom penuh lepas dari Yeno. Diluar struktur eksekutif tersebut, terdapat satu badan legislative yang berfungsi untuk merancang dan menetapkan peraturan, menyusun tata cara pelaksanaan Iram Kebi (Pemilu) dan Amanat kiebe, yakni Dmuotro. Amanat Kiebe adalah sebuah amanat tentang pengakuan atas kedaulatan hukum, adat dan pemenuhan hak-hak dasar suku. Keanggotaan badan legislative/dmuotru ini merupakan perwakilan dari tiap-tiap Tangyap berdasarkan pada azas keturunan dan delegasi.

Pandangan tentang Alam

Pada masa pendudukan Belanda di Papua, Distrik Nimboran merupakan onderafdeeling yang berada dalam satuan wilayah afdeeling Hollandia dengan ibu kota Genyem. Dalam era pemerintahan Indonesia, distrik Nimboran masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Jayapura yang saat ini telah dimekarkan menjadi 3 Kabupaten.

Luas wilayah distrik Nimboran adalah 778.84 Km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 6.663 orang (Kompas 20/01/03). Distrik Nimboran dikenal sebagai daerah penghasil pangan, dan merupakan salah satu sentra penghasil padi. Sekitar 40 persen produksi padi Kabupaten Jayapura dihasilkan distrik tersebut. Itu sebabnya padi masih menjadi komoditas andalan. Populasi Nambluong adalah 28,000 jiwa, terdiri dari 30 marga, tersebar dalam 23 Kampung

Seperti halnya wilayah-wilayah adat lain di Tanah Papua, distrik Nimboran mempunyai potensi sumber daya alam berupa tanah dan hutan yang berlimpah,. Tanah dan hutan ini menjadi ruang hidup dan wilayah adat sejumlah suku yang ada di Nimboran. Suku terbesar adalah Genyem (ELSHAM Papua). Semua suku ini mempunyai konsep dan kearifan lokal dalam memandang dan mengelola tanah dan hutan. Sistem pengelolaan sumber daya hutan yang berbasis pada kearifan lokal tersebut tercermin dalam sistem sosial yang dipraktekkan sehari-hari oleh komunitas adat distrik Nimboran.

Komunitas adat Nimboran mempunyai pandangan bahwa “Tanah sekaligus hutan diciptakan seorang nenek tua” (Erari 1997). Jika dikaitkan dengan sistem sosial komunitas adat Nimboran, terlihat dengan gambang bahwa orang tua mempunyai kedudukan sangat penting dan dihormati. Sikap penghormatan itu biasanya ditunjukkan saat orang tua memberi nasehat. Menurut adat sopan santun yang berlaku dalam budaya komunitas adat Nimboran, bahwa jika orang tua sedang memarahi anaknya, maka anak tersebut tidak boleh membantah. Cara-cara seperti ini akan memunculkan sikap sungkan sang anak. Dari sikap sungkan ini akhirnya melahirkan pantangan-pantangan saat berhadapan dengan orang tua.

Prilaku sosial yang dapat dikatakan sebagai bagian dari kearifan lokal seperti itu juga yang diterapkan saat mengelola alam, dalam hal ini tanah dan hutan. Ketika mereka memandang tanah dan hutan sebagai ciptaan seorang nenek atau orang tua, mereka harus menghormati dan menjaganya. Sehingga, sangat tidak mungkin memisahkan komunitas adat Nimboran dengan tanah dan hutan-nya, karena hutan merupakan sumber budaya dan kehidupan yang tercermin dalam kehidupan serta relasi sosial sehari-hari.

Mekanisme Penyelesaian Masalah

Dalam wilayah Distrik Nimboran, peradilan adat Dewan Persekutuan Masyarakat Adat Nimboran masih hidup dan berperan penting untuk menyelesaikan masalah-masalah intern suku-suku yang mendiami kawasan-kawasan Distrik Nimboran. Inilah salah satu kekuatan suku-suku di Papua. Orang Papua pada umumnya mempunyai kemampuan negosiasi di dalam konflik antarkelompok. Institusi resolusi konflik secara tradisional berkembang dan digunakan untuk mengakhiri suatu krisis hubungan antar kelompok. Tradisi negosiasi, terutama di kalangan orang pegunungan, digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus seperti sengketa tanah adat, pembunuhan, perzinahan, pencurian, dan lain-lain.

Pada kasus sengketa tanah adat misalnya, umumnya diselesaikan melalui jalur diplomasi dengan menggunakan kemampuan bernegosiasi untuk menyelesaikannya. Penyelesaian dapat berlangsung pada “Sidang Dmuotru” yang dilakukan di tempat perselisihan tersebut. Penyelesaian tersebut berlaku pula terhadap perselisihan batas tanah milik atau hak mengusahakan. Jika dalam suatu perselisihan salah satu pihak melukai pihak lainnya maka pihak yang melakukannya harus menyerahkan tanah itu kepada pihak yang telah dilukai dan atau didenda dengan Undo (Temako batu), atau manik-manik (Tkam).

No comments: