Emil Kleden
Sekretaris Pelaksana Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
Data terakhir yang dikeluarkan oleh Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) di penghujung 2003 tentang kondisi hutan di Indonesia membuat kita semua merasa ngeri. Laju kerusakan hutan di Indonesia dalam periode 2001 - 2003 adalah 2,4 juta hektar (ha) per tahun. Untuk memberi gambaran yang lebih kuat tentang ini Walhi membuat analogi bahwa setiap menit hutan yang hilang adalah 6 kali luas lapangan sepak bola. Itu berarti terjadi peningkatan yang luar biasa. Di jaman Orde Baru laju kerusakan hutan per tahun berkisar pada 1,4 juta ha dan pada era reformasi pertambahan laju kerusakan lebih dari 900.000 ha dan makin bertambah pula dengan adanya otonomi daerah.
Dengan laju kehilangan hutan seperti itu, maka menurut perkiraan pada 2008 hutan Indonesia akan habis. Belum lagi laju eksploitasi ekstraktif terhadap sumberdaya alam lain, seperti pertambangan. Menurut perkiraan yang didasari perhitungan pada data yang diperoleh Jaringan Tambang (JATAM), dengan kondisi eksploitasi seperti sekarang ini, maka pada 2010 minyak juga akan habis. Ijin pertambangan di dataran Indonesia sebesar 36 % telah diberikan kepada perusahaan pertambangan, sementara wilayah hidup dan kawasan kelola masyarakat adat dan petani juga telah diserahkan oleh pemerintah kepada perusahaan HTI, HPH dan perkebunan skala besar lainnya. Di lain pihak pemberian ijin itu sendiri terjadi tumpang tindih sehingga mempersulit masyarakat adat dan masyarakat lokal lainnya untuk menuntut pihak yang melakukan investasi dalam kawasan yang selama ini mereka identifikasi sebagai ruang lingkup hidup mereka. Tanah tumpah darah mereka. Belum lagi bila dimasukkan perhitungan adanya 158 ijin baru pertambangan di kawasan lindung yang dikeluarkan setelah adanya Perpu No. 1 thn 2004 tentang Penambahan Pasal pada UU 41/1999, yang membuka ruang legal bagi tambang di kawasan lindung.
Gambaran kelam dari perilaku tidak bijak negara dalam mengelola sumberdaya alam di Indonesia dapat juga dilihat dari kondisi Jawa yang sudah sangat kritis. Setiap tahun, Jawa mengalami defisit air sebanyak 8 miyar liter, sedangkan setiap limabelas menit ada bayi yang meninggal di dunia karena udara kotor dan salah satu kawasan dengan gejala infeksi saluran pernafasan atas yang tinggi di dunia adalah Jawa.
Hal lain yang menambah gelap gambaran masa depan adalah pemanasan global akibat meningkatnya gas rumah kaca yang nyata terjadi dan telah menunjukkan dampak dengan adanya pergeseran perubahan iklim regional di seantero bumi manusia. Jika pola konsumsi, produksi sektor industri dan pertumbuhan penduduk dunia tetap seperti sekarang saja maka dalam kurun waktu 100 tahun mendatang akan terjadi peningkatan konsentrasi gas rumah kaca yang pada tahun 2000 tercatat 350 part per million volume (ppmv) menjadi 580 ppmv dan akan mengakibatkan kenaikan temperatur global sebesar 4,5 derajad Celsius. Lebih dari cukup untuk membuat dunia makin gerah karena lingkungan makin gersang dan naiknya permukaan air laut. Sekedar perbandingan, saat ini temperatur rata-rata di kota-kota besar di Indonesia berkisar pada amplitudo 22 – 32 derajad Celsius. Jika terjadi kenaikan 4,5 derajad maka temperatur rata-rata akan berkisar pada amplitudo 26,5 – 36,5 derajad Celsius. Bila dengan kondisi temperatur siang hari di Jakarta 32 derajad saja penduduk Jakarta sudah demikian tersiksa dan terganggu produktifitasnya, bagaimana dengan 36,5 derajad? Saat ini saja pendingin ruangan sudah hampir menjadi kebutuhan pokok setiap ruang perkantoran, dan sistem pendingin tersebut adalah salah satu sumber gas rumah kaca. Maka bisa dibayangkan bila temperatur naik 4,5 derajad. Padahal sebuah fakta alamiah yang tidak dapat dibantah sampai saat ini adalah bahwa sebaik-baik tekonologi pengatapan bangunan dan sistem pendingin ruangan, belum dapat memberikan kenyamanan yang setara dengan kenyamanan dan kesegaran di bawah kerimbunan pohon di terik siang. Dan itu sebetulnya solusi yang telah disediakan alam melalui kehadiran hutan tanpa kita harus berinvestasi besar-besaran untuk memanipulasinya melalui pengembangan teknologi modern yang mahal untuk mendapatkan kenyamanan dan kesejukan yang tidak pernah setara.
Menyimak data degradasi hutan yang dikeluarkan oleh Forest Watch Indonesia bersama Global Forest Watch, dapat diperkirakan bahwa hutan alam di Sumatera akan habis pada 2005 dan di Kalimantan akan punah pada 2010, jika laju kerusakan hutan tidak berubah dari yang terjadi sekarang. Aspek sosial dari kondisi ini lebih mengkhawatirakan. Kondisi sosial di Kalimantan dan Sumatera relatif berbeda dengan di Jawa di mana sebagian penduduk masih mendiami kawasan di sekitar dan di dalam hutan. Wilayah yang masih dikenali sebagai tanah adat oleh mereka sendiri. Kelompok-kelompok masyarakat adat Kuntu di Riau, Anak Dalam di Jambi, Krui di Lampung, Semende’ di Bengkulu dan berbagai kelompok masyarakat adat Dayak di Kalimantan adalah komunitas-komunitas masyarakat adat yang hidupnya masih relatif dekat dengan keberadaan hutan dalam wilayah adatnya. Keberadaan hutan bukan sekedar sebagai prasyarat bagi kebutuhan dasar dan kehidupan ekonomi mereka. Lebih dari itu hutan adalah sumber budaya bagi komunitas-komunitas masyarakat adat tersebut. Dengan kondisi seperti itu, maka salah satu ancaman paling serius bagi berbagai komunitas masyarakat adat tersebut adalah ancaman terhadap eksistensi mereka.
Jika eksistensi ditentukan antara lain oleh produk budaya dan produk budaya dilahirkan dari sistem nilai yang dianut, sementara yang terakhir ini bersumber dalam interaksi mereka dengan lingkungan hidup sekitarnya, terutama dengan hutan, maka dapat dibayangkan bahwa krisis eksistensial yang dialami akan berdampak sangat serius. Pertama terhadap soliditas komunitas-komunitas itu sendiri dan kedua terhadap komunitas-komunitas di luar mereka. Tidak sedikit komunitas-komunitas seperti ini yang sedang mengalami krisis yang serius akibat kebijakan pengelolaan sumberdaya alam umumnya dan pengelolaan hutan khususnya, yang berdampak langsung terhadap kehidupan mereka. Sekedar gambaran dari sebuah situasi mikro, sampai saat ini ada 1016 komunitas masyarakat adat, dari Aceh sampai Papua, yang menjadi anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan semuanya mengalami persoalan ini. Sebuah jumlah yang lumayan besar, karena mencakup lebih dari 4 juta manusia. Pengertian “komunitas” di sini sangatlah longgar. Bisa sebuah marga di Lampung, bisa sebuah binua di Kalimantan Barat, Bisa sebuah kampung di Kalimantan Timur, bisa juga sebuah suku, seperti Semende’ di Bengkulu yang terdiri dari delapan belas kampung yang masing-masingnya “setara” dengan sebuah desa di Jawa. Statistik ini menunjukkan bahwa persoalan eksistensi kelompok masyarakat adat bukan sebuah persoalan main-main baik dalam skala intensitasnya maupun sebarannya. Dan dengan itu berarti pula bahwa persoalan yang menjadi bagian integral dengan keberadaan mereka, yaitu antara lain hutan, bukan persoalan sepele.
Yang sangat disadari oleh seluruh lapisan masyarakat adat adalah bahwa sumberdaya alam adalah thema sentral kelangsungan hidup mereka dan merupakan sebuah faktor yang dinamis, bukan statis. Artinya, sumberdaya alam melibatkan berbagai aspek kehidupan sosial dan politik, ekonomi dan budaya serta kepercayaan masyarakat adat (dan sampai tingkat tertentu berlaku untuk masyarakat umum) dan untuk mendapatkannya perlu perjuangan pada berbagai tataran sosial, lewat berbagai sektor kehidupan, dan pada setiap arena politik. Mereka sadar bahwa mereka punya hak yang sama untuk hidup.
Pertanyaannya, apa yang mau kita lakukan?
Sampai 2003, menurut data Biro Pusat Statistik, jumlah penduduk Indonesia sebesar 215 juta sekian. Sementara menurut sumber yang sama, jumlah total penduduk Indonesia pada 2000 adalah 201.241.999 orang. Komposisi penduduk Indonesia, berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2000, menurut usia adalah 82.399.716 untuk usia 0 – 19 tahun, 98.711.805 untuk usia 20 – 54 thn, dan 20.118.628 untuk usia 55 tahun ke atas. Sementara komposisi penduduk menurut jenis kelamin menunjukkan ada 41.839.822 laki-laki dan 40.559.894 perempuan untuk usia 0 – 19 tahun. 49.316.985 laki-laki dan 49.394.820 perempuan untuk usia 20 – 54 tahun dan 9.772.209 laki-laki dan 10.346.419 perempuan untuk usia limapuluh lima tahun ke atas. Jika angka-angka ini dapat dipercaya maka terjadi pertambahan penduduk yang luar biasa dalam tiga tahun terakhir, yang hanya dapat dimbangi oleh pertumbuhan penduduk dalam periode 1971 – 1980, yaitu lebih dari 2,3 %. Bandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia pada 1971 sebesar 118.367.850 orang dengan komposisi perempuan untuk seluruh jenjang usia sebesar 60.029.206 dan laki-laki 58.338.664. Hampir dua kali lipat dalam tigapuluh tahun.
Dari data tersebut nampak bahwa 40,9 % adalah usia belum produktif ( 0 – 19 tahun), 49 % adalah usia produktif (20 – 54 tahun), dan 10,1 % adalah usia tidak produktif lagi (≥ 55 tahun). Kriteria yang digunakan untuk menentukan ukuran produktif tidaknya di sini sangatlah longgar, yaitu hanya berdasarkan fakta bahwa sebagian besar tenaga buruh di Indonesia hanya berijazah tertinggi SMU atau sederajat dan itu berarti usia pada saat tamat SMU berkisar 18-19 tahun dan rata-rata orang bekerja sampai usia antara limapuluh sampai enampuluh tahun. Sedangkan usia tidak produktif lagi lebih didasarkan pada kriteria usia pensiun yang ditetapkan oleh negara, yaitu rata-rata 55 tahun. Jika kelonggaran kriteria ini dapat “dimaafkan” maka penulis akan coba menggambarkan lebih lanjut konsekuensi degradasi hutan dan lingkungan terhadap sebuah kelompok sosial yang akhir-akhir ini disebut sebagai masyarakat adat.
Jika hutan habis, maka sekurang-kurangnya komunitas-komunitas anggota AMAN yang berkisar 4 juta lebih orang itu akan mengalami dampak yang sangat serius. Jika persentase komposisi penduduknya mengikuti data di atas (karena AMAN sendiri belum memiliki data tentang komposisi penduduk menurut usia dan jenis kelamin dari anggotanya), maka sekurang-kurangnya dalam sepuluh tahun ke depan akan ada 49 % dari 4 juta lebih manusia usia produktif yang selama ini menggantungkan produktifitas kerjanya pada keberadaan hutan akan menjadi tidak produktif, yaitu sekitar dua juta orang dari komunitas-komunitas anggota AMAN saat ini. Dalam kurun waktu tersebut sepuluh persen dari empat juta manusia yang ada saat ini, yang sudah berusia 55 tahun atau lebih, akan kehilangan sokongan ekonomi untuk mendukung kehidupan mereka di usia senja. Bersamaan dengan itu, 40,9 % dari empat juta lebih manusia, yang sekarang berusia 0 – 19 tahun, akan kehilangan dukungan ekonomi untuk perkembangan mereka, baik untuk pendidikan maupun untuk pertumbuhan jasmani secara sehat dengan dukungan nutrisi minimal. Dan lebih mengerikan lagi jika dalam kurun sepuluh tahun itu pertumbuhan penduduk di lingkup anggota AMAN mengikuti laju pertumbuhan sebesar 2,3 % di atas maka akan ada pertambahan sebesar 1.136.791 orang dalam sepuluh tahun ke depan. Sehingga tanpa pertambahan anggota komunitas pun, jumlah jiwa dalam lingkup anggota AMAN yang sekarang akan menjadi 5.136.791 orang. Dan sebagian besar terkonsentrasi di luar Jawa. Apa yang akan terjadi jika jutaan jiwa ini mengalir ke pusat-pusat pembangunan di kota-kota dengan kondisi pendidikan mereka yang sangat rendah atau bahkan tidak ada sama sekali kesempatan mengenyam pendidikan? Bagaimana dengan jutaan kaum perempuannya? Dan jika kota-kota di luar Jawa tidak cukup meyakinkan mereka untuk dapat bertahan hidup, mereka akan mengalir ke kota-kota di Jawa.
Dalam tahun 2000 saja, populasi Jawa telah mencapai 60, 12 % dari total populasi Indonesia. Jika dalam kurun sepuluh tahun ke depan tidak ada perubahan dalam pengelolaan sumberdaya alam umumnya dan hutan khususnya, maka pulau ini akan kehabisan daya tampung terhadap ledakan penduduk dan menimbulkan persoalan-persoalan sosial politik dan ekonomi yang sangat serius. Itu baru sekedar gambaran mikro dengan mengambil contoh sebuah organisasi yang relatif kecil anggotanya. Bagaimana jika persoalan hutan dan sumberdaya alam di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua diperhadapkan dengan kondisi penduduk di semua pulau tersebut yang notabene sebagian terbesarnya masih menggantungkan kehidupan ekonomi dan budayanya dalam relasi yang intens dengan keberadaan hutan dan lingkungan tempat tinggalnya? Bagaimana pula gambaran seratus tahun ke depan? Apakah negara ini mau melenyapkan anak-anak negerinya sendiri? Ini hanya sebuah kondisi yang dibayangkan sangat mungkin akan terjadi berdasarkan kondisi yang ada saat ini.
Kondisi beberapa pulau besar saat ini juga dapat dijadikan cerminan untuk membayangkan kondisi sepuluh atau seratus tahun ke depan. Dari tahun ke tahun jumlah penduduk meningkat dengan pesat yang sejalan dengan perubahan komposisi penduduk di desa dan kota serta sejalan juga dengan degradasi lingkungan. Sejalan? Tanyakan kepada para petani dan buruh tani di Jawa mengapa mereka mengalir ke kota menjadi buruh bangunan, pengamen dan bahkan pengemis? Di samping penjelasan makro politik ekonomi yang njelimet, situasi mikro memang menyebabkan mereka harus mengambil langkah itu untuk survive. Tanah pertanian di Jawa yang sampai tahun delapan puluhan masih merupakan salah satu kawasan tersubur di dunia kini telah kering kerontang dan kehilangan banyak unsur hara. Sebagian kawasan pertanian di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur tidak dapat diairi secara memadai untuk dapat memberikan produksi pertanian (padi) bagi para petani untuk dapat bertahan hidup dengan standard minimum sekalipun. Daerah Kebumen dan Gombong tahun tujuhpuluhan masih memproduksi padi yang dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat setempat. Tengoklah kini tanah yang terbelah di mana-mana siap menjalani proses menggurun (desertasi). Daerah sepanjang aliran Kali Brantas lebih mengenaskan lagi. Di samping debit air turun drastis, pendangkalan dan polusi sungai telah menurunkan kualitas air sedemikian sampai berdampak pada pertanian sepanjang alirannya. Sementara dari sejarah kita punya nostalgia yang indah bahwa pada masa Raden Wijaya berkuasa, daerah sepanjang Kali Brantas adalah daerah yang subur dan menjadi pusat-pusat perniagaan. Kapal dagang waktu itu bahkan dapat berlayar melalui Kali Brantas sampai ke Blitar.
Di Palu, Sulawesi Tengah, dapat disaksikan bahwa banyak sekali orang-orang Kamalisi yang datang ke kota untuk sekedar menjadi buruh dan berbagai pekerjaan “kasar” dan informal lainnya. Ini bisa dipahami karena apa yang dapat dilakukan di kampung-kampung mereka di pegunungan Kamalisi yang sudah menggersang dan tidak lagi menjadi hak milik mereka? Tak ada jalan lain: “mengungsi” ke kota. Di Bulukumba, apa yang terjadi ketika masyarakat adat diputus hubungannya dengan hutan? Mereka bertahan dan akhirnya mengalami kekerasan oleh Negara. Artinya, sekedar mengutip apa yang dikemukakan oleh seorang staf pengajar di Fakultas Kehutanan dan Program Pasca Sarjana IPB, Bogor, bahwa kita tidak pernah belajar dari sejarah kegagalan pengelolaan sumberdaya alam umumnya dan hutan khususnya. Akibatnya, daftar kekerasan dan korban yang timbul dari hari ke hari semakin panjang. Dan korban terbesar adalah kelompok petani dan masyarakat adat.
Dengan kondisi yang demikian maka tidak ada langkah lain dari mulai memikirkan dengan serius bentuk-bentuk alternatif pengelolaan hutan sejalan dengan upaya penegakan hukum di bidang pengelolaan sumberdaya alam umumnya dan hutan khususnya. Kunci dari semua ini adalah membangun sebuah sistem hukum yang secara komprehensif mengatur keseimbangan hak antara hak negara dan hak rakyat. Otonomi daerah yang semula dibayangkan menjadi jembatan menuju ke sana telah terbukti menjadi bias negara dan hanya sekedar memindahkan sentralisme negara pada satu titik di Jakarta menjadi tersebar pemusatannya pada Pemerintahan Kabupaten dan menjadi jauh lebih massif dalam pengabaian hak—hak rakyat umumnya dan masyarakat adat khususnya. Karena itu upaya mendorong model-model alternatif pengelolaan hutan dan melakukan pembaruan total di bidang hukum harus dilakukan secara sinkron. UU 41/1999 misalnya, telah menimbulkan penolakan yang serius di kalangan masyarakat adat karena dengan sangat telanjang melecehkan hak mereka atas ruang lingkup hidupnya. Sementara keberadaan hutan adat masih diakui keberadaannya di saat bersamaan diklaim bahwa semua hutan adat adalah hutan negara.
Yang perlu disadari secara sungguh-sungguh oleh pemerintah di negara ini dalam upaya melakukan perbaikan total dalam pengelolaan sumberdaya alam umumnya dan hutan khususnya serta membangun sistem hukum yang menjamin keseimbangan hak negara dan hak masyarakat adalah sebuah kenyataan di kalangan masyarakat adat bahwa tidak ada satu pun komunitas masyarakat adat – sekurang-kurangnya yang telah bergabung di AMAN - yang hendak mengklaim wilayah adat, hutan adat dan segala entitas lain yang beratribut “adat” hanya untuk dirinya sendiri tanpa peduli kehadiran kelompok sosial lain apalagi tanpa peduli pada kehadiran negara. Simaklah misalnya pernyataan Ketua Umum Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia, sebuah organisasi yang memperjuangkan tanah adat bekas peninggalan perusahaan perkebunan tembakau Delli, Sumatera Utara, milik Pemerintah Kolonial Belanda. “Ini tanah kami. Kami rela sepenuh hati menyerahkan kepada negara untuk dikelola bersama untuk kepentingan seluruh bangsa. Atas kerelaan menyerahkan tanah kami kepada negara itu, negara wajib memperhatikan kami dengan menjamin hak-hak dasar yang sepadan dengan pengorbanan kami menyerahkan tanah adat kami. Bukan sebaliknya kami dibunuh dan disiksa ketika menuntut pemenuhan hak dasar kami”.
Upaya ke arah itu tentu tidak dapat dilakukan sendiri oleh negara. Masyarakat harus dilibatkan. Keterlibatan masyarakat adat dalam pembaruan sistem pengelolaan sumberdaya alam umumnya dan hutan khususnya menjadi sebuah prinsip yang penting diperhatikan. Untuk itu otonomi komunitas menjadi sebuah sistem pelaksanaan pemerintahan di satuan-satuan sosial politik terkecil yang perlu didorong oleh negara. Dalam pengelolaan kawasan konservasi misalnya, perlu dipertimbangkan untuk membuat sebuah peraturan perundangan yang melibatkan komunitas-komunitas setempat dalam perencanaan, pengelolaan dan pengawasan. Di Lindu, Sulawesi Tengah, misalnya, belum lama ini masyarakat berhasil menangkap pencuri rotan dan kayu dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Tapi ketika proses hukumnya diserahkan kepada aparat, tidak jelas lagi khabar berita para pencuri yang kemudian bebas merdeka itu. Sebuah cetusan kegemasan terekam terungkap dalam kalimat “Kalau saja Taman ini adalah Taman Masyarakat Lore Lindu, maka kami dapat menjaganya lebih baik. Dan bila kami kewalahan, kami minta bantuan aparat negara. Tapi ini Taman Nasional, jadi kami tidak ada hak sama sekali sejauh ini.” Sementara, di tempat lain, para pelaku pembalakan haram yang tertangkap oleh masyarakat adat dengan senyum ceria memenuhi denda adat komunitas setempat yang buat para pencuri ini tidak berat nilainya bila dihitung dengan rupiah di kantong mereka. Kesulitan-kesulitan di lapangan seperti ini perlu disikapi dengan membuka ruang pengaturan perencanaan, pengelolaan dan pengawasan sumberdaya alam umumnya dan hutan khususnya yang seimbang oleh negara dan masyarakat. Penguatan institusi pemerintahan di masing-masing satuan sosial politik terkecil dalam lingkup masyarakat adat misalnya, dapat dibarengi dengan memberikan hak untuk mendapatkan sumber hidup dan mengembangkan budaya mereka dari sumberdaya alam dan hutan di sekitar mereka.
Kesulitan sejauh ini memang timbul dalam mengatur peran komunitas sebagai sebuah satuan sosial politik terkecil yang diberi wewenang berdasarkan peraturan perundangan untuk terlibat dalam perencanaan, pengelolaan dan pengawasan. Karena menyangkut pertanyaan apa yang dimaksud dengan satuan-satuan sosial politik tersebut dan bagaimana sistem kelembagaan yang menjadi representasi komunitas itu untuk menjalankan mandat dari seluruh anggota komunitas. Jawabannya sebetulnya sudah cukup jelas bila melihat kembali sejarah kegagalan penerapan sistem Pemerintahan Desa di seluruh Indonesia. Oleh karena itu negara perlu dan bahkan berkewajiban untuk memperkuat sistem pemerintahan setempat yang telah ada berdasarkan sistem sosial politik yang lahir dari sejarah dan budaya masing-masing komunitas. Dalam perdebatan tentang masyarakat adat hak-hak yang mencakup bidang-bidang ini dikenal sebagai hak bawaan yang harusnya dikembangkan menjadi sebuah otonomi komunitas yang mencakup sekumpulan hak yang dapat dibedakan tapi tidak dapat dipisahkan. Mengapa? Karena bagaimana mungkin memisahkan hak untuk memiliki tempat tinggal, hak untuk berorganisasi, hak untuk mengembangkan budaya dari hak atas lingkungan bagi komunitas-komunitas masyarakat adat tanpa membuat mereka mengalami krisis eksistensial?
Sebetulnya, upaya pemerintah ke arah itu telah menunjukkan sedikit titik terang dengan dikeluarkannya RUU- PSDA. Sayangnya, RUU yang memberi sejumlah ruang bagi masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya alam itu kemudian mentah kembali ketika berhadapan dengan kekuatan-kekuatan sektoral yang selama ini memang mendapatkan keuntungan besar dari sistem pengelolaan berdasarkan berbagai peraturan perundangan yang telah ada yang notabene mudah dipelintir ke mana suka. Saat ini, kita baru saja selesai melakukan pemilihan umum legislatif dan kini siap menyongsong pemilihan presiden dan wakil presiden. Sayangnya dalam seluruh hiruk pikuk pemilihan umum ini tidak terdengar sama sekali rencana atau keprihatinan partai dan para capres/cawapres atas persoalan ini. Jika pemerintahan yang baru tidak juga mengurus persoalan ini entah berapa banyak jiwa akan menjadi pengungsi di tanah sendiri. Dan pada akhirnya penulis hanya terkenang pada syair sebuah lagu tahun 70-an:
Laksana Hiu menyambar Sumatera
Jawa bagai Singa duduk waspada
Sulawesi umpama Kala berbisa
Irian Garuda menantikan Bangsa
Kalimantan Tabuhan maharaya
Itulah tamsil nusa
Apa yang tertinggal kini?
No comments:
Post a Comment